Rabu, 13 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (168): Sejarah Militer di Indonesia Sejak Era Zaman Kuno; Motto dari Rakyat oleh Rakyat untuk Rakyat

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Beberapa hari yang lalu muncul polemik tentang perdebatan soal apakah militer untuk rakyat atau militer untuk penguasa (pemerintah). Dalam hal itu dipertentangkan apakah militer untuk membela rakyat atau membela pemerintah. Namun sesungguhnya perdebatan itu muncul karena kesalahan persepsi masa kini yang kurang memahami sejarah militer (TNI) di Indonesia. Artikel ini tidak mermpesoalkan perdebatan itu, tetapi ingin memperhatikan bagaimana awal sejarahnya.

Sejak era Hindia Belanda idiom rakyat dan penguasa (raja, pemerintah) sudah mulai dipertentangkan. Dalam perjalanan kebangkitan bangsa isu rakyat semakin intens dikampanyekan dalam berbagai aspek seperti sekolah rakyat (digagas oleh Ki Hadjar Dewantara) vs sekolah pemerintah, kepentingan rakyat vs kepnetingan pejabat. Idiom ini juga menjadi nama-nama partai seperti nama majalah Pikiran Rakjat (diasuh oleh Ir. Soekarno), parat politik Gerakan Rakjat Indonesia atau Gerindo (yang dipimpin oleh Amir Sjarifoeddin Harahap), Lalu dari kalangan anak-anak Tapanoeli idiom rakyat ini mulai diformulasikan dengan semboyan ‘dari rakjat, oleh rakjat dan oentoek rakjat’. Boleh jadi itu muncul karena anak-anak Tapanoeli merasa tidak pernah berada di bawah kekuasaan monarki. Pemerintahan di Tapanoeli tidak pernah dilipbatkan pribumi seperti di daerah lain. Pemerintahan langsung dijabat oleh orang Belanda yang langsung ke rakyat). Gerakan ini diduga bermula sejak era Douwes Dekker tahun 1843 di afdeeling Angkola Mandailinhg yang membela rakyat dari kekeajaman para pejabat Belanda. Hal itulah nantinya semboyan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat diaplikasikan pada era perang kemerdekaan di dalam militer (Abdoel Haris Nasution), motto surat kabar Indonesia Raja di Djakarta (oleh Mochtar Loebis) dan motto surat kabar Pikiran Rakjat di Bandoeng (oleh Sakti Alamsjah Siregar).

Lantas bagaimana sejarah semboyan ‘dari kayat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ di Indonesia? Seperti disebut di atas formulasi itu muncul diantara anak-anak Tapanoeli yang tengah berjuang di Jawa untuk mempertahankan kemerdekaan. Semboyan itu tidak hanya di lingkungan militer, tetapi juga dalam dunia jurnalistik. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 12 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (167): Era Jawa Bagian Timur dan Sumatra Bagian Utara; Sejarah Singasari, Sejarah Nahdlatul Ulama

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada hubungan Jawa bagian timur dengan Sumatra bagian utara? Tentu saja. Namun kurang terinformasikan. Hubungan Sumatra bagian utara dan Jawa bagian timur tidak hanya pada masa kini. Hubungan itu sudah ada tidak hanya sejak lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) bahkan sejak era Singhasari. Bagaimana bisa? Nah, itu dia. Meski Sumatra bagian utara di ujung utara pulau Sumatra dan Jawa bagian timur di ujung pulau Jawa terkesan berjauhan, sebenarnya bukan tidak ada hubungan, hanya saja yang jelas kurang terinformasikan.

Wilayah Nusantara, kini mereduksi menjadi Indonesia, bukanlah wilayah yang besar, tetapi wilayah kecil di dalam permukaan peta bumi. Oleh karena itu jarak antara Sumatra bagian utara dan Jawa bagian timur dapat dikatakan cukup dekat. Kedekatan itu tidak hanya dirasakan pada masa kini, tetapi bahkan sejak zaman kuno. Kedekatan itu misalnya bahwa wali kota Surabaya di Jawa bagian timur adalah Radjamin Nasution yang berasal dari Sumatra bagian utara. Pada era Hindia Belanda, basis Nahdlatul Ulama (NU) hanya terdapat di Jawa bagian timur dan Sumatra bagian utara, pada era Pemerintah Republik Indonesia pada saat Partai NU didirikan yang ikut berpartisipasi pada Pemilu 1955 diinisiasi dan dan diketuai oleh tokoh asal Sumatra bagian utara Zainoel Arifin Pohan (ayah berasal dari Baroes, ibu berasal dari Kotanopan). Namun yang nyaris kurang terinformasikan bahwa hubungan itu sudah ada sejak era Singhasari. Bagaimana bisa? Menurut Schnitger (1935) Raja Kertanegara dari Singhasari adalah pendukung fanatik agama Boedha Batak (sekte Bhairawa).  

Lantas bagaimana sejarah hubungan antara Jawa bagian timur dengan Sumatra bagian utara? Seperti disebut di atas, bahwa Indonesia itu sejak era nusantara sangat kecil (di atas peta permukaan bumi). Oleh karena itu dimungkinkan terjadi interaksi antara Sumatra bagian utara dengan Jawa bagian timur. Bagaimana itu bisa terhubung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (166): Siapa Kritikus Era Presiden Soekarno? Kritikus-Kritikus Pemerintahan Era Hindia Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Setiap era pemerintahan, di berbagai negara, selalu ada pengkritik (kritikus), Dalam hal ini juga termasuk di Indonesia. Pada masa ini dengan mudah dilihat jejak digital siapa saja yang menjadi kritikus pemerintahan di Indonesia pada era Presiden SBY dan pada eea Presiden Jokowi (kebetulan kedua presiden ini sama-sama menjabat dua periode). Oleh karena jejak digital masih bisa dibaca, maka tidak perlu ditulis lagi. Lantas bagaimana pada era Presiden Soekarno? Tampaknya masih samar-samar siapa saja yang menjadi kritikus pemerintahan pada era Presiden Soekarno.

Pada era pemerintahan era Presiden Soekarno, khususnya pada periode 1950-1965 situasi dan kondisi di Indonesia sangat labil. Itu dimulai dari ketegangan sesaat dalam penerapan sistem pemerintahan yang bersifat federalis (RIS), lalu muncul ketegangan antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Habis itu muncul ketegangan di dalam negeri yang terkait dengan kegiatan pemberontakan di sejumlah daerah yang puncaknya peristiwa PRRI/Permesta. Situasi terus labil ketika soal Irian Barat tidak hanya karena pertikaian antara Kerajaan Belanda dan Pemerintah Indonesia juga soal pengaruh asing (Inggris, Australia dan Amerika Serikat) yang puncaknya peristiwa Ganjang Malaysia. Pada akhir pemerintahan era Presiden Soekarno ini soal gonjang-ganjing politik yang mencapai puncaknya peristiwa G 30 S/PKI. Dalam konteks inilah kita dapat mengidentifikasi bagaimana perihal kritikus.

Lantas bagaimana sejarah kritikus era pemerintahan di Indonesia khususnya pada era Presiden Soekarno? Seperti disebut di atas, situasi dan kondisi pada pemerintahan era Presiden Soekarno sangat labil dan permasalahan bangsa hampir tidak ada putusnya. Ini beberda dengan masa kini terutama era Presiden SBY dan era Presiden Jokowi yang relatif tenang tetapi soal kritikus itu tidak pernah reda. Lalu bagaimana dengan era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.