Selasa, 06 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (8): Sejarah Batubara di Kalimantan (1850); Produksi, Konsumsi dan Perdagangan Batubara (Inggris vs Belanda)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Timur di blog ini Klik Disini

Pada masa ini pertambangan batubara di Indonesia terdapat di berbagai tempat seperti Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Kalimantan Timur. Namun itu di masa lampau semua bermula dengan penemuan batubara di Solok dan Kalimantan Timur. Saat itu perdagangan batubara dunia dikuasai oleh Inggris (bahkan untuk kebutuhan konsumsi Belanda berasal dari pedagang-pedagang Inggris).

Pada tahun 1840 Gubenur Jenderal Pieter Merkus mengirim seorang geolog Jerman FW Jung Huhn ke Tanah Batak. FW Jung Huhn yang sudah beberapa waktu di Padang Lawas (Tapanoeli) ruang lingkup tugasnya diperluas hingga ke selatan danau Singkarak. Temuan batubara di Solok oleh FW Hung Huhn kemudian ditindaklanjuti oleh seorang geolog WH de Greve untuk melakukan studi lebih lanjut untuk mengeksploitasi pertambangan batubara di Ombilin. WH de Greve memulai pekerjaannya berdasarkan kajian awal yang dialkukan oleh C. de Groot van Embden. Dalam perkembangannya diketahui batubara Ombilin tidak hanya menyimpan deposit batubara yang sangat banyak, juga kualitasnya berada di atas kualitas batubara monopoli Inggris selama ini.

Lantas bagaimana awal mula penemuan batubara di (pulau) Kalimantan? Itu bermula dari laporan pedagang Inggris di pantai timur Kalimantan (pedagang Inggris yang sukses di Lombok, GP King). Secara diam-diam pedagang-pedagang Inggris telah menggunakan untuk kebutuhan mereka sebelum kapal-kapal uap Belanda menggunakannya. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Namun bagaimana permulaan itu dicatat? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 05 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (7): Kesultanan Brunei dan James Brooke di Pantai Utara, Antara Belanda dan Inggris; Sarawak dan Sabah

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Barat di blog ini Klik Disini 

Pada masa ini Brunei adalah suatu negara kerajaan (Brunei Darussalam). Suatu negara yang terpisah dari negara bagian Sabah dan Sarawak (Malaysia). Tiga teritorial di bagian utara dipisahkan dari pulau Borneo (Kalimantan) yang sejak lampau menjadi wilayah yurisdiksi Belanda (VOC) menjadi wilayah yurisdiksi Inggris. Itu bermula dari kehadiran seorang pedagang Inggris James Brooke (setelah keluarganya gagal di Tapanoeli).

Perseterusn antara Belanda (VOC di Batavia) dan Inggris (yang berpusat di Calcutta, India) di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) tidak pernah berujung sejak masa lampau. Dua belah pihak saling menggantikan di kota-kota pantai di pantai barat Sumatra. Wilayah yurisdiksi masing-masing menjadi mengerucut dimana Inggris hanya terbatas di Bengkolen dan selebihnya (minus Atjeh) adalah Belanda. Namun demikian pedagang-pedagang Inggris tetap memiliki kuasa di banyak kota-kota di pantai barat Sumatra termasuk (teluk) Tapanoeli. Pada tahun 1824 dilakukan perundingan antara Belanda dan Inggris yang menghasilkan perjanjian (Traktat London 1824) yang mana dilakukan tukar guling antara Bengkoelen (Inggris) dan Malaka (Belanda). Sejak Inggris mulai mencengkeram di Panang dan Singapoera plus dengan akusisi Malaka, Inggris secara perlahan mulai menguasai semenanjung Malaka. Pada fase ini seluruh wilayah pulau Borneo (Kalimantan) berada di dala yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda. Terusirnya pedagang-pedagang Inggris dari pantai barat Sumatra dan semakin menguatnya kedudukan Inggris di Semenanjung Malaka (dan hubungan politik yang kuat antara Inggris dan China) membuka peluang bagi seorang penjelajah Inggris James Brooke menggerogoti wilayah Borneo (Kalimantan) dari Belanda.

Bagaimana sejarah pantai utara Kalimantan khususnya Brunei? Yang jelas dari sudut pandang Indonesia (baca: Hindia Belanda) sejarah Brunei plus Sarawak dan Sabah (kini Malaysia) tidak terpisahkan dengan sejarah Kalimantan (Indonesia). Perseteruan Inggris dan Belanda di masa lampau menyebabkan wilayah-wilayah yang bertetangga (jiran) enjadi terpisah. Bagaimana semua itu berlangsung di masa lampau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 04 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (6): Sejarah Samarinda di Sungai Mahakam; Tempo Doeloe (1850) Kampong Bugis, Kini Kota Metropolitan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Timur di blog ini Klik Disini

Diantara kerajaan-kerajaan di pantai timur Kalimantan, kerajaan Koetai yang memiliki minat orang asing. Wilayah Kerajaan Koetai ke hulu memiliki sumber produk lokal yang sangat pontensial dan ke hilir posisi kampong Samarinda dijadikan sebagai pintu gerbang dimana pos bea dan cukai kerajaan Koetai berada. Di pos ini orang Boegis bermukim. Kunjungan Residen Zuid en Oosterafdeeling van Borneo, Jacobus Gerhardus Arnoldus Gallois pada tahun 1850 menjadi penanda awal hubungan politik antara kesultanan Koetai dengan Pemerintah Hindia Belanda. Kampong Samarinda dirintis menjadi pusat cabang Pemerintah Hindia Belanda yang menjadi ibu kota (stad) di pantai Timur Kalimantan.

Berdasarkan Almanak 1846 Resident (Residentie Zuid en Oostkust van Borneo) berkedudukan di Bandjermasin. Di wilayah Westkust van Borneo, msing-masing Asisten Residen ditempatkan di Pontianak dan di Sambas. Berdasarkan Almanak 1847 wilayah Kalimantan (Borneo en Onderhoorigheden) dikepalai oleh seorang Gubernur (AL Weddik di Batavia). Residen di Bandjermasin (Residentie Zuid en Oostkust van Borneo). Masing-masing Asisten Residen di Pontianak dan di Sambas. Seorang pejabat ditempatkan di Kotawaringin en de Zuidkust. Di sejumlah district masing-masing ditempatkan seorang posthouder. Untuk wilayah pantai timur belum ada terbentuk district. Namun demikian Resident dibantu seorang pejabat (civiele gezaghebber) untuk urusan Koetai en Oostkust yang berkedudukan di Bandjarmasin yakni H von de Wall, Fungsi jabatan ini biasa untuk mengurusi wilayah tertentu dalam persiapan pembentukan cabang peerintahan yang baru. Sampai sejauh ini di Oostkust van Borneo belum terbentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda.

Lantas kapan kota Samarinda dibentuk? Itulah pertanyaannya. Saat kunjungan Residen Zuid en Oostkust van Borneo JGA Gallois pada tahun 1850 rombongan langsung ke Koetai. Di Kesultanan Koetai, Residen menandatangani kontrak dengan Sultan Muda (yang masih berumur 12 tahun) untuk menggantikan sang ayah wapat yang didampingi sang ibu dengan sejumlah penasehat. Inilah hubungan politik Pemerintah Hindia Belanda dengan kesultanan Koetai secara resmi yang akan menginisasi pembentukan ibu kota (stad) di wilayah Koetai en Oostkust van Borneo. Lalu dimana ibu kota ditetapkan? Itu juga menjadi pertanyaan. Banyak kampong-kampong yang dapat dijadikan ibu kota, termasuk Koetai (hanyalah sebuah kampong besar, belum menjadi kota). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Namun bagaimana permulaan itu terjadi? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.