*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
Tidak ada kata terlambat. Demikianlah adagium dalam bidang pendidikan. Dua wilayah terbelakang dalam bidang pendidikan di era Hindia Belanda, di Banten dan di Jogjakarta, mampu bangkit dan melesat jauh ke depan. Hussein Djajadinigrat mewakili penduduk Banten untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Terbukti berhasil, Hussein Djajadinigrat adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar akademik tertinggi (Doktor) pada tahun 1915.
Tidak ada kata terlambat. Demikianlah adagium dalam bidang pendidikan. Dua wilayah terbelakang dalam bidang pendidikan di era Hindia Belanda, di Banten dan di Jogjakarta, mampu bangkit dan melesat jauh ke depan. Hussein Djajadinigrat mewakili penduduk Banten untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Terbukti berhasil, Hussein Djajadinigrat adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar akademik tertinggi (Doktor) pada tahun 1915.
St. Casajangan (duduk tengah); H. Djajadiningrat (berdiri tengah) |
Bagaimana Hussein Djajadinigrat bisa meraih pendidikan
setinggi itu? Sementara penyelenggaraan pendidikan di Residentie Banten
terbilang tidak berkembang. Pertanyaan ini jelas tidak mudah dijawab. Akan
tetapi jawaban pertanyaan ini tetap ditunggu. Itulah tantangan pertanyaan ini.
Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Indische Vereeniging: Soetan Casajangan dan Hussein Djajadiningrat
Raden Hoessein Djajadiningrat, demikian tertulis, lulus ujian akhir HBS
lima tahun di Weltevreden (lihat Soerabaijasch handelsblad, 13-06-1904). Hussein
Djajadiningrat segera bergegas untuk melanjutkan studi ke Belanda. Dengan kapal
ss Sindoro, pada tanggal 14 Juni berangkat dari Tandjoeng Priok menuju
Amsterdam via Padang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1904). Singgah di
Marseille dan berangkat lagi tanggal 25 Juli dari Marseille (lihat Haagsche courant, 27-07-1904).
Dalam
manifest kapal, hanya Hussein Djajadiningrat yang bernama lokal tertulis
sebagai Raden Hoessein Djajadiningrat. Namun ada satu nama yang dalam hal ini
dapat dianggap penting, yakni CH Douwes Dekker bersama istri dan dua anak.
Dalam manifes CH Douwes Dekker tercatat sebagai Controleur b/h binnenlandsch
bestuur. Beberapa tahun kemudian Camile Hugo Douwes Dekker dipindah menjadi
Controleur di Bekasi. Sebagaimana diketahui Eduard Douwes Dekker pernah menjadi
Asisten Residen di Afdeeling Lebak, Residentie Banten, Semua orang Banten tahu pahlawan itu. Eduard
Douwes Dekker adalah kakek buyut Camille Hugo Douwes Dekker.
Hussein Djajadiningrat di Leiden mengikuti
matrikulasi dan dinyatakan lulus ujian akhir (lihat Verzameling van verslagen
en rapporten behoorende bij de Nederlandsche Staatscourant, 01-01-1905). Kuliah
matrikulasi bertujuan untuk memperoleh sertifikat kompetensi untuk belajar di
universitas di Belanda. Hussein Djajadiningrat mengikuti matrikulasi dan
ujiannya di Openbaar Gymnasium te Leiden.
Di
Belanda, saat Hussein Djajadiningrat tiba baru beberapa calon mahasiswa dan
mahasiswa. Salah satu yang pertama adalah Raden Kartono, alumni HBS Semarang tiba
di Belanda tahun 1896 dan mengikuti program diploma di politeknik di Delft.
Namun gagal, tetapi mengikuti program studi yang lain. Raden Kartono adalah
abang dari RA Kartini. Tahun 1903 telah tiba dua orang untuk bekerja sebagai
staf majalah Bintang Hindia. Mereka itu adalah Dr. Abdul Rivai, alumni Docter
Djawa School dan Djamaloedin Rasad, alumni sekolah guru (kwekschool) di Fort de
Kock. Dalam perkembangannya mereka juga melanjutkan studinya di Belanda.
Pada bulan Juli 1905 menyusul tiba di Belanda
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, seorang guru, alumni Kweekschool
Padang Sidempoean. Soetan Casajangan melanjutkan studi di Belanda untuk
mendapat akte sarjana pendidikan untuk meningkatkan peluang untuk menjadi
direktur kweekschool. Saat kedatangan Soetan Casajangan jumlah calon mahasiswa
dan mahasiswa baru lima orang. Mereka inilah pionir kuliah di Universitas (di
Hindia belum ada universitas).
Mahasiswa
pribumi pertama studi ke Belanda adalah Sati Nasution. Berangkat ke Belanda
tahun 1857 dan berhasil lulus dan mendapat beslit guru di Haarlem tahun 1860. Pada
tahun 1861 Sati Nasution alias Willem Iskander pulang ke tanah air dan membuka
sekolah guru di kampongnya di Tanobato (Afdeeling Mandailing en Angkola) tahun
1862. Kweekschool Tanobato adalah sekolah guru negeri ketiga setelah Soeracarta
dan Fort de Kock. Salah satu siswa pertama Willem Iskander adalah Maharadja
Soetan (ayah Soetan Casajangan). Pada tahun 1874 Willem Iskander berangkat lagi
studi lebih lanjut ke Belanda dengan membawa tiga guru muda (Barnas Lubis dari
Tapenoeli, Raden Soerono dari Soeracarta dan Raden Ardi Sasmita dari
Madjalengka). Selama Willem Iskander di Belanda Kweekschool Tanobato ditutup.
Sepulang dari studi, Willem Iskander akan diproyeksikan pemerintah sebagai
sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean. Namun satu per satu guru
yang dibawa Willem Iskander meninggal sebelum menyelesaikan studi. Willem
Iskander yang sudah menyelesaikan studi, sebelum pulang ke tanah air dikabarkan
meninggal dunia di Belanda. Pada tahun 1879 Kweekschool Padang Sidempoean
dibuka. Salah satu guru yang terkenal di Kweekschool Padang Sidempoean adalah
Charles Adrian van Ophuijsen (selama delapan tahun di Padang Sidempoean, lima
tahun terakhir sebagai direktur). Ayah Charles Adrian van Ophuijsen adalah
pendiri Kweekschol Fort de Kock tahun 1856. Charles Adrian van Ophuijsen adalah
guru Soetan Casajangan. Pada saat Soetan Casajangan tiba di Belanda tahun 1905
yang pertama ditemuinya adalah Prof. Charles Adrian van Ophuijsen (yang telah
menjadi guru besar di Universiteit Leiden). Prof. Charles Adrian van Ophuijsen
adalah penyusun Tata Bahasa Melayu (yang menjadi cikal bakal Tata Bahasa
Indonesia pada masa ini).
Hussein Djajadiningrat yang berhasil program
Matrikulasi dengan Diploma nilai A, selama mengikuti studi di Universiteit
Leiden cukup lancar. Pada bulan Juni 1908 Hussein Djajadiningrat lulus ujian
kandidat (candidaats-examen) dengan nilai Cum Laude (lihat Algemeen
Handelsblad, 10-06-1908).
Algemeen Handelsblad, 10-06-1908 |
Soetan Casajangan diterima dan mengikuti kuliah program
sarjana pendidikan di Rijkskweekschool di Haarlem. Rijkskweekschool adalah
semacam IKIP pada masa ini. Di kampus di Haarlem inilah tempo hari Willem
Iskander mengikuti pendidikan sebelum meninggal. Untuk sekadar catatan: Sati
Nasution alias Willem Iskander adalah kakek buyut Prof Dr. Ir, Andi Hakim
Nasoetion (Rektor IPB Bogor, 1978-1987).
Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan
Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya
mengutip beberapa saja di sini): ‘…Mengapa Anda mengambil risiko jauh studi
kesini (Belanda) meninggalkan kesenangan di kampungmu, calon koeria (raja),
yang seharusnya sudah pension jadi guru dan Anda juga harus rela meninggalkan
anak istri yang setia menunggumu?…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak
yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru
[Charles Adrian van] Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan
melemah pada semua sendi kehidupan (akibat penjajahan)... Saya punya rencana
pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch
Indie (baca: bangsa Indonesia)...Saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke
sini (Belanda) agar bisa belajar lebih banyak...Anda tahu dalam filosofi Batak
kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus
tekun agar tetap intelek.
Jumlah mahasiswa pribumi di Belanda dari waktu ke
waktu semakin bertambah. Mereka yang berpendidikan Docter Djawa School bahkan
sudah ada yang menyelesaikan studinya di Universiteit Amsterdam dan mendapat gelar
dokter penuh seperti Raden Asmaoen dan Abdul Rivai. Dua bersaudara alumni Dokter
Djawa School Tehupelory sudah tahap promosi di Universiteit Amsterdam.
Pada
tanggal 25 Oktober 1908 Soetan Casajangan mengundang semua mahasiswa dan
sarjana pribumi di Belanda untuk datang ke rumahnya di Leiden. Soetan
Casajangan berinisiatif untuk membentukan perhimpunan mahasiswa. Jumlah
mahasiswa hingga Oktober 1908 ini sudah mencapai sebanyak 20 orang. Disepakati
dibentuk organisasi mahasiswa dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan
Hindia). Secara aklamasi rapat pembentukan ini menunjuk Soetan Casajangan
sebagai Presiden. Sebagai sekretaris Soetan Casajangan meminta kesediaan
Hussein Djajadiningrat. Indische Vereeniging adalah organisasi mahasiswa
Indonesia pertama. Kelak nama IndIsche Vereeniging diubah Mohamad Hatta dkk
dengan nama Perhimpoenan Indonesia.
Akhirnya Hussein Djajadiningrat berhasil
menyelesaikan studinya pada program studi Taal en Letterkunde voor den
Oost-Indischen Archipel pada bulan Oktober 1910 (lihat De Maasbode, 19-10-1910).
Hussein Djajadiningrat meraihnya dengan predikat cum laude (lihat Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-11-1910). Hussein Djajadiningrat tidak
segera pulang ke tanah air tetapi melanjutkan studi ke tingkat doktoral (Ph.D).
Di
antara mahasiswa yang terus berdatangan dari tanah air untuk melanjutkan studi
di Belanda terdapat dua calon mahasiswa dari Padang Sidempoean. Abdul Firman Siregar gelar
Mangaradja Soangkoepon mengambil program studi Hukum dan Todoeng Harahap gelar
Soetan Goenoeng Moelia di bidang pendidikan (seperti Hussein Djajadiningrat). Kelak, Mengaradja Soangkoepon menjadi anggota Volkstaad
selama empat periode dan Soetan Goenoeng Moelia selain anggota Volksraad
menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua (menggantikan Ki Hadjar Dewantara).
Seperti Hussein Djajadiningrat yang suka menulis
terutama dalam bidang sastra dan sejarah, Soetan Casajangan sebagai seorang
guru banyak menulis di media tentang upaya-upaya peningkatan pendidikan pribumi.
Soetan Casajangan yang sudah diketahui umum di Belanda, karena itu Soetan
Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para
ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk
berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911,
Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman
yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan
pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.
Geachte
Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
..saya selalu berpikir tentang pendidikan
bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam
memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang
seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini).
Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga
untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya
ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih
tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada
konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan
dalam pendidikan pribumi).
Seperti Hussein Djajadiningrat yang telah
menyelesaikan tingkat sarjananya pada bulan November 1911, akhirnya Soetan
Casajangan juga berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 1912. Berita kelulusan
Soetan Casajangan ini dimuat di koran De Sumatra Post yang terbit tanggal 26
September 1912. Soetan Casajangan sendiri adalah mahasiswa non Belanda yang
pertama kali diizinkan berkuliah di Rijkskweekschool di Haarlem. Kota Haarlem
terkenal dengan universitas pendidikannya.
Soetan
Casajangan setelah lulus tidak segera pulang tetapi diminta mengajar bahasa
Melayu di Amsterdam (untuk orang-orang Belanda yang akan ditempatkan di Hindia)
dan juga merangkap sebagai editor majalah Bintang Perniagaan. Soetan Casajangan
memiliki pengalaman sebagai asisten dosen untuk mengajar bahasa Melayu di
Universiteit Leiden dalam membantu gurunya sewaktu di Padang Sidempoean yang
kini menjadi guru besar di Universiteit Leiden Prof. Charles Adrian van
Ophuijsen. Untuk sekadar catatan: Charles Adrian van Ophuijsen kali pertama mempelajari
(tata bahasa) bahasa Melayu di Padang Sidempoean. Charles Adrian van Ophuijsen
yang fasih berbahasa Batak ini banyak meneliti sastra dan bahasa Batak. Boleh
jadi Charles Adrian van Ophuijsen termotivasi menyusun tata bahasa Melayu
(cikal bakal bahasa Melayu) karena sebelumnya (1860) N van der Tuuk telah
berhasil menyusun tata bahasa Batak (buku tata bahasa pertama di Hindia).
Nama Hussein Djajadiningrat sudah cukup lama tidak
terdengar (tidak terpublikasikan di medan). Boleh jadi Hussein Djajadiningrat sangat
sibuk dengan disertasinya. Memang benar. Namun segera menjadi kenyataan nama Hussein
Djajadiningrat menjadi terpublikasikan dan menjadi viral dui media surat kabar
di Belanda dan di Hindia. Hussein Djajadiningrat pada bulan Mei dinyatakan
berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) dalam bidang bahasa dan sastra (lihat Het
nieuws van den dag : kleine courant, 03-05-1913).
Disebutkan promosi Hoesein Djajadiningrat di Universitas Leiden sebagai Ph.D
dalam bidang linguistik dan sastra Nusantara dengan desertasi berjudul ‘Critiscke
beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdragen ter kenschetsing van de
Javaansche geschiedschrijving’. Hoesein Djajadiningrat geboren te Kramat Watoe
(Bantam).
Het nieuws van den dag : kleine courant, 03-05-1913 |
Singkat kata, dua sekawan Hussein Djajadiningrat
dan Soetan Casajangan akhirnya pulang ke tanah air pada tahun 1913. Hussein
Djajadiningrat yang sudah hampir sembilan tahun di Belanda dan belum pernah
pulang segera bergegas memesan tiket pulang. Hussein Djajadiningrat berangkat
dari pelabuhan Asmterdam dengan menumpang kapal ss Vondel tanggal 10 Mei tujuan Batavia (lihat Algemeen
Handelsblad, 09-05-1913).
Berdasarkan
manifes kapal yang jumlahnya hampir 200 orang tidak ada nama Soetan Casajangan
dan juga tidak ada nama pribumi lainnya. Hussein Djajadiningrat hanya sendiri
berkulit coklat. Ada satu nama penumpang yang cukup dikenal luas yakni M
Joustra, seorang peneliti yang khusus meneliti kebudayaan Batak. Charles Adrian
van Ophuijsen dan M Joustra mendirikan Bataksche Instituut di Leiden (1905). Charles
Adrian van Ophuijsen fokus kajian Batak di selatan (Mandailing en Angkola) dan
M Joustra fokus di utara (Toba).
Soetan Casajangan baru kembali ke tanah air bulan
Juli 1913. Sebelum pulang, buku Soetan Casajangan diterbitkan dengan judul 'Indische
Toestanden Gezien Door Een Inlander' (Negara Hindia Belanda Dari Sudut Pandang
Pribumi). Buku ini diterbitkan di (kota) Baarn oleh Percetakan
Hollandia-Drukkerij. Boleh jadi buku ini ada buku pertama yang terbit di
Eropa/Belanda yang ditulis oleh orang Indonesia.
Sebelum pulang ke tanah air Soetan Casajangan dan Hussein Djajadiningrat
Menteri Koloni (di Belanda) telah menerbitkan beslit keduanya untuk jabatan di
Hindia. Hussein Djajadiningrat diangkat sebagai Ambtenaar voor de Beoefening
der Indische tale (lihat De Maasbode, 11-05-1913) sedangkan Soetan Casajangan
diangkat menjadi direktur sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Namun
sambil menunggu pergantian Soetan Casajangan mengajar dua bulan di ELS
Buitenzorg. Pada bulan Oktober Soetan Casajangan ke Fort de Kock.
Pada akhir tahun 1913 empat pemuda berangkat
studi ke Belanda. Dua dari pemuda ini adalah guru muda dari Fort de Kock yang
boleh jadi rekomendasi Soetan Casajangan yakni guru Dahlan Abdoellah dan guru
Ibrahim Datoek Tan Malaka (kelak lebih dikenal sebagai Tan Malaka). Satu lagi
adalah Sorip Tagor Harahap kelahiran Padang Sidempoean, asisten dosen di
sekolah kedokteran hewan (Veartsenschool) di Buitenzorg (kelak dikenal sebagai
ompung dari Risty dan Inez Tagor serta Deisti, istri Setya Novanto). Dan, satu
lagi adalah Raden Loekman Djajadiningrat yang tidak lain adalah adik Hussein
Djajadiningrat. Empat pemuda ini dan senior Soetan Goenoeng Moelia kemudian
cukup berpengaruh di Indische Vereeniging. Sepulang Soetan Casajangan dan
Hussein Dajajadiningrat ke tanah air, marwah Indische Vereeniging diserahkan untuk
dijaga kepada Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia.
Perkembangan Pendidikan: Hussein Djajadiningrat di Banten dan Soetan Casajangan di Batavia
Trio bersaudara dari Banten (Ahmad, Hassan dan
Hussein Djajadiningrat) telah memberi pengaruh besar di Banten. Ketiganya
adalah sama-sama berpendidikan. Ahmad Djajadinigrat lulusan Osvia Bandoeng yang
menjadi Bupati di Banten, Hassan Djajadinigrat lulusan sekolah pertanian di
Buitenzorg dan yang menaruh minat dalam bidang pengembangan pertanian dan
perdagangan di Banten, dan Hussein Djajadiningrat alumni Belanda yang lebih
terkonsentrasi di pusat (di Batavia). Selama ini jumlah sekolah untuk penduduk masih
terbatas di Banten. Trio berpendidikan ini tentu sangat menyadari arti
pendidikan bagi penduduk Banten hingga ke pelosok.
Sekolah
dasar selama ini hanya terdapat di tempat-tempat yang populasinya besar seperti
Serang, Rangkasbitoeng, Tjilegon, Anjer. Di kota Serang selain terdapat
sejumlah sekolah dasar juga terdapat sekolah dasar Eropa (ELS). Juga sekolah
OSVIA (opleidingsschool voor inl. Ambtenaren) sudah dibuka di Serang. Yang
kurang adalah sekolah guru. Sebab sekolah guru Normaal School di Batavia sangat
terbatas menghasilkan guru untuk wilayah yang luas di Residentie Batavia dan
Residentie Banten. Noormaal School adalah padanan untuk sekolah guru
Kweekschool. Untuk menambah guru, selain kweekschool yang ada, sejak 1890an Normaal
School mulai diadakan di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang dan
Soerabaja.
Pada tahun 1914 sekolah guru Normaal School
dibuka di Serang (lihat De Sumatra post, 21-04-1914). Tampaknya dalam hal ini
pengaruh Hussein Djajadiningrat terasa. Dengan adanya sekolah Normaal School di
Serang diharapkan akan bertambah jauh dan bertambah luas jangkauan pendidikan
di Residentie Banten. Harapan Soetan Casajangan seperti yang pernah
diutarakannya di Belanda tahun 1911 di hadapan para ahli Belanda mulai terasa,
Dalam
perkembangannya di beberapa kota yang jauh dari keberadaan kweekschool dibuka
normaal school seperti di Chirebon, Blitar, Poerwokerto dan Poerwakarta. Pada
tahun 1918 normaal school yang baru dibuka di Garoet, Pematang Siantar,
Salatiga, Padang Pandjang serta Makassar.
Sementara sekolah Normaal School diperbanyak,
muncul kebijakan baru bahwa sekolah dasar Eropa (ELS) hanya diperuntukkan bagi
orang Eropa. Hussein Djajadiningrat tempo dulu adalah lulusan ELS Serang dan
melanjutkan studi ke HBS lima tahun di Batavia. Sebagai pengganti ELS bagi
pribumi adalah dibentuk sekolah semi Eropa (HIS) yang dimulai tahun 1914.
Pendirian sekolah HIS dimulai di kota-kota besar termasuk di Padang Sidempoean
(gedungnya eks Kweekschool Padang Sidempoean dimana dulu Soetan Casajangan bersekolah).
Nama-nama Ketua Indische Vereeniging di Belanda |
Pada
akhir tahun 1915 adik Hussein Djajadiningrat di Belanda, Raden Loekman
Djajadiningrat terpilih sebagai ketua Indische Vereeniging (lihat Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 11-01-1916). Satu program baru organisasi mahasiswa
pribumi ini adalah menerbitkan majalah bulan yang diberinama Hindia Poetra.
Penerbitan majalah ini merupakan salah satu wujud untuk mencerdaskan rakyat.
Sementara itu, Soetan Casajangan di Fort de Kock yang kerap pulang ke
kampongnya di Padang Sidempeoan juga pada tahun 1915 ini menerbitkan surat
kabar (minggguan) yang diberi nama Poestaha (Pustaka, yang juga menjadi nama
blog ini).
Sekolah
dasar Eropa ELS guru-gurunya harus lulusan Eropa. Soetan Casajangan sempat
mengajar di ELS Buitenzorg sambil menunggu pergantian direktur Kweekschool di
Fort de Kock. Untuk sekolah dasar semi Eropa HIS guru-gurunya sebagian besar
pribumi yang bisa berbahasa Belanda dan direkturnya harus alumni Eropa.
Menyelenggarakan pendidikan HIS di Serang tentu sulit mendapatkan guru. Umumnya
guru-guru HIS adalah guru-guru senior yang umumnya lulusan sekolah Kweekschool.
Pada
tahun 1918 Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia menyelesaikan studinya
di Belanda (tiba di Belanda tahun 1910). Oleh karena Soetan Goenoeng Moelia
mengambil program studi pendidikan (sarjana pendidikan), Soetan Goenoeng Moelia
yang tida di tanah air ditempatkan sebagai direktur HIS yang baru dibuka di
Kotanapoan (dekat Padang Sidempoean). Ini berarti di Afdeeling Mandailing en
Angkola terdapat dua sekolah HIS (sementara di Residentie Banten belum ada).
Soetan Goenoeng Moelia adalah alumni ELS Padang Sidempoean, anak seorang guru
alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Soetan Goenoeng Moelia dan Mangaradja
Soeangkoepon setelah lulus ELS langsung ke Belanda untuk lanjut ke sekolah menengah
sebelum masuk universitas (HBS tidak/belum ada di Sumatra).
Hussein Djajadiningrat sebagai ilmuwan terus
meneliti. Penelitiannya yang terkenal salah satu dan yang pertama (di luar
desertasi) adalah tentang Atjeh. Sementara Soetan Casajangan telah pindah
beberapa kali untuk meningkatkan mutu sekolah guru (kweekschool dan Normaal
School termasuk ke Dolong Sanggoel dan Ambon). Pada tahun 1918 Soetan Casajangan
dipindahkan ke Batavia dan kemudian menjadi Direktur Normaal School di Meester
Cornelis (kini Jatinegara). Soetan Goenoeng Moelia adalah direktur HIS pertama dari
pribumi dan Soetan Casajangan adalah direktur Normaal School pertama dari
pribumi.
Tidak
lama setelah Soetan Goenoeng Moelia sebagai direktur Normaal School di
Kotanapon, seorang wartawan muda di Medan, Parada Harahap pulang kampung ke
Padang Sidempoean. Parada Harahap menangani surat kabar Poestaha (yang dulu
didirikan oleh Soetan Casajangan). Parada Harahap juga menerbitkan surat kabar
yang lebih radikal dengan nama Sinar Merdeka (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 02-09-1919). Empat pemuda yang dulu berangkat ke Belanda
juga dalam kongres mahasiswa Hindia (Belanda, Tionghoa dan pribumi) mulai
mengusulkan nama Hindia Belanda menjadi nama Indonesia. Di Batavia, Hussein
Djajadiningrat yang terpilih sebagai anggota dean kota (Gemeenteraad) terus
berjuang. Di Volkraad yang baru pertama kali tahun 1918 juga para pribumi mulai
bersuara keras. Beberapa anggota Volksraad adalah Dr. Abdul Rivai (anggota
Indische Vereeniing), Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Achmad Dajajadiningrat
(Bupati Serang, abang dari Husein Djajadiningrat).
Geachte
Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr. van
Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali
kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh
tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai
pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya
peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya
orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang
ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan
bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras
untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah
membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip
(setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa (HIS, red).
...Sekarang
saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya
sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah
usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam
pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini
tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa
saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan
baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para
intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa
Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru
pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat
mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya
jika dibandingkan dengan Dewan (Pemerintah Hindia Belanda)..
Boleh jadi Hussein Djajadiningrat sumringah
membaca pidato sobatnya Soetan Casajangan. Hussein Djajadiningrat sendiri belum
lama diangkat (merangkap) menjadi Tijd. Adj -adviseur voor Inl. Zaken (lihat De
Telegraaf, 24-06-1920). Hussein Djajadiningrat sebagai peneliti yang juga bagian
dari penasehat pribumi.
Jabatan
ini sebagai penasehat pribumi, lembaga yang dulu pernah dipimpin oleh
Abendanon). Kini lembaga ini dijabat oleh DA Rinkes. Pada periode 1917-1918
Soetan Casajangan menjadi Adjunct-adviseur JH Nieuwenhuys dan DA Rinkes
(penasehat urusan pribumi). Oleh karena itu Soetan Casajangan dalam pidatonya
menyebut dirinya sebagai ‘penafsir dari keinginan bangsaku’. Soetan Casajangan
dalam hal ini guru yang juga bagian dari penasehat pribumi.
‘orang-orang di negeri Belanda yang respek
terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya [mendirikan THS]..dan
memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur
Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya...saya
sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah
usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan
[hanya jatah 3 mahasiswa]...tetapi kesetaraan [jumlah] antara coklat dan
putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda,
bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri.
Kegalauan lain dari Soetan Casajangan boleh jadi dihubungkan dengan pendirian dan perluasan sekolah. Pada tahun 1914 telah didirikan HIS sebagai upaya menghalangi masuk ELS, tetapi celakanya lulusan HIS tidak bisa masuk HBS. Memang sudah mulai diperkenalkan MULO tetapi jumlahnya masih terbatas sekali. Misalnya lulusan HIS Padang Sidempeoan (Tapanoeli) harus ke Padang (West Sumatra) dan yang paling runyam HIS belum ada di Banten (harus ke Batavia). Sejumlah daerah telah meminta didirikan MULO tapi tidak ada alokasi anggaran dari pusat. Di Den Haag sebuah mosi diajukan ke Tweede Kamer oleh pegiat pendidikan untuk memperluas jangkauan MULO. Namun kalah suara 42 lawan 21. Pemerintah hanya bersedia mensubsidi sekolah teknik (lihat De Preanger-bode, 28-03-1917). Sementara THS telah didirikan di Bandoeng, tetapi hanya lulusan HBS yang diterima. Lulusan MULO sangat ketat untuk diterima di HBS, sementara AMS baru didirikan satu buah di Jogjakarta yang dibuka pada tanggal 6 Juli 1919 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-07-1919). Kegalauan ini semakin menjadi-jadi ketika muncul statement pemerintah akan menambah jumlah perguruan tinggi, selain THS juga sekolah hukum tahun 1922 dan sekolah kedokteran tahun 1923 (lihat De Preanger-bode, 04-09-1920). Semua perguruan tinggi ini hanya menerima lulusan HBS. Dalam hal inilah protes Soetan Cajangan disampaikan ke forum ahli Belanda ‘kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan [hanya sampai MULO]...tetapi kesetaraan [jumlah] antara coklat dan putih, yaitu membuka kran HBS lebih banyak atau mendirikan sekolah menegah atas yang setara (yang dikhususkan bagi pribumi seperti halnya HIS atau MULO).
Technische Hoogeschool (THS) sendiri dibuka secara resmi tanggal 3 Juli
1920 oleh Gubernur Jenderal (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 03-07-1920). Dalam pembukaan THS ini turut hadir Bupati
Serang yang juga menjadi anggota Volksraad Raden Achmad Djajadiningrat (abang
Hussein Djajadiningrat).
Bataviaasch nieuwsblad, 03-03-1921 |
Dalam perkembangannya, untuk mengisi kekosongan 'kursi' dewan yang
ditinggalkan, untuk sidang di Volksraad, terhitung 17 Mei 1921 Soetan Goenoeng
Moelia akan menjadi Volksraad di Batavia (lihat juga Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1921). Pengangkatan Soetan Goenoeng Moelia,
direktur Normaal School di Kotanopan menjadi anggota Volksraad untuk mewakili
bidang pendidikan. Penetapan ini sudah diumumkan pada bulan Maret (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 03-03-1921).
Het Vaderland, 23-01-1921 |
Raden Achmad Djajadiningrat telah memulainya
beberapa waktu sebelum ini dengan berpidato di Volksraad dengan menggunakan
bahasa Melayu (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 23-01-1921).
Achmad Djajadiningrat pada dasarnya sangat fasih berbahasa Belanda, tetapi
seperti yang disebutkannya bahwa ia merasa berhak untuk menggunakan bahasa
Melayu. Disamping itu Achmad Djajadiningrat berpendapat bahwa orang-orang di
luar ruang sidang lebih memahami dan juga agar minat pengunjung dan kandidat
Volksraad yang tidak bisa berhasa Belanda tidak menjadi terhalang. Untuk
menghindari kesulitan, Achmad Djajadiningrat berpendapat tidak harus dengan
bahasa Melayu tinggi tetapi cukup dengan bahasa Melayu rendah.
Pidato Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tampaknya
kembali manjur, apalagi disokong oleh dua anggota dewan Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia dan Raden Adipati Aria Achmad Djajadiningrat. Pada tahun ajaran
kedua yang dimulai pada bulan Juli 1921 jumlah mahasiswa di Technische
Hoogeschool Bandoeng telah bertambah signifikan termasuk diantaranya Soekarno
(kelak menjadi Presiden RI).
Raden
Achmad Soekarno masuk THS melalui jalur ELS dan HBS lima tahun di Soerabaja.
Jalur yang tempo doeloe dilalui Hussein Djajadiningrat dari ELS di Serang ke
HBS lima tahun di KW School Batavia (1899-1904). Juga jalur yang dilalui oleh
Soetan Goenoeng Moelia dari ELS di Padang Sidempoean (lulus 1910) ke HBS lima
tahun di Belanda. Berbeda dengan jalur yang dilalui oleh Mohamad Hatta yakni setelah
HIS lanjut ke MULO di Padang (1916-1919) lalu lanjut HBS lima tahun di Prins
Hendrik School Batavia (1919-1922) dan seterusnya ke Universiteit Rotterdam.
Sedangkan Achmad Djajadiningrat dari sekolah rakyat ke sekolah OSVIA (di Bandoeng)
dan Soetan Casajangan dari sekolah rakyat ke Kweekschool (di Padang Sidempoean)
dan lanjut ke Rijkskweekschool di Haarlem.
Ketika Soetan Casajangan Harahap, Hussein
Djajadiningrat, Soetan Goenoeng Moelia Harahap plus Achmad Djajadiningrat
berjuang untuk untuk membuka akses ke pendidikan yang lebih tinggi dan
memperluas jangkauan pendidikan bagi pribumi, Soewardi Soerjaningrat di
Jogjakarta berjuang dengan caranya sendiri. Soewardi Soerjaningrat melihat daya
tampung sekolah pemerintah yang sangat terbatas berinisiatif dengan mendirikan
sekolah untuk rakyat dengan metode dan kurikulum sendiri pada tahun 1922. Sekolah
ini disebut Taman Siswa. Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki Hadjar
Dewantara.
Pada tahun 1923 Dr. Sardjito di Belanda dinyatakan berhasil
mempertahankan desertasi di bidang kedokteran. Dr. Sardjito adalah alumni
STOVIA tahun 1918. Pada tahun 1918/1919 Dr. Sarjito dan Hussein Djajadiningrat
sama-sama menjadi anggota dewan kota (gemeeteraad) Batavia. Pada tahun ini juga
di Pematang Siantar Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, alumni
Belanda terpilih menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad). Pada tahun 1919 Dr.
Sardjito bersama Dr. Soetomo dan Dr. Mohamad Sjaaf melanjutkan studi kedokteran
di Belanda. Setelah berhasil mendapat sarjana kedokteran, Dr. Sardjito dan Dr.
Mohamad Sjaaf melanjutkan ke tingkat dokteral. Pada saat Dr. Sardjito dkk tiba
di Belanda Dr. Sarwono baru saja meraih gelar Doktor (Ph.D). Dalam hal ini Dr.
Sarwono, Ph.D adalah doktor pribumi kedua setelah Hoessein Djajadiningrat. Dr.
Sardjito, Ph.D adalah pribumi kelima yang meraih gela Ph.D (yang ketiga adalah Mr.
Gondokoesoemo di bidang hukum 1922; keempat Mr. RM Koesoema Atmadja juga di
bidang hukum 1922). Dr, Sardjito, Ph.D kelak dikenal sebagai Presiden/Rektor
UGM yang pertama.
Pada tahun 1922 dilakukan pemilihan anggota
Volksraad. Kuota dari Sumatra hanya satu kursi. Dalam pemilihan ini dimenangkan
oleh Abdul Muis dengan selisih beda jumlah suara yang mengalahkan pesaingnya
seorang dokter di Panjaboengan Dr. Abdul Rasjid Siregar (adik Mangaradja
Soangkoepon). Untuk golongan pendidikan, kembali Soetan Goenoeng Moelia
ditunjuk pemerintah ke Volksraad.
Pada
pemilihan Volksraad tahun 1926 kuota Sumatra menjadi lima kursi: dua kursi
untuk West Sumatra, satu kursi untuk Zuid Sumatra dan masing-masing satu kursi
untuk dapil Oost Sumatra dan Noord Sumatra. Dalam hal ini Noord Sumatra merupakan
gabungan Residentie Tapanoeli dan Atjeh. Yang terpilih dari Noord Sumatra
adalah Dr. Alimoesa Harahap sedangkan dari Oost Sumatra yang terpilih adalah
Mangaradja Soangkoepon. Soetan Goenoeng Moelia menurut berita Bataviaasch
nieuwsblad, 15-03-1927 termasuk salah satu anggota dewan yang ditunjuk
(kembali) mewakili bidang pendidikan.
Pada tahun 1927 Soetan Casajangan mengundurkan
diri sebagai Direktur Normaal School karena mulai lelah dan sakit. Permintaan
Soetan Casajangan kemudian dikabulkan dan diberhentikan dengan hormat sebagai
Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Jakarta) yang dimuat di koran De
Indische Courant yang terbit tanggal 18-03-1927.
Tidak
lama kemudian, tersebar luas Soetan Casajangan pada tanggal 2 April 1927 telah
menghembuskan nafas terakhir, meninggal dunia karena stroke. Berita
meninggalnya Soetan Casajangan dimuat di koran De Indische Courant yang terbit
tanggal 08-04-1927.
Sementara itu, Soetan Goenoeng Moelia juga adalah
guru kelas-1 dengan sertifikat guru Eropa, seperti halnya pangkat terakhir
Soetan Casajangan. Bataviaasch nieuwsblad, 26-07-1927 memberitakan bahwa Soetan
Goenoeng Moelia diperbantukan untuk membantu Direktur Normaal School di Meester
Cornelis, Batavia. Hal ini karena Soetan Casajangan yang telah lama menjabat
Direktur di sekolah tersebut telah meninggal dunia pada bulan April 1927.
Pada
bulan Mei 1929 Soetan Goenoeng Moelia resmi diangkat menjadi Direktur di
Normaal School di Meester Cornelis (lihat Soerabaijasch handelsblad,
29-05-1929).
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal, tanggal 28
November 1927 dibentuk Hollandsch lnlandsch Onderwljs Commissie. Komisi ini diketuai oleh Prof. BJO
Schrieke anggota terdiri dari 10 orang termasuk diantaranya Dr. Mr. Soetan
Goenoeng Moelia. Komite ini dibentuk untuk memberikan saran tentang kebutuhan
sosial untuk pendidikan dasar yang pengajarannya dengan bahasa Belanda bagi
penduduk pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
30-03-1929).
Pada akhir tahun 1929 Sutan Goenoeng Moelia meminta dengan hormat
mengundurkan diri karena ingin sekolah dan dikabulkan terhitung 1 Desember 1929
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-01-1930).
Pada tahun 1933 Soetan Goenoeng Moelia berhasil
mempertahankan desertasinya di Belanda dan mendapat gelar doktor (Ph.D). Hingga tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih
gelar doktor (Ph.D) di luar negeri baru sebanyak 26 orang dan hanya satu orang
perempuan yakni Ida Loemongga Nasution. Orang Indonesia pertama yang meraih
gelar doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913.
Daftar orang Indonesia peraih
gelar doktor (Ph.D) selanjutnya adalah sebagai berikut: (2) Dr. Sarwono (medis,
1919); (3) Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922); (4) RM Koesoema Atmadja (hukum
1922); (5) Dr. Sardjito (medis, 1923); (5) Dr. Mohamad Sjaaf (medis, 1923); (7)
R Soegondo (hukum 1923); (8) JA Latumeten (medis, 1924); (9) Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (10) R. Soesilo (medis,
1925); (11) HJD Apituley (medis, 1925); (12) Soebroto (hukum, 1925); (13) Samsi
Sastrawidagda (ekonomi, 1925); (14) Poerbatjaraka (sastra, 1926); (15) Achmad
Mochtar (medis, 1927); (16) Soepomo (hukum, 1927); (17) AB Andu (medis,
1928); (18) T Mansoer (medis, 1928); (19) RM Saleh Mangoendihardjo (medis,
1928); (20) MH Soeleiman (medis, 1929); (21) M. Antariksa (medis, 1930); (22) Sjoeib
Proehoeman (medis, 1930); (23) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (24)
Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (25) Ida Loemongga Nasution (medis,
1931); (26) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan
filsafat, 1933).
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar