Kamis, 27 Agustus 2020

Sejarah Manado (11): Sam Ratulangi, Sang Legenda di Sulawesi Utara; Riwayat Dua Dokter Hewan Sorip Tagor dan JA Kaligis

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Nama Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi yang disingkat Sam Ratulangi di Sulawesi Utara sangat dikenal dan melekat. Paling tidak nama Sam Ratulangi ditabalkan pada dua situs penting yakni Universitas Sam Ratulangi dan Bandara Sam Ratulangi. Namun tentu saja n nama Sam Ratulangi tidak hanya dikenal di Sulawesi Utara, paling tifak nama Sam Ratulangi juga dikenal di kota-kota lain sebagai nama jalan. Di Medan Sumatera Utara, jalan Sam Ratulangi menghubungkan jalan KH Agus Salim dan Cut Nyak Dien. Di Manado Sulawesi Utara jalan Sisingamangaraja menghubungkan jalan Hasanuddin dan jalan Lembong. .

Pada masa lampau sebelum nama Sam Ratulangi populer, ada dua nama terkenal yakni JA Kaligis dan Sorip Tagor. JA Kaligis lahir di Kakas, Minahasa Sulawesi Utara, sementara Sorip Tagor lahir di Padang Sidempuan, Angkola, Sumatra Utara. Sayang, tidak ada nama jalan JA Kaligis di Kakas apalagi di Manado. Idem dito tidak ada nama jalan Sorip Tagor di Padang Sidempuan apalagi di Medan. Namun untungnya, masih ada yang mengenal nama JA Kaligis di Manado. Nama Sorip Tagor sama sekali tidak dikenal di Medan, karena Sorip Tagor adalah BTL (seumur-umur tidak pernah ke Medan). Sorip Tagor adalah ompung (kakek buyut) dari artis Inez/Risty Tagor.

Bagaimana sejarah Sam Ratulangi? Tentu saja sudah banyak ditulis. Namun sejarah adalah sejarah. Itulah menariknya sejarah. Sejarah adalah narasi fakta dan data. Sejauh data belum berhenti, penulisan (studi) sejarah juga tidak pernah berhenti, lebih-lebih pada awal periode. Para sejarawan dituntut untuk memiliki kemampuan analisis, paling tidak dalam hal menemukan relasi satu sama lain dalam sejarah. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan, semua muncul tidak secara tiba-tiba (random). Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 26 Agustus 2020

Sejarah Manado (10): Dr Philip Laoh, Orang Minahasa Pertama Studi ke Negeri Belanda; Indische Vereeniging dan Soetan Casajangan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini 

Dalam sejarah (awal) kebangkitan bangsa, tentu saja nama Philip Laoh cukup dikenal. Hal ini karena Philip Laoh adalah salah satu anggota organisasi mahasiswa pribumi di Belanda (Indische Vereeniging). Philip Laoh memulai pendidikan di sekolah kedokteran Batavia (Docter Djawa School).

Ketika jumlah mahasiswa pribumi sudah cukup banyak di Beland, Soetan Casajangan menginisiasi pembentukan organisasi mahasiswa trans-nasional sehubungan dengan bergesernya misi Boedi Oetomo dari organisasi bersifat nasional menjadi organisasi bersifat kedaerahan (hanya terbatas di Jawa, Madura, Bali dan Lombok). Gagasan ini disambut baik semua mahasiswa asal Hindia Belanda di Belanda. Bertempat di tempat kediaman Soetan Casajangan, rapat umum yang dipimpin Soetan Casajangan dan sekretaris Hoesein Djajadinigrat sepakat membentuk organisasi yang diberi nama Indische Vereeniging. Lalu secara aklamasi rapat mengangkat Soetan Casajangan sebagai ketua (yang kemudian mengangkat Raden Soemitro sebagai sekretaris, orang yang mengirimkan undangan ke semua mahasiswa pribumi). Pada tahun 1921 Dr Soetomo dkk mengubah Indische Vereeniging dengan nama Indonesiasche Vereeniging yang kemudian pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah lagi nama Indische Vereeniging dengan nama Perhimpoenan Indonesia.

Lantas bagaimana kiprah Philip Laoh sebelum dan sesudah bergabung dengan Indische Vereeniging? Yang jelas nama Philip Laoh sangatlah penting dalam kebangkitan bangsa khsusunya dalam bidang pendidikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Manado (9): Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama Indonesia dan Doktor Perempuan Pertama Ida Loemongga (1930)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini 

Dalam dunia kesehatan dan kedokteran Indonesia, nama Marie Thomas sangat terkenal. Marie Thomas adalah perempuan pribumi pertama yang memasuki pendidikan kedokteran. Marie Thomas diterima di sekolah kedoktera STOVIA di Batavia pada tahun 1912. Dari puluhan mahasiswa STOVIA, hanya Marie Thomas seorang diri perempuan.

Pada tahun 1903 seorang gadis muda, siswa di sekolah guru (kweekschool) Fort de Kock harus meninggalkan pendidikannya karena seorang pemuda yang baru ditempatkan di Padang melamarnya. Gadis muda tersebut bernama Alimatoe Saadi’ah. Sedangkan pemuda tersebut bernama Haroen Al Rasjid, dokter baru lulusan sekolah kedokteran di Batavia (Docter Djawa School). Alimatoe Saadi’ah sebelum mengikuti sekolah guru adalah lulusan sekolah Eropa (ELS) di Padang, perempuan pribumi pertama yang mendapatkan pendidikan Eropa. Alimatoe Saadi’ah adalah putri seorang pengusaha persuratkabaran di kota Padang.

Lantas bagaimana kelanjutan studi Marie Thomas? Sebagai satu-satunya perempuan di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia tentu sangat menarik untuk diketahui. Tidak hanya itu, untuk diterima di STOVIA tidaklah mudah—karena harus pintar dan bersedia ditempatkan dimana pun setelah lulus menjadi dokter. Okelah, seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 25 Agustus 2020

Sejarah Manado (8): Sejarah Keberadaan Inggris di Manado; Orang Ternate Merebut Residentie Manado dari Inggris Tahun 1797

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Tidak hanya Spanyol dan Belanda pernah berkuasa di Manado, tetapi juga Inggris. Meski tidak selama Belanda, kehadiran Inggris di Manado tetap menarik untuk dipelajari. Seperti halnya Belanda, Inggris juga pernah berkuasa di berbagai tempat di wilayah Hindia Timur. Kekuasaan Inggris yang terbilang signifikan terjadi di (pulau) Jawa pada tahun 1811 hingga 1816. Dalam kaitan inilah Inggris pernah berkuasa di Manado.

Pada dasarnya Belanda memiliki banyak musuh. Musuh sesama Eropa adalah Portugis, Spanyol, Inggris dan Prancis. Tentu saja dengan kerajaan-kerajaan pribumi. Namun musuh abadi Belanda adalah Inggris. Kedua kerajaan adidaya ini saling kejar-kejaran untuk menguasai Hindia Timur. Penguasaan Jawa oleh Inggris merupakan cacat besar bagi Belanda. Namun ada waktunya Belanda dan Inggris akur, ketika pasukan Sekutu-Inggris memberi jalan bagi NICA-Belanda (1945/1946) yang merupakan cacat besar bagi orang Indonesia (yang sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945).

Kehadiran Inggris kali pertama di Manado pada bulan Maret 1797. Dalam Daghregister 6 Desember 1797 disebutkan bahwa Residentie Manado diambil orang Ternate dari Inggris. Bagaimana bisa? Ini tentu menarik karena tidak pernah terungkap dalam sejarah. Sejarah hanya mencatat ketika Thomas Matulesia (Pattimoera) dari Saparoea menyerang Belanda tanggal 15 Mei 1817 di Fort Duustede setahun setelah penyerahan Inggris kepada Belanda. Thomas Matulesia sebelumnya adalah milisi Inggris dengan pangkat Sersan Mayor. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Manado (7): Alifuru, Sombaopoe di Gowa dan Sejarah Awal Penyiaran Agama di Sulawesi Utara; Pagan, Islam dan Kristen

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Wilayah Sulawesi Utara pada dasarnya meliputi Gorontalo, Minahasa dan kepulauan. Wilayah ini pada masa lampau terhubung dengan Ternate (belakangan dengan Macassar). Dalam konteks inilah ditemukan penduduk memiliki kepercayaan tradisional yang disebut Alifuru sehubungan dengan munculnya pedagang-pedagang Islam (Melajoe) di Ternate dan di Sombaopoe (Gowa Macassar).

Dalam sejarah lebih tua di nusantara, penyebaran Hindoe-Boedha masih menyisakan penduduk yang memiliki kepecayaan sendiri-sendiri (pagan). Ketika Islam mengkoversi Hindoe-Boedha juga masih menyisakan Hindoe (Bali) dan pagan. Di Bali sendiri masih menyisakan pagan (Bali-Aga) dan di Lombok dan Soembawa (Bodha). Di berbagai tempat di wilayah Timor pagan dikoversi menjadi Islam oleh Macassar dan Katolik oleh Portugis serta di utara Minahasa pagan dikonversi Katalik oleh Spanyol (Filipina). Sisa penduduk pagan yang belum beragama ini disebut dengan nama umum kepercayaan Alifuru (termasuk Bali Aga dan Bodha). Lantas mengapa masih tersisa Alifuru di Minahasa sementara pengaruh Islam sudah menguat di Gorontalo?

Lantas bagaimana sejarah awal penyebaran agama-agama di Sulawesi bagian utara? Sejumlah penulis Belanda penduduk Minahasa masih pagan (Alifuru) ketika pedagang-pedagang Islam (dari Ternate dan Macassar) dan pelaut-pelaut Eropa (Portugis, Spanyol dan Belanda) sudah berada di pantai-pantai. Dalam situasi dan kondisi inilah pengaruh Kristen dan Islam memasuki pedalaman Minahasa. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 24 Agustus 2020

Sejarah Manado (6): Kiai Maja di Minahasa dan Sentot Ali Basya ke Padang; Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol, 1837

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini 

Dalam sejarah Manado dan sejarah awal Minahasa paling tidak ada tiga tokoh pribumi yang penting, yakni Kiai Madja, Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bondjol. Tiga tokoh ini diasingkan ke Manahasa. Kiai Madja dan Pangeran Diponegoro berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830) dan Tuanku Imam Bondjol berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra (Perang Padri 1822-1837).

Pada tanggal 12 November 1828, Kiai Modjo dan para pendukung ditangkap di Sleman. Sebagai tahanan Kiai Modjo diinternir ke Batavia, Kiai Modjo sempat meminta kepada mantan anak dididiknya Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basya untuk menyerah saja karena satu alasan: Pemerintah Hindia Belanda tidak bermaksud memerangi agama. Pesan ini tampaknya diikuti Sentot Ali Basya tetapi tidak oleh Pangeran Diponegoro. Kiai Modjo kemudian diasingkan ke Ambon yang kemudian dipindahkan ke Tondano, Minahasa. Seentara itu, Sentot Ali Basya yang sudah bekerjasaa dengan Pemerintah Hindia Belanda dikirim ke pantai barat Sumatra untuk membantu militer dala memerangi kaum padri. Pangeran Diponegoro akhirnya berhasil ditangkap dan diasingkan ke Manado--yang menurut berbagai tulisan--tiba tanggal 12 Juni 1830. Sentot Ali Basya di pantai barat kemudian membelot untuk membantu pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol. Setelah Tuanku Imam Bondjol ditangkap tahun 1837 lalu dibuang ke Tjiandjoer kemudian dipindahkan ke Ambon dan selanjutnya dipindahkan ke Minahasa.

Lantas mengapa tokoh-tokoh pejuang melawan Pemerintah Hindia Belanda ini diasingkan ke Manado, Minahasa? Apakah Minahasa tempat terasing? Tentu saja tidak, karena kehadiran Belanda di Manado dan Minahasa sudah sejak lama, sejak era VOC. Namun demikian menarik untuk mempelajari hubungan tokoh-tokoh pejuang tersebut dengan Manado dan Minahasa. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.