Sabtu, 24 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (31): Sejarah Teluknaga, Suatu Teluk Tempo Doeloe; Kalimati dan Kalibaroe Tjisadane di District Teloknaga


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Apa itu teluk naga? Itu adalah nama desa dan juga sekaligus nama kecamatan di Kabupaten Tangerang. Bukan itu yang dimaksud. Yang ingin ditanyakan adalah apakah nama Teluknaga di Tangerang dulunya adalah benar-benar suatu teluk? Apa, iya? Desa Teluknaga pada masa ini berada di sisi timur sungai Cisadane yang lokasinya jauh dari lautan. Namun pertanyaan tetaplah membutuhkan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan keingintahuan.

Peta kuno Teloknaga di muara sungai Tangerang
Kini, nama Teloknaga menjadi nama kecamatan di Kabupaten Tangerang. Nama-nama desa di kecamatan Teluknaga adalah sebagai berikut: Babakan Asem, Bojong Renged, Kampung Besar, Kampung Melayu Barat, Kampung Melayu Timur, Kebon Cau, Lemo, Muara, Pangkalan, Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Tegal Angus dan Teluknaga. Pada era kolonial Belanda, Teloknaga adalah suatu tanah partikelir (land). Berdasarkan nama land, Teluknaga dijadikan sebagai nama onderdistrict di District Maoek. District Maoek juga kini dijadikan nama kecamatan di Kabupaten Tangerang.

Teluknaga itu sejatinya tempoe doeloe adalah suatu teluk. Suatu teluk yang diberi nama Naga. Dengan kata lain seluruh wilayah kecamatan Teluknaga yang sekarang di masa lampau adalah lautan (muara sungai Tangerang atau sungai Tjisadane). Bagaimana cara membuktikannya? Tentu saja kita harus menggali data sebanyak mungkin, lalu kemudian menganalisisnya. Dalam hal ini, sumber data utama adalah peta-peta kuno. Sumber-sumber pendukung lainnya adalah surat kabar, majalah dan buku serta Daghregister (catatan harian Kasteel Batavia). Untuk membuktikan bahwa Teluknaga berasal dari suatu teluk, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Untuk sekadar catatan: Tidak hanya kecamatan Teluknaga (di Kabupaten Tangerang), tetapi juga kecamatan Muara Gembong (di Kabupaten Bekasi) juga dulunya adalah lautan (muara sungai Karawang atau sungai Tjitaroem).

Kamis, 22 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (30): Balaraja, Perluasan Tanah-Tanah Partikelir; Area Perang Gerilya Semasa Perang Kemerdekaan 1946-1949


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Balaraja tempo doeloe adalah salah satu distrik di Afdeeling Tangerang: Saat itu Afdeeling Tangerang yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen terdiri dari tiga empat distrik: Tangerang, Maoek, Tjoeroek dan Balaradja. Oleh karena itu, nama Balaraja sudah memiliki nama besar di masa lampau. Nama Balaradja paling tidak sudah muncul sebagai nama tanah partikelir (land) tahun 1924 (lihat Bataviasche courant, 11-12-1824).

District Balaradja (Peta 1930)
Pada masa ini, wilayah (afdeeling) Tangerang terdiri dari tiga kabupaten kota: Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Kabupaten Tangerang terdiri dari 21 kecamatan. Ada beberapa nama di wilayah (afdeeling) Tangerang tempo doeloe seperti Teloknaga, Maoek, Tjoeroek, Sepatan, Balaradja dan Tigaraksa. Pada era kolonial Belanda nama-nama Maoek, Tjoeroek dan Balaradja adalah nama distrik. Salah satu onderdistrict di District Balaradja adalah Tigaraksa. Suatu distrik dipimpin oleh seorang wedana dan onderdistrik dipimpin oleh seorang asisten wedana. Nama-nama Teloknaga, Maoek, Tjoeroek, Sepatan, Balaradja dan Tigaraksa pada masa ini di Kabupaten Tangerang adalah nama kecamatan. Peta 1930    

Apa yang menjadi keistimewaan Balaradja? Nah, itu dia! Tentu saja menarik untuk diperhatikan. Balaradja tidak hanya batas antara Residentie Batavia dengan Residentie Banten, tetapi juga banyak hal yang pernah terjadi di Balaradja. Balaradja adalah salah satu area pertempuran selama perang kemerdekaan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Tangerang (29): Sejarah Awal Kota Tigaraksa, Ibu Kota Kabupaten Tangerang; Tanah Partikelir yang Dibebaskan 1927


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Nama Tigaraksa sebagai nama suatu tempat, paling tidak sudah tercatat pada tahun 1854 (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-07-1854). Dalam hal ini Tigaraksa adalah nama suatu tanah partikelir (land). Besar dugaan nama land ini mengadopsi nama suatu area dimana land ini berada. Penamaan suatu land umumnya mengikuti nama geografis (sungai, kampong atau danau) dan tentu saja ada yang mengikuti nama pemilik.

Batas Residentie Batavia dan Residentie Banten (Peta 1840)
Nama Tigaraksa diduga berasal dari kata tiga dan kata raksa. Terminologi raksa yang sering muncul pada tahun-tahun itu digunakan sebagai nama gelar seperti Luitenant Kiai Mas Raksa Djaija (lihat De Oostpost : letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 23-03-1853); Luitenant Klana di Raksa (De Oostpost : letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 18-07-1855); Bupati Tegal Raden Adipati Aria Raksa Negara (De Oostpost : letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 11-06-1857); Kiai Raksa Joeda (Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 29-10-1861).

Lantas bagaimana nama Tigaraksa sebagai nama land menjadi suatu tempat yang penting di Tangerang. Tentu saja pertanyaan ini dapat dianggap penting, karena Tigaraksa pada masa ini adalah ibu kota Kabupaten Tangerang. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 21 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (28): Sejarah Lapangan Terbang Curug di Tangerang, 1952; Pusat Pelatihan Penerbangan Sipil Hingga Ini Hari


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Satu yang terpenting dalam sejarah kedirgantaraan Indonesia adalah keberadaan lapangan terbang Curug di Tangerang. Di berbagai kota sejak era kolonial Belanda sudah dibangun lapangan terbang misalnya di Batavia berada di Tjililitan dan Kemajoran, di Bandoeng berada di Andir dan di Medan berada di Polonia. Pada era Republik Indonesia jumlah lapangan terbang semakin banyak yang dibangun. Salah satunya berada di Tjoeroeg, Tangerang. Lapangan terbang ini dibangun bukan untuk penerbangan layanan komersil maupun TNI, tetapi khusus untuk kebutuhan pelatihan penerbangan sipil. Lapangan terbang Curug ini dibangun tahun 1952.

Lapangan terbang Curug, Pondok Cabe dan Cengkareng
da masa ini di wilayah Tangerang terdapat tiga buah lapangan terbang. Selain lapangan terbang Curug (Budiarto) di Kabupaten Tangerang, juga terdapat lapangan terbang Cengkareng (Soerkano-Hatta) di Kota Tangerang. Tentu saja masih ada satu lagi lapangan terbang Pondok Cabe (Pertamina) di Kota Tangerang Selatan. Lapangan terbang Soekarno Hatta yang rencana pembangunannya dimulai tahun 1975 baru bisa dioperasikan pada tahun 1985. Bandara Soekarno-Hatta dibangun untuk menggantikan lapangan terbang Kemajoran yang segera ditutup. Lapangan terbang Kemajoran dibangun pada tahun 1940. Sementara itu lapangan terbang Cililitan diutamakan untuk kebutuhan TNI. Lapangan terbang Cililitan diubah namanya menjadi lapangan terbang Halim Perdanakusuma.
.
Bagaimana asal usul dibangunnya lapangan terbang Curug? Mengapa dibangun khusus untuk kebutuhan pelatihan? Mengapa lokasinya dipilih di Curug? Boleh jadi pertanyaan ini tidak penting-penting amat, tetapi tetap menjadi suatu pertanyaan yang belum ada jawabannya. Untuk menambah pengetahuan kita, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Tangerang (27): Kisah Cinta Letnan Moody dan Ratu Helena Kabur dari Banten ke Batavia 1682; Semalam di Tangerang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Cornelis Vincent van Mook sudah sejak 1678 berada di Tangerang untuk membangun pertanian. Pada tahun 1680 di Kesultanan Banten terjadi perseteruan antara ayah dan anak. Sultan Agoeng Tirtajasa digulingkan oleh anaknya sendiri, Sultan Hadji. Situasi di Banten membuat  Cornelis van Mook di Tangerang terganggu.

Dari Banten ke Batavia via Tangerang
Wilayah Tangerang di tengahnya mengalir sungai Tjisadane. Wilayah barat bagian dari Banten dan wilayah timur sungai Tjisadane bagian dari Batavia (VOC/Belanda). Cornelis van Mook mulai memikirkan untuk membangun kanal dengan menyodet sungai Tjisadane ke arah timur menuju Batavia. Untuk membangun kanal ini, membuat  Cornelis van Mook membutuhkan banyak tenaga kerja. Daghregister mencatat bahwa tanggal 10 April 1680 Sera Mangale ‘mengambil’ (roven) orang Indermayoe sebanyak 7.000 orang dan membawanya ke Tangerang. Sera Mangale adalah salah satu pimpinan benteng Tangerang di Kampong Baroe. Menurut catatan Daghregister tanggal 1 Juni 1680 Sultan Banten (Agoeng Tirtajasa) yang tersingkir dari kraon telah menetapkan tanah Tanara, Pontang dan Tangerang di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 21 September 1680 tiba di Tangerang 1.000 orang untuk menjaga properti bangunan Cornelis van Mook. Pada tanggal 5 November 1680 para pekerja Cornelis van Mook mengungsi dari benteng karena orang-orang Banten sudah berada di sisi barat sungai. Pada tanggal 6 Juni 1681 dicatat di dalam Daghregister suatu release dari landdrost Cornelis Vincent van Mook terhadap pembantaian orang Jawa oleh orang Banten di Tangerang.

Dalam perkembangannya, tahun 1682 Sultan Agoeng Tirtajasa meminta bantuan kepada pihak Inggris dan Denmark untuk melawan Sultan Hadji yang berada di benteng yang kuat. Sultan Hadji dapat dikalahkan dan Sultan Agoeng Tirtajasa berkuasa kembali. Sultan Hadji kemudian mengutus Hendrik Lucasz Cardeel ke Batavia untuk meminta bantuan. Gubernur Jenderal mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Kapitein Jonker, namun gagal. Pasukan Jonker sebagian tewas, sebagian ditawan dan sebagian yang lain berhasil melarikan diri. Untuk membebaskan tawanan, Gubernur Jenderal Speelman mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Saint Martin untuk bernegosiasi dengan Sultan Agoeng. Cornelis Vincent van Mook kembali bekerja dengan tenang di Tangerang.

Sejarah Tangerang (26): Oentoeng Djawa dan Tangerang, JP Coen dan Amsterdam; Abel Tasman dan Ontong Java di Solomon


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Pulau Untung Jawa berada di Teluk Jakarta, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pulau Untung Jawa (Oentoeng Djawa) bukanlah sekadar pulau. Pulau Oentoeng Djawa (Ontong Java)  memiliki sejarah yang penting. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada bulan Oktober 1618 mengubah kantor perusahaan VOC menjadi benteng, tidak hanya untuk mempertahankan diri dari dari kolaborasi Banten dan Inggris, tetapi juga menjadi basis untuk menduduki Jacatra (Batavia). Benteng Ontong Java ini tepat berada berhadapan dengan de Qual, muara sungai Tangerang (kampong Moeara).

Pulau Untung Jawa dan Kampong Muara di Teluknaga, Tangeramg
Setelah membangun benteng Batavia (yang dimulai tahun 1619), dalam perkembangannya, untuk memperkuat pertahanan Batavia, sejumlah benteng dibangun yakni: Fort Nordwijk, Riswijk, Angke, Jacatra dan Onrust. Dari benteng (pulau) Onrust ini kemudian VOC membuka ruang untuk pembangunan wilayah di daerah aliran sungai Tangerang. Pintu masuk ke wilayah Tangerang melalui de Qual (Moera). Setelah benteng Tangerang kemudian dibangun benteng di hilir di Moeara (Fort de Qual) dan juga membangun benteng di hulu (Fort Sampoera) di Serpong. Fort Tangerang adalah cikal bakal Kota Tangerang yang sekarang. Pada era Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1636-1645) memerintahkan Abel Jansen Tasman untuk memetakan benua Australia dan pulau-pulau di lautan Pasifik (1642-1643). Satu penemuan Abel Jansen Tasman yang penting adalah pulau anak benua Australia yang kemudian diberi nama Pulau Tasman. Penemuan penting lainnya adalah pulau atol di Kepulauan Solomon. Untuk mengingat pentingnya pulau Oentoeng Djawa bagi Jan Pieterszoon Coen, nama pulau atol di Pasifik penemuan Abel Jansen Tasman diberi nama pulau Ontong Java. Sejak itu, nama pulau Oentoeng Djawa di dekat muara sungai Tangerang diganti menjadi pulau Amsterdam (sejak pengakuan kedaualatan Indonesia, pulau penting itu namanya dipulihkan kembali menjadi pulau Untung Jawa).

Lalu bagaimana kisah selanjutnya antara pulau Oentoeng Djawa (Ontong Java) dengan muara sungai Tangerang, Moeara (de Qual)? Yang jelas pada masa ini tidak mungkin lagi terjadi pelayaran dari pulau Ontong Java (Ontoeng Djawa) ke kampong Moeara (de Qual). Mengapa? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.