Senin, 24 Agustus 2020

Sejarah Manado (6): Kiai Maja di Minahasa dan Sentot Ali Basya ke Padang; Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol, 1837

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini 

Dalam sejarah Manado dan sejarah awal Minahasa paling tidak ada tiga tokoh pribumi yang penting, yakni Kiai Madja, Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bondjol. Tiga tokoh ini diasingkan ke Manahasa. Kiai Madja dan Pangeran Diponegoro berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830) dan Tuanku Imam Bondjol berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra (Perang Padri 1822-1837).

Pada tanggal 12 November 1828, Kiai Modjo dan para pendukung ditangkap di Sleman. Sebagai tahanan Kiai Modjo diinternir ke Batavia, Kiai Modjo sempat meminta kepada mantan anak dididiknya Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basya untuk menyerah saja karena satu alasan: Pemerintah Hindia Belanda tidak bermaksud memerangi agama. Pesan ini tampaknya diikuti Sentot Ali Basya tetapi tidak oleh Pangeran Diponegoro. Kiai Modjo kemudian diasingkan ke Ambon yang kemudian dipindahkan ke Tondano, Minahasa. Seentara itu, Sentot Ali Basya yang sudah bekerjasaa dengan Pemerintah Hindia Belanda dikirim ke pantai barat Sumatra untuk membantu militer dala memerangi kaum padri. Pangeran Diponegoro akhirnya berhasil ditangkap dan diasingkan ke Manado--yang menurut berbagai tulisan--tiba tanggal 12 Juni 1830. Sentot Ali Basya di pantai barat kemudian membelot untuk membantu pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol. Setelah Tuanku Imam Bondjol ditangkap tahun 1837 lalu dibuang ke Tjiandjoer kemudian dipindahkan ke Ambon dan selanjutnya dipindahkan ke Minahasa.

Lantas mengapa tokoh-tokoh pejuang melawan Pemerintah Hindia Belanda ini diasingkan ke Manado, Minahasa? Apakah Minahasa tempat terasing? Tentu saja tidak, karena kehadiran Belanda di Manado dan Minahasa sudah sejak lama, sejak era VOC. Namun demikian menarik untuk mempelajari hubungan tokoh-tokoh pejuang tersebut dengan Manado dan Minahasa. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kiai Madja Diasingkan di Minahasa

Kiai Madja setelah ditangkap 12 November 1828 dalam perkembangannya diinternir ke Batavia. Kiai Madja meminta Pangeran Diponegro dan Sentot Ali Basya untuk menyerah saja karena menurutnya Pemerintah Hindia Belanda tidak berperang dalam konteks agama. Surat Kiai Madja, sebagai mediasi yang dikirimkan dari Batavia kepada Pangeran Diponegoro untuk berdamai dijawab dengan negatif (lihat Drentsche courant, 07-07-1829). Untuk mengejar batas waktu ultimatum tanggal 6 April, Residen Djogjakarta Kolonel Nahuys melakukan komunikasi dengan Pangeran Diponegro.

Kolonel Nahuys adalah Residen pertama di Soeracarta. Sehubungan dengan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Djogjakarta, Nahuys dipindahkan ke Djogjakarta. Saat permulaan pemerintahan di Djogjakarta inilah terjadi perlawanan yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro. Paralel dengan di Djogjakarta, wilayah Manado (Minahasa) dipisagkan dari Residentie Ternate dan kemudian dibentuk Residentie Manado en Gorontalo pada tahun 1824 berdasarkan surat keputusan Peerintah Hindia Belanda tangga 12 Juni 1824 No. 1 (Staatsblad No 28a). Beberapa tahun sebelumnya, pasca pendudukan Inggris (1819) Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di pantai barat Sumatra dengan ibu kota di Tapanoeli (sementara Inggris masih memiliki pengaruh di Padang). Lalu pada tahun 1821 mulai bentrok antara militer Belanda dengan pasukan Padri di Pagaroejoeng. Setelah Traktat London 1824 (tukar guling antara Bengkoeloe dan Malaka) ibukota Residentie Sumatra’s Wesrkust dipindahkan ke Padang. Sejak itu perselisihan antara Pemerintah Hindia Belanda dan kaum Padri terus meningkat).

Namun komunikasi ini deadlock. Pangeran Diponegoro menyatakan bahwa dia sama sekali tidak menginginkan campur tangan Kiai Modjo. Sementara itu dua saudara dari pemberontak terkenal Mangkoe Diningrat sekarang telah menyerah, dan Ali Bassa sudah melakukan diskusi dengan Jenderal de Koek (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 28-07-1829).

Pada bulan Februari isyarat Pangeran Diponegoro sudah ada (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 03-07-1830). Disebutkan Jenderal de Kock dan kemudian Gubernur Jenderal van den Bosch akan ke Jawa. Dalam berita ini juga disebutkan Sentot yang masih muda telah menyatakan dirinya sepenuhnya mendukung pemerintah Hindia Belanda, dan telah menawarkan dirinya untuk pergi dengan pasukan Hindia Belanda ke Banca. Dalam berita ini juga disebutkan bahwa Kiai Madja telah dikirim ke Ambon.

Kapan Kiai Madja dikirim ke Ambon tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan berita-berita yang ada diperkirakan setelah akhir tahun 1829 dan sebelum bulan Februari 1830. Diduga setelah keberangkatan ke Ambon, semua peninggalan Kiai Modja dilelang (lihat Javasche courant, 23-02-1830). Disebutkan akan dilakukan lelang di Djocjokarta, pada awal bulan berikutnya, senjata yang dirampas pada tanggal 12 November 1828 saat ditangkap Kiai Modjo, berupa berbagai macam kris yang disepuh emas, perak dan swassa.

Nama Pangeran Diponegoro, Kiai Madja dan Sentot Ali Basya begitu terkenal. Tidak hanya di Hindia Belanda tetapi juga di Belanda. Pada bulan Februari 1831 lukisan ketiganya dibuat dalam bentuk cetakan dan beredar di Belanda (lihat Nederlandsche staatscourant,             14-02-1831). Disebutkan cetakan itu atas nama Mayor de Stuers, Ajudan Letnan Jenderal de Koek diproduksi oleh CG Sulpke, Amsterdam.

Dalam perkembangannya, Kiai Madja dan 62 orang pengikutnya dipindahkan dari Ambon ke Manado. Namun tidak lama kemudian Kiai Madja dan pengikutnya direlokasi ke Tondanio (Minahasa) sehubungan dengan akan diasingkannya Pangeran Diponegoro ke Manado. Pangeran Diponegoro sudah berada di benteng Menado, kota dimana Residen Pietermaat berkedudukan (lihat Journal de La Haye, 31-05-1831).

Tidak diketahui secara pasti kapan Kiai Madja dan pengikutnya dipindahkan dari Ambon ke Manado, dan juga tidak diketahui secara pasti kapan mereka dipindahkan dari Manado ke Tondano. Juga tidak diketahui secara pasti kapan Pangeran Diponegro tiba di Manado. Hanya disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro diangkut dari Celebes (Makassar) dengan kapal korvet Pollux ke Manado yang didampingi oleh Ajudan Gubernur Jenderal, Knaele, seorang perwira yang tergabung dalam kru korvet bahwa ajudan ini telah mendapatkan kepercayaan penuh dari Diponegoro yang akan menghabiskan seluruh hari bersamanya untuk mengumpulkan keterangan penting yang tidak diketahui pada peristiwa-peristiwa yang mendahului dan menyertai perang terakhir ini. Juga disebutkan perwira muda ini memiliki bakat luar biasa jika berhubungan dengan penduduk pribumi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Minahasa: Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bondjol

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar