*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Timur di blog ini Klik Disini
Diantara kerajaan-kerajaan di pantai timur Kalimantan, kerajaan Koetai yang memiliki minat orang asing. Wilayah Kerajaan Koetai ke hulu memiliki sumber produk lokal yang sangat pontensial dan ke hilir posisi kampong Samarinda dijadikan sebagai pintu gerbang dimana pos bea dan cukai kerajaan Koetai berada. Di pos ini orang Boegis bermukim. Kunjungan Residen Zuid en Oosterafdeeling van Borneo, Jacobus Gerhardus Arnoldus Gallois pada tahun 1850 menjadi penanda awal hubungan politik antara kesultanan Koetai dengan Pemerintah Hindia Belanda. Kampong Samarinda dirintis menjadi pusat cabang Pemerintah Hindia Belanda yang menjadi ibu kota (stad) di pantai Timur Kalimantan.
Lantas kapan kota Samarinda dibentuk? Itulah pertanyaannya. Saat kunjungan Residen Zuid en Oostkust van Borneo JGA Gallois pada tahun 1850 rombongan langsung ke Koetai. Di Kesultanan Koetai, Residen menandatangani kontrak dengan Sultan Muda (yang masih berumur 12 tahun) untuk menggantikan sang ayah wapat yang didampingi sang ibu dengan sejumlah penasehat. Inilah hubungan politik Pemerintah Hindia Belanda dengan kesultanan Koetai secara resmi yang akan menginisasi pembentukan ibu kota (stad) di wilayah Koetai en Oostkust van Borneo. Lalu dimana ibu kota ditetapkan? Itu juga menjadi pertanyaan. Banyak kampong-kampong yang dapat dijadikan ibu kota, termasuk Koetai (hanyalah sebuah kampong besar, belum menjadi kota). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Namun bagaimana permulaan itu terjadi? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Samarinda
Nama Samarinda[h] adalah nama yang sudah sejak lama ada. Dalam buku Kroniek der Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo yang disusun oleh Johan Eisenberger (1936) disebutkan tempat yang kemudian disebut Samarinda dihuni oleh orang Boegis yang kemudian mendapat pengakuan dari Soeltan (Koetai) pada tahun 1668 dengan mengangkat pemimpin sendiri bernama Poea Adi. Namun kronik ini juga menyebutkan versi kedua bahwa pendirian Samarinda pada tahun 1730 yang dilakukan oleh Pangeran Terawei.
Bagaimana terbentuknya perkampongan orang Boegis di dekat ibu kota kerajaan Koetai di pinggir laut adalah satu hal. Hal lain yang lebih penting adalah sejak kapan Samarinda dibentuk menjadi kota dalam arti kampong Samarinda ditata menjadi sebuah kota yang menjadi cikal bakal kota Samarinda yang sekarang.
Orang Eropa pertama memasuki pedalaman sungai Koetai (sungai Mahakam) adalah ajoor Georg Muller pada tahun 1825. Namun dalam perjalanan pulang setelah melakukan kontrak dengan Soeltan Koetai, Muller ingin menyusuri sungai ke hulu untuk kembali ke Pontianak (tempat posnya berada). Namun di perjalanan terbunuh, 125 mil dari Tenggarong. Seorang Inggris John Dalton yang berada di Koetai selama 11 bulan (1827/1828) membuktikan bahwa Muller dibunuh oleh orang Soeltan (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1856). Kemudian orang Eropa berikutnya yang menyusuri sungai Mahakam adalah Dr. CM Schwaner yang laporannya diterbitkan pada tahun 1843. Dr. CM Schwaner berangkat ke Borneo pada bulan Agustus 1842 (lihat Javasche courant, 10-08-1842). Di dalam laporan ini, Dr. CM Schwaner menyebutkan kampong Samarindah, Palarang dan Saulili dihuni oleh sekitar 4.500 hingga 5.000 jiwa.
Kampong Samarinda adalah pusat perdagangan utama di sungai Mahakam, Keterangan ini ditemukan dalam laporan Residen JGA Gallois pada tahun 1850 yang dipublikasikan pada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856. Gallois menyebutkan bahwa Samarinda sebagian besar dihuni oleh orang Bugis yang berada di bawah pimpinan mereka sendiri dengan sebutan Poea-adoe. Pimpinan mereka adalah Daeng Matola. Menurut Gallois di Samarinda terdapat tiga pedagang Inggris yakni King, Morgan dan Joseph Carter.
JGA Gallois juga menyebutkan penduduk di bawah Soeltan (Kesultanan Koetai) diperkirakan sebanyak 100.000 jiwa dimana diantaranya terdapat sebanyak 5.500 jiwa orang Boegis. Sumber pendapatan Soeltan antara laian bea masuk yang dipungut di Samarindah sebesar 5 persen dan retribusi untuk semua barang yang datang dari dataran tinggi dan dipungut di Tenggaroeng. Secara keseluruhan pendapatan Soletan dari semua sumber termasuk monopoli garam sekitar berjumlah f60.000 setahun, Solltan yang sekarang masih kecil disebut Mohammed Adil Chalifat-oel-moeminien.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kampong Samarinda Menjadi Ibu Kota
Kapan kampong Samarinda dijadikan sebagai ibu kota (stad) tergantung kapan kepala pemerintahan (dalam hal ini pejabat Belanda) dimulai dan sejak kapan ditempati. Saat kunjungan Residen Gallois ke pantai timur Kalimantan, kontrak antara Soeltan dengan Residen ditandatangani di Tenggarong (ibu kota Kesultanan Koetai). Saat ini kampong Samarinda salah satu dari tiga kampung yang berdekatan di kota Samarinda yang sekarang. Seperti disebut di atas kampong Samarinda sudah sejak lama terbentuk.
Samarinda adalah sebuah kampong besar yang menjadi pusat perdagangan Kesoeltanan Koetai (yang beribukota di Tenggarong). Di Samarinda salah satu pangeran Koetai berkedudukan. Untuk mengadministrasikan pos perdagangan Samarinda untuk pemungutan bea dan cukai dipimpin oleh Sjahbandar. Kantor sjahbandar ini juga meiliki fasilitas penjara sendiri. Seperti disebut di atas kampong Samarinda yang dihuni sebagian besar orang Boegis, yang mana pimpinan mereka disebut Poea Adoe menjadi partner pangeran dalam mengendalikan Samarinda sebagai sebuah pemukiman dan juga tempat dimana sjahbandar ditepatkan. Pada tahun 1844 pedagang Inggris melakukan rusuh di wilayah ini (lihat Javasche courant, 12-06-1844). Pedagang-pedagang Inggris hilir mudik di pantai utara Borneo dan pantai timur Kalimantan. Pada tahun 1845 dilaporkan kapal Inggris terdampar di Karang Udjong antara Woelongan dan Berouw yang kemudian dibakar sementara enam orang Inggris dan beberapa orang Bengal disandera di Goenong Tabor dan Tandjong (lihat Nederlandsche staatscourant, 03-04-1845).
Dalam Almanak 1864 sudah diplot posisi Asisten Residen di Afdeeling Koetai en Ooskust namun belum ada nama. Ini mengindikasikan bahwa pembentukan cabang pemerintah Hindia Belanda di Koetai sedang dipersiapkan. Usul penempatan asisten residen di Samarinda ini sudah muncul pada tahun 1860 (lihat Algemeen Handelsblad, 14-05-1860). Tampaknya pembentukan cabangan pemerintahan di Koetai tidak mudah karena berbagai sebab.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perkembangan Lebih Lanjut Kota Samarinda
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar