Kamis, 13 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (35): Pahlawan I Gusti Ngurah Rai, Nama Bandara di Badung; Bandara I Gusti Ketut Jelantik di Buleleng?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disin

Di Bali ada dua nama pahlawan terkenal: I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik. Nama I Gusti Ngurah Rai sudah ditabalkan sebagai nama bandara di (kabupaten) Badung (Denpasar). Dari dua nama pahlawan ini, mengindikasikan nama I Gusti Ngurah Rai memiliki arti yang khusus di Bali khususnya di Badung (Denpasar). Bandara I Gusti Ngurah Rai kini menjadi bandara internasional yang terbilang sangat sibuk di Indonesia.

I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik juga adalah bangsawan Bali. I Gusti Ngurah Rai lahir di Carangsari, Petang, Badung, 30 Januari 1917 dan meninggal di Marga, Tabanan, 20 November 1946 (usia 29 tahun). I Gusti Ngurah Rai berjuang melawan NICA-Belanda. I Gusti Ketut Jelantik lahir di Tukadmangga  Boeleleng tahun 1800 dan meninggal di Jagaraga, Buleleng pada tahun 1849. I Gusti Ketut Jelantik gugur dalam perang melawan Pemerintah Hindia Belanda. Ada perbedaan rentang waktu selama satu abad antara masa perjuangan heroik I Gusti Ngurah Rai dengan masa perjuangan heroik I Gusti Ketut Jelantik. Pemerintah Republik Indonesia menetapkan I Gusti Ketut Jelantik sebagai pahlawan nasional Indonesia pada tahun 1993 dan I Gusti Ngurah Rai pada tahun 1975. Nama lapangan terbang (militer) Toeban diganti dengan nama I Gusti Ngurah Rai pada tahun 1969 (lihat De Telegraaf 29-05-1970).

Lantas bagaimana sejarah I Gusti Ngurah Rai? Tentu saja sudah banyak ditulis. Namun natasi sejarah tidak pernah berhenti, sejauah penggalian data dan penelusuran sumber-sumber sejaman terus dilakukan. Dalam hal ini penulisan narasi sejarah I Gusti Ngurah Rai masih tetap diperlukan, paling tidak untuk menambahkan yang sudah ada selama ini. Keutamaan I Gusti Ngurah Rai karena namanya sudah ditabalkan menjadi nama bandara internasional di Bali. Lantas, apakah jika bandara internasional di Buleleng terwujud nama I Gusti Ketut Jelantik akan ditabalkan juga? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Ngurah Rai di Bali

Nama Ngoerah Rai di Bali muncul pada tahun 1903. Disebutkan Ngoerah Rai akan menggantikan ayahnya Radja Tabanan Goesti Ngoerah yang meninggal tanggal 6 Maret 1903 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 30-01-1904). Namun Ngoerah Rai untuk menjadi raja Tabanan tidak otomatis. Untuk diakui Pemerintah Hindia Belanda, ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh Ngoerah Rai yakni penghapusan adat yang mana istri (janda) sukarela membakar diri bersama suami yang telah meninggal.

Pada tanggal 13 Juli 1849 Radja Tabanan Goesti Ngoerah telah menadatangani perjanjian damai dengan Pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan (kerajaan) Tabanan sebagai bagian dari Hindia Belanda. Pada perjanjian tahun 1849 ini satu poin tambahan adalah soal penghapusan tawan karang. Perjanjian ini terus dijaga bersama hingga meninggalnya radja Tabanan pada tahun 1903. Ketika, Ngoerah Rai akan menggantikan sang ayah sebagai radja Tabanan, Pemerintah Hindia Belanda menambahkan poin baru pada isi perjanjian yang lama, yakni ‘mengikat penerusnya untuk meninggalkan adat mesatia dan tidak pernah mentolerir bahwa para janda, dari seorang pangeran, baik dari anggota keluarganya atau siapa pun, dibakar dengan mayat suaminya’. Penandatanganan perjanjian ini harus diselesaikan sebelum 1 Januari 1904.

 

Kerajaan Karangasem dan Gianjar telah menghapuskan adat mesatia tersebut, bahkan kerajaan Gianjar sudah menhapuskannya sejak 1847. Ketika berita meninggalnya radja Tabanan, Pemerintah Hindia Belanda pro aktif untuk menghalangi terjadinya adat mesatia tersebut di Tabanan pada bulan Oktober. Tabanan meminta penundaaan satu hari untuk bermusyawarah dengan Badoeng. Lalu diadakan lagi diskusi antara Tabanan dengan pejabat Pemerintah Hindia Belanda tanggal 21 Oktober untuk mempertimbangkan kembali niat Tabanan untuk melakukan adat tesebut, Namun deadlock. Pejabat Pemerintah Hindia Belanda kembali pada tanggal 25 untuk berdiskusi dengan Tabanan namun ditolak dan para delegasi pemerintah tersebut pulang tanpa hasil. Pada sorenya (tanggal 25 Oktober pemerintah mendapat laporan bahwa telah terjadi dimana para janda telah dibakar). Oleh karena itu, Gubernur Jenderal untuk sementara menunda penandatanganan pengakuan radja baru Tabanan. Lalu Pemerintah Hindia Belanda mengajukan tuntutan baru dalam perjanjian lama dengan menambahkan poin penghapusan adat mesatia.

 

Sebelumnya disebutkan bahwa Dewa Agoeng van Kloengkoeng, yang meninggal pada tanggal 25 Agustus 1903, permintaan Gubernur Jenderal melalui telegram bulan Desember dijalankan dengan baik yakni melakukan kremasi (radja) tanpa diikuti mesatia (para janda). Sementara itu parlemen di Belanda terus mendesak Gubernur Jenderal untuk mengkonfirmasi masalah tersebut di Bali. Dalam situasi ini Gubernur Jenderal tampaknya pusing, ditekan dari atas, dari bawah (Tabanan) juga belum ada kenajuan. Sampai berita tersebut dipublikasikan pada bulan Januari pemenuhan tuntutan Gubernur Jenderal kepada Raja Tabanan telah dijanjikan secara lisan, namun kepatuhan tersebut belum dikonfirmasi secara tertulis oleh Raja (lihat kembali Soerabaijasch handelsblad, 30-01-1904).

Pada hematnya Pemerintah Hindia Belanda hanya melakukan intervensi pada hal yang bersifat umum (universal). Namun demikian ada persepsi yang berbeda antara Pemerintah Hindia Belanda dengan para pemimpin lokal. Perbedaan persepsi inilah kemudian yang menjadi deadlock. Perbedaan persepsi yang pertama yang menjadi malapetaka bagi kerajaan Boeleleng adalah soal tawan karang (Perang 1846). Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini sejatinya hanya untuk meratifikasi atau paling tidak menghindari tekanan internasional pada wilayah-wilayah jurisdiksinya seperti tawan karang. Lalu kemudian intervensi kedua muncul pada tahun 1903 tentang adat mesatia dimana Gubernur Jenderal mendapat tekanan dari parlemen Belanda (di Eropa).

Penghapusan adat mesatia di Tabanan akhirnya ditandatangani oleh Radja Tabanan Goesti Ngoerah Rai pada tanggal 20 Juli 1904 (lihat  De Maasbode, 14-08-1904). Disebutkan bahwa ‘Radja Tabanan telah berjanji, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk penerusnya, untuk menghapus adat mesatia di wilayah Tabanan pada hari ini, dan oleh karena itu tidak akan pernah lagi mentolerir janda, baik dari seorang Raja atau dari seorang anggota keluarganya, yaitu siapa pun, dibakar dengan mayat suaminya, atau secara umum orang, siapa pun mereka, mengorbankan diri atau dikorbankan dengan cara apa pun dalam kremasi apa pun’, Perjanjian disepakati hari ini pada tanggal 20 Januari tahun 1904. Penandatanganan di atas segel dilakukan di hadapan pejabat pemerintah (pepatih) Goesti Gdé Ngoerah Made Kaleran dan Goesti Ngoerah Gdé, Goesti Wajahan Lobar, Goesti Groedoeg dan Goesti Ktoet Gdé (tiga nama yang terakhir adalah Goesti Ngoerah Rai, Goesti Gde Raka dan Goesti Gdé Poetra). Lalu diikuti tanda tangan J. Eschbach dan stempel.

Perjanjian adat mesatia yang dialakukan pada tanggal 20 Juli 1904 telah menyelamatkan kerajaan Tabanan dari tindakan ekspedisi militer Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian ini juga telah mencegah kerusakan. Sebab, sebelumnya sudah ada rumor bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan mengirimkan ekspedisi militer ke Tabanan sehubungan dengan berlarut-larutnya respon isi perjanjian yang ditawarkan (dituntut) oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Hal serupa ini yang terjadi pada tahun 1846 ketika radja Boeleleng dan gubernur Boeleleng I Goesti Ktoet Djelantik menolak perihal tawan karang yang lalu Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer ke Boeleleng. Yang lebih penting dari perjanjian 20 Juli 1904 Goesti Ngoerah Rai diakui sebagai radja Tabanan dengan gelar Goesti Ngoerah Agoeng. Sementara pada tempo doeloe, pasca Perang Bali (1846-1849) kerajaan Boeleleng terpaksa dilikuidasi dan sebagai pemimpin lokal diangkat seorang bupati di Boeleleng yakni Goesti Ngoerah Ktoet Djelantik (putra dari I Goesti Ktoet Djelantik yang gugur dalam perang pada tahun 1849).

Namun belum lama perjanjian dengan radja Tabanan ditandatangani, muncul lagi masalah baru di kerajaan Badoeng. Pemerintah Hindia Belanda menuntut pangeran Badoeng (Pamentjoetan dan Denapasas) untuk ganti rugi terhadap tawan karang (lihat Arnhemsche courant, 08-04-1905). Ini seakan kembali ke masa lampau pada tahun 1846 ketika tuntutan Pemerintah Hindia Belanda ditolak oleh radja Boeleleng. Soal tawan karang pada tahun 1904, mungkin tidak diduga, radja baru Tabanan mendukung Badoeng.

Pejabat Hindia Belanda di Batavia HJEF Schwartz segera bergegas untuk menemui Gubernur Jenderal untuk membahasanya, Gubernur Jenderal memintan untuk mengirim pejabat ke Bali untuk menyelidikinya dengan mengirim orang yang kompeten yang sudah mengenal bali luar dalam yakni FA Liefrinck untuk memberi nasehat. Sementara itu Karangasem dan Kloengkoeng menasehati pangeran Badoeng untuk memenuhi tuntutan tersebut dan secara khusus radja Kloengkoeng agar antara pemerintah dan Badoeng ditempuh dengan cara damai. Dalam perkembangannya beberapa radja mulai kesal dengan Badoeng (lihat De locomotief, 22-09-1906). Disebutkan radja Bangli menyatakan agar setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan untuk Rajas Badung dan Tabanan dilakukan penghukuman, Radja Karangasem juga menambahkan, jika tidak bisa dinasehati, bahwa pemerintah sekarang sudah cukup lama menderita, sebaiknya pemerintah menghadapi raja di kedua wilayah itu juga hukuman bagi raja itu dengan penyitaan kembali desa-desa yang dulunya milik Gianjar dan diserahkan ke Bangli dengan persetujuan perbatasan pada 2 Maret 1902. Singkat kata: Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer dan petaka bagi Badoeng.

Setelah kerajaan Badoeng dilikuidasi, kerajaan Tabanan akhirnya dilikuidasi. Radja terakhir Tabanan, Goesti Ngoerah Rai, tamat. Untuk mendukung kedamaian dan ketenteraman di Tabanan, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat kerabat dari radja Tabanan tersebut sebagai pemimpin di Tabanan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-06-1907). Disebutkan untuk kepentingan ketentraman dan ketertiban umum di pulau Bali, dua kerabat almarhum Raja Tabanan terakhir, Goesti Ngoerah Poetoe dan Goesti Ngoerah Rai.

Setelah Badoeng dan Tabanan, lalu giliran Kloengkoeng yang bermasalah dengan Pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi, Pemerintah Hindia Belanda mengiri ekspedisi militer ke Kloengkong pada tahun 1908. Seperti Badoeng, Kloengkoeng juga mendapat petaka. Kerajaan Kloengkoeng kemudian dilikuidasi.

Pada tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda akhirnya membentuk cabang pemerintah. Semua kerajaan-kerajaan di Bali selatan telah dilikuidasi dan membentuk satu afdeeeling yang diberi nama afdeeeling Zuid Bali dengan ibu kota Denpasar. Dengan demikian seluruh wilayah di Bali menjadi berada di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari tiga afdeeling: Boeleleng dan Dejembrana (sejak 1857) serta Zuid Bali. Pulau Bali dan Lombok dijadikan sebagai satu residentie (Residentie Bali en Lombok) dimana residen berkedudukan di Singaradja (afdeeling Boeleleng) dan asisten residen di Mataram (Lombok) dan di Denpasar (Zuid Bali). Untuk membantu asisten residen di Zuid Bali ditempatkan Controleur di Tabanan, Gianjar, Kloengkoeng dan Karangasem.

Sehubungan dengan pemerintahan baru di Zuid Bali sejumlah pemimpin pribumi diangkat menjadi kepala district. Nama-nama kepala district di onderafdeeling Badoeng dan onderafdeeeling Tabanan dimuat pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 07-10-1908. Nama-nama kerabat Ngoerah Rai yang dijadikan sebagai kepala district terdapat di district-district berikut: Gadja (Badoeng); Krambitan, Djogoe, Bongan dan Kaba-Kaba (Tabanan). Catatan: Untuk membawahi semua kepala district (poenggawa) di Badioeng diangkat sedahan agoerng di Denpasar; eks kerajaan Mangwi dijadikan satu district di wilayah onderfadeeeling Badoeng. Sedahan agoeng Tabanan berkedudukan di Tabanan. Pada tahun 1911 beberapa penggawa diganti di Zuid Bali (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-08-1911). Kerabat Ngoerah Rai yang diangkat di district Gadji (Badoeng) dan Krambitan (Tabanan). Kerabat Ngoerah Rai di Djogoe, Bongan dan Kaba-Kaba telah digantikan yang lain. Apakah ini mengindikasikan dinasti Ngoerah Rai mulai berakhir?

Setelah terbentuknya cabang Pemerintah Hindia Belanda di Zuid Bali, salah satu yang mendapat perhatian adalah pendirikan sekolah HIS di Denpasar. Sekolah ini paling tidak sudah eksis pada tahun 1915. Sekolah HIS di Residentie Bali en Lombok terdapat di Singaradja dan Denpasar (pulau Bali) dan di Mataram (pulau Lombok).

Salah satu kerabat Ngoerah Rai yang mulai mengikuti pendidikan Eropa (Belanda) adalah I Goesti Ngoerah Rai yakni sekolah berbahasa Belanda HIS di Denpasar. Setelah lulus I Goesti Ngoerah Rai melanjutkan pendidikan ke Soerabaja, Pada tahun 1922, I Goesti Ngoerah Rai dinyatakan naik kelas dari kelas dua ke kelas tiga di Koningin Emmaschool di Soerabaja (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 04-05-1922). Ini mengindikasikan bahwa I Goesti Ngoerah Rai merupakan angkatan pertama sekolah HIS di Denpasar. Koningin Emmaschool di Soerabaja adalah sekolah teknik yang didirikan tahun 1912. Sekolah ini terdiri dari beberapa jurusan: bouwkundigen (kontruksi-sipil) dan werktuigkindigen (mekanik) serta waterbouwkundigen (pengairan). Siswa yang diterima di sekolah ini adalah lulusan ELS dan HIS. Kerabat Goesti Ngoerah Rai juga ada yang bersekolah di OSVIA Probolinggo. Setelah menyelesaikan tahun ketiga Goesti Ngoerah Rai lulus ujian mendapat diploma pangreh pradja di OSVIA Probolinggo (lihat De Indische courant, 21-06-1926). Sementara itu kerabat Djelantik di Boeleleng juga semakin banyak yang bersekolah. Kerabat Djelantik di Bali termasuk yang awal memasuki pendidikan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu kerabat Djelantik seperti dilihat nanti yang menempuh pendidikan tinggi adalah Anak Agoeng Made Djelantik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Bandara Internasional di Bali

I Gusti Ngurah Rai adalah anak bangsawan di Bali. I Gusti Ngurah Rai lahir di Carangsari, Petang, Badung, 30 Januari 1917. Pada tahun 1924 I Gusti Ngurah Rai memulai pendidikan di sekolah berbahasa Belanda Holands Inlandse School (HIS) di Denpasar. Setelah lulus tahun 1931, I Gusti Ngurah Rai melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke Malang (sekolah MULO). I Gusti Ngurah Rai lulusan ujian MULO dan mendapat diploma (lihat De Indische courant, 04-05-1933). I Gusti Ngurah Rai kembali pulang kampong ke Bali dan mengikuti pendidikan militer.

I Gusti Ngurah Rai pada tahun 1936 mengikuti pendidikan militer di sekolah kadet militer Prajoda di Gianjar dan kemudian ditempatkan di Singaradja. Pada tahun 1940 Abdoel Haris Nasution mendaftar sebagai kadet militer. Pada tahun 1941 sersan Abdoel Haris Nasoetion dan TB Simatoepang dipromosikan untuk mengikuti pendidikan perwira profesional di akademi militer di Bandoeng adalah Abdoel Haris Nasoetion dan TB Simatoepang (lihat Bataviaasch nieuwsbld, 31-03-1941). Dalam tahun ini persiapan menghadapi perang Pasifik, setelah pembekalan Letnan dua Abdoel Haris Nasoetion dari Bandoeng ditempatkan di Soerabaja. Sementara beberapa sersan Prajoda mendapat kenaikan pangkat menjadi letnan dua antara lain I Goesti Ngoerah Rai dan I Goesti Poetoe Wisnoe (lihat De Indische courant, 24-03-1941). Sehubungan dengan semakin memanasnya perang Pasifik beberapa letnan lain ditempatkan di Soerabaja untuk memperkuat pertahanan di Jawa. Pada bulan November 1941 korps Prajoda Letnan I Gusti Ngurah Rai dan Letnan I Goesti Poetoe Wisnoe dipindahkan dari Singaradja ke Soerabaja dan selanjutkan akan ke Magelang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 26-11-1941).

Pada tahun 1941 Letnan I Gusti Ngurah Rai dari Singaradja dipindahkan ke Soerabaja. Pada waktu yang bersamaan Abdoel Haris Nasoetion juga ditempatkan di Soerabaja. Boleh jadi di Soerabaja dua perwira muda ini saling mengenal. Namun tidak lama kemudian terjadi perang Pasifik dan pada tahun 1942 militer Jepang menduduki wilayah Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda menyerah. Untuk menghindari target Jepang, I Gusti Ngurah Rai kembali ke kampong di Bali, sementara Abdoel Haris Nasution kembali ke Bandoeng. Catatan: Bandoeng adalah kota yang sangat dikenal oleh Abdoel Haris Nasoetion. Sebelum mengikuti pendidikan perwira profesional di Akademi Militer Bandoeng, Abdoel Haris Nasoetion sebelumnya pernah mengikuti pendidikan guru (HIK) di Bandoeng.

Pada tahun 1945 militer Jepang menyerah dan kerajaan Jepang menyatakan takluk kepada sekutu. Korps militer Jepang di Indonesia mati langkah. Saat inilah para pemuda revolusioner meminta Soekarno dan Mohamad Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, tidak lama kemudian ketika Sekutu-Inggris melucuti dan mengevakuasi militer Jepang dan membebaskan interniran Eropa-Belanda di Indonesia, NICA-Belanda menyusul di belakangnya memasuki wilayah Indonesia. Terjadilah perang di Batavia. Sementara itu Abdoel Haris Nasoetion telah membentuk pasukan militer di Bandoeng. Menteri Pertahanan (KR) Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap meminta eks KNIL Oerip Soemohardjo membentuk perwira profesional dari kalangan sarjana dengan pangkat Overste (Letkol) di Djogjakarta diantaranya Dr Ibnoe Soetowo, Mr. Kasman, Mr. Arifin Harahap, Dr. Irsan Radjamin, Dr. Willer Hoetagaloeng dan Ir. MO Parlindoengan. Dr Ibnoe Soetowo ke kilang minyak di Tjepoe, Overste Mr. Kasman dan Overste Mr Arifin Harahap ke Djakarta, sementara Overste Ir MO Parlindoengan, ahli teknik kimia lulus Delft ke Soerabaja untuk urusan persenjataan (terutama alat senjata kimia Jepang, seperti bom dan granat). Mr Arifin Harahap adalah adik Menteri Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap; Dr Irsan Radjamin adalah anak wali kota Soerabaja Dr Radjamin Nasoetion.

 

Sebagai respon terhadap pasukan sekutu Inggris dan NICA yang tidak peduli terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lalu Tentara Rakjat Indonesia mengumumkan Proklamasi Perang pada tanggal 13 Oktober 1945 dari Bandoeng dan juga hal yang sama dilakukan Oemat Islam di Djakarta sebagaimana dilaporkan Keesings historisch archief: 14-10-1945. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion di Bandoeng semakin memperkuat pertahanan Indonesia dengan mengarhkan pasukan ke Tjikampek. Sementara itu, pasukan sekutu Inggris pada tanggal 20 Oktober 1945 mendarat di Semarang dan pada tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya. Lalu pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Namun perlawan penduduk (Republiken) terhadap Sekutu-Inggris di Soerabaja semakin menjadi-jadi hingga puncaknya pada tanggal 10 November 1945.

Oleh karena NICA-Belanda semakin menguat di Batavia dan juga ketidakamanan semakin meningkat, Pemerintah Republik Indonesia merasa perlu memindahkan ibukota dari Djakarta ke Djogjakarta. Sebagai Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan korps kementeriannya lebih dulu ke Djogjakarta (sementara Overste Mr Arifin Harahap tetap di Djakarta sebagai komandan pengawal aparatur pemerintah). Di Djogjakarta Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Soeltan Djogja, Letnan Jenderal Oerip dan Kolonel Zulkifli Loebis mulai menyusun desain pertahanan dan organisasi militer Indonesia. Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa dengan mengangkat Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima. Setelah segala sesuatunya jelas di Djogjakarta, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamaad Hatta berangkat ke Djogjakarta pada awal Januaru 1946.

Untuk memperkuat ibu kota Republik Indonesia di Djogjakarta para militer Indonesia di Soerabaja dan Semarang merapat ke Djogjakarta. Dari Semarang antara lain Kolonel TB Simatoepang. Sementara dari Soerabaja mengawal ibu kota RI di Djogjakarta bergerilya di seputar Malang dan Kediri. Pusat pemerintah Kota Soerabaja dipindahkan ke Toeloengagoeng. Salah satu yang merapat ke Djogjakarta adalah ‘anak Bali’ Ktoet Tantri, seorang keturunan Amerika yang lama di Bali dan ikut menyemangati para pasukan di Soerabaja melalui radio (bersama Bung Tomo).

 

Ktoet Tantri yang sudah mengenal Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap di Soerabaja pada era pendudukan Jepang langsung akrab. Mr, Amir Sjarifoeddin Harahap terang-terangan melawan Jepang dengan gerakan bawah tanah termasuk Ktoet Tantri. Keduanya lalu dijebloskan ke kamp militer Jepang di Malang. Boleh jadi Mr Amir Sjarofoedidin Harahap sebagai Menteri Pertahanan di Djogjakarta menanyakan teman lama: ‘Tantri, bagaimana kabar I Gusti Ngurah Rai?’. Tentu saja Ktoet Tantri mengenal  I Gusti Ngurah Rai yang juga ikut menentang Jepang di Soerabaja. ‘Dia dengar-dengar berada di Bali, Bang’ jawab Ktoet Tantri. Mr Amir Sjarifoeddin Harahap lalu meminta Tantri untuk mencari jalan untuk menemukan I Gusti Ngurah Rai agar datang ke Djogjakarta. Boleh jadi permintaan ini muncul karena beberapa hari sebelumnya di bulan Maret Mr Amir Sjarifoeddin Harahap menemui Kolonel Abdoel Haris Nasoetion di Bandoeng (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946). Perang melawan Sekutu-Inggrsi yang kemudian terjadi Bandoeng lautan api. Abdoel Haris Nasoetion sendiri dan I Gusti Ngurah Rai sudah lama saling kenal di Soerabaja semasa KNIL. I Gusti Ngurah Rai segera datang ke Djogjakarta dan bertemu Mr Amir Sjarifoeddin Harahap.

Di Djogjakarta, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang juga turut dihadiri Ktoet Tantri meminta I Gusti Ngurah Rai mempersiapkan pasukan di Djogjakarta yang menyatukan semua republiken yang berasal dari Kepulauan Soenda Ketjil. Dengan pasukan yang berintikan militer asal Soenda Ketjil yang ditambahkan dengan militer yang ada di Jawa yang dipimpin oleh (Kolonel) I Gusti Ngurah Rai untuk segera berangkat ke Bali dalam upaya membendung masuknya NICA Belanda.

Pasukan Sekutu-Inggris sudah memasuki Bali dan Lombok belum lama ini (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 27-03-1946). Tidak lama kemudian NICA-Belanda menyusul masuk Bali dan Lombok (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-03-1946). NICA-Belanda (termasuk pejabat sipil) mendarat di pelaboehan Boeleleng dan pelaboehan Koeta serta pelaboehan Laboehan Tring (kini Pelabuhan Lembar). 

 

Pasukan yang dibawa I Goesti Ngoerah Rai dari Jawa telah memasuki Bali. Konsolidasi pasukan terus dikembangkan di Bali dengan mantan-mantan tentara KNIL yang berasal dari Bali seperti letnan KNIL I Goesti Poetoe Wisnoe dan sersan majoor KNIL  I Goesti Wajan Debes. Sehubungan dengan semakin menguatnya Belanda-NICA di Bali, pasukan tambahan yang berasal dari Jawa yang dikirim Menteri Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dari disbis Oost Java tidak bisa lagi masuk karena patroli Belanda di perairan Bali semakin intens. Surat kabar yang terbit di Soerabaja melaporkan dua kapal yang berasal dari Jawa berhasil di kejar dan ditangkap patroli Belanda di perairan Bali (lihat Nieuwe courant, 26-04-1946). Sementara itu, pasukan tambahan yang dikirim Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang berasal dari divisi West Java berhasil masuk ke Oosr Sumatra dan Tapanoeli. Pasukan ke Sumatra ini dipimpin oleh teman dekat Generaal Majoor Andoel Haris Nasoetion yakni Overste AE Kawilarang yang dibantu oleh Majoor Ibrahim Adji.

Dalam perkembangannya di Djogjakarta, Menteri Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran (yang dipimpin Panglima). Dalam pengumuman ini juga Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan TRI ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.

Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.

Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat di bawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel. Dalam fase reorganisasi ketentaraan ini, pemerintah melakukan proses politik yang berujung pada stuatu perundingan dan perjanjian.

Di Bali, Overste (Luitenant Kolonel) I Gusti Ngurah Rai telah mengkonsolidasikan TRI/TNI. Pasukan Luitenant Kolonel I Gusti Ngurah Rai di Bali ini pasukan yang terpisah dari tujuh divisi di Jawa. Seperti pasukan di Bali, di Sumatra juga dibentuk pasukan-pasukan sendiri-sendiri. Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menunjuk/mengangkat sejumlah perwira menjadi komandan di Sumatra Bagian Utara diangkat Kolonel Simbolon, di Sumatra Bagian Tengah Kolonel Langeh dan di Sumatra Bagian Selatan diangkat Kolonel Barlian. Masing-masing di tiga komando Sumatra ini dibentuk resimen-resimen. Resimen Tapanoeli (komando teritorial Sumatra Bagian Utara) dipimpin oleh Major Maraden Panggabean (kelak menjadi Panglima TNI). Untuk mengkonsolidasikan satuan-satuan yang masih terpisah-pisah di Residentie Soenda Ketjil), pangkat I Gusti Ngurah Rai dinaikkan menjadi kolonel (pangkat komandan teritorial di luar Jawa).

Seperti di wilayah lain di Jawa dan Sumatra, perlawanan TRI di Bali yang dikomandokan oleh I Gusti Ngurah Rai terus berlanjut. Pada tanggal 8 Juli dalam suatu pertempuran di Karangasem tiga Belanda tewas yakni sersan C Brussaard, letnan satu Ch. Klomp dan prajurit AA Meyer (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-07-1946). Tampaknya pasukan di bawah komando Kolonel I Goesti Ngoerah Rai menjadi perhatian bagi Belanda yang lalu meningkatkan patroli dan penyerangan. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya terus bergerilya (lihat Het Parool, 12-08-1946). I Gusti Ngurah Rai terus berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap di Djogjakarta melalui radio. Untuk urusan komando di luar Jawa masih langsung berada di bawah Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap.

Het Parool, 12-08-1946: ‘Guerilla woedt op Bali Partisanen in actie. Pertempuran masih berlangsung di Bali. Sekelompok republiken telah mundur ke pegunungan di bawah kepemimpinan Ngoerah Rai, yang pernah menjadi letnan tentara Hindia Belanda sebelum invasi Jepang, pihak-pihak ini melanjutkan perang melawan pasukan Belanda. Ngoerah Rai berasal dari keluarga kerajaan Melayu. Selama pendudukan Jepang, dia memainkan peran penting dalam perjuangan bawah tanah melawan Nippon. Perilakunya sangat kontras dengan perilaku beberapa raja Bali yang menyediakan tenaga kerja Jepang dan yang secara pribadi mencari gadis-gadis muda di desa untuk mencari rumah bordil tentara Jepang. Ngoerah Rai, yang terus berjuang melawan supremasi Belanda dengan cara yang cerdas dan berani, oleh karena itu sangat tidak dihargai oleh banyak orang. Dengan beberapa ratus orang, termasuk sejumlah orang Jawa dan beberapa orang Jepang, dia melakukan pertempuran gerilya, yang sangat menarik bagi imajinasi. Pada malam hari dia meletakkan ranjau darat di sana-sini di bawah jalan. Telepon lapangan, yang digunakan oleh pos-pos Belanda, disadap oleh kaki tangannya. Kita bahkan harus berasumsi bahwa Ngoerah Rai memiliki pemancar radio yang tetap berhubungan dengan Jawa. Para gerilyawan menyergap yang didahului mereka mencoba untuk memancing patroli KNIL Mengapa orang-orang ini terus berjuang melawan tindakan Tuhan yang pasti akan menghancurkan mereka setelah jangka waktu yang lebih pendek atau lebih lama? Dengan maksud untuk perbekalan mereka, mereka setiap kali dipaksa untuk turun dari pegunungan ke desa-desa yang lebih rendah. Biasanya mereka sepertinya menerima makanan dari penduduk. Mereka melakukan ini karena takut! kata mereka dari pihak Belanda. Tetapi bagaimana gerilyawan Belanda di zaman Jepang jarang mendapat bantuan, tetapi sering diekstradisi ke Jepang? Saat ini juga sering terjadi bahwa penduduk memiliki otoritas Belanda atau raja yang bekerja sama dengan kami diperingatkan ketika gerilyawan republik terlihat di daerah tersebut. Tapi Ngurah Rai dan anak buahnya tidak akan bisa bertahan lama jika mereka tidak bisa mengandalkan simpati dari sebagian penduduk. Bantuan dari desa-desa ini rupanya memberi mereka dukungan moral yang kuat. Penting bagi Republik untuk melanjutkan perjuangan di Bali, karena terus berusaha untuk membuktikan bahwa revolusi republik bukanlah masalah yang terbatas di Jawa. Oleh karena itu, di Java semua anak muda dari Kepulauan Soenda Ketjil dikumpulkan dalam sebuah unit militer. Orang-orang ini berseragam dan dalam kegelapan malam mereka mencoba untuk menempatkan mereka di seberang Selat Bali dengan garis pantai yang panjang membuat upaya seperti itu sulit dicegah. Sementara itu, Pemerintah Nasional di Bali melakukan segala upaya untuk mendamaikan kontradiksi dan menjelaskan kepada penduduk bahwa memaksakan hasil politik melalui perang saudara dan kekerasan, dapat diperoleh melalui konsultasi yang wajar sama sekali tidak berguna. Dua kesulitan ditemui disini. Kita harus berusaha mengatasi kecurigaan penduduk, sementara pada saat yang sama harus dilakukan upaya untuk mencegah pasukan KNIL, khususnya orang Ambon, untuk menuruti semangat menjaga perdamaian dan ketertiban. hingga tindakan yang memancing kemarahan penduduk alih-alih menenangkannya’.

Dalam suatu operasi militer yang dilancarkan KNIL di Bali, diberitakan Kolonel I Goesti Ngoerah Rai gugur (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-11-1946). Disebutkan I Goesti Poetoe Wisnoe gugur dalam pertempuran tanggal 20 November dan juga kepala stafnya I Goesti Poetoe Wisnoe. Perlawanan TRI di Bali berakhir sudah.

Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-11-1946: ‘De bende-overval. De toest op Bali. Sehubungan dengan apa yang sudah diberitakan tentang pertemuan di Bali, kami juga mengambil dari surat kabar Bali en Lombok Bode, bahwa kelompok perlawanan yang melakukan penggerebekan di Tabanan pada tanggal 18 malam 19 yang dipimpin oleh seorang mantan sersan majoor Prajoda, I Goesti Wajan Debes. Pada Rabu pagi tanggal 20 direncanakan operasi yang sebelumnya dilancarkan terhadap wilayah Marga-Ole dan Kloengkoeng. Menurut laporan dari dinas informasi, pusat kegiatan perlawanan tersebut. kelompok yang terkonsentrasi disana benar-benar dihancurkan. Diantara yang gugur adalah komandan organisasi perlawanan bersenjata di Bali, mantan letnan Prajoda I Goesti Ng Rai dan kepala stafnya, I Goesti Poetoe Wisnoe yang juga mantan letnan Prajoda. Selanjutnya I Goesti Wajan Debes juga. Komandan pasukan KNIL, Majoor JBT Koenig menyatakan kepuasannya dan menyatakan bahwa dengan hal tersebut keamanan Bali merupakan langkah maju yang penting’.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kolonel I Goesti Ngoerah Rai bersama pasukannya sangat heroik. Kemarahan KNIL bermula ketika I Goesti Wajan Debes melakukan serangan terhadap pos militer Belanda atas bantuan seorang KNIL Wagimin yang kemudian merampas semua persenjataan di pos tersebut pada tanggal 18 malam tanggal 19  (lihat Nieuwe courant, 03-12-1946). Esoknya komandan KNIL meminta bantuan pesawat terbang untuk mengidentifikasi markas para kelompok perlawanan pada siang hari. Lalu teridentifikasi diantara Marga Ole dan Kloengkoeng. Selanjutnya operasi dilakukan pada tanggal 20 November. Operasi ini kemudian menyebabkan tewasnya 96 orang termasuk lima eks tentara Jepang.

Nieuwe courant, 03-12-1946: ‘Pada malam tanggal 18-19 November, terjadi pengkhianatan di Tabanan, yang semakin mendesak perlunya diakhirinya tindakan terhadap kelompok perlawanan tersebut. Pengkhianatan ini terjadi sebagai berikut: Malam itu seorang Jawa yang menjadi komandan pos jaga Wagimin, sekitar pukul dua dia patroli dengan seorang polisi. Ketika dia kembali sendirian, lima belas menit kemudian, dia dibiarkan lewat oleh penjaga yang mengenalinya. Wagimin mula-mula berjalan langsung menuju penjaga, tetapi pada saat terakhir dia melangkah ke samping, dan pada saat yang sama karabin diarahkan ke penjaga oleh seorang pria yang mengikuti di belakang Wagimin. Setelah penjaga tersebut berhasil dilucuti, pasukan perlawanan memasuki pos. Penjaga segera ingin mengambil senjata ke pos, tetapi hal ini dicegah oleh Wagimin, yang mengatakan bahwa mereka itu adalah pasukan KNIL yang masuk. Setelah semua senjata dikumpulkan para kelompok perlawanan pergi. Sebagai rampasan mereka mengambil dan membawa 1 bren, 2 senapan mesin ringan, 33 karabin, sekitar 10.000 butir peluru dan 16 granat tangan...Segera pasukan kami melakukan kontak dengan para pasukan perlawanan, yang meluncurkan tembakan ganas dan perlawanan sengit di berbagai sektor. Pesawat Pipercub terus beraksi di udara untuk mengiformasikan posisi dan pergerakan musuh. Sekitar pukul dua orang-orang yang dikepung mencoba menerobos ke arah utara, tetapi upaya ini gagal...Setelah itu pasukan kami diberi perintah untuk meningkatkan kecepatan agar dapat mengambil tindakan sebelum matahari terbenam. Area pengepungan semakin dipersempit untuk menjaga lawan tidak meloloskan diri...Tidak ada satu pun lolos hingga tembakan terakhir dilakukan pada pukul lima dan beberapa saat kemudian pengkhianat Wagimin ditemukan bersembunyi dengan lengan yang terluka, lalu seluruh yang tewas diidentifikasi. Sebanyak 96 mayat ditemukan di medan perang, termasuk komandan TRI dengan kepala stafnya dan lima orang Jepang. Setelah diidentifikasi, ternyata Jepang telah mengadopsi nama Bali. Nama-nama putra Nippon ini adalah: Sarki Kataoka, Hisatoshi Matsui, Yoneharu Takagi. Mereka memakai naa Bali sebagai berikut: Boeng Slamet, Wajan Soekra dan Ketoet. TRI yang gugur pemimpin dan kepala stafnya adalah: I Goesti Ngoerah Rai dan I Goesti Poetoe Wisnoe, keduanya mantan letnan Prajoda. Senjata yang disita: 5 senapan mesin, 47 karabin dan serang, 4 pistol dan revolver serta 1 stenngun. Kerugian pasukan kami, seperti yang telah kami laporkan adalah 2 orang luka berat dan 2 orang luka ringan. Yang terluka parah adalah Kapten Hesterman dari MP Soerabaja, yang sekarang sudah keluar dari bahaya dan sersan JJ den Outer. Seluruh aksi operasi dilakukan oleh para KNIL terdiri dari orang Eropa, Ambon, dan Prajoda (Bali) yang telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan laporan resmi. Ketertiban dan perdamaian di Bali kini telah sepenuhnya pulih’.

Dari laporan resmi tersebut, terkesan pertempuran tersebut telah melampaui batas yang dapat dikatakan sebagai pembantaian. Sebab ada perintah yang menyatakan bahwa operasi harus dipercepat jangan sampai malam tiba dan tidak boleh satupun yang lolos dari pengepungan. Apakah tanda menyerah dari sisa pasukan perlawanan yang tidak berdaya telah diabaikan komandan KNIL Bali? Jika itu yang terjadi, perang terakhir di Bali adalah suatu pembantaian (96 tewas vs dua luka).

Bagaimana itu dapat dikatakan suatu pembantaian itu bermula dari kunjungan Residen dan komandan militer Bali en Lombok ke Batavia (lihat Nieuwe courant,    23-09-1946). Dalam kunjungan mereka ke Djakarta (Batavia) diputuskan untuk memperkuat pasukan di Bali sehingga ketertiban dan kepastian hukum dapat terjamin secara memadai dan akan menjamin pemurnian unsur-unsur penghambat dapat berjalan lamcar. Tampaknya ada maksud pemerintah untuk menetapkan tempat konferensi Indonesia Timur di Denpasar. Oleh karena itu, harus dijadikan pemurnian unsur-unsur penghambat yang dalam hal ini pasukan TRI yang dipimpin oleh I Goesti Ngoerah Rai. Dalam penyerangan yang menyebabkan pembantaian tersebut terkesan tidak wajar karena untuk medan perang yang terbatas harus melibatkan pesawat untuk pengintaian. Suatu yang berlebihan, kecuali jika memang ada maksud untuk mempercepat proses penghabisan (pemurnian).

Setelah terjadinya pembantaian terhadap pasukan yang dipimpin oleh I Goesti Ngeorah Rai, segera muncul pengumuman pemerintah akan menyelenggarakan konferemsi Indonesia Timur di Denpasar. Konferensi ini dalam pembentukan negara Indonesia Timur. Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 27-11-1946 melaporkan bahwa dalam beberapa minggu ke depan akan diadakan konferensi yang dihadiri Letnan Gubernur Jenderal (JH van Mook) dan 75 perwakilan dari seluruh Indonesia timur. Kantor pusat konferensi akan dipersiapkan di Bali Hotel.

I Goesti Poetoe Wisnoe setelah menyelesaikan HIS di Denpasar melanjutkan studi ke Soerabaja. I Goesti Poetoe Wisnoe lulus ujian MULO Soerabaja (lihat De Indische courant, 31-05-1935). Siswa asal Bali yang juga lulus ujian masuk bersama I Goesti Poetoe Wisnoe adalah I Bagoes Oka, I Bagoes Poetoe Arta, Gde Soedane, Tjoh. Ngoerah Soekawati, Ktoet Pindrang, Anak Agoeng Made Djelantik, Dewa Gde Raka, I Made Taman dan Ni Wajan Gedong. Seperti disebut di atas, I Gusti Ngurah Rai lulus MULO di Malang pada tahun 1933. Dalam hal ini I Gusti Ngurah Rai lebih senior dari I Goesti Poetoe Wisnoe. Meski mereka sama-sama masuk militer di era kolonial Belanda (dengan pangkat terakhir letnan dua), pada era Republik Indonesia pangkat mereka dibedakan satu tingkat. Kolonel dan Letnan Kolonel.

 

Sementara itu, Anak Agoeng Made Djelantik setelah lulus MULO Soerabaja melanjutkan pendidikan ke AMS Djogjakarta dan lulus pada tahun 1838 yang kemudian berangkat studi ke Belanda (di bidang kedokteran). Anak Agoeng Made Djelantik menyelesaikan studinya dengan gelar dokter pada tahun 1946 dan langsung pulang ke Bali. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-09-1946 memberitakan bahwa Dr. AA Made Djelantik pada tanggal 11 ini tiba di Koeta. AA Made Djelantik adalah putra kedua pemimpin Karangasem, didampingi istri muda Hollandsche.

 

Dua lulusan MULO Soerabaja pada tahun 1935 kini memiliki haluan yang berbeda. Letnan Kolonel I Goesti Poetoe Wisnoe sedang berjuang melawan Belanda di Tabanan, Dr. AA Made Djelantik tiba di Bali dengan istri seorang Belanda. Tentu saja kehadiran Belanda-NICA di Bali akan didukung oleh Dr. AA Made Djelantik (paling tidak dia memiliki istri seorang Belanda). Lantas bagaimana dengan I Goesti Ngoerah Rai? Yang jelas I Goesti Ngoerah Rai bersama dengan I Goesti Poetoe Wisnoe di Medan Perang (di Tabanan). Antara kerabat Djelantik dan kerabat Rai berseleisih sejak 1906. Kakek Dr. AA Made Djelantik adalah I Goesti Ktoet Djelantik (pahlawan Bali asal Boeleleng).

Setelah berakhirnya Belanda (pengakuan kedaulatan Indonesia) kepahlawanan I Goesti Ngoerah Rai menjadi sangat terkenal. Pada tahun 1957 gugurnya I Goesti Ngoerah Rai diperingati oleh TNI di Bandoeng (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 21-11-1957). Sebelumnya Menteri Pendidikan Prof. Dr. Prijono  menyebutkan akan membuat sejarah Indonesia yang memuat nilai-nilai sejarah bangsa , sejarah pahlawan nasional seperti I Goesti Ngoerah Rai dan lainnya (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 14-11-1957).

Pada tahun 1969 nama I Goesti Ngoerah Rai ditabalkan sebagai nama bandara yang baru direnovasi di Badoeng. Lapangan terbang ini sebelunya dikenal dengan nama lapangan terbang Toeban yang dibangun pada tahun 1930. Bandara I Goesti Ngoerah Rai di Denpasar, Badoeng kini menjadi badara internasional. Pada tahun 1975 Pemerintah Republik Indonesia menetapkan I Gusti Ngurah Rai sebagai pahlawan nasional dan I Gusti Ketut Jelantik sebagai pahlawan nasional ditetapkan pada tahun 1993. Lantas apakah dengan akan dibangunnya bandara di Buleleng namanya akan ditabalkan nama I Gusti Ketut Jelantik?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar