*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Kota Bekasi kini dijuluki sebagai Kota Patriot. Bahkan tidak jauh dari kota tua dibangun stadion yang diberi nama Patriot. Kota tua berada di jalan Veteran, stadion baru yang diberi nama Patriot berada di jalan Jenderal Ahamad Yani. Pada awal terbentuknya kota Bekasi tahun 1857 sebagai ibukota distrik, penduduk mulai resah karena pajak kuda dan jalan, Lalu muncul perang melawan kompeni (Pemerintah Hindia Belanda) tahun 1869 yang dipimpin oleh Rama van Ratoe Djaja. Setelah perang, orang Eropa/Belanda enggan di Bekasi dan sejak itulah semua land di Bekasi menjadi milik orang Tionghoa. Orang Eropa/Belanda menyebut Distrik Bekasi bagaikan ‘Provinsi China’ (baca: pengaruh Eropa/Belanda minim).
Kota Bekasi kini dijuluki sebagai Kota Patriot. Bahkan tidak jauh dari kota tua dibangun stadion yang diberi nama Patriot. Kota tua berada di jalan Veteran, stadion baru yang diberi nama Patriot berada di jalan Jenderal Ahamad Yani. Pada awal terbentuknya kota Bekasi tahun 1857 sebagai ibukota distrik, penduduk mulai resah karena pajak kuda dan jalan, Lalu muncul perang melawan kompeni (Pemerintah Hindia Belanda) tahun 1869 yang dipimpin oleh Rama van Ratoe Djaja. Setelah perang, orang Eropa/Belanda enggan di Bekasi dan sejak itulah semua land di Bekasi menjadi milik orang Tionghoa. Orang Eropa/Belanda menyebut Distrik Bekasi bagaikan ‘Provinsi China’ (baca: pengaruh Eropa/Belanda minim).
Eksekusi Patriot di Bekasi (1870) dan kota Bekasi (Peta 1901) |
Itulah sejarah singkat soal patriotisme di Bekasi: diawali Bapak Rama
dari Ratoe Djaja dan diakhir Mayor Hasibuan. Lantas bagaimana sejarah keseluruhannya
dari awal, tengah dan hingga akhir? Itulah yang akan disarikan. Untuk menulis
sari patriotisme di Bekasi, kita harus menelusuri peristiwa-peristiwa yang
pernah terjadi dari masa lampau ketika Bekasi masih sebuah kampong, lalu menyajikannya
secara utuh agar warga metropolis Bekasi tidak gagal paham.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Perang Bekasi Jilid I: Rama van Ratoe Djaja (1869)
Surat kabar yang terbit di Belanda Algemeen
Handelsblad, 11-04-1853 menurunkan sebuah artikel yang meringkas peristiwa yang
terjadi terhadap pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740.
Tidak diketahui motif penulisan sejarah yang sudah dilupakan tersebut, karena peristiwanya
sudah berlalu satu abad yang lampau. Apakah tulisan tersebut dimaksudkan untuk
mengingatkan peristiwa masa lalu seiring dengan kebangkitan orang-orang
Tionghoa di seputar Batavia?
Fakta
bahwa dari waktu ke waktu orang Eropa/Belanda semakin banyak yang melepaskan
kepemilikan land partikelir dan menjualnya ke publik. Pembelinya banyak
diantaranya adalah orang-orang Tionghoa. Ini bermula saat pendudukan Inggris
(1811-1816) banyak orang Belanda menjual hak miliknya dan suatu kesempatan bagi
orang Tionghoa memiliki lahan sendiri. Pada tahun 1818 di Bekasi, land Oedjoeng
Menteng diketahui sudah dimiliki oleh seorang Tionghoa. Pada tahun 1833
diketahui bahwa lahan-lahan yang berada di Bekasi bagian utara ke arah pantai
sudah dimiliki sepenuhnya oleh Lim Kee Seeng (lihat Javasche courant,
03-07-1833). Para investor Tionghoa terus bertambah. Land Tjilengsi juga sudah
dimiliki oleh investor Tionghoa dan juga land Tjibaroesa sudah disewakan orang
Eropa/Belanda kepada investor Tionghoa.
Investor Tionghoa bernama Lauw Tek Lok juga telah mengakuisisi land
Telok Poetjoeng (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 19-10-1853). Praktis boleh dikatakan jika tidak semuanya,
hanmpir seluruh land di Bekasi dari sungai Tjakung hingga sungai Tjitarum sudah
dikuasai oleh prang-orang Tionghoa. Orang Belanda yang nyinyir menyebut Bekasi
(seakan) sebuah provinsi China.
Lantas apakah penulis artikel di Algemeen
Handelsblad mengungkit sejarah peristiwa tragis tahun 1740 setelah melihat peta
kepemilikan lahan partikelir (land) di luar Batavia, terutama di Bekasi? Tentu
saja tidak dikatakan penulis. Yang jelas pada tahun 1854 pemerintah
mengeluarkan beslit bahwa wilayah sekitar Residentie Batavia dibagi menjadi dua
afdeeling, yakni Afdeeling Meester Cornelis di selatan dan timur dan Afdeeling
Tangerang di barat yang masing-masing akan dipimpin oleh Asisten Residen (lihat
Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 01-05-1854).
Selama
ini Residen Batavia hanya dibantu oleh dua Asisten Residen yang berkedudukan di
Batavia dan di Buitenzorg. Dengan adanya pemekaran di sekitar Batavia dan
pengangkatan dua asisten residen di Meester Cornelis dan di Tangerang, maka
Residen Batavia akan dibantu olej tiga asisten residen. Sudah barang tentu
penambahan jumlah asisten residen tidak hanya untuk mengefektifkan jalannya
pemerintahan, tetapi juga untuk mendekatkan para pejabat ke TKP. Apakah
kebijakan penambahan jumalh asisten residen adalah respon terhadap situasi dan
kondisi terkini?
Dalam
hal ini, sejatinya Residentie Batavia terdiri dari empat afdeeling, yakni Stad
Batavia en Voorsteden (Weltevreden); Meester Cornelis, Tangeang dan Bekasi.
Dalam struktur baru ini, nama pemerintahan Meester Cornelis diubah menjadi
Afdeeling Meester Cornelis en Bekasi. Asisten Residen ditempatkan di Meester
Cornelis yang (tetap) dibantu oleh seorang Schout di Bekasi. Schout adalah
seorang pejabat pemerintah yang diisi oleh seorang Eropa/Belanda yang diluar
wilayah Batavia disebut Controleur. Keberadaan schout di Bekasi paling tidak
sudah diketahui sejak tahun 1823.
Pada tahun 1869 dalam struktur pemerintahan di
Residentie Batavia sebagaimana dicatat dalam Almanak 1869, Resident
berkedudukan di Stad en Voorsteden. Masing-masing asisten residen di di
afdeeling Tangerang, Meester Cornelis en Bekasi dan Buitenzorg. Afdeeling
Meester Cornelis en Bekassi terdiri dari tiga distrik yakni (Meester Cornelis,
Kebajoran dan Bekasi). Asisten Residen Meester Cornelis adalah Mr. ERJC de
Kuijper (sejak November 1967).
Schout
te Bekassi adalah FJB Maijer (sejak Mei 1867). Dalam pemerintahan di district
Bekasi, schout dibantu oleh seorang Djaksa Raboedien (sejak 1861). Dalam
struktur pemerintahan Bekasi ini juga termasuk Luitenant der Chinezen te
Bekasssi Lauw Tek Lok (sejak 1854). Sebagaimana diketahui Lauw Tek Lok juga adalah
pemilik land Telok Poetjoeng. Dalam daftar pemilik land juga diketahui bahwa land
Bekassi West. Land Rawa Posong, land Kali Abang dan land Kali Poetih dimiliki
oleh Khouw Tjeng Tjoan (yang juga pemilik land Tanah Seratoes Lima Poeloeh, land
Tjikoennir dan land Pondok Gedeh). Semua land milik Khouw Tjeng Tjoan disewa
oleh Tio Tian Sioe. Sementara land Bekassi Oost dimiliki oleh Kang Keng Tiang cs
yang disewakan kepada Kam Boen Pin. Antara pemilik land dan penyewa terjadi
koneksi antar orang Tionghoa.
Itu
baru di Afdeeling Bekasi. Di Afdeeling Buitenzorg, land Pondok Terong atau Ratoe
Djaija dimiliki oleh Jo Tjoeta. Land Tjilengsi dan juga land Tjimanggis diketahui
telah dimiliki investor orang Tionghoa, sementara land Tjibaroesa meski masih
dimiliki oleh orang Eropa/Belanda tetapi telah disewa oleh seorang investor
Tionghoa. Secara geografis land Tjiliengsi dan land Tjibaroesa meski masuk
wilayah Afdeeling Buitenzorg, tetapi secara sosial ekonomi lebih dekat dengan
Afdeeling Bekasi. Jumlah orang Tionghoa di land Tjilengsi sebanyak 1.200 orang
merupakan jumlah orang Tionghoa terbanyak kedua di Afdeeling Buitenzorg setelah
(kampement) Butenzorg. Oleh karenanya seorang pelancong Belanda yang datang
dari Soerabaja tidak salah menggambarkan (district) Bekasi sebagai sebuah
provinsi Cina.
Pada tanggal 3 April 1869 Asisten Residen Meester
Cornelis Mr. ERJC de Kuijper dan Schout Bekassi FJB Maijer tewas terbunuh di
Tamboen (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-04-1869). Dalam kerusuhan di Tamboen
ini juga beberapa personil polisi terbunuh.
Pada
malam hari tanggal 2 para pemberontak dari Bekasi datang ke Meester Cornelis
untuk meminta dibebaskan Sie Nata dari penjara. Asisten Residen Kuijper
diperingatkan bahwa penduduk Bekassie pada saat gerhana matahari perang akan
pecah dan Nata (yang berada di tahanan Meester Cornelis) akan dibebaskan. Sherif
Meester Cornelis menemui pemberontak sekitar 500 orang di land Tjakoeng. Sherif
lalu melaporkan ke Major Bloom, komandan Batalion ke-11 Meester Cornelis untuk
mengambil tindakan. Pasukan bergerak yang lamanya 3 jam ke Bekasi. Di dalam
perjalanan ditemukan satu pembakaran. Pemberontak tidak berhenti di Tjacoeng
lalu membuat onar di Bekasi dan kemudian bergerak ke Telok Poetjoeng yang
jumlahnya 200 orang. Pasukan kembali ke Batalion ke-11 dan akan menyusun
pasukan dua kompagnie. Ekspedisi ini akan dipimpin Kapten Stoecker. Kongsiehuis
di Tamboen dibakar. Kongsiehuis juga menjadi tempat tinggal anak Bapak Beirah.
Sedangkan Bapa Beirah berhasil melarikan diri (kemudian diketahui melarikan
diri ke Buitenzorg).
Setelah mendapat laporan pada keesokan harinya Asisten
Residen Meester Cornelis Mr. EECC de Kuijper, tanpa menunda segera ke tempat
gangguan (TKP), ditemani oleh beberapa personil polisi, schout di Bekassi FJB.
Maijer juga bergabung dengan asisten residen. Asisten Residen Kuijper dan schout
datang ke TKP untuk menenangkan situasi. Namun menjadi sumber petaka. Dalam
peninjauan ke TKP itu Asisten Residen yang tidak didampingi militer diserang. Dr.
Amenoellah, dokter djawa yang bertugas di Bekasi membanttu yang luka. Di
Meester Cornelis pada pukul setengah 12 datang berita bahwa Asisten Residen
Kuijper dan schout Meijer terbunuh. Lalu kemudian dilakukan tindak lanjut.
Pasukan
Kapten Stoecker, Letnan vis Eijbergen, Letnan Altensteijn, Letnan von Ende dan
Letnan de Jongh bersiap jam 12. Petugas kesehatan Hamilton diperbantukan ke
pasukan. Di area antara pal 11 dan pal 15 kemudian bergabung Residen Batavia
dan asisten residen polisi yang datang naik kereta (kuda). Di Oedjoeng Menteng
(Pal 17) kira-kira 5 pal sebelum Bekasi, pasukan akan dipecah. Pasukan utama di
bawah Komando Stoecker menuju Telok Poetjoeng. Satu detasemen di bawah komando
Letnan von Ende bersama Residen menuju Bekasi untuk berjaga-jaga. Pada pal 16
datang gerobak yang mengangkut jasad Asisten Residen dan schout. Tubuh Asisten
Residen luka bekas tombak yang telah dijahit antara rusuk 5 dan 6 dada kiri.
Jenasah Asisten Residen dan schout diteruskan ke Meester Cornelis. S
Di Oedjoeng Menteng pasukan dipecah pasukan utama
menuju utama menuju Telok Poetjong dan pasukan sekunder bersama Residen Batavia
menuju Bekasi untuk memperkuat pertahanan. Di Kali Abang, 2 pal dari Telok
Poetjoeng, pasukan pemberontak sekitar selusin orang sudah terlihat di sisi
jalan. Asisten Residen polisi meminta meletakkan senjata. Lalu senjata pisau,
golok, klewang dan tombak dimuat ke dua gerobak. Pasukan merangsek ke Kali
Abang (Telok Poetjoeng). Pasukan Stoecker bertemu pemberontak. Mereka bersenjata
klewang, tombak dan beberapa senapang.
Setelah
dikepung diminta menyerah. Para pemberontak yang dalam posisi dikepung sempat
terdengar satu teriakan untuk melawan. Namun para pemberontak mengikuti
perintah musuh (pasukan militer) dengan membaringkan badan (tiarap) di tanah.
Diantara pemberontak yang berbaring di tanah masih tampak seorang yang berdiri
dengan senjata. Untuk menghindari para pemberontak bangkit mengikuti yang
berdiri, para pasukan militer mengikat para pemberontak yang berbaring dengan
tali agar menghambat gerakan mereka selanjutnya.
Para pemberontak akhirnya menyerah tanpa
perlawanan. Gerobak yang bersisi senjata juga dibawa ke Bekasi. Sebanyak 162
yang ditangkap (dalam posisi terikat) akan dibawa oleh satu detasemen kavelari
ke Bekasi untuk ditahan. Diantara tahanan ini terdapat orang yang melakukan
pembunuhan terhadap Asisten Residen. Pasukan infantri melakukan penyusuran
hingga pal 20. Namun karena pasukan yang sudah tampak lelah diputuskan kembali
ke Bekasi. Tahanan dibawa ke Bekasi dimana penjara sebagai markas. Ekspedisi
akan dilanjutkan esok harinya.
Pasukan
kembali ke Batalion ke-11 dan akan menyusun pasukan dua kompagnie. Ekspedisi
ini akan dipimpin Kapten Stoecker. Di Bekassi, dimana sebuah kantor telegraf
sementara dijadikan tempat Residen.
Pagi hari tanggal 4, Residen pergi ke Tamboeu,
dimana asisten residen Mr. de Kujper dan sepuluh petugas polisi dibunuh;
seorang djaksa telah diselamatkan dengan segera. Ada kehancuran besar pada
rumah kongsi besar tuan tanah Tionghoa Bapa Beirah dan tempat tinggal putranya
dan penulisnya dibakar mati masih berasap dan kayu-kayu yang membara. Yang
terbakar dari kayu yang terbuat dari batu masih utuh. Tubuh Dr. Amenoellah
ditemukan di depan halaman dalam kondisi dimutilasi
(Sementara
itu) Detasemen Buitenzorg dengan kekuatan 60 orang Eropa yang dipimpin Letnan
Opscholten yang didampingi Asisten Residen Buitenzorg Muschenbroek tiba pagi di
Bekasi. Setelah bertemu Asisten Residen dengan Residen, pada hari yang sama
Asisten Residen bersama Residen kembali ke Batavia. Asisten Residen selanjutnya
akan melanjutkan perjalanan ke Buitenzorg.
Pada sore hari jenazah Asisten Residen Meester
Cornelis dan schout Bekasi akan segera dimakamkan di Tanah Abang di Batavia. Jasad
asisten-residen dan schout Bekasi dilaksanakan dengan kehormatan militer pada
malam tanggal 4 di pemakaman Tanah Abang, Batavia. Dalam suasana dukacita
dihadiri oleh kerumunan besar orang yang tertarik, termasuk Jaksa Agung
Pengadilan Tinggi Hindia Belanda, Mr. TH der Kinderen dan oleh pendeta dari
komunitas yang sama, H van Ameylen untuk memberi penghormatan pada almarhum.
Sementara
itu, ekspedisi Kapten Stoecker dihentikan dan sore hari kembali ke Bekasi.
Tujuan utama untuk meyakinkan penduduk dan menangkap pemimpin utamanya mandor
dari Tjibaroesa. Namun sang mandor yang bernama Raden Koesoema tidak ditemukan.
Raden Koesoema, tampaknya telah pergi ke Tjibaroesa; mereka dikejar oleh
asisten residen Buitenzorg yang didampingi seorang militer yang terdiri dari
enam puluh orang telah ditambahkan untuk tujuan ini. Perbatasan Krawang dijaga
ketat. Alasan yang tepat untuk menghindari gangguan. Dua kompagnie (pasukan)
dari Batalion ke-11 akan kembali ke garnisun di Meester Cornelis eesok hari.
Pada tanggal 5 untuk tugas pengamanan di Bekasi
ditransfer kepada satu detasemen infantri dari Tjilingsie. Sore jam 6 tiba
detasemen kavelary di bawah komando Letnan Ritmeester Jhr dan Letnan Dussenten
Bosch. Pasukan berkuda ini akan membantu infantri untuk patroli di Kali Abang,
Tjikarang, Tjitaroem dll. Pada tanggal 6 Residen Batavia dan didampingi sheriff
berangkat ke Depok dengan membawa pasukan 70 orang.
Keberangkatan
Residen ke Depok sehubungan dengan ada laporan dari pendeta Biekhof di Depok
bahwa pada hari kerusuhan di Tamboen terdapat sejumlah orang berpakaian
putih-putih yang berada di sekitar Ratoe Djaja. Laporan dari Depok ini juga
dikaitkan dengan acara yang dilakukan beberapa waktu lalu (12-17 Maret) pada
saat pesta perkawinan di Ratoe Djaja dan adanya pertemuan. Disebutkan dalam
acara pertemuan tersebut juga turut dihadiri Raden Saleh, pelukis terkenal yang
pernah belajar di Belanda.
Di Depok, Residen tidak menemukan indikasi.
Residen pada malam harinya memutuskan kembali ke Batavia dengan meninggalkan
sebanyak 25 orang militer untuk keamanan dan melakukan penyelidikan di Ratoe
Djaja.
Bapa
Toenda, salah satu pemimpin utama perlawanan di Bekasi, pada tanggal 6 ini di
Residentie Krawang tertangkap dan ditawan ke Meester Cornelis. Juga Bapa Tugat
dari Tjibaroesa ditangkap di Krawang. Dari introgasi yang dilakukan terhadap
Toenda dan Tugat diperoleh keterangan bahwa Gerakan Buitenzorgsche dan kampung
Ratoe-Djaya, telah dimulai.
Pada tanggal 8 di ketahui bahwa di Tjimanggis
ditangkap sebanyak 10 orang. Dengan penambahan ini kini jumlah tahanan keseluruhan
menjadi 172 orang. Yang ditangkap di Tjimanggis termasuk Bapa Kollot alias
Raden Malang, salah satu pemimpin pemberontakan bersama istrinya, ayah mertua
dan saudara ipar. Selain itu, Nisa kepala Ratoe Djaja, Sipitang dan Boeang
pembantu dari Rama alias Pangeran Alibasa, kepala penghasut pemberontak. Di
Tjilingsi juga ditangkap Aijang Toebagoes Glentjer dan istrinya, dua diantara
penggagas utama pertemuan tersebut.
Mereka
yang ditangkap ini dibawa dan ditahan di Depok di bawah pengawasan detasemen
infantri Tjimanggis. Dalam penyelidikan ini termasuk pelukis terkenal Raden
Saleh. Yang ditangkap di Buitenzorg. Penangkapan ini berdasarkan informasi yang
muncul di Depok bahwa Raden Saleh datang ke Ratoe Djaja pada saat
pesta/pertemuan dilakukan pada tanggal 14 Maret.
Pada tanggal 12 Residen Batavia berangkat ke
Buitenzorg pagi dan akan melanjutkan ke Bekassie melalui Depok. untuk
melanjutkan peninjauan dalam kasus ini. Alasan Residen Batavia ke Buitenzorg
yang turut didamping jaksa penuntut umum dalam rangka tuduhan terhadap Raden
Saleh. Sebagaimana diketahui Raden Saleh tidak hanya memiliki rumah di Menteng
tetapi juga di Buitenzorg (di Empang).
Dalam
kasus Raden Saleh, diketahui dari penyelidikan yang mengaku sebagai Raden Saleh
adalah Bapak Kollot alias Raden Malang. Dalam pesta/pertemuan di Ratoe Djaja,
Bapak Kollot di depan publik mengaku sebagai Raden Saleh. Pada situasi inilah
‘mata-mata’ dari Depok yang hadir menginformasikan kepada pendeta Biekhof.
Informasi inilah yang kemudian disampaikan oleh pendeta Biekhof ketika Residen
Batavia berada di Depok pada tanggal 6 April. Sementara di sisi penduduk,
pengakuan Raden Saleh alias Bapak Kollot menjadi daya tarik sendiri untuk
membangkitkan semangat undangan yang hadir, Kehadiran Raden Saleh di
pesta/pertemuan Ratoe Djaja telah mengalami difusi secara cepat di seluruh
Afdeeling Buitenzorg dan Afdeeling Bekasi. Dari Buitenzorg, atas kemauan
sendiri, Raden Saleh bersama Residen dan dan jaksa penuntut berangkat ke Depok
untuk mempertemukan Raden Saleh dengan Bapak Kollot. Dari hasil konfrontir ini
bahwa Bapak Kollot telah menyalahgunakan nama Raden Saleh. Selanjutnya media
menyindir Residen sebelum ke Buitenzorg seharusnya memastikan kebenaran tuduhan
terhadap Raden Saleh. Bapak Kollot telah berhasil membentuk opini dan membangun
semangat penduduk. Sementara Residen Batavia telah gagal mengklarifikasi
informasi yang berasal dari pendeta Biekhof. Dalam hal ini Bapak Kollot kalah
taktis dibandingkan Residen.
Pada tanggal 19 di Afdeeling Buitenzorg,
Residentie Batavia telah dilakukan oleh satu detasemen untuk memastikan situasi
dan kondisi keamanan. Datasemen ini juga untuk mendukung polisi dalam
penyelidikan terhadap pemberontak, Detasemen kavelery ini telah menyisir
wilayah rata-rata 23 pos per hari selama 14 hari.
Semua
informasi di atas selama periode April 1869 dikompilasi dari surat kabar Bataviaasch
handelsblad, Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie dan De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad.
Juga informasi ini diperkaya dari sejumlah surat kabar yang terbit di Belanda.
Peristiwa di Bekasi dan kejadian di Depok menjadi
satu kesatuan ekskalasi politik di Residentie Batavia. Residen Batavia dalam
tekanan. Salah satu asisten residennya (Asisten Residen Meester Cornelis) telah
tewas. Asisten Residen di Buitenzorg, setelah pulang dari Bekasi melakukan
konsolidasi peningkatan keamanan di wilayah Buitenzorg. Sementara Asisten
Residen di Tangerang juga melakukan tindakan yang sama. Fungsi Asisten Residen
Meester Cornelis (yang juga mencakup Bekasi) telah diambilalih oleh Residen.
Wilayah
Residentie Batavia sejatinya belum tahap zona perang, Batavia dapat dikatakan
masih dalam tahap persoalan keamanan wilayah. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah mengapa terjasdi eskalasi politik; apa yang menyebabkan terjadi
peristiwa terbunuhnya asisten residen Meester Cornelis di Tamboen? Apakah ada
kaitan Tamboen dengan Ratoe Djaja. Siapa tokoh Raden Koesoema dari Tjibaroesa
pemimpin peristiwa di Tamboen? Apa peran yang dilakukan oleh Bapa Rama di Ratoe
Djaja? Siapa Bapa Toenda? Lantas apa hubungan peristiwa dengan Bapa Beirah
seorang Tionghoa tuan tanah di Tamboen dan dengan Biekhof, pendeta di Depok?
Dan sebagainya
Para tokoh utama pemberontakan ini adalah Bapak
Rama alias Pangeran Alibasa di Ratoe Djaja sebagai penggagas; Bapak Kollot
alias Raden Malang alias Raden Saleh di Tjilingsi; Bapak Toenda di Tibaroesa;
Bapak Selang pemimpin lokal di Tamboen; Djaidin Bapak Djiba di Kali Djambe yang
menewaskan Asisten Residen dengan tombak; Arsain alias Raden Sipat dan Raden
Moestapa serta Djamas alias Rjoengkat Bapa Nata.
Dari
pihak musuh pemberontak antara lain Residen Batavia, Asisten Residen Meester
Cornelis (yang terbunuh), Asisten Residen Buitenzorg, Asisten Residen Polisi
Meester Cornelis, Major Bloem; Kapten Stoecer dan para letnanya; sherif Meijer
(yang terbunuh) dan sherif Sprew, Bapa Beirah, pendeta Biekhof dan dokter Djawa
Amenoelah (yang dibunuh).
Penyerangan di Tamboen dalam hal ini pada
dasarnya tidak berdiri sendiri, tetapi suatu rangkaian eskalasi politik di
Bekasi, Buitenzorg dan Meester Cornelis di Residentie Batavia. Keseluruhan
rangkaian ini dapat dikatakan dengan satu nama peristiwa ‘Pemberontakan Batavia’.
Pemberontakan di Batavia dapat dikatakan suatu pemberontakan yang terencana
(memenuhi semua unsur seperti alasan memberontak cinta tanah air dan mengusir
penjajah, konsolidasi, perencanaan strategi, penyerangan dan perlawanan). Pemberontakan Batavia ini juga boleh
dikatakan unik.
Setelah
Perang Jawa (yang dipimpin Pangeran Diponegoro yang berakhir 1830),
pemberontakan di Batavia ini satu-satunya kejadian di Jawa. Keutamaan
pemberontakan di Batavia (dibanding di tempat lain) adalah pemberontakan
terjadi berada tidak jauh dan yang menjadi target akhir adalah Batavia, ibukota
pemerintahan Hindia Belanda. Dalam perspektif sejarah, Pemberontakan Batavia
sangat lengkap (valid): terdapat liputan (pemberitaan) day to day baik terhadap
jalannya peristiwa, proses penyelidikan dan penangkapan maupun proses pengadilan
dan keputusan hukum. Namun ada tampak kejanggalan dari sumber yang dikutip oleh
media Belanda. Surat kabar The Straits Time melaporkan bahwa jumlah orang Eropa
yang tewas adalah sebanyak 160 orang. Juga diberitakan bahwa para pemberontak
yang sempat ditahan di Bekasi telah membakar penjara dan melarikan diri (lihat
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
19-04-1869). Apakah pemerintah dan militer telah menyembunyikan fakta yang
tidak diketahui jurnalis Hindia, tetapi ada seseorang mengirim berita dari
Batavia ke Singapoera? Java Bode telah melansirnya.
Dua tokoh penting yang merupakan perencana
Pemberontakan Batavia adalah Bapak Rama dan Bapa Kolot. Untuk membangun
karakter dan memposisikan diri mereka di tengah oenduduk mulai dari Ratoe Djaja
hingga Tamboen, Bapa Rama menyebut dirinya sebagai Pangeran Alibasa (mengambil
nama dari Sentot Alibasa?) dan Bapa Kollot menyebut dirinya sebagai Raden
Saleh. Para pemimpin lapangan (para panglima) antara lain Bapa Selang di
Tamboen, Bapa Toenda di Tjibaroesa, Bapa Djiba di Kali Abang (Pondok Poetjoeng,
Bekasi), Moestapa di Ratoe Djaja dan Basiroen di Pondok Terong. Djaidin alias
Bapa Djiba, orang yang menewaskan Asisten Residen Meester Cornelis dengan
tombak,
Perang Bekasi Jilid II: Mayor Madmuin Hasibuan (1947)
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sebagai informasi Bapa Rama atau Pangeran Alibasa , yang nama lengkapnya Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat, seorang pangeran yang berasal dari Gebang Cirebon. Beliau banyak berkelana ke berbagai tempat dan akhirnya meninggal di Cigugur Kuningan, keturunannya saat ini dapat dijumpai di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur Kuningan.
BalasHapus