*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Bekasi, sejarah yang nyaris tidak pernah ditulis. Hanya beberapa kalimat sejarah Bekasi yang ditulis dan itu diulang-ulang hingga ini hari. Padahal Bekasi memiliki data historis yang juga terbilang lengkap. Apakah warga kota metropolitan Bekasi yang sekarang tidak ada yang tertarik untuk menulis sejarah Bekasi? Boleh jadi, karena kenyataannya sejarah Bekasi tidak pernah terdokumentasi dan didokumentasikan secara lengkap.
Sejarah Bekasi, sejarah yang nyaris tidak pernah ditulis. Hanya beberapa kalimat sejarah Bekasi yang ditulis dan itu diulang-ulang hingga ini hari. Padahal Bekasi memiliki data historis yang juga terbilang lengkap. Apakah warga kota metropolitan Bekasi yang sekarang tidak ada yang tertarik untuk menulis sejarah Bekasi? Boleh jadi, karena kenyataannya sejarah Bekasi tidak pernah terdokumentasi dan didokumentasikan secara lengkap.
Kota Bekasi Tempo Doeloe di dalam Kota Bekasi Masa Kini |
Banyak faktor memang mengapa tulisan sejarah Bekasi tidak pernah terwujud.
Itu secara bertahap akan terjelaskan nanti. Namun tidak kata terlambat untuk
menulis sejarah Bekasi. Juga tidak ada salahnya menulis (ulang) sejarah Bekasi.
Bekasi secara administratif pada masa kini adalah wilayah kabupaten dan kota di
Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi secara historis, Bekasi modern harus dipandang
sebagai bagian dari sejarah (residentie) Batavia (bukan Regentschap Preanger).
Untuk memudahkan saja serial artikel sejarah kabupaten dan kota Bekasi ini kita
sebut saja sejarah Bekasi. Mari kita mulai dari artikel pertama tentang asal
usul terbentuknya kota Bekasi.
Kota Bekasi (Peta 1901) |
Asal Mula Terbentuknya Kota Bekasi
Kota metropolitan Bekasi yang sekarang, masih
sangat sederhana pada tahun 1900 (lihat Peta 1900). Pada pusat kota terlihat sejumlah
bangunan. Bangunan utama adalah landhuis (pangkal jalan menuju Batavia).
Bangunan lainnya adalah kantor kepala district (di belakang landhuis) dan kantor
matri polisi dan penjara (di kanan depan landhuis). Di kiri depan landhuis terdapat
mahkamah (landraad). Di seberang sungai terdapar pasar, Belum ada jembatan
hanya dilalui menggunakan getek.
Kota Bekasi: Old en Now |
Secara teknis, pasar ini dapat diakses dari
segala penjuru angin: masing-masing dari barat dan timur, maupun dari utara dan
selatan yang masing-masing memiliki jalan di kedua sisi sungai Bekasi. Di arah
utara kota sudah terdapat jalur kereta api Batavia-Crawang. Halte.stasion
berada di dekat persimpangan jalan barat-timur dan utara-selatan (stasion
kereta api Bekasi yang sekarang).
Bataviasche courant, 26-04-1823 |
Masih berdasarkan Peta 1900 ini, kota (huruf kecil) Bekasi masuk bagian
dari land Telok Poetjoeng, Bekasi West en Rawa Pasoeng. Dari namanya
menunjukkan gabungan dari tiga land sebelumnya. Tetangga terdekat land ini
adalah land Tanah Doea Ratoes Lima Poeloeh dan land Bekasi Oost. Di
masing-masing land ini terdapat sejumlah kampong. Land partikelir sebagai
negara dalam negara, pemilik land (landheer) juga menguasai penduduk. Land
Bekasi diduga kali pertama dibuka oleh keluarga Riemsdijk sejak era VOC. Luas
lahan keluarga Riemsdijk mulai dari Ujung Menteng di barat hingga timur sungai
Bekasi dan dari muara sungai Bekasi hingga Bantar Gebang.
Land-land di Bekasi diduga kuat sudah terbentuk
sejak era VOC. Sebagaimana disebutkan bahwa pasar Bekasi didirikan pada tahun
1752. Ini berarti pendirian pasar ini terkait dengan keberadaan land dan
pemilik land. Dalam catatan tertua yang ditemukan bahwa pemilik pertama land
Bekasi adalah Jeremis van Riemsdijk (pemilik land Antjol). Kebijakan pendirian
pasar di wilayh pedalaman dimulai pada era Gubernur Jenderal van Imhoff
(1743-1750) yakni mendirikan pasar Tjiloear (setelah sebelumnya tahun 1737 didirikan
pasar Vincke (kini pasar Senen). Pasar lainnya yang didirikan setelah itu
antara lain pasar Tangerang, Pasar Tanah Abang dan pasar Bidara Tjina (Meester
Cornelis). Lalu pada gilirannya didirikan pasar Bacassie. .
Pada tahun 1818, keluarga Riemsdijk menjual sejumlah properti dan lahan, lima diantaranya berada di Bekasi (lihat Bataviasche courant, 24-10-1818). Land-land tersebut adalah (1) land Poelo Mamandang, Bogor, Rawa Bogor dan Babelan yang berbatasan dengan kampong Toeri, di sebelah timur berbatasan sungai Bekasi; di sebelah barat berbatasan dengan land Oedjoeng Menteng, di sebelah selatan berbatasan dengan land Kabalen dan di sebelah utara berbatasan dengan lahan-lahan sewa perseorangan; (2) land Moeara Bekasi atau Pondok Doea, di sebelah utara berbatasan dengan sungai Bekasi, di sebelah barat dan selatan berbatasan sungai Bekasi dan pantai; sebelah timur berbatasan dengan sungai Sambilangan; (3) land Sambilangan, di sebelah utara dan barat laut berbatasan dengan sungai Bekasi dan sungai Sambilangan, di sebelah selatan berbatasan dengan land Bandongan, sebelah timur berbatasan dengan kepemilikan J Bonte Cs; dan sebelah selatan berbatasan dengan land Cratan milik kaptein Konne; (4) land Tandjong, di sebelah timur, barat dan utara berbatasan sungai Bekasi; di sebelah selatan berbatasan dengan kepemilikan J Bonte Cs; (5) land Soengie Boeaja, di sebelah utara berbatasan dengan pantai, di sebelah barat daya dan barat laut berbatasan dengan sungai Bekasi; di sebelah timur berbatasan dengan land milik kapt Konne dan land milik J Wolff Cs; (6) Soengie Laboe, di sebelah barat sungai Bekasi, di sebelah utara, barat dan selatan berbatasan sungai Bekasi, di sebelah selatan dan timur milik kapt Konne.
Willem Vincent Helvetius Riemsdijk adalah anak
dari Gubenur Jenderal Jeremias van Riemsdijk (1775-1777). Jeremias van Riemsdijk
juga adalah pemilik land Antjol. Besar dugaan land di Bekasi adalah warisan
dari ayahnya yang meninggal tahun 1777. Hasil penjualan ini diduga digunakan Willem
Vincent Helvetius Riemsdijk untuk membeli land subur di Tjiampea. Generasi
ketiga keluarga Riemsdijk ini juga meneruskan usaha pertanian yang dirintis
oleh sang kakek. Keluarga Riemsdijk termasuk satu diantara tujuh keluarga Indo
(lahir di Hindia) yang terbilang sukses di awal Pemerintah Hindia Belanda
sebagaimana ditulis PC Bloys van Treslong Prins dengan judul De Indo
Europeesche Families yang dimuat dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad,
26-08-1933.
Jeremias van Riemsdijk telah memiliki land
Bekasi jauh sebelum dia menjadi Gubenur Jenderal (1775-1777). Semua gubernur
jenderal sebelum Riemsdijk memiliki lahan di daerah aliran sungai Tjiliwong. Gustaaf
Willem baron van Imhoff (1743-1750) pemilik land Bloeboer (kini kota Bogor); Jacob
Mossel (1750-1761) membeli land Wetevreden (Senen); Petrus Albertus van der
Parra (1761-1775) pemilik land Tjimanggis dan land Simplicitas (Pondok Laboe
dan Lebak Boeloes) serta kemudian membeli land Weltevreden dari Jacob Mossel; Jeremias
van Riemsdijk, sebelum memiliki land Bekasi sudah memiliki land Antjol. Jeremias
van Riemsdijk besar dugaan adalah pionir di daerah aliran sungai Bekasi.
Fort Bacassie di muara sungai Bekasi (Peta 1724) |
Situasi di land Bekasi pada tahun 1724 tentu
masih kosong dan tidak ada yang diidentifikasi nama kampong (lihat Peta 1724).
Nama-nama kampong hanya ditemukan di hulu sungai Bekasi dan sungai Crawang
(Tjitaroem). Di hulu sungai Bekasi di sekitar pertemuan sungai Tjikeas dan
sungai Tjilengsi di Bantar Gebang; di hulu suungai Tjitaroem terdapat di
sekitar pertemuan sungai Tjibeet dengan sungai Tjitaroem di sekitar Tanjung
Pura, Krawang yang sekarang. Keberadaan VOC baru terdeteksi di benteng (fort)
Tandjong Poera dan di benteng (fort) Bacassie di muara sungai Bekasi.
Sebagaimana benteng Meester Cornelis (di Jatinegara sekarang), benteng
Tandjoeng (di Pasar Rebo yang sekarang) dan benteng Padjadjaran (di Bogor),
benteng (fort) Bekasi di muara sungai Bekasi menjadi pendahulu munculnya
pembentukan land. Hanya satu nama kampong (besar) yang telah diidentifikasi di
sungai Bekasi, yakni Bantar Gebang (di hulu sungai Bekasi dan di hilir
pertemuan sungai Tjikeas dan sungai Tjilengsi). Kampong-kampong kecil tidak/belum
terindentifikasi (atau memang belum ada?).
Register (peta) land, 1775 |
Land Bekasi pada era VOC sudah barang tentu lebih mudah diakses dari
pantai melalui sungai Bekasi. Ini dapat dikaitkan dengan keberadaan fort Bekasi
di muara sungai Bekasi dan juga keberadaan landhuis Jeremias van Riemsdijk di
land Antjol yang merupakan jarak terdekat ke land Bekasi. Atas dasar inilah
landhuis Jeremias van Riemsdijk di land Bekasi dibangun di sungai Bekasi (sisi
barat). Tidak jauh dari landhuis di seberang sungai kemudian didirikan pasar
sebagai simpul perdagagangan di daerah aliran sungai Bekasi.
Landhuis
adalah rumah bagi pemilik land (landheer) yang menjadi pusat di dalam land.
Landhuis sebagai pusat land juga didampini oleh bangunan-bangunan lain untuk
tempat para pekerja, gudang dan lumbung serta bangunan untuk istal. Landhuis menjadi
semacam hoofdplaat (ibukota). Untuk memusatkan transaksi perdagangan landheer
mendirikan pasar (tidak jauh dari landhuis). Landheer di satu sisi menyiapkan
bangunan pasar, di sisi lain landheer memungut retribusi terhadap pedagang (pedagang
barang industri atau pedagang komoditi pertanian). Pemerintah mengenakan pajak
terhadap pendapatan pemilik land yang berasal dari retribusi sebesar lima
persen.
Perubahan-perubahan kepemilikan menjadi sebab
land dipecah menjadi terbentuk land-land kecil dan juga pada gilirannya kemudian
dapat mengalami penggabungan kembali. Siapa yang membeli land Bekasi milik
keluarga Riemsdijk dan apakah penjualannya dalam satu paket tidak diketahui
secara pasti. Yang jelas pada tahun 1829 salah satu pemilik land JP Barends
menjual land Moara Bakassi atau Pondok Soga (lihat Javasche courant, 13-06-1829).
Sungai
Bekasi merupakan gabungan dari sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas di Bantar
Gebang. Tidak pernah disebut nama sungai Bekasi dengan menggunakan sebutan ‘tji’
(sungai dalam bahasa Soenda). Tidak diketahui apakah nama kampong membentuk
nama sungai atau sebaliknya nama sungai membentuk nama kampong. Yang jelas ada
hubungan yang kuat antara nama kampong dengan nama sungai, seperti: Tipinang, Tjilengsi,
Tjikeas dan Tjikarang. Akan tetapi di daerah pengaliran sungai besar seperti
Tjiliwong, Tjisadane dan Tjitaroem tidak ditemukan nama kampong Tjiliwong,
Tjisadane dan Tjitaroem. Tiga sungai besar ini merujuk ke hulu (kerajaan
Pakwan-Padjadjaran?). Popularitas nama sungai di hulu ke pantai menjadi penanda
navigasi dari jaman kuno. Seperti halnya
sungai Bekasi, beberapa sungai yang lebih kecil yang lebih dekat pantai seperti
sungai sungai Soenter, sungai Djambe dan sungai Tamboen juga tidak pernah
menggunakan nama ‘tji’. Sungai-sungai ini juga memiliki nama kampong, seperti
kampong Bekasi, kampong Soenter, kampong Tamboen, kampong Telok Djambe. Hal ini
juga ditemukan di sisi barat sungai Tjiliwong yakni sungai Bata, sungai Grogol,
sungai Psanggrahan dan sungai Kroekoet. Ini mengindikasikan bahwa sungai-sungai
ini tidak terlalu penting di hulu tetapi sangat penting di hilir. Dari indikasi
ini mungkin anda berpikir bahwa nama sungai dan kampong Bekasi dipengaruhi oleh
sisi luar daripada sisi pedalaman. Seperti halnya sungai Tjiliwong, sungai
Tjisadane dan sungai Titaroem, sungai Bekasi di jaman doeloe dapat diakses dari
pantai. Tidak ada informasi sungai Bekasi dapat diakses hingga ke kampong Bantar
Gebang (pertemuan sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas yang membentuk sungai
Bekasi). Tentu saja masih sangat deras. Nama Bantar Gebang diduga berasosiasi ke
pedalaman dimana terdapat nama kampong Bantar Djati dan Bantar Kemang. Sungai
Tjikeas bermula di kampong Bantar Djati dan sungai Tjilengsi bermula di kampong
Bantar Kemang. Lantas darimana asal usul nama Bekasi? Ah, itu mah sulit
diketahui, karena sungai Bekasi sudah ada sejak jaman kuno (seperti halnya
sungai Tjiliwong sungai Tjisadane dan sungai Tjitaroem). Selama ini ada
anggapan asal-usul nama Bekasi dihubungkan dengan interpretasi Poerbatjaraka.
Itu jelas sangat lemah (hanya mengada-ada).
Boleh jadi dalam hal ini JP Barends adalah salah
satu pembeli lahan-lahan yang dulu dimiliki oleh keluarga Riemsdijk. Catatan:
Hanya dari Pondok Soga ada jalan darat ke Bekasi (atau sebelakinya). Dari
Pondok Soga ke pantai (Tandjoeng) hanya jalan setapak dan umumnya dilalui
melalui jalan sungai. Dari Pondok Soga ke Bekasi juga dapat dilakukan jalan
sungai, tetapi jalan darat lebih cepat pada musim kering. Pada masa lampau
Moeara adalah pelabuhan utama di pedalaman di daerah aliran sungai Bekasi.
Orang-orang
Eropa/Belanda pada dasarnya adalah pionir. Mereka berani berinvestasi lahan
meski jauh dan sulit diakses. Namun para investor Eropa/Belanda mengikuti cara
mereka berpikir yakni motif keuntungan. Jika dianggap tidak menguntungkan lagi
lalu dijual. Penjualan lahan oleh orang Eropa/Belanda juga bisa disebabkan
karena meninggal lalu warisan dijual sebelum dibagi atau dijual karena kembali
ke Eropa/Belanda. Pada situasi inilah investor Tionghoa masuk dan membeli
lahan-lahan yang dijual. Orang Tionghoa tidak seperti orang Eropa/Belanda yang
sangat mengandalkan tenaga kerja (upahan), sebaliknya orang Tionghoa berani
melakukan sendiri dengan sedikit bantuan para pekerja upahan. Orang-orang
Tionghoa menjadi landheer lebih pada sebagai cara hidup (membuka kehidupan baru
di dalam land).
Pada saat keluarga Riemsdijk menjual land Bekasi pada tahun 1818, land
tetangga di sebelah barat yakni di land Oedjoeng Menteng sudah dimiliki oleh
seorang Tionghoa. Pada tahun 1833 diketahui bahwa lahan-lahan yang berada Bekasi
di bagian utara ke arah pantai sudah dimiliki sepenuh oleh Lim Kee Seeng (lihat
Javasche courant, 03-07-1833). Disebutkan ada sembilan land termasuk beberapa
land yang dulu dimiliki oleh keluarga Riemsdijk. Para investor Tionghoa terus
bertambah. Land Tjilengsi juga sudah dimiliki oleh investor Tionghoa dan
demikian land Tjibaroesa sudah disewakan orang Eropa/Belanda pemilik land
Tjibinong kepada investor Tionghoa. Land
Tjibaroesa tidak terlalu subur tetapi sangat banyak menghasilkan sarang burung
(walet). Investor Tionghoa juga dikabarkan bahwa land Telok Poetjoeng sudah
dimiliki oleh Lauw Tek Lok (lihat Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-10-1853). Singkatnya: land-land
produktif masih dikuasai oleh investor Eropa/Belanda, tetapi land-land marjinal
sudah diambilalih orang para investor Tionghoa. Boleh jadi semua land di
district Bekasi di sisi timur sungai Soenter hingga sisi barat sungai Tjitaroem
plus land Tjibaroesa dan land Tjiliengsi sudah dimiliki oleh para investor
Tionghoa. Pada tahun-tahun ini, land Tjimanggis, land Pondok Tjina dan land
Tjinere sudah diakuisisi oleh para investor Tionghoa.
Ada perbedaan besar antara orang Eropa/Belanda dengan penduduk asli
(pribumi), tetapi orang pribumi hanya sedikit perbedaan dengan orang-orang
Tionghoa. Orang Eropa/Belanda cenderung bersifat rasial (perbudakan
ditoleransi), sementara orang Tionghoa lebih membumi. Hanya beda-beda tipis
antara orang Tionghoa dengan orang pribumi. Akan tetapi perbedaan yang tipis
ini menjadi isu yang besar ketika para pemimpin lokal mulai menyadari
kecenderungan (kebijakan) orang Eropa/Belanda (baik pejabat pemerintah maupun
pengusaha swasta) menempatkan orang pribumi sebagai warga kelas tiga.
Gesekan-gesekan juga mulai muncul, tidak hanya terhadap orang Eropa/Belanda
tetapi juga terhadap orang-orang Tionghoa yang secara perlahan-pelahan menjadi
penguasa land di seluruh (ditrict) Bekasi.
Residentie Batavia berbatasan dengan Residentie
Bantam, Residentie Krawang dan Residentie Preanger Regenschappen. Residentie
Batavia terdiri dari: Stad en Voorsteden; Afdeeling Tangerang; Afd. Meester
Cornelis; Afd. Bekassi; dan Afd. Buitenzorg. Untuk kepala daerah di Bekasi
paling tidak sudah diketahui tahun 1828 dengan sebutan schout (lihat Javasche
courant, 14-02-1828). Disebutkan bahwa pajak kuda dan jalan di Meester Cornelis
dilakukan oleh Asisten Residen dan untuk wilayah Oosterkwartier dilakukan oleh
Schout di Bekasi. Schout ini adalah orang Eropa/Belanda. Saat inilah, ketika
Pasar Bekasi telah berkembang pesat dijadikan sebagai ibukota Bekasi. Ibukota
Bekasi ini adalah suatu hoofdplaat (tempat utama) tempo doeloe yang telah
dirintis sejak era land Bekasi semasih dimiliki oleh keluarga Riemsdijk.
Keberadaan tangsi polisi di kota Bekasi paling tidak diketahui tahun 1853 (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-10-1853). Cakupan wilayah polisi Bekasi ini, selain land Pondok Gede (yang memang masuk wilayah Bekasi) juga diperbantukan ke land Tjilengsie (wilayah terjauh dari afdeeling Buitenzorg). Oleh karenanya, adakalanya land Tjilengsi dan land Tjibaroesa dianggap wilayah Bekasi. Dalam struktur pemerintahan di Residentie Batavia sebagaimana dicatat dalam Almanak 1869, Resident berkedudukan di Stad en Voorsteden. Masing-masing asisten residen di Tangerang, Meester Cornelis dan Buitenzorg. Untuk Afdeeling Bekassi, asisten residen dirangkap oleh Asisten Resident Meester Cornelis. Oleh karena itu secara keseluruhan disebut afdeeling Meester Cornelis en Bekassi terdiri dari empat distrik. Asisten Residen Meester Cornelis adalah Mr. ERJC de Kuijper (sejak November 1967). Schout te Bekassi FJB Maijer (sejak Mei 1867); Djaksa te Bekassi Raboedien (sejak 1861); Luitenant der Chinezen te Bekasssi Lauw Tek Lok (sejak 1854). Struktur di Afdeeling Buitenzorg sedikit berbeda yang terdiri dari Asisten Resident di Butenzorg dan masing-masing demang di Buitenzorg, di Parong dan di Tjibaroessa. Dalam perkembangannya, pemerintah menerapkan sistem pemerintahan pada tingkat lokal dan membangun sistem peradilan setempat (landraad). Pemerintahan lokal di berbagai wilayah yang mengandalkan para raja atau sultan, di Residentie Batavia mulai ditingkatkan peran seorang Demang sebagai kepala district. Perangkat pemerintahan diperkuat dengan pembentukan pengadilan rakyat (Landraad), pengangkatan djaksa plus mantri polisi dan para penghulu. Dalam perkembangan berikutnya Regentschap Meester Cornelis dibagi menjadi tiga district, yaitu: Meester Cornelis, Kebajoran dan Bekasi. Dalam perkembangan selanjutnya di bawah district juga dibentuk onderdistrict.
Pasar Bekasi terus tumbuh sebagai pusat
perdagangan yang penting di district Bekasi. Land Bekasi terpecah-pecah menjadi
land-land kecil. Masing-masing pemilik land membangun jalan sendiri apakah
membangun baru atau meningkatkan jalan yang sudah ada. Pasar Bekasi menjadi penanda
navigasi terpenting di dalam perkembangan jaringan jalan yang semakin meluas di
district Bekasi.
Javasche courant, 26-05-1831 |
Sesuai resolusi tahun 1831 antara pemerintah dan
pemilik land telah terjadi sinergi. Pasar Bekasi ke Meester Cornelis lambat
laun sudah terhubung (via land Poelo Gadong) secara baik. Tidak hanya sekadar
terhubung tetapi mutunya juga terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Lalu
lintas air melalui sungai Bekasi ke pantai tempo doeloe tamat sudah.
Pada
tahun 1836 kembali pemerintah mengeluarkan resolusi tentang jalan (lihat Javasche courant, 30-01-1836). Resolusi
bertanggal 28 Januari 1836 Nomor 24
tersebut menyatakan bahwa jalan dibagi ke dalam tiga kelas. Untuk jalan kelas
satu adalah sebagai berikut: (1) De weg van Batavia, over Tangerang naar Bantam;
(2) De weg van Meester-Cornelis, over Buitenzorg en den Megamendong naar de
Preanger Regentschappen; en (3) De weg van Batavia, naar Meester Cornelis en
van daar, over Poeloe Gadong en Bakassie, naar het Krawangsche.
Kota Bekasi (Peta 1840) |
District Bekasi tumbuh dan berkembang dengan
caranya sendiri. Perkembangan wilayah di Regenrschap Meester Cornelis di
sekitar sungai Tjiliwong (selatan Batavia) lebih pesat jika dibandingkan dengan
wilayah sekitar sungai Bekasi (timur Batavia). Wilayah sisi barat sungai
Tjiliwong masuk wilayah district Kebajoran sedangkan sisi timur sungai masuk
wilayah District Mester Coenelis. Dua district ini relatif lebih kondusif jika
dibandingkan dengan district Bekasi.
Kota Bekasi, Tjikarang, Tamboen dan Tjikarang (Peta 1901) |
Pertumbuhan dan perkembangan kota Bekasi di
pengaruhi oleh banyak faktor. Tidak hanya karena posisi geografisnya di sungai
besar Bekasi dan secara geografis dekat dengan Meester Cornelis, juga karena
faktor pembangunan moda transportasi kereta api dan pengembangan sistem kanal
irigasi.
Kota Bekasi di sisi sungai Bekasi, 1880 |
Jembatan bambu di atas sungai Tjitaroem, 1895 |
Demikianlah asal usul terbentuknya kota Bekasi.
Pertumbuhannya dimulai dari lalu lintas air kemudian berkembang menjadi lalu
lintas darat. Pembangunan jalur kereta api ke Bekasi menjadi fase kedua
pertumbuhan kota Bekasi. Pembangunan jembatan Bekasi menjadi fase baru dalam
perkembangan kota Bekasi berikutnya.
Jembatan
Bekasi ini dibangun pada tahun 1913 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-03-1913).
Disebutkan pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan jembatan
untuk lalu lintas normal di sebelah jembatan kereta api di Bekasi dengan nilai
sebesar f44.680’.
thanks for the information, please visit my web:
BalasHapusuhamka
.
Click Here