Minggu, 10 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (162): Eskavasi Kraton Majapahit Zaman Kuno,Cara Belajar Era Zaman Now; Live dan Lebih Informatif

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Kita beruntung pada dunia digital dunia keterbukaan zaman Now karena dimungkinkan untuk melihat sesuatu secara live seperti pertandingan dan perlombaan olah raga PON. Dunia rekaman sudah kuno dan kurang diminati para penonton. Hal serupa itu juga mulai diberlakukan pada dunia ilmiah, dunia dengan semboyan kejujuran, kebenaran dan keadilan (Veritas, Probitas, Iustitia).

Seperti pembangunan situs sirkuit Mandalika di Lombok, kita juga pada masa zaman medsos ini disuguhkan bagaiman proses eskavasi Kota Majapahit dilakukan dari hari ke hari. Kita tidak hanya mendapatkan gambaran bagaimana dikerjakan, juga dimungkinkan kita untuk melakukan penilaian. Para peminat sejarah melalui tontonan dapat berpartisipasi. Artikel ini ditulis terinspirasi dari proses publikasi eskavasi kota Majapahit tersebut. Berbeda dengan proses eskavasi pada tempo doeloe era Hiudia Belanda dan pada era Republik Indonesia sebelum zaman medos. Semuanya sangat tertutup, tidak terpantau. Hanya para pekerja dan peneliti yang mengetahuinya. Tapi, kini semua tampak jelas, transparan dan akuntabel. Kita tidak bisa membayangkan tempo doeloe bagaima proses eskavasi candi Borobudur dan candi Prambanan atau candi-candi lain dilakukan, apakah ada kesalahan atau manipulasi tidak kita ketahui persis. Pada prsoses eskavasi kota Majapahit semuanya jelas. Namun masih tetap diharapkan agar begitu pula prosesnya dilakukan pada saat rekonstruksi..

Lantas bagaimana sejarah eskavasi situs-situs kuno? Seperti disebut di atas, eskavasi situs kota Majapahit dilakukan secara live yang mencermin cara kerja peneliti (arkeolog) pada zaman Now dengan pakem kejujuran, kebenaran dan keadilan. Ini juga yang dilakukan dalam penulisan artikel dalam blog ini semua data dan informasi harus dapat di konfirmasi (surat kabar, majalah dan buku sejaman). Lalu bagaimana sejarah eskavasi situs-situs kuno? Yang jelas pada masa kini: live dan informatif. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 09 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (161): Gunung Penanggungan Pantai Timur Jawa; Gunung Welirang, Antara Gunung Arjuna dan Kawi


 ntuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Gunung Penanggungan mungkin kurang mendapat perhatian pada masa kini. Namun boleh jadi pada zaman kuno, gunung Penanggungan begitu penting. Mengapa? Do situs gunung inilah awal peradaban di pantai timur Jawa bermula. Pada masa ini gunung Penanggungan hanya dikenal sebagai penanda batas wilayah semata: yang mana pada zaman kuno di sebelah timur adalah wilayah pantai (kerajaan) Singhasari, di sebelah barat di daerah aliran sungai Kediri wilayah dimana terakhir terbentuknya Kerajaan Majapahit. Puncak gunung Penanggungan memang tidak tinggi, tetapi cukup tinggi dilihat dari laut. Gunung Penanggungan di zaman kuno diduga lebih penting dari gunung Arjuna dan gunung Kawi (antara dua gunung ini terdapat gunung Welirang).

Nama Penanggungan tidak asli (tidak unik).Nama gunung Penanggungan hanya di pantai timur Jawa, nama gunung di pantai barat Jawa di selat Sunda di pulau Krakatau adalah gunung Perboewatan. Lantas apakah ada hubungannya? Tentulah ada, wong kedua nama gunung ini sama-sama mudah dilihat dari pantai (sisi lait). Gunung Penanggungan (disebut nama lamanya gunung Pawitra) di pantai timur Jawa puncaknya 1.653 M dpl. Seperti di pantai barat, gunung Penanggungan di pantai timur Jawa juga adalah gunung berapi (dalam bentuk kerucut). Pada masa ini gunung Penanggungan ini menjadi batas kabupaten Mojokerto (sisi barat) dan kabupaten Pasuruan (sisi timur) dan berjarak kurang lebih 50 Km sebelah selatan kota Surabaya dan sebelah utara kota Malang. Pada zaman kuno, area sekitar gunung Penanggungan terdapat banyak situs-situs kuno. Gunung Penanggungan pada zaman kuno memiliki arti penting seperti gunung Sindoro (Jawa Tengah), gunung Pangrango (Soenda), gunung Pulosari (Banten) dan gunung Malea (Tapanuli Selatan). Nama Penanggungan mirip dengan nama gunung Tanggung di Tulungagung, nama distrik di di Kediri dan Bogor (Naggung). Nama Penanggungan tidak asli (tidak unik).

Lantas bagaimana sejarah gunung Penanggungan di pantai timur Jawa? Seperti disebut di atas nama gunung Penanggungan tidak ada ditemukan di tempat lain. Gunung Penanggungan di pantai timur Jawa pada zaman kuno tepat berada di sisi pantai. Seperti halnya gunung Perboewatan di pantai barat Jawa, gunung Penanggungan di pantai timur Jawa juga mudah dicapai dari laut. Lalu bagaimana sejarah gunung Penanggungan di pantai timur Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (160): Sungai Brantas Masa Kini, Sungai Kediri Tempo Doeloe; Kota-Kota di Daerah Aliran Sungai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apalah arti sebuah sungai pada masa kini? Nyaris tidak berarti, hanya dipandang sebagai saluran drainase uyama dan saluran pembuangan (apapun, termasuk limbah). Namun itu berbeda dengan di zaman kuno. Sungai adalah infratruktur alam dalam moda transportasi dalam bidanhg navigasi. Sungai juga menjadi penanda navigasi pelayaran perdagangan dimana kota-kota terbentuk. Kota-kota besar pada zaman kuno di sekitar muara sungai antara lain ibu kota Kerajaan Majapahit (sungai Brantas) dan ibu kota Kerajaan Aru (sungai Barumen). Tempo doeloe sungai Brantas disebut sungai Kediri. Mengapa?

Kota-kota kuno di Afrika Utara berada di sepanjang daerah sungai Nil yang bermuara ke Laut Mediterania. Di kota-kota inilah kini ditemukan piramida-piramida besar. Kota Cairo dan kota Alexandria adalah kota-kota baru. Bahkan posisi dimana kota Alexandria awalnya adalah perairan (laut). Lantas bagaimana dengan sungai Brantas? Idem dito dengan sungai Barumum di Tapanuli. Sungai Brantas di masa lampau disebut sungai Kediri. Hal ini karena mengacu pada kota besar di daerah aliran sungai Kediri. Di hilir kota Kediri inilah kemudian terbentuk kota-kota baru, terutama kota Majapahit (di Trowulan). Kota Mojokerto, kota Sidoarjo dan bahkan kota Sierabaya adalah kota-kota yang terbentuk kemudian di daerah aliran sungai (DAS) Brantas. Hal yang sama dungai di sungai Barumun dimana terdapat kota Binanga, dimana di hulu terdapat kota Sibuhuan dan di hilir kota Binanga terdapat Kota Pinang dan kota Labuhan Bilik/Labuhan Batu. Soal penamaan sungai di Jawa cenderung terbagi dari sudut pandang pedalaman dan sudut pandang pantai. Sungai Tjiliwong di pedalaman dan sungai Jacatra di hilie, sungai Tjisadane di hilir disebut sungai Tengaerang serta sungai Tjilengsi di hilir disebur sungai Bekasi serta sungai Tjitaroem di hilir disebut sungai Karawang. Di pantai timur Jawa, sungai Kediri di hilir disebut sungai/kali Brantas. Sungai Barumun di hulu maupun di hilir hanya disebut sungai Barumun (salah satu cabang sungai Barumun yang bermuara di Binanga adalah sungai Batang Pane). Penamaan tunggal itu juga juga berlaku untuk sungai Rokan, sungai Kampar, sungai/batang Hari dan sungai/batang Musi.

Lantas bagaimana sejarah sungai Brantas? Seperti disebut di atas, sungai Brantas tempo doeloe disebut sungai Kediri, merujuk pada nama kota Kediri. Lalu apa artinya perubahan nama sungai itu dengan munculnya kota-kota di hilir pada zaman kuno? Yang jelas salah satu kota di hilir adalah Kota Majapahit. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.