Senin, 17 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (39): Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 di Bali; I Goesti Ketoet Poedja, Anggota PPKI

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini 

Ada satu momen penting dalam sejarah Indonesia yang selalu dikenang yakni Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal tersebut teks proklamasi dibacakan oleh Ir Soekarno di Djakarta. Namun pembacaan teks tersebut tidak tersiarkan langsung ke seluruh wilayah Indonesia (karena komunikasi radio masih dikuasai Jepang). Baru pada malam hari, radio Bandoeng menyiarkannya sehingga penduduk Priangan mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka. Siaran Bandoeng ini dapat ditangkap di Djogjakarta dan Australia.

Wilayah Indonesia yang begitu luas, ketiadaan alat komunikasi menjadi faktor pembatas gaung proklamasi menyebar luas. Di Sumatra, berita kemerdekaan Indonesia baru bisa diketahui setelah tiga anggota PPKI berangkat dari Djakarta dan tiba di Medan tanggal 27 Agustus 1945. Ketiga anggota PPKI tersebut adalah Mr Teuku Mohammad Hasan, Mr. Abdoel Abbas Siregar dan Dr Mohamad Amir. Pengumuman proklamasi kemerdekaan ke publik di Medan baru dilakukan tanggal 6 Oktober1945. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Ir Soekarno. Jumlah anggota PPKI sebanyak 21 orang yang terdiri dari 12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku dan 1 orang dari perwakilan Tionghoa.

Lantas kapan berita Indonesia telah merdeka diketahui penduduk Bali? Lalu apakah teks proklamasi tersebut diumumkan ke publik? Yang jelas dalam keanggotaan PPKI terdapat seorang tokoh yang mewakili Bali yakni I Goesti Ketoet Poedja. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Minggu, 16 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (38): Puputan dalam Perang Tempo Doeloe di Bali; Apakah Orang Bali Benar-Benar Ingin Berperang?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Pada dasarnya tidak ada alasan untuk berperang. Perang sendiri, jika tidak binasa akan menanggung kerugian besar. Masalahnya mengapa para pemimpin Bali tempo doeloe kerap terlibat perang. Apakah orang Bali benar-benar ingin berperang? Tidak, rakyat Bali ingin cinta damai. Namun mengapa kerap terjadi perang di Bali?

Niat orang Bali untuk berperang kali pertama muncul pada tahun 1633. Orang Bali ingin menyerang menyerang Mataram di Banjoewangi. Niat itu mengundang minat Pemerintah VOC untuk berkolaborasi melawan musuh yang sama. Orang-orang Bali (kerajaan) Karangasem juga melancarkan perang di Lombok melawan kerajaan Lombok Selaparang pada tahun 1740. Kerajaan Bali (Boeleleng) berperang dengan Inggris tahun 1815. Diantara kerajaan-kerajaan di Bali juga terjadi perang. Kerajaan-kerajaan di Bali juga berperang dengan Pemerintah Hindia Belanda (1846, 1849, 1906 dan 1908). Perang terakhir di Bali adalah perang kemerdekaan RI melawan NICA-Belanda yang dipimpin I Goesti Ngoerah Rai di Tabanan pada tahun 1946. Habis itu tidak ada lagi perang.

Kejadian perang di Bali cukup banyak dan diantara perang itu dikatakan telah terjadi puputan. Salah satu perkara yang menjadi sebab munculnya perang di Bali adalah soal tawan karang. Semua itu tentu saja terkait satu sama lain. Yang jelas, rakyat (penduduk) Bali sejatinya tidak ingin berperang. Seorang peneliti pernah berpendapat bahwa penduduk Bali memiliki sifat cinta damai yang tergambar dalam diri mereka yang sangat artistik. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 15 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (37): Detik-Detik Akhir Militer Jepang di Bali; AA Made Djelantik di Belanda dan IG Ngoerah Rai di Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini 

Ada satu masa yang singkat Jepang di Bali (1942-1946). Hal serupa juga di wilayah lain di Indonesia. Sementara itu ada dua pemuda Bali, yang satu berada di Belanda dan satu lagi di Indonesia. Yang berada di Belanda bernama Anak Agoeng Made Djelantik dan yang berada di Indonesia adalah I Goesti Ngoerah Rai. Lantas apa kaitan dua pemuda ini dengan Jepang? Sudah barang tentu pertanyaan ini tidak pernah ditanyakan.

I Goesti Ngoerah Rai lahir di Badung, 30 Januari 1917. Setelah lulus ujian HIS di Denpasar, pada tahun 1931, I Gusti Ngurah Rai melanjutkan pendidikan MULO di Malang (lulus 1933). I Gusti Ngurah Rai kembali pulang kampong ke Bali dan mengikuti pendidikan militer Hindia Belanda Prajoda di Bali. Pada tahun 1941 sersan Prajoda I Goesti Ngoerah Rai mendapat kenaikan pangkat menjadi letnan dua yang kemudian dari Singaradja dipindahkan ke Soerabaja (lihat Soerabaijasch handelsblad, 26-11-1941). Sementara itu, Anak Agoeng Made Djelantik lahir di Karangasem, 21 Juli 1919. Setelah menyelesaikan pendidikan HIS di Singaradja melanjutkan pendidikan MULO di Malang tahun 1935 dan melanjutkan pendidikan AMS Afdeeeling B di Djogjakarta dan lulus tahun 1938. Anak Agoeng Made Djelantik segera berangkat studi ke Belanda. Pada tahun 1941 Anak Agung Made Djelantik lulus ujian kandidat di Gemeente Universiteit te Amsterdam (lihat Christelijk sociaal dagblad voor Nederland De Amsterdammer, 06-06-1941).

Saat menulis artikel ini pada tanggal 15 Agustus 1945 Kerajaan Jepang menyerah kepada Sekutu. Itu berarti akhir pendudukan Jepang di Indonesia. Dua pemuda Bali yang disebut di atas termasuk orang Indonesia yang anti fasis (anti Jepang). Disinilah pentingnya pertanyaan di atas menjadi penting, yakni bagaimana dua pemuda Bali tersebut bereaksi terhadap Jepang. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 14 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (36): Agama Hindu di pulau Bali; Catatan-Catatan Sejarah pada Era Kolonial Tempo Dulu yang Terlupakan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Hindu adalah salah satu agama resmi di Indonesia. Umumnya penduduk Bali beragama Hindu. Oleh karena itu agama Hindu di Indonesia dihubungkan dengan Bali. Namun dalam artikel ini tidak berbicara tentang ajarannya, tetapi catatan-catatan tempo doeloe yang dikaitkan dengan penduduk Bali dan agama Hindu di Bali (termasuk di Lombok). Catatan-catatan tersebut nyaris terlupakan, tetapi masih menarik untuk ditulis.

Dalam berbagai tulisan disebut bahwa agama Hindu di Bali dihubungkan dengan penduduk Jawa beragama Hindu yang bermigrasi ke pulau Bali. Namun sebelum masuknya agama Hindu ke Bali, penduduk Bali sendiri sudah memiliki kepercayaan sendiri. Banyak penulis meyakini bahwa penduduk asli Bali masih ditemukan hingga ini hari di Bali yang sering disebut Bali Aga. Penduduk Bali Aga ini diidentifikasi antara lain di desa Tenganan Pegringsingan dan desa Trunyan.

Lantas apa saja catatan-catatan tersebut ? Nah, itu yang akan disarikan. Sebab catatan-catatan tersebut sekalipun tidak penting-penting amat tetapi catatan-catatan tersebut adalah bagian dari sejarah Bali. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 13 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (35): Pahlawan I Gusti Ngurah Rai, Nama Bandara di Badung; Bandara I Gusti Ketut Jelantik di Buleleng?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disin

Di Bali ada dua nama pahlawan terkenal: I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik. Nama I Gusti Ngurah Rai sudah ditabalkan sebagai nama bandara di (kabupaten) Badung (Denpasar). Dari dua nama pahlawan ini, mengindikasikan nama I Gusti Ngurah Rai memiliki arti yang khusus di Bali khususnya di Badung (Denpasar). Bandara I Gusti Ngurah Rai kini menjadi bandara internasional yang terbilang sangat sibuk di Indonesia.

I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik juga adalah bangsawan Bali. I Gusti Ngurah Rai lahir di Carangsari, Petang, Badung, 30 Januari 1917 dan meninggal di Marga, Tabanan, 20 November 1946 (usia 29 tahun). I Gusti Ngurah Rai berjuang melawan NICA-Belanda. I Gusti Ketut Jelantik lahir di Tukadmangga  Boeleleng tahun 1800 dan meninggal di Jagaraga, Buleleng pada tahun 1849. I Gusti Ketut Jelantik gugur dalam perang melawan Pemerintah Hindia Belanda. Ada perbedaan rentang waktu selama satu abad antara masa perjuangan heroik I Gusti Ngurah Rai dengan masa perjuangan heroik I Gusti Ketut Jelantik. Pemerintah Republik Indonesia menetapkan I Gusti Ketut Jelantik sebagai pahlawan nasional Indonesia pada tahun 1993 dan I Gusti Ngurah Rai pada tahun 1975. Nama lapangan terbang (militer) Toeban diganti dengan nama I Gusti Ngurah Rai pada tahun 1969 (lihat De Telegraaf 29-05-1970).

Lantas bagaimana sejarah I Gusti Ngurah Rai? Tentu saja sudah banyak ditulis. Namun natasi sejarah tidak pernah berhenti, sejauah penggalian data dan penelusuran sumber-sumber sejaman terus dilakukan. Dalam hal ini penulisan narasi sejarah I Gusti Ngurah Rai masih tetap diperlukan, paling tidak untuk menambahkan yang sudah ada selama ini. Keutamaan I Gusti Ngurah Rai karena namanya sudah ditabalkan menjadi nama bandara internasional di Bali. Lantas, apakah jika bandara internasional di Buleleng terwujud nama I Gusti Ketut Jelantik akan ditabalkan juga? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 12 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (34): Pasukan Pribumi Pendukung Militer VOC Asal Bali; Sejarah Militer pada Era Pemerintah Hindia Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Jumlah orang Belanda dari waktu ke waktu sesungguhnya tidak banyak relatif terhadap luasnya wilayah dan populasi penduduk di Hindia. Di bidang perdagangan orang-orang Belanda sejak era VOC sangat mengandalkan pedagang-pedagang Moor, Armenis, Cina, Arab dan pedagang-pedagang pribumi. Demikian juga untuk mengatur pemerintahan sangat mengandalkan para pemimpin lokal. Tentu saja orang-orang Belanda juga sangat mengandalkan pasukan pribumi untuk mendukung kesatuan militer. Para pasukan pribumi pendukung militer direkrut dari berbagai asal seperti Ambon, Bali, Boegis, Djawa, Makassar dan Malajoe, Ternate dan Tambora.

Pada era VOC pangkat tertinggi militer VOC adalah Majoor. Di bawahnya terdiri dari kapitein, luitenant dan sergeant. Pangkat tertinggi dari korps pasukan pribumi yang tertinggi adalah kapitein (seperti Kapiten Jonker yang terkenal). Pasukan pribumi ini mendapat gaji yang bertugas untuk membantu perang atau membantu menjaga benteng-benteng VOC di berbagai tempat. Untuk mendukung kehidupan para pasukan ini, setiap pemimpin pasukan pribumi diberi lahan di seputar Batavia untuk mengolah pertanian. Komunitas berbagai asal ini menjadi sebab munculnya perkampongan sesuai asal. Penempatan pasukan pribumi di seputar Batavia juga dengan sendirinya bergungsi menjadi pengawal ibu kota (Batavia).

Bagaimana sejarah pasukan pribumi pendukung militer VOC asal Bali? Yang jelas jumlahnya semakin berkurang pada era Pemerintah Hindia Belanda. Mengapa? Yang jelas pada era Pemerintah Hindia Belanda ada beberapa asal yang tidak direkomendasikan oleh para pejabat seperti dari Batak dan Minahasa. Mengapa? Yang jelas dari daerah ini tidak pernah disertakan dalam pemerintahan Hindia Belanda (sebagai bupati). Di Bali, bupati hanya ada di Boeleleng dan Djembrana. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.