Sabtu, 05 September 2020

Sejarah Manado (20): Sejarah Amurang, Ibu Kota Residentie Manado 1837; Benteng Portugis hingga Pelabuhan Kopi Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Kota Amurang di (kabupaten) Minahasa Selatan bukanlah kota kecil. Pada masa lampau, Amurang adalah kota besar, bahkan jauh lebih besar dari kota Manado. Oleh karena itu pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda, Amoerang pernah dijadikan sebagai ibu kota Residentie Manado. Lautnya yang tenang di teluk, membuat kapal-kapal dari berbagai tempat berlabuh dengan aman. Kota pelabuhan Amoerang menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting.Amurang adalah kota tua, kota yang sudah terbentuk sejak era Portugis.

Kota Amurang berada di Minahasa. Pada tahun 2003 Kabupaten Minahasa dimekarkan dengan membentuk kabupaten Minahasa Selatan yang mana ibu kota ditetapkan di Amurang. Penetapan Amurang sebagai ibu kota seakan Amurang baru memulai sejarah, tetapi kenyataannnya kota Amurang sudah pernah dijadikan sebagai ibu kota Residentie Manado. Penetapan Amurang sebagai ibu kota kabupaten Minahasa Selatan seakan mengembalikan marwah kota Amurang tempo doeloe yang sempat terlupakan karena perkembangan kota Manado yang sangat pesat.

Apakah sejarah kota Amurang sudah ditulis? Mungkin iya, mungkin belum. Mari kita pastikan dengan menyusun sejarahnya. Sebagaimana diketahui sejarah adalah narasi fakta dan data, maka untuk menyusun kronologis sejarah kota Amoerang haruslah berdasarkan fakta dan data. Kita mulai dari permulaan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Amoerang: Kota Besar Tempo Doeloe

Pada era Portugis, Amoerang belumlah termasuk nama-nama tempat yang penting. Nama-nama tempat yang kerap dicatat pada era Portugis adalah Ternate, Tidore, Manados (baca: Manado Toewa), Kaidipan, Toli-Toli, Siaou, Sangir dan Talaod (lihat AJ van Aernsbergen dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1925). Nama Amoerang berada di antara Kaidipan dan Toli Toli. Di tempat-tempat pelabuhan tersebut sebelum kedatangan Portugis (Katolik) adalah wilayah perdagangan orang-orang Moor (Islam). Diduga pedagang-pedagang Moor adalah orang yang menyiarkan Islam di Ternate dan dan Tidore. Orang-orang Portugis di tempat-tempat yang disebut tersebut baru muncul pada tahun 1547.

Orang Moor adalah pelaut-pelaut andal yang berasal dari Mediteranian Afrika Utara (dekat Portugis dan Spanyol) yang beragama Islam. Seperti halnya Portugis, orang-orang Moor juga sudah banyak di Sumatra dan Jawa. Mereka kemudian menyebar ke Celebes, Maloekoe dan Mondanao. Ornag-orang Portugis dan Spanyol menyebut orang-orang Moor di Halmahera dengan sebutan Batachina atau Batochina del Moro. Nama (bangsa) Moor inilah yang diduga menjadi asal-usul munculnya bangsa Moro (Mindanao) dan nama pulau Morotai. Lantas apakah nama Amoerang [A-Moer-ang] juga berasal-usul dari nama (bangsa) Moor?

Orang-orang Belanda baru menyusul setelah ekspedisi pertama Belanda pada tahun 1595 yang pada tahun 1597 sudah singgah di Lombok dan Bali (dan melakukan perjanjian dengan radja Bali). Semakin intensnya ekspedisi Belanda, pada tahun 1605 pelaut-pelaut Belanda mengusir orang Portugis dari Amboina (Fort Victoria). Orang-orang Belanda menjadi pesaing baru bagi orang-orang Portugis dan Spanyol di kawasan (sebelumnya orang-orang Portugis dan Spanyol menjadi pesaing baru bagi orang-orang Moor).

Persaingan antara Portugis dan Spanyol di kawasan terutaa Halmahera dan Semenanjung Celebes (Manado hingga Toli Toli) pada akhirnya orang-orang Spanyol terusir ke Mindanao dan Luzon pada tahun 1641. Inilah awal keberadaan Spanyol (terkonsentrasi di Filipina). Orang-orang Belanda (VOC) yang semakin menguat di Bali, Timor, Banda dan Amboina pada akhirnya berhasil mengusir Portugis dari Ternate. Wilayah Ternate termasuk wilayah Semenanjung Celebes (termasuk kepulauan Siaou, Sangir dan Talaod). Pada tahun 1654 kepala suku Minahasa mengirim duta ke pos perdagangan VOC di Tèrnate untuk menjalin hubungan sekutu. VOC kemudian berhasil mengusir Portugis dari Manado. Pemerintah VOC melalui Gubernur Maluku Simon Cos kemudian mendirikan sebuah benteng di pantai dekat Manado pada tahun 1657. Inilah mengapa pos perdagangan VOC merelokasi pos perdagangannya tahun 1661 ke muara sungai Tondano. Sejak inilah Belanda (VOC) tidak terusik di Manado (muara sungai Tondano). Portugis tamat di (pulau) Manado dan juga di teluk Amoerang.

Salah satu sisa peninggalan Portugis di teluk Amoerang adalah benteng yang tetap digunakan oleh orang-orang Belanda (VOC). Di dekat benteng (eks Portugis) inilah Pemerintah VOC membangun pos perdagangan dan mengembangkan kota (sebagai cikal Kota Amurang yang sekarang). Pada Peta 1695 pantai utara Celebes (antara Manado dan Toli Toli) adalah lalu lintas perdagangan yang ramai (paling tidak teridentifikasi tanda navigasi kedalaman laut) di sepanjang pantai. Kedalaman laut di Amoerang sekitar 40 meter.

Kawasan pantai utara Celebes ini dari Toli Toli hingga Manado adalah satu wilayah genealogis. Pada era Poertugis, Raja Tolitoli adalah bersaudara dengan Raja Boeol, Raja Manado, Raja Bolaang dan Ratu Kaidipan. Musuh mereka adalah Radja Makassar. Sementara di pedalaman terdapat penduduk Alifuru (penyembah berhala) yang berpusat di Tondano--yang dalam hal ini adalah penduduk yang berada di pedalaman Minahasa.

Penduduk pantai-pantai (dan pulau-pulau) bukanlah Alifuru (Minahasa) tetapi penduduk yang berbeda dengan penduduk asli Minahasa. Penduduk pantai-pantai (dan pulau-pulau) ini dapat dikatakan penduduk campuran (mix population). Yang dalam hal ini sudah barang tentu telah terjadi interaksi (perkawinan) antara penduduk pesisir pantai dan penduduk (asli) pedalaman.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bernard Wilhelm Lapian van Amoerang

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar