*Semua artikel Sejarah Universitas Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Kemarin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berada di kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok. Tujuannya untuk menyambut (menghadiri pelantikan) Rektor UI yang baru Prof. Ari Kuncoro. Satu yang penting kehadirannya adalah menyatakan bahwa mahasiswa diberikan kemerdekaan untuk belajar dan penggeraknya adalah dosen.
Kemarin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berada di kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok. Tujuannya untuk menyambut (menghadiri pelantikan) Rektor UI yang baru Prof. Ari Kuncoro. Satu yang penting kehadirannya adalah menyatakan bahwa mahasiswa diberikan kemerdekaan untuk belajar dan penggeraknya adalah dosen.
Het nieuws van den dag voor Ned.-Indie, 08-03-1940 |
Siapa Nadiem Makarim sudah banyak ditulis.
Seperti pengakuannya: ‘Saya bukan alumni UI, tetapi saya merasa tidak bisa
mencapai seperti ini kalau tanpa UI’. Ayah dan ibu dari Nadiem Makarim adalah
alumni UI. Siapa Ayah dan Ibu Nadiem Makarim juga sudah banyak ditulis. Ayah
Nadiem Makarim adalah Nono Makarim seorang aktivis pers mahasiswa (lulusan
UI). Yang belum banyak ditulis adalah tentang riwayat kakeknya, seorang Notaris
bernama Anwar Makarim. Oleh karena itu perlu kiranya menyusun keseluruhan
sejarah keluarga Makarim. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Stambuk (silsilah) Nadiem Makarim (perkiraan) |
Anwar Makarim, Kakek
Nadiem Makarim: Seorang Notaris?
Anwar Makarim adalah kakek Nadiem Makarim. Anwar Makarim disebut di dalam Wikipedia sebagai seorang notaris ternama. Pada era kolonial Belanda hanya sedikit jumlah notaris yang ada. Notaris pertama non Eropa/Belanda adalah Raden Soewandi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 26-07-1920). Disebutkan Raden Soewandi dinyatakan lulus ujian kelas satu notaris. Pada tahun yang sama (1920) juga dilaporkan RM Wiranto lulus kelas satu notaris (lihat De Preanger-bode, 97-09-1920). Notaris ketiga pribumi adalah Raden Kadiman lulus notaris kelas satu tahun 1921 (lihat De Preanger-bode, 10-07-1921). Notaris keempat adalah Soedja. Sejauh ini belum ditemukan informasi kapan Soedja lulus ujian notaris kelas satu.
Het nieuws van den dag voor N-Indie edisi 26-07-1920 |
Notaris kelima pribumi dalam hal ini adalah Hasan
Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem yang lulus ujian notaris kelas satu pada
tahun 1927. Pada tahun 1929 Soetan Pane Paroehoeman dinyatakan lulus ujian
notaris kelas dua, salah satu diantara empat orang yang lulus dari lima
kandidat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-08-1929).
Soetan
Pane Paroehoem dilaporkan surat kabar De Sumatra post, 15-08-1935 telah lulus
ujian notaris kelas tiga (kelas utama). Posisi Soetan Pane Paroehoem saat itu
juga adalah wakil sekretaris kota (gemeente) Pematang Siantar. Juga disebutkan
bahwa dengan ini sekarang semua bagian ujian telah berhasil dilewati olehnya
sehingga dia dapat selanjutnya mendapat gelar notaris publik (Notaris Kan
Voeren), suatu gelar notaris yang berhak untuk membuka praktek (kantor) notaris.
Hingga tahun 1940 di Indonesia (baca: Hindia
Belanda) hanya terdapat sebanyak 49 notaris. Sebanyak enam orang pribumi dan
satu orang Tionghoa. Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, tujuh orang
notaris pertama inilah yang tersedia di seluruh Indonesia. Mereka ini kemudian
menjadi tulang punggung dalam pembuatan akte pendirian berbagai perusahaan,
jajasan dan bentuk-bentuk perjanjian lainnya. Notaris Soewandi adalah pembuat
akta pendirian Yayasan Universitas Indonesia di Djakarta tahun 1950, yayasan
yang menyelenggarakan Universitas Indonesia (cikal bakal Univesitas
Indonesia/UI); dan Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem adalah pembuat
akta pendirian Yayasan Universitas Sumatra Utara di Medan tahun 1951, yayasan
yang menyelenggarakan Universitas Sumatra Utara (cikal bakal Universitas
Sumatra Utara/USU).
Sejarah Pendidikan Anwar Makarim: Sekolah Dasar di Padang, Sekolah Menengah
di Batavia, Lulus Akuntansi di Semarang
Anwar Makarim memulai pendidikan menengah di
Batavia tahun 1930. Ini dapat dilihat dari daftar nama-nama yang mengikuti pendidikan di
sekolah menengah Koningin Willem School (KWS) di Batavia (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 28-04-1930). Anwar Makarim bersama 12 siswa naik dari kelas satu ke
kelas dua jurusan sipil (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 04-05-1931). Dalam
daftar 12 siswa sipil ini termasuk Mohamad Sangkot Lubis. Siswa terbanyak yang
naik kelas memilih jurusan mesin. Hanya beberapa siswa yang memilih jurusan
pertambangan.
Bataviaasch nieuwsblad, 28-04-1930 |
Setelah menyelesaikan tingkat tiga di KWS pada
tahun 1933, Anwar Makarim pindah ke sekolah Prins Hendrikschool. Pada tahun
1934 Anwar Makarim termasuk salah satu siswa yang naik kelas dari kelas tiga ke
kelas empat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-06-1934). Yang naik dari kelas
empat ke kelas lima adalah Soemitro Djojohadikoesoemo.
Bataviaasch nieuwsblad, 01-06-1934 |
Anwar Makarim lulus tahun 1936 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 10-06-1936). Disebutkan dari 11 kandidat yang ujian sebanyak 10
siswa dinyatakan lulus di Afdeeling C, termasuk Anwar Makarim. Setahun
sebelumnya Soemitro Djojohadikoesoemo lulus di Afdeeling A dan langsung
melanjutkan studi ke Rotterdam (mengikuti jejak Mohamad Hatta). Sedangkan Anwar
Makarim mengikuti jejak Abdul Hakim Harahap untuk langsung mengikuti pendidikan
kursus tiga tahun di dalam negeri. Abdul Hakim Harahap mengikuti pendidikan
kepabeanan (Bea dan Cukai), Anwar Makarim mengikuti pendidikan pembukuan (Akuntansi).
Nadiem Makarim dan Prabowo Soebianto |
Dalam penyelenggaraan ujian boekhouden
(pembukuan) di Semarang tahun 1940, salah satu dari 13 yang dinyatakan lulus
(dari 23 kandidat) adalah Anwar Makarim (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 08-03-1940).
Soerabaija handelsblad, 13-08-1940 |
Anwar Makarim Aktif dalam Organisasi Persatoean
Arab-Indonesia (PAI) di Pekalongan
Setelah lulus sekolah menengah di Prins Hendrikschool (PHS) di Batavia,
Anwar Makarim langsung mengikuti program/kursus boekhouden yang dimulai tahun
1937. Di kota Pekalongan Anwar Makarim dipertemukan jodol dengan mempersunting
gadis jelita bernama Salmah, anak seorang pengusaha kaya Arab-Indonesia
(Soengkar). Di kota ini pula, anak Anwar Makarim lahir tahun 1939 yang diberi
nama Nono. Kelak anak pertama Anwar Makarim lebih dikenal dengan nama Nono Anwar
Makarim sebagai seorang aktivis.
Pada era kolonial Belanda, adanya hambatan jarak dan waktu, para lulusan
yang ditempatkan di suatu kota kerap menemukan cintanya. Selain sudah selesai
studi dan tengah mengawali karir pekerjaan, juga didukung oleh para orang tua,
para pemuda berprospek ini menjadi incaran para gadis-gadis. Pola perkawinan
cinta lokasi ini sangat lazim. Hal ini tidak dialami oleh Anwar Makarim, sebab
orang tua Anwar Makarim sudah tingga (kembali) di Pekaloengan. Namun bagi yang
lain dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Hal serupa ini dialami oleh
seorang lulusan apoteker di Batavia, Ismail Harahap yang ditempatkan di
Soerabaja tahun 1941 menemukan cintanya di lokasi. Ismail Harahap adalah ayah
dari Ucok AKA.
Sejarah perkembangan perguruan tinggi di Indonesia |
Sementara Anwar Makarim mulai aktif dalam dunia ekonomi/perdagangan di
Pekalongan, istrinyu, Salmah Soengkar Makarim juga cukup aktif sebagai aktivis
perempuan di Pekalongan, suatu organisasi perempuan yang berafiliasi dengan
organisasi Persatoean Arab-Indonesia (PAI). Dalam konferensi perempuan PAI yang
diselenggarakan di Pekaloengan, Salmah Soengkar Makarim membawakan makalah
berjudul ‘Bestrijding van den vrouwenhande/Melawan perdagangan perempuan (lihat
Soerabaijasch handelsblad, 18-08-1941). Kongres perempuan PAI di Pekalongan ini
adalah kongres perempuan PAI yang kedua.
Pada tahun 1936 di Pekalongan diadakan kongres
bagi para keturunan Arab. Hasil kongres ini membentuk organisasi kebangsaan
yang diberi nama Persatoean Arab Indonesia (PIA). Kongres ini diinisiasi oleh
Abdurrachman Baswedan yang terpilih sebagai ketua (lihat De Indische courant,
11-02-1936). Susunan pengurus pusat adalah sebagai berikut: AR Baswedan, sebagai
ketua; Abdulkadir Assegaf, sebagai wakil ketua; dan A. Bajasut sebagai
sekretaris. Untuk (satu-satunya) cabang Batavia kepengurusan adalah sebagai
berikut: Hoesin bin Mohamad Alatas, sebagai ketua; AA Alaydroes, sebagai
sekretaris, Achmad Afiff, sebagai bendahara dan untuk komisaris terdiri dari Oebeid
Aboed, Anwar Makarim, Salim Basalamah dan Hoesin bin Aboebakar Alatas (lihat Overzicht
van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1936, no 7, 15-02-1936). Pada
kelompok muda keturunan Arab juga dipersatukan untuk mendukung kesatuan
Indonesia dengan membentuk organisasi pemudanya (lihat De Indische courant, 06-07-1936). Dalam hal
ini Abdurrachman Baswedan kelak dikenal sebagai kakek dari Anies Baswedan
(Gubernur DKI Jakarta); Anwar Karim dikenal sebagai kakek dari Nadiem Makarim; Hoesin
bin Mohamad Alatas (kakek buyut Nadiem Makarim dari pihak perempuan), Achmad
Afif adalah adalah ayah dari Prof. Saleh Afiff atau kakek dari Dr. Adi Zakaria
Afiff. Dalam hal ini Prof. Adi Zakaria Afiff adalah teman saya (mantan Dekan FEB
dan mantan Wakil Rektor UI Bidang Keuangan, Logistik, dan Fasilitas 2014-2018)..
Pada tahun 1937 kembali PAI mengadakan kongres (lihat De Indische courant, 30-03-1937). Kongres yang diadakan di Soerabaja mengubah PAI menjadi partai politik yang mana dalam kongres ini menghasilkan tiga mosi, yaitu: 1. Dukungan untuk asosiasi dan kerja sama dalam perang melawan riba; 2. Permintaan kepada Pemerintah untuk membuka tiga sekolah Belanda-Arab (Hollandsch-Arabische) di Jawa, mirip dengan HAS di Solo; 3. Permintaan kepada Pemerintah untuk memisahkan kelompok orang Arab dalam Undang-Undang Pemilihan dari kelompok orang Cina (orang asing non-Belanda) dalam undang-undang pemilihan. Pada tahun 1938 diadakan kongres PAI yang ketiga di Semarang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 02-02-1938). Dalam kongres ini juga kaum perempuan PAI juga berkongres. Pada kongres keempat PAI tahun 1939 yang diadakan di Chirebon sejumlah individu tampil sebagai pembicara antara lain: Mr. Satiman dengan tema Pendirian Sekolah Menengah Islam Islam; Hamid Algadri tentang Perbandingan Antara Penduduk Ali Cina, Penduduk Asli Arab, dan Penduduk Pribumi; Mohamad Abubakar tentang Gambaran Gerakan Pemuda di Hindia Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1939). Sebagaimana diketahui pada tahun 1939 semua organisasi kebangsaan yang berhaluan Indonesia disatukan dalam supra organisasi GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Abikoesno Tjokrosoejoso. PAI termasuk didalamnya.
Pada akhir tahun 1941 mulai terjadi kegaduhan
akibat adanya invasi Jepang ke Asia Tenggara. Pada awal tahun 1942 terjadi
pendudukan militer Jepang di Indonesia (berakhir sudah era kolonial Belanda).
Anwar Makarim: Negara Pasoendan
Pada era pendudukan militer Jepang, keluarga
Anwar Makarim pindah dari Pekalongan ke Djakarta. Boleh jadi perpindahan ini
karena kurang kondusifnya ekonomi/perdagangan di Pekalongan dan membuka peluang
yang lebih besar di Djakarta. Lebih-lebih Anwar Makarim dan istri sudah aktif berpartisipasi
dalam (organisasi) politik.
Di
Djakarta situasi dan kondisi cepat berubah. Jepang menyerah kepada sekutu. Pada
tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Namun tidak lama
kemudian Belanda diberi jalan untuk berkuasa kembali oleh Inggris/Sekutu yang
melakukan pelucutan senjata militer Jepang dan pembebasan para interniran
Eropa/Belanda. Kehadiran Belanda/NICA mendapat perlawanan bangsa Indonesia.
Namun diantara bangsa Indonesia ada yang membuka diri terhadap kehadiran
Belanda/NICA. Di sejumlah daerah Belanda/NICA membentuk negara federal seperti
Negara Sumatra Timur, Negara Jawa Timur dan Negara Pasoendan. Pendukung Negara
Republik Indonesia (RI) hanya tersisa di sejumlah wilayah: Jogjakarta/sebagian Jawa
Tengah dan Sumatra (minus Negara Sumatra Timur dan Negara Sumatra Selatan).
Pada tahun 1948 istri Anwar Makarim (Salmah Makarim) melahirkan di
Djakarta. Namanya diberi Zacky. Pada saat kelahiran Zacky, usia Nono sudah 10
tahun. Kelak dua dua anak Anwar Makarim akan membawa namanya sebagai Nono (Anwar)
Makarim dan Zacky (Anwar) Makarim.
Het dagblad Batavia, 11-06-1949 |
Setelah berdirinya Negara Pasoendan, dibentuk parlemen Pasoendan. Salah
satu anggota parlemen Pasoendan adalah Anwar Makarim. Dalam konferensi BFO,
beberapa orang anggota parlemen Pasoendan ditunjuk sebagai anggota penasehat
delegasi Negara Pasoendan termasuk diantara mewakili kelompok minoritas yakni Drs.
Van Zuylen, Drs. Tan Eng Oen dan Anwar Makarim (lihat Het dagblad : uitgave van
de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 06-07-1949). Dalam penentuan anggota
parlemen RIS, Anwar Makarim termasuk salah satu anggota parlemen RIS mewakili
Negara Pasoendan dari kelompok Arab (lihat Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-12-1949). Sementara itu perwakilan
RI dalam parlemen RIS termasuk diantaranya Hamid Algadrie.
Java-bode, 13-02-1950 |
Anwar Makarim dan Hamid Algadri tentu saja sudah
saling mengenal. Mereka berdua di era kolonial Belanda (sebelum perang) sudah
aktif di organisasi Persatoean/Partai Arab Indonesia. Pertemanan mereka boleh
jadi sudah terbentuk lama. Hal ini karena mereka berdua pernah bersekolah di
Prins Hendrikschool (PHS) di Batavia. Mereka berdua sama-sama naik kelas, dari
kelas tiga ke kelas empat, sementarta yang naik ke kelas lima diantaranya
Soemitro Djojohadikoesoemo dan F. Tamboenan (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
01-06-1934). Lantas apakah pertemanan ini akan lanjut kepada anak-anak mereka
pada generasi selanjutnya? Kita lihat saja.
Nono Anwar Makarim dan Mochtar Lubis: Macan Pers
Sulit melacak dimana Nono (Anwar) Makarim bersekolah. Tentu saja
anak-anak Anwar Makarim tidak lagi bersekolah di sekolah-sekolah Eropa/Belanda.
Informasi pertama (data tertua) tentang Nono Makarim yang tersedia menyebutkan bahwa Nono Makarim
adalah salah satu pemimpin mahasiswa (lihat
Algemeen Handelsblad, 20-06-1967) dan redaktur majalah KAMI (lihat
Limburgsch dagblad, 19-08-1968). Sumber lain menyebutkan Nona Makarim adalah
mahasiswa Universitas Indonesia dan menjadi redaktur majalah KAMI sejak 1966.
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) adalah suatu front mahasiswa, kelompok
anti-komunis yang beranggotakan kaum muda (umumnya mahasiswa) yang dibentuk
pada 27 Oktober 1965. Organisasi ini didukung oleh TNI-AD. Setelah terjadi demonstrasi
ke Istana pada bulan Februari 1966, Presiden Sukarno melarang organisasi,
tetapi tentu saja tetap berjalan. Majalah KAMI adalah organ pendukung KAMI yang
mana sebagai redaktur adalah Nono Makarim. Pimpinan KAMI antara lain Cosmas
Batubara, Akbar Tandjung, Abdul Gafur, Sofyan Wanandi dan David Napitupulu.
Selain KAMI mahasiswa juga terbentuk front-front yang lain sepertia Kesatuan
Aksi Sarjana Indonesia (KASI) yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution SH.
Pembentukan KAMI, penerbitan majalah KAMI adalah
awal sejarah Nano Makarim. Ini mengingatkan kisah awal ayahnya, Anwar Makarim
di Pekalongan. Sebagaimana telah dicatat di atas, Anwar Makarim memulai berpartisipasi
aktif dalam berorganisasi di Pekalongan, suatu organisasi yang dibentuk tahun
1936 yang disebut Persatoean Arab Indonesia (PAI), Tidak hanya sang ayah yang
aktif berorganisasi tetapi juga sang ibu Salmah Makarim, sebagai seorang
perempuan yang menjadi pimpinan perempuan sayap PAI di Pekalongan. Darah
aktivis pada orang tua (ayah dan ibu) kini muncul dalam diri Nono Makarim.
Tidak
diketahui secara jelas mengapa majalah KAMI diterbitkan dan juga tidak begitu
jelas mengapa nama Nono Makarim hadir (muncul ke permukaan). KAMI saat itu
boleh dikatakan sebagai gerakan aktif mahasiswa anti komunis pasca G30 S/PKI. Tinjauan kristis
di dalam berita dan artikel majalah KAMI yang dipimpin oleh Nono Makarim sempat
dilarang oleh Presiden Soekarno. Namun KAMI tetap eksis bahkan setelah jatuhnya
rezim Soekarno.
Rezim Soekarno jatuh (orde lama) dan terbentuk
rezim baru (Soeharto). KAMI, majalah KAMI dan Nono Makarim berada di lingkaran
titik kritis itu. Posisi GPS Nono Makarim dalam radar politik masa itu sangat
strategis (dari mana datang berlayar dan kemana harus mendayung. Dalam
kiprahnya, majalah KAMI yang vis-a-vis Nono Makarim tidak pernah menjual hasil
perjuangan dan juga tidak bersedia dibeli. Hal ini karena rezim baru juga secara
halus mulai membatasi ‘gerakan’ perjuangan, termasuk eksistensi KAMI dan
semangat Nono Makarim dan kawan-kawan. Ini bermula ketika pemerintah melalui
Menteri Penerangan Laksda Boediardjo coba mulai menjerat pers dengan
penerbitkan peraturan baru (Algemeen Handelsblad, 19-06-1969).
Disebutkan
Menteri Penerangan telah menetapkan pengaturan untuk menentukan siapa yang
diakui sebagai jurnalis Indonesia. Dalam aturan ini seorang jurnalis harus mematuhi
kode etik jurnalistik, tidak terlibat dalam gerakan komunis dan kegiatan
kontra-revolusioner lainnya. Untuk itu, jurnalis berkewajiban untuk menjadi
anggota organisasi jurnalis Indonesia yang diakui oleh pemerintah (dalam hal
ini PWI). Khusus kepada kepala editor, ketentuan berlaku telah aktif dalam
jurnalisme selama setidaknya lima tahun. Ketika Menteri ditanyakan dijawab: ‘Ini
adalah niat saya untuk menyempurnakan mekanisme kerja sama antara pers dan
pemerintah. Saya menganggap asosiasi wartawan Indonesia PWI sebagai mitra yang
solid bagi pemerintah. Itulah mengapa saya ingin mendorong wartawan Indonesia
untuk bergabung dengan PWI’. Lalu pers menyela: ‘Kedengarannya agak berbeda, insentif
dan kewajiban tidak identik’. Di dalam Peraturan Menteri dengan jelas
menyatakan bahwa seorang jurnalis Indonesia berkewajiban untuk bergabung dengan
asosiasi jurnalis. Kalau tidak, dia tidak akan diakui sebagai jurnalis. Dalam
hal ini tujuan pers dan tujuan pemerintah (rezim baru) di dalam persimpangan
jalan. Peraturan baru ini dianalogikan seakan bahwa seorang wartawan dan
seorang pilot harus memiliki semacam sertifikat yang diakui pemerintah.
Sebagian jurnalis mulai gerah dengan aturan baru
dalam pers ini. Keberatan terbesar jurnalis Indonesia adalah kewajiban untuk
menjadi anggota asosiasi jurnalis PWI. Ketentuan ini dipandang sebagai
kontraksi dari kebebasan pers yang baru diperoleh di Indonesia. Kebebasan
bersatu diakui oleh konstitusi Indonesia. Di sisi lain, jurnalis Indonesia
percaya bahwa mereka juga memiliki kebebasan untuk tidak bergabung dengan
organisasi tertentu. Ketentuan wajib menteri dianggap sebagai pelanggaran,
tidak hanya dari kebebasan pers tetapi juga dari hak-hak dasar demokrasi
individu. Dua jurnalis Indonesia yang terkenal tampaknya bereaksi. Nama Mochtar
Loebis dan Anwar Makarim termasuk dalam barisan jurnalis yang tidak menjadi anggota
asosiasi jurnalis PWI.
Adam
Malik, yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, seorang mantan jurnalis
ketika ditanya oleh pers, menjawab: ‘Tampaknya ada sesuatu yang salah dengan
komunikasi antara pers dan pemerintah’, lebih lanjut Adam Malik: ‘Hanya di
negara totaliter wartawan dibatasi. Misalnya, jika saya tidak diakui sebagai
wartawan di Indonesia, saya selalu bisa menulis untuk surat kabar asing.
Mengapa tidak ada konsultasi sebelumnya antara Menteri Penerangan dan PWI?’.
Pertanyaan ini sangat membebani Menteri Boediardjo. Belum diketahui apakah
menteri telah berkonsultasi dengan asosiasi jurnalis sebelum menyusun
peraturannya yang menyinggung. Jika ini terjadi, pengurus pusat PWI secara
bersama-sama bertanggung jawab atas peraturan menteri yang ditolak oleh pers. Langkah
Menteri Boediardjo ini dianggap sangat serius oleh sebagian jurnalis Indonesia.
Sebab dengan peraturan itu, pemerintah akan secara sewenang-wenang
mendiskreditkan dengan mencoba menempatkan pers di jaket yang ketat.
Mochtar Lubis adalah jurnalis senior dan Nono
Makarim adalah jurnalis junior. Dalam hal ini Mochtar Lubis adalah orang yan
sudah selesai dengan dirinya, sedangkan Nono Makarim adalah bintang baru yang
cukup bersinar, Namun yang jelas
diantara kedua mereka memiliki visi yang sama soal pers, antara Mochtar Lubis
dan Nono Makarim sudah terbentuk estafet. Nono Makarim yang sejatinya masih
berstatus mahasiswa (Universita Indonesia) tampaknya ‘dikawal’ oleh Mochtar
Lubis.
Mochtar
Lubis secara historis adalah ‘anak buah’ Adam Malik (meski lahir di tempat yang
berbeda, kebetulan berasal dari kampong yang sama di Kotanopan, Tapanuli
Selatan). Setelah sempat ditahan di penjara Padang Sidempoean 1934 soal
politik, Adam Malik merantau ke Batavia dan kemudian pada bulan Desember 1937
Adam Malik cs mendirikan kantor berita Antara untuk menggantikan kantor berita
Alpena yang didirikan Parada Harahap tahun 1925 yang dibantu oleh WR Supratman.
Adam Malik sebagai Redaktur (wartawan muda, usia masih 17 tahun pada waktu itu).
Tahun 1942 (era pendudukan Jepang) kantor berita Antara berkolaborasi menjadi
kantor berita Domei. Ini sehubungan dengan permintaan trio kolaboratoe
(Soekarno, Mohamad Hatta dan Parada Harahap). Parada Harahap jurnalis senior
yang pernah mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean
(1919-1922) dan pemilik surat kabar radikal Bintang Timoer di Batavia
(1926-1936) yang menjadi koordinator media di era pendudukan Jepang meminta
sejumlah jurnalis muda membantunya termasuk di dalamnya Adam Malik, Mochtar
Lubis, Sakti Alamsjah Siregar BM Diah Harahap. Setelah Jepang takluk (bom
Hirosima dan Nagasaki) kantor berita Antara eksis kembali (seperti semula) dan
dilanjutkan oleh Adam Malik dan AM Sipahutar. Pada masa kepemimpinan Adam Malik
di Antara, Mochtar Loebis masuk sebagai wartawan Antara. Namun tidak lama
kemudian, posisi Adam Malik digantikan oleh Mochtar Lubis karena kesibukan Adam
Malik sendiri dalam urusan republik. Pada saat Belanda datang kembali, situasi
menjadi berubah. Kantor berita Antara lalu ditutup oleh Belanda/NICA (lihat De
tijd: dagblad voor Nederland, 21-07-1947). Mochtar Lubis lalu bergabung ke grup
media Merdeka pimpinan BM Diah Harahap saat majalah republik yang baru Masa
Indonesia (The Times of Indonesia) dimana Mochtar Lubis sebagai redaktur. Namun
dalam perkembangannya, Mochtar Lubis digeser menjadi editor kepala majalah
bergambar Merdeka, group koran Merdeka. Namun tidak lama kemudian kantor berita
Antara diizinkan kembali beroperasi Mochtar Lubis kiembali menjadi kepala
editor dan kantor berita Antara akan melayani kembali koran republik Merdeka
(lihat (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia,
04-03-1948). Mochtar Lubis dan Adam Malik adalah estafet insan pers dari Padang
Sidempoean yang telah dirintis Parada Harahap. Segera setelah pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Mochtar Lubis mendirikan koran baru yang
diberi nama Indonesia Raya yang sekaligus bertindak sebagai editor. Sementara
itu kawan seperjuangannya Sakti Alamsjah dengan kawan-kawannya di Bandoeng
mendirikan surat kabar Pikiran Rakjat (Uniknya Indonesia Raja dan Pikiran
Rakjat memiliki motto yang sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’.
Singkat cerita: Adam Malik (kantor berita Antara) menjadi Menteri Luar Negeri,
BM Diah (surat kabar Merdeka) menjadi Menteri Penerangan. Menteri Penerangan
yang baru Boediardjo menggantikan posisi BM Diah. Itulah mengapa ketika Menteri
Penerangan coba membatasi pers, Menteri Luar Negeri Adam Malik menjawab ketika
dikonfirmasi oleh pers. Dalam hal ini Mochtar Lubis (Indonesia Raja) dan Nono
Makarim (KAMI) juga ada yang mengawal.
Setelah soal pers mulai kondusif lagi, Nono
Makarim mulai mengurangi beban tugasnya di harian KAMI. Nono Makarim tampaknya
ingin segera menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Pengganti
kepala redaktur di harian KAMI adalah Ismi Hadad, usia 30 tahun (lihat Nieuwsblad
van het Noorden, 19-10-1970). Dalam berita ini disebutkan harian KAMI bertiras
10.000 sebagai corong mahasiswa yang mana Ismi Hadad dibantu sebanyak 21
jurnalis tetap. Juga disebutkan Ismi Hadad akan menemui hambatan karena cara
berpikir yang berbeda dari Jenderal Soemitro (wakil Komkamtib). Namun Nono
Makarim dan Ismi Hadad merasa tidak perlu khawatir sebab di kampus UI telah
lahir seorang junior baru yang lebih militan. Seperti sebelumnya disebutkan
Ismi Hadah bahwa jurnalisme bukan hanya sebuah profesi, tetapi di atas semua
itu adalah misi di garis depan demokrasi Indonesia (lihat Nieuwsblad van het
Noorden, 19-10-1970).
Nono Makarim diantara kesibukannya, juga mendirikan suatu lembaga yang
tidak terkait dengan gerakan mahasiswa. Lembaga tersebut menurut sumber pers
Belanda adalah Instituut voor Research, Opvoeding en Informatie voor Sociale en
Economische Zaken (lihat NRC Handelsblad, 18-09-1971). Lembaga ini tentu saja
mirip apa yang disebut sebagai Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang didirikan pada tanggal 19 Agustus 1971. Untuk
sekadar mengenang: Pada tahun 1991 saya lulus seleksi di LP3ES tetapi karena
waktu yang bersamaan juga lulus seleksi di lembaga riset di Universitas
Indonesia, saya harus pilih satu. Pendirian lembaga LP3ES ini oleh Nono Makarim
boleh jadi terinspirasi dari pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang digagas
oleh Adnan Buyung Nasution yang didirikan pada tanggal 28 Oktober 1970.
Nieuwsblad van het Noorden, 19-10-1970 |
Cikal bakal Dewan Mahasiswa UI sejatinya sudah
terbentuk pada tahun 1947, Saat itu Universitas Indonesia masih bernama
Universiteit van Indonesie. Ida Nasoetion (Departemen Sastra) dan G. Harahap
(Departemen Publisistik) yang sama-sama kelahiran Padang Sidempoean menginisasi
dan meresmikan organisasi mahasiswa dengan nama Perhimpunan Mahasiswa
Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947 (lihat
Het dagblad :uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948). Pada
awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa
dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100
mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah
presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia. Sementara itu Jogjakarta, Lafran
Pane, kelahiran Padang Sidempoean beberapa bulan sebelumnya telah mendirikan organisasi
mahasiswa tanggal 5 Februari 1947 yang diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI). Lafran Pane kemudian menjadi Presiden pertama HMI.
Last but not least: Organisasi mahasiswa Indonesia
pertama didirikan pada tanggal 24 Oktober 1908 di Leiden. Organisasi ini
digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan kelahiran Padang
Sidempoean dan menjadi presiden pertama. Organisasi ini diberi nama Indische
Vereeniging (Perhimunan Hindia). Pada tahun 1922 Dr. Soetomo dkk mengubah
namanya menjadi Indonesiasche Vereeniging. Lalu terakhir pada era kepengurusan Mohamad
Hatta dkk pada tahun 1924 namanya kembali diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia
(PI). Dalam hal ini, serba kebetulan pendiri organisasi mahasiswa berasal dari
Padang Sidempoean (Tapanuli Selatan): Soetan Casajangan, Lafran Pane, Ida
Nasution dan (tentu saja) Januar Hakim Harahap.
Sepulang dari studi, dan menyelesaikan master hukum di Harvard Law School
tahun 1975, Nono Makarim pulang ke tanah air. Nono Makarim bekerja di Kantor
Hukum Adnan Buyung Nasution di Djakarta. Sebagaimana diketahui bahwa Adnan
Buyung Nasution selain lulusan UI juga adalah master dalam bidang hukum lulusan
Uni. Melbourne tahun 1960. Boleh dikatakan duo praktisi hukum militan ini yang
merupakan lulusan UI dan sama-sama master dari luar negeri.
Peristiwa Malari 1974 |
Dalam perkembangannya Nono Makarim kembali ke Amerika Serikat untuk
melanjutkan studinya ke tingkat doktoral di Harvard Law School. Pada tahun 1978
Nono Makarim meraih gelar doktor (Ph.D) dengan disertasi berjudul Companies and
Business in Indonesia. Nono Makarim, Ph.D kembali bekerja di kantor hukum Adnan
Buyung Nasution.
Adnan Buyung Nasution tetaplah Adnan Buyung
Nasution. Cara pandang kritisnya pada pemerintah tidak pernah surut. Akibat
berbagai tekanan pemerintah terhadap sepak terjang Adnan Buyung Nasution dalam
advokasi hukum mengungsi ke Belanda. Dalam kesempatan menyendiri ini di
Belanda, Adnan Buyung mengikuti program doktoral dan berhasil gelar doktor
(Ph.D) dalam bidang hukum pada tahun 1992 di Utrecht.
Orang Indonesia pertama peraih gelar doktor hukum
adalah Mr. Gondokoesoemo dan RM Koesoema Atmadja tahun 1922. Lalu kemudian R
Soegondo pada tahun 1923 serta menyusul Alinoedin Siregar gelar Radja Enda
Boemi pada tahun 1925. Empat pertama doktor hukum ini lulus di Univ. Leiden. Orang
Indonesia pertama Indonesia sendiri yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah
Husein Djajadiningrat pada tahun 1913 di Univ. Leiden. Hingga tahun 1933 jumlah
orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) di luar negeri baru sebanyak 26
orang dan hanya satu orang perempuan yakni Ida Loemongga Nasution di Utrecht. Daftar lengkapanya adalah sebagai berikut: (1)
Husein Djajadiningrat (Indologi, 1913); (2) Dr. Sarwono (medis, 1919); (3) Mr.
Gondokoesoemo (hukum 1922); (4) RM Koesoema Atmadja (hukum 1922); (5) Dr.
Sardjito (medis, 1923); (6) Dr. Mohamad Sjaaf (medis, 1923); (7) R Soegondo
(hukum 1923); (8) JA Latumeten (medis, 1924); (9) Alinoedin Siregar
gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (10) R. Soesilo (medis, 1925); (11) HJD
Apituley (medis, 1925); (12) Soebroto (hukum, 1925); (13) Samsi Sastrawidagda
(ekonomi, 1925); (14) Poerbatjaraka (sastra, 1926); (15) Achmad Mochtar
(medis, 1927); (16) Soepomo (hukum, 1927); (17) AB Andu (medis, 1928); (18) T
Mansoer (medis, 1928); (19) RM Saleh Mangoendihardjo (medis, 1928); (20) MH
Soeleiman (medis, 1929); (21) M. Antariksa (medis, 1930); (22) Sjoeib
Proehoeman (medis, 1930); (23) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (24)
Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (25) Ida Loemongga Nasution (medis,
1931); (26) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan
filsafat, 1933). Jumlah doktor terbanyak berasal dari (pulau) Djawa, yang kedua
dari Residentie Tapanoeli. Cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling
(kabupaten) Padang Sidempoean, Tapanoeli Selatan.
Mereka yang disebut di atas semuanya mendapat
gelar Ph.D di Belanda. Orang Indonesia terakhir yang meraih gelar Ph.D di
Belanda Ong Eng Bie (ekonomi, Amsterdam, 1942), Soemitro Djojohadikoesoemo
(ekonomi, Rotterdam, 1942) dan Masdoelhak Nasution (hukum, Utrecht, 1942) dan Tan
Goan Po (ekonomi, Amsterdam, 1942),. Untuk sekadar diketahui dua yang pertama
pernah menjadi menteri. Ong Eng Bie (kabinet Amir Sjarifoeddin Harahap) dan Soemitro
Djojohadikoesoemo (kabinet Natsir). Soemitro Djojohadikoesoemo (ayah Prabowo
Subianto) adalah kakak kelas Anwar Makarim (kakek Nadiem Makarim) di Prins
Hendrik School Batavia. Masdoelhak Nasution, Ph.D adalah penasehat hukum
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Masdoelhak Nasution, Ph.D
ditangkap saat Agresi militer Belanda 19 Desember 1948 di Jogjakarta dan
ditembak/hukum mati oleh Belanda beberapa hari kemudian. Tan Goan Po bersama Soemitro
Djojohadikoesoemo menjadi dosen di Fakultas Ekonomi, UI. Entah kebetulan, tiga
Nasution sama-sama meraih gelar doktor (Ph.D) di Univ. Utrecht: Ida Loemongga
Nasution, 1930; Masdoelhak Nasution, 1942; dan Adnan Buyung Nasution, 1992.
Pada 1980 Nono Makarim mendirikan kantor hukum
bersama Frank Taira Supit teman seperjuangannya ketika studi di Harvard. Kantor
hukum mereka disebut Makarim & Taira S. Salah satu stafnya bernama Hotman
Paris Hutapea.
Nono Makarim menikah dengan Atika Algadri. Nono
Makarim dan Atika Algadri adalah ayah dan ibu dari Nadiem Makarim, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada saat ini. Atika Algadri adalah anak dari Hamid
Algadri. Ayah Nono Makarim (Anwar Makarim) dan Hamid Makarim (ayah Atika
Algadri) sama-sama pernah sekolah di Prins Hendrik School Batavia. Pada era
Perang Kemerdekaan, Anwar Makarim berada di wilayah Negara Pasoendan (di
Bandoeng), dan Hamid Algadri berada di wilayah RI (Jogjakarta).
Hamid Algadri setelah lulus di sekolah Prins
Hendrik School melanjutkan studi ke sekolah tinggi hukum (Rechtjoogeschool) di
Batavia, 1936. Di sekolah hukum ini terdapat dua tokoh pemuda yakni Amir Sjarifoeddin
Harahap (masuk pada tahun 1927) dan Mohamad Jamin. Pada Kongres Pemuda 1928
keduanya bertindak sebagai Sekretaris (Mohamad Jamin) dan Bendahara (Amir
Sjarifoeddin Harahap). Oleh karena keduanya sangat aktif dalam partai politik,
baru tahun 1937 Amir Sjarifoeddin Harahap lulus dan ditempatkan sebagai
pengacara di Soekaboemi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
11-12-1937). Dua tahun kemudian pada tahun 1939 Hamid bin Mohamad Algadri lulus
ujian bagian kedua di Rechthoogeschool di Batavia (lihat De Indische courant, 10-08-1939).
Pada pembentukan GAPI tahun 1939 Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (partai Gerindo)
duduk sebagai salah satu pimpinan. Hamid Algadri berpartisipasi sebagai
perwakilan partai PAI (partai Persatoean Arab Indonesia).
Algemeen Indisch dagblad, 27-05-1947 |
Setelah Indonesia merdeka, pada saat Belanda/NICA
kembali ke Indonesia, dibentuk kabinet parlementer (pada November 1945) yang
mana dua matahari Soetan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan. Untuk membantu sekretariat
Kementerian Penerangan, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap meminta temannya Mr. Hamid
Algadri sebagai kepala sekretariat Kementerian Penerangan. Ketika Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap diangkat sebagai Perdana Menteri (menggantikan Sjahrir)
dan merangkap sebagai Menteri Pertahanan pada bulan Juli 1947 jabatan Kepala
Sekretariat Kementerian Penerangan masih dijabat terus oleh Mr. Hamid Algadri.
Dalam fase inilah Mr. Hamid Algadri juga aktif berpartisipasi dalam persiapan
dan pelaksanaan konferensi Linggarjati yang dipimpin oleh Soetan Sjahrir dan
konferensi Renville yang dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Pada
bulan Januari 1948 kabinet Amir Sjarifoeddin Harahap berakhir (dan digantikan
kabinet Mohamad Hatta), jabatan Mr. Hamid Algadri juga berakhir di
pemerintahan. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mr. Hamid Algadri memiliki masa
jabatan yang sama di pemerintahan.
Provinciale Drentsche en Asser courant, 23-08-1949 |
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 19-10-1950 |
Hasil KMB tidak membuat nyaman. Para Republiken,
terutama di Sumatra Timur terus memperjuangkan negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Lalu di Negara Sumatra Timur diadakan referendum yang
dimenangkan oleh Republiken. Lalu pemerintah pusat mengadopsi NKRI dan
membubarkan RIS pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada tanggal 6 September kemudian
Kabinet RI di Jogjakarta juga dibubarkan. Sementara itu diantara kalangan orang
Arab masih terkotak-kota dalam tiga kelompok. Lalu ada upaya untuk
menyatukannya menjadi satu federasi saja Arabittah Allawijjah (keturunan Nabi),
Al Irshad (Indo Arab yang lahir di Indonesia) dan Alketirijjah (pecahan dari Al
Irshad). Upaya ini berhasil yang mana semuanya menjadi warga RI (lihat Algemeen
Indisch dagblad : de Preangerbode, 19-10-1950). Juga disebutkan bahwa saat ini
terdapat empat perwakilan minoritas Arab yang ditunjuk pemerintah di parlemen yakni
Hamid Algadri, Achmad bin Sjechan Bahmid, Sajid Bahreisj dan Abdurrachman
Baswedan. Mereka berampat inilah yang cukup berperan mempersatukannya. Dalam
kongres yang diadakan di Malang tanggal 21 hingga 26 Desember komunitas Arab
sepakat membentuk federasi tunggal yang disebut Badan Konferensi Bangsa Indoncsia
Turunan Arab (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 29-12-1950). Disebutkan
susunan pimpinan adalah Hamid Algadri, Said Bahresj dan Husain Basagih yang mana sebagai penasihat adalah
AR Baswedan. Satu resolusi yang
dihasilkan dalam kongres tersebut adalah meminta Pemerintah untuk tidak
memperlakukan apa yang disebut kelompok minoritas dengan cara khusus (dengan
kata lain: diperlakukan sebagai bangsa Indonesia). Untuk sekadar catatan
tambahan: Pada bulan Januari 1951 Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur
Sumatra Utara (Tapanuli, Atjeh dan Sumatra Timur).
Het vrije volk: democ.-socialistisch, 10-08-1955 |
Satu pertanyaan yang masih tersisa adalah mengapa
Nono Makarim sangat aktif berpartisipasi dalam perjuangan mahasiswa untuk
melawan komunis dan menumbangkan rezim orde lama yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno. Lalu di tangan Nano Makarim, majalah/harian KAMI menjadi sangat
powerful. Apakah karena pengaruh langsung atau tidak langsung dari Hamid
Algadri?
Komunitas
Arab telah memperjuangkan eksistensinya menuju terbentuknya Indonesia. Ini
dimulai dengan pembentukan Persatoean Arab Indonesia yang kemudian bergeser
menjadi partai politik. Pada saat dibentuk GAPI tahun 1939 Partai PAI ikut
bergabung untuk menjadi Indonesia seutuhnya (berseberangan dengan Belanda).
Dalam pembentukan BPUPKI golongan Arab terwakili melalui AR Baswedan. Dalam
perang kemerdekaan, meski banyak anggota komunitas Arab yang terbuka kepada
kehadiran Belanda/NICA namun tokoh Hamid Algadri yang 100 persen RI
(Jogjakarta) menyebabkan marwah komunitas Arab-Indonesia tetap terjaga. Akhirnya
pasca berakhirnya RIS dan terbentuknya NKRI, komunitas Arab menyatukan barisan
dalam satu federasi. Hamid Algadri dan AR Baswedan sangat berperan.
Situasi
cepat berubah. Ketika Perdana Menteri Burhanuddin Harahap mengangkat Hamid
Algadri sebagai Menteri Kehakiman, muncul ketidak sepakatan. Akhirnya, oleh
partainya sendiri (PSI) menganulir Hamid Algadri sebagai Menteri Kehakiman. Namun
Hamid Algadri tidak putus asa dan terus berjuang dan akhirnya terpilih sebagai
salah satu anggota parlemen hasil Pemili 1955. Meski Hamid Algadri mewakili
PSI, sejatinya perwakilan dari komunitas minoritas (Tionghoa dan Arab) tetap
mendapat jatah di parlemen. Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (yang menggantikan
Kabinet Burhanuddin Harahap), jatah tersebut ingin dihapus. Lalu muncul
interpelasi yang diinisiasi oleh Siauw Giok Tjhan (Baperki). Interpelasi ini juga
mendapat dukungan kuat dari Masjumi. Hamid Algadri (PSI) menyindir pemerintah dengan
menyatakan bahwa kelompok Arab telah lama dianggap sebagai kelompok minoritas (mendapat
jatah, seperti dirinya menjadi anggota parlemen sebelum Pemilu 1955). Untuk
mewakili kelompok ini, pemerintah harus memperhitungkan fakta bahwa mayoritas
kelompok ini memiliki lebih banyak gagasan sosialis (lihat Algemeen Indisch
dagblad : de Preangerbode, 01-11-1956). Dalam hal ini Hamid Algadri meminta
pemerintah untuk memberi jatah kepada kelompok minoritas. Tampaknya partai PKI (pemenang
keempat pemilu) yang bermain di belakang dengan kebijakan untuk menghapus jatah
tersebut. Boleh jadi karena itu Hamdi Algadri menggarisbawahi dengan menyatakan
bahwa sebagian besar kelompok minoritas Arab memiliki lebih banyak gagasan
sosialis. Apakah pernyataan ini juga sekaligus untuk menyindir orang-orang di partinya
sendiri PSI yang menganulir dirinya sebagai kandidat Menteri Kehakiman?
Hamid Algadri adalah tokoh Arab Indonesia yang
sangat kuat. Tokoh yang kemudian berseberangan dengan partai PKI. Lantas apakah
Nono Makarim telah mengidolakan tokoh Hamid Algadri? Hamid Algadri kelak
menjadi mertua Nono Makarim.
Satu pertanyaan yang tersisa adalah siapa
sesungguhnya Anwar Makarim, ayah dari Nano Makarim atau kakek dari Menteri
Nadiem Makarim? Di Wikipedia disebut ayah Nano Makarim berasal dari Minangkabau.
Lantas dimana kampongnya di West Sumatra? Mari kita lacak lebih lanjut.
Nederlandsch-Indisch handelsblad, 15-06-1832 |
Keberadaan awal nama-nama (marga) Makarim di
Hindia Belanda (baca: Indonesia) adalah pengusahan kapal, melayani perdagangan
antar kota. Kapal Toop yang dinakhodai oleh Sech Achmat Makarim tiba di dari
Riaou dan Singapoere (lihat Javasche courant, 14-01-1835). Disebutkan kapal
Toop ini membawa 14 pikol gambir, ¼ Do kulit poeloesane, 5 ½ Do beng, lijnwaden
dan 5 st tapijten.
Pada
tahun 1838 diberitakan nama Sech Oemar bin Abdulla Makarim di Chirebon (lihat Javasche courant, 27-06-1838).
Siapa Sech Oemar? Apakah Sech Omar dan Sech Ahmad bersaudara kandung dan ayah
mereka Abdullah Makarim? Kapal Sech Oemar adalah Joussoor tercatat tiba di
Batavia dari Chirebon (lihat Javasche courant, 01-12-1841). Kapal Joussoor tiba
di Soerabaja (lihat Javasche courant, 22-12-1841). Pada tahun 1842 kapal Atjat
Torachman yang dinakohdai Sech Oemar dari Batavia ke Tagal dam Molukko (lihat Javasche
courant, 13-08-1842). Demikian seterusnya.
Nama Makarim (Sech Ahmad dan Sech Oemar) pada
dasarnya berbasis di Tjirebon. Kapal-kapal mereka tidak hanya di pantai utara
Jawa tetapi juga sampai ke Riaou, Singapoera dan Maluku. Paling tidak sejauh
ini terdapat dua garis Makarim: Sech Achmad bin Abdulrahman Makarim dan Sech
Oemar bin Said Makarim. Nama Makarim tampaknya telah menjadi suatu marga. Sech
Ahmad dan Sech Oemar tampaknya sudah pensiun dari dunia pelayaran. Pada tahun
1850 muncul nama Sech Mohamad bin Ali Makarim (lihat Samarangsch
advertentie-blad, 01-06-1850). Sech Mohamad anak dari Ali Makarim tampaknya
melanjutkan usaha pelayaran para pamanya (Sech Ahmad dan Sech Oemar).
Samarangsch advertentie-blad, 01-06-1850 |
Nama keluarga Makarim di dalam dunia pelayaran sudah tidak muncul lagi.
Pada tahun 1866 salah satu onggota keluarga Makarim di (kampong) Darat menjual
sejumlah properti di Semarang (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 29-10-1866). Sudah terlihat ada yang menjadi importir (lihat
Bataviaasch handelsblad, 10-08-1867). Kembali anggota keluarga Makarim menjual
properti di kampong Darat (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 27-09-1867). Kembali terjadi penjualan properti di Darta dan
kampong Malajoe (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
11-03-1868).
De locomotief : Samarangsch, 28-07-1875 |
Keluarga marga Makarim semakin menyebar di
berbagai kota. Pada tahun 1877 terdeteksi kapal Djoedoel Karim yang dinakhodai
oleh Sech Assim bin Ali Makarim di Semarang dengan rute Soerabaja (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 14-05-1877), Ini menunjukkan bahwa keluarga Makarim masih ada
yang meneruskan usaha pelayaran. Kapal Djoedoel Karim yang dinakhodai oleh Sech
Assim bin Ali Makarim rutenya juga sampai ke Sumanap (lihat De locomotief, 12-11-1877).
Beberapa keluarga masih ada yang tinggal di Chirebon.
Bataviaasch handelsblad, 27-07-1881 |
Pada tahun 1899 Mohamad Makarim dengan tiga anak berangkat
ke Singapoera (lihat De Preanger-bode, 29-11-1899). Pada tahun 1904 tiga orang
Makarim berangkat dari Batavia dengan kapal ss Koningin Wilhelmina dan turun di
Padang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-12-1904).
Dalam manifest kapal ketiga Makarim tersebut adalah Sech Ali bin Mohamad
Makarim, Sech Achmad bin Ali Makarim dan Sech Mohamad bin Abdoelah Makarim.
Beberapa bulan kemudian Sech Salim bin Mohamad Makarim berangkat dari Batavia
dengan kapal ss Mossel ke Padang (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 14-08-1905).
Het nieuws van den dag voor N-Indie, 21-12-1904 |
Yang kerap bolak balik Batavia-Padang adalah Sech
Salim bin Mohamad Makarim. Lantas muncul pertanyaan apakah Sech Salim bin
Mohamad Makarim adalah ayah atau saudara/sepupu dari tiga Makarim lainnya yang
ada di Padang? Dalam perkembangannya hanya satu nama Makarim yang kerap muncul
di Padang yakni Sech Salim Makarim. Pada bulan November 1907 (Sech) Salim (bin
Mohamad) Makarim diketahui berkunjung ke Kotaradja, Atjeh (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 13-11-1907).
Pada
tahun-tahun dimana Sech Salim bin Mohamad Makarim mulai menetap di kota Padang,
Dja Endar Moeda adalah tokoh terkenal di kota Padang. Dja Endar Moeda diketahui
adalah seorang pensiunan guru. Setelah pulang haji dari Mekkah, Dja Endar Moeda
menetap di kota Padang dan mendirikan sekolah (swasta( di kota Padang pada
tahun 1895. Dja Endar Moeda banyak menulis buku, buku pelajaran sekolah dan
buku umum termasuk novel. Pada tahun 1897 Dja Endar Moeda menjadi editor surat
kabar berbahasa Melayu milik investor Eropa di Padang yakni Pertja Barat. Pada
tahun 1900 Dja Endar Moeda diketahui telah mengakuisisi surat kabar Pertja
Barat termasuk percetakannya. Dalam hal ini boleh dikatakan Dja Endar Moeda
adalah orang pribumi pertama yang menjadi editor surat kabar (inestasi Eropa)
dan juga orang pribumi yang memiliki percetakan. Pada 1900 ini Dja Endar Moeda
mendirikan surat kabar yang baru berbahasa Melayu yakni Tapian Naoeli. Masih
pada tahun 1900 ini Dja Endar Moeda menggagas didirikannya organisasi
kebangsaan yang disebut Medan Perdamaian yang sekaligus menjadi direktur
pertama. Pasca didirikannya Medan Perdamaian, Dja Endar Moeda mendirikan lagi
satu majalah bulanan berbahasa Melayu yang diberi nama Insulinde. Pada tahun
1903 Dja Endar Moeda dan Dr. Abdul Rivai serta salah satu editor majalah
bulanan Insulinde berangkat ke Belanda untuk membantu majalah bulanan yang
terbit di Belanda yakni Bintang Hindia. Lalu Dja Endar Moeda kembali ke Padang,
tetapi Dr. Abdul Rivai menjadi editor Bintang Hindia yang dibantu oleh Djamaloedin
(editor majalah Insulide). Pada tahun 1903 ini Dja Endar Moeda menikahkah
putrinya bernama Alimatoe’saadiah, lulusan sekolah guru Kweekschool di Fort de
Kock dengan dokter muda yang ditempatkan di Padang. Dokter muda tersebut adalah
Haroen Al-Rasjid Nasution (kelahiran Padang Sidempoean). Alimatoe’saadiah
adalah perempuan pribumi yang bersekolah di sekolah Eropa (ELS) di Padang. Pada
tahun 1903 Dja Endar Moeda menerbitkan buku kecil untuk pedoman bagi calon haji
ke Mekkah yang diadopsi oleh pemerintah dan dicetak secara luas. Pada tahun
1905 Dja Endar Moeda kembali menerbitkan surat kabar baru yang kali ini
berbahasa Belaanda di Padang. Pada tahun-tahun inilah Sech Salim Makarim
terdeteksi keberadaannya di Padang. Pada tahun 1905 ini Soetan Casajangan
berangkat studi ke Belanda. Mahasiswa pribumi pertama di Belanda baru satu
orang yakni Raden Kartono (abang dari RA Kartini). Pada tahun 1907 Dja Endar
Moeda terkena delik pers dan dihukum cambuk dan diusir dari kota Padang. Lalu
Dja Endar Moeda menyerahkan bisnisnya kepada adiknya Dja Endar Bongsoe. Dja
Endar Moeda hijrah ke Atjeh tahun 1907 dan menerbitkan suratkabar Pembrita
Atjeh di Kotaradja dan masih pada tahun yang sama bersama Sech Ibrahim
mendirikan organisasi Sjarikat Tapanoeli di Medan. Pada tahun inilah diketahui
Sech Salim Makarim berada di Kota Radja. Pada tahun 1908 bulan Mei di Batavia
didirikan organisasi kebangsaan yang disebut Boedi Oetomo dan pada bulan
Oktober 1908 Soetan Casajangan mendirikan organisasi mahasiswa di Belanda yang
disebut Indische Vereeniging (kelak tahun 1923 oleh Mohamad Hatta dkk mengubah
namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia). Pada tahun 1909 Dja Endar Moeda di
Medan mendirikan surat kabar Pewarta Deli.
Saleh
Harahap gelar Dja Endar Moeda, kelahiran Padang Sidempoean, alumni sekolah guru
Kweekschool Padang Sidempoean pada tahun 1884. Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean.
Cucu tertua Dja Endar Moeda (anak dari Dr. Haroen Al Rasjid dan Alimatoe’saadiah)
bernama Ida Loemongga yang lahir tahun 1905 di Padang adalah perempuan Indonesia
pertama bergelar doktor (Ph.D). Ida Loemongga Nasution adalah lulusan sekolah
Prins Hendrik School di Batavia (1922) dan meraih gelar dokter di Univ. Utrecht
tahun 1927 dan kemudian pada tahun 1930 meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang
kedokteran di Univ. Amasterdam. Cucu Dja Endar Moeda yang lainnya adalah Gele
Haroen (adik dari Ida Loemongga) menyelesaikan sekolah hukum dengan mendapat
gelar Meester (Mr) di Universiteit Leiden tahun 1936. Gele Haroen Nasution
adalah Residen pertama Lampoeng (kini sedang diusulkan menjadi Pahlawan
Nasional).
Sech Salim Makarim tetap tinggal di Padang dengan
bisnisnya yang terus berkembang. Sech Salim Makarim diketahui masih kerap ke
Batavia yang diduga terkait kunjungan keluarga atau urusan bisnis.
Haagsche courant, 03-12-1912 |
Dalam perkembangannya nama Salim Makarim kemudian
diketahui secara lengkap dengan nama Sech Salim bin Mohamad bin Abdullah bin
Ali Makarim (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-08-1919). Pada masa itu ada
kecenderungan semakin panjang nama seseorang (ketika menuliskan namanya) menunjukkan
tingkat sosial yang lebih baik.
Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902 |
Organisasi
kebangsaan Sumatranen Bond (Sumatra Sepakat) kali pertama didirikan di Belanda
pada bulan Januari 1917 di Utrect, Belanda atas gagasan mahasiswa kedokteran
hewan Sorip Tagor Harahap. Sebagai ketua adalah Sorip Tagor Harahap, sekretaris
adalah Dahlan Abdoellah dan bendahara adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia. Salah satu anggota pengurus adalah Tan Malaka. Lalu pada bulan Desember
1917 di Batavia didirikan Jong Sumatra yang mana sebagai ketua T Mansoer dan wakil
ketua Abdul Moenir Nasution yang mana salah satu anggota pengurus adalah Amir
(ketua kongres di Padang 1919). Kelak nama-nama tersebut cukup dikenal. Dahlan
Abdoellah menjadi Wali Kota Batavia di era Jepang (di Soerabaja sebagai wali
kota Dr. Radjamin Nasution); Tan Malaka sebagai tokoh politik; Soetan Goenoeng
Moelia sebagai Menteri Pendidikan kedua tahun 1945 (menggantikan Ki Hadjar
Dewantara); Dr, Amir menjadi Wakil Gubernur Sumatra; Sorip Tagor Harahap lebih
dikenal sebagai dokter hewan pertama Indonesia. Dr. Sorip Tagor kelairan Padang
Sidempoean kini lebih dikenal sebagai kakek buyut Inez dan Risty Tagor serta
Destri Astriani Tagor (istri Setya Novanto, mantan ketua DPR).
Hingga tahun 1930 Sech Salim Makarim teridentifikasi
masih tetap tinggal di Padang. Namun setelah itu, Sech Salim Makarim dan
keluarga diduga telah pindah ke Batavia. Kepindahan itu diduga sehubungan
dengan anaknya yang ketiga, Anwar Makarim sudah bersekolah di Batavia. Dua
anaknya sebelum itu sudah lebih dahulu bersekolah di Batavia. Kepindahan ini juga
diduga karena bisnis Salim Makarim juga ada di Batavia.
Namun
bisnis Salim Makarim di Batavia tidak berkembang baik. Bisnis Salim Makarim mengalami
kemunduran dan kemudian dinyatakan pailit pada tahun 1932 (lihat De Indische
courant, 18-04-1932). Disebutkan oleh Raad van Justitie te Batavia salah satu
diantara yang dinyatakan pailit adalah Sech Salim Makarim yang tinggal di kota
Batavia (Batavia-stad) di kampong Laksa.
Marga Makarim di Padang
Marga Makarim yang ada di Padang adalah keturunan dari Sech Achmad bin
Abdulrahman Makarim (yang bermula di Chirebon). Makarim terkenal di Padang
adalah Sech Salim bin Mohamad bin Abdullah bin Ali Makarim. Sebagai pedagang, Salim
Makarim kerap ke Batavia.
.
Pada tahun 1921 ada sebanyak lima orang anak dari
keluarga marga Makarim di Padang yang disetarakan dengan Eropa/Belanda, yakni:
Sech Salim Makarim, Sech Mohamad Makarim, Sech Ali Makarim, Sech Anwar Makarim
dan Siti Moehani Makarim. Daftar yang disetarakan ini dituangkan dalam Staatsblad
tahun 1921 No 333 (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor..., 1921).
Staatsblad tahun 1921 No 333 |
Sech Salim Makarim atau nama lengkapya Sech Salim
bin Mohamad bin Abdullah bin Ali Makarim memiliki istri bernama Rika (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 27-04-1920). Disebutkan Rika telah mengadopsi nama
(marga) Gamaria sehingga namanya menjadi Rika Gamaria. Pada saat Rika diizinkan
untuk mengadopsi nama marga Gamaria juga diumumkan oleh pengadilan bahwa nama
Si Kasima, istri dari PH de Schrijver mengadopsi nama marga van Engelen.
Nederlandsche staatscourant, 09-12-1918 |
Seperti biasanya saat itu, nama seorang laki-laki yang menjadi ayah dijadikan
nama keluarga (marga) dan disahkan oleh pengadilan Hindia Belanda. Penabalan
nama family name Rika Gamaria ini mirip dengan tradisi di Tapanoeli yang mana jika
perempuan yang akan menikah tidak memiliki marga dengan sendirinya ditabalkan nama
marga untuk digunakannya (biasanya marga yang digunakan mengikuti marga dari
ibu si calon pengantin). Dalam kasus ini, Rika sendiri mengajukan nama Gamaria
sebagai nama keluarganya. Saat itu nama Gamaria adalah nama kapal Gamaria yang
berpusat di (pelabuhan) Calcutta. Lantas apakah nama perempuan pribumi yang bernama
Rika mengadopsi nama Gamaria. Nama Rika pada era itu tidak ditemukan pada nama perempuan
pribumi, tetapi nama Rika banyak disebut untuk nama perempuan Eropa/Belanda dan
India.
Bataviaasch nieuwsblad, 27-04-1920 |
Pada tahun 1927 diberitakan bahwa seseorang pejabat
pemerintah Soetan Sjahboedin telah mendaftarkan nama ayahnya menjadi nama
keluarga (Bataviaasch nieuwsblad, 16-12-1927). Selama ini yang bersangkutan menulis
namanya dengan nama Soetan Sjahboedin Proehoeman yang mana Prohoeman adalah
nama ayahnya. Berdasarkan keputusan pemerintah, kepada Soetan Sjahboedin
Proehoeman diberikan nama keluarga (marga) Proehoeman, keluarganya dan
keturunan lainnya yang dilisensikan dengan nama keluarga. Soetan Sjahboedin
adalah abang dari Dr, Sjoeib Proehoeman (yang tengah mengikuti program doktoral
di bidang kedokteran di Belanda). Soetan Sjahboedin Proehoeman dan Sjoeib
Proehoeman adalah anak dari Radja Proehoeman Lubis dari Pakantan (Mandailing).
Si Badorang gelar Radja Proehoeman adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean
yang melanjutkan studi (kursua) kedokteran hewan di Buitenzorg dan lulus meraih
dokter hewan pada tahun 1886. Setelah ditempatkan sebagai dokter hewan
pemerintah dan berapa kali pindah tempat akhirnya pada tahun 1906 Radja
Proehoeman dutempatkan di Padang Sidempoean. Ketika sekolah kedokteran hewan
(Veeartsenschool) dibuka tahun 1907 di Buitenzorg, Radja Proehoeman membawa
Sorip Tagor ke Buitenzorg untuk seleksi dan diterima. Lalu kemudian dua tahun
berikutnya tahun 1909 Radja Proehoeman, anaknya sendiri membawa ke Batavia untuk
seleksi dan diterima di STOVIA. Setelah lulus dan menjadi asisten dosen di
Veeartsenschool Buitenzorg, Sorip Tagor tahun 1913 melanjutkan studi ke Belanda
dan lulus dokter hewan di Utrecht tahun 1920 (dokter hewan Indonesia pertama).
Sedangkan Sjoeeib Proehoeman lulus STOVIA tahun 1917. Setelah berdinas sebagai
dokter pemerintah dan beberapa pindah, pada tahun 1926 melanjutkan studi
kedokteran ke Belanda dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1930. Nama
Proehoeman sudah ditabalkan sebagai marga baru dan diduga hal yang sama terjadi
pada keluarga (Sorip)Tagor. Dalam hal ini nama family name Proehoeman dan Tagor
merujuk pada marga Lubis (Proehoeman sebagai cabang dari marga Lubis) dan marga
Harahap (Tagor sebagai cabang dari marga Harahap).
Sech Achmad bin Ali Makarim yang datang ke Padang
tahun 1904 terakhir diketahui berada di Penang (lihat De Sumatra post,
18-12-1928). Disebutkan Sech Achmad bin Ali Makarim bersama istri dengan kapal
ss Kedah berangkat ke Penang.
Pada tahun-tahun
di seputar tahun Kongres Pemuda ini, nama-nama Makarim yang menonjol adalah
sebagai beikut. Awab Makarim seorang pengusaha dan aktivis yang menjadi salah
satu pengurus Vereeniging ‘Allahdhibijah’ organisasi persatuan Arab yang sangat
kuat di Soerabaja (lihat De Indische courant, 30-08-1926). Sech Salim bin
Mohamad Makarim sebagai orang kaya di Batavia (lihat Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 19-03-1927). Sech Oesman bin Mohamad Makarim sebagai seorang pengusaha
di Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 02-03-1928). Namun yang tetap menjadi
pertanyaan adalah siapa Rika alias Rika Gamaria? Yang jelas Rika Gamaria adalah
istri dari Sech Salim Makarim. Lantas, siapa keluarga Rika, siapa ayahnya,
siapa ibunya dan siapa saudara-saudaranya? Tentu saja kelaurga Rika bukan orang
bisaya tetapi keluarga terhormat yang memiliki tradisi pendidikan di dalam
keluarga. Sebab anak-anak Salim Makarim dan Rika Gamaria merupakan keluarga
Arab yang terbilang awal dalam pendidikan Eropa (KWS/PHS di Batavia).
Bataviaasch nieuwsblad, 18-05-1929 |
Ali Makarim diduga adalah anak kedua dari Sech Salim
Makarim dan Rika Gamaria (diterima di KWS pada tahun 1929). Anak ketiga mereka
adalah Anwar Makarim yang diterima di KWS tahun 1930. Pada tahun ketiga Anwar
Makrim pindah ke Prins Hendrik School (PHS).
Bataviaasch nieuwsblad, 10-06-1936 |
Dari keterangan ini dapat diduga bahwa Mohamad
Makarim adalah anak pertama, Ali Makarim anak kedua dan Anwar Makarim anak
ketiga. Anwar Makarim lulus di Prins Hendrik School (PHS) pada tahun 1936
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-06-1936).
Jika
anak pertama keluarga Salim Makarim adalah Mohamad Makarim yang masuk KWS pada tahun
ajaran 1929, maka usia Mohamad Makarim sekitar 14 tahun (lulusan ELS tujuh
tahun). Dengan mengurangkan usia Mohamad Makarim diduga Salim Makarim menikah
dengan Rika pada tahun 1914. Jika usia Rika saat menikah sekitar 18 tahun, maka
Rika lahir pada tahun 1896.
Stambuk (silsilah) Nadiem MAKARIM |
Demikianlah sejarah asal usul keluarga Nadiem
Nono Anwar MAKARIM. Nama yang begitu populer dalam minggu-minggu terakhir ini.
Jika silsilah Nadiem Makarim ini dibuat dalam stambuk panjang maka namanya
menjadi: Nadiem Nono Anwar Salim Mohamad Abdullah Ali MAKARIM.
Hamid Algadri (1950) |
Bung Akhir Matua Harahap yang baik, kita telah berhubungan lewat sejak bukan Oktober 2019, dan saya selalu mengagumi tulisan sejarah Anda. Juga kali ini saya membaca Sejarah Universitas Indonesia (5) tentang Nadiem Makarim, yang tidak henti-hentinya saya menggami tulisan Sejarah Anda yang didasarkan kepada dokumen yang akurat'tempo doeloe' dalam bahasa Belanda, sedangkan Anda baru dilahirkan tahun 1963, tiga tahun lebih muda dari anak saya alm, yang kata Anda mungkin mengenalnya, sewaktu Anda mengikuti kuliah Klimatologi di IPB dan anak saya alm. pada saat itu Asisten mata-kuliah itu. Saya senang sekali ada generasi-penerus kami yang tertarik ilmu sejarah dengan serius. Seyognya Departemen Sejarah FIB untuk menangkat Anda sebagai salah seorang stafnya, bahkan merenungkan untuk memberikan gelar Dr. h.c. dalam Sejarah kepada Anda. Anda telah menurus sejarah dari berbagai aspek segudang banyaknya! Salam tetap sehat dan tetap bersemangat!
BalasHapusTerimakasih Prof. Somadikarta
HapusSemoga kita tetap sehat. Satu hal yang saya salut kepada Bapak, sudah usia tinggi, lebih dari 90 tahun masih aktif membaca dan menulis serta berbagi informasi. Saya akan mencontohnya.
akhir mh