*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Bahasa Indonesia merujuk pada bahasa asal, Bahasa Melayu. Sebagai Bahasa Indonesia, kapan nama itu diberikan? Ada kesan pada masa kini, nama Bahasa Indonesia baru diberikan pada saat Kongres Pemuda 1928, Namun yang sebenarnya Kongres Pemuda 1928 telah mengukuhkan nama Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan, tetapi nama Bahasa Indonesia sendiri sudah muncul sebelumnya.
Lantas bagaimana sejarah nama Bahasa Indonesia? Seperti disebut di atas, Bahasa Indonesia adalah nama baru yang merujuk pada bahasa asal bahasa Melayu. Bahasa Indonesia kini telah menjadi bahasa internasional. Lalu bagaimana sejarah nama Bahasa Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia dan Nama Bahasa Indonesia: Kongres Pemuda 1926, Kongres Pemuda 1928
Kapan nama Bahasa Indonesia muncul? Sebagai bahasa kebangsaan Indonesia (baca: Hindia) nama bahasa berproses seperti halnya nama bangsa. Nama Bahasa Indonesia sudah menjadi isu setelah Kongres Pemuda 1926 dan sebelum Kongres Pemuda 1928. Isu penamaan Bahasa Indonesia dimuat surat kabar di Belanda pada bulan Februari 1928.
Dari isu tersebut mengemuka di satu sisi untuk menolak penggunaan Bahasa Belanda, dan di sisi lain bahasa Melayu mana yang akan dijadikan sebagai bahasa persatu yang disebut Bahasa Indonesia. Orang-orang terpelajar, karena sistem pendidikan, selain menggunakan bahasa Melayu juga bahasa Belanda. Sementara perjuangan nasionalis adalah dalam rangka menolak Belanda (termasuk Bahasa Belanda). Sedangkan bahasa Melayu yang dipahami oleh para nasionalis (juga digunakan orang-orang Belanda) adalah bahasa Melayu pasaran (bukan bahasa Melayu yang dilestarikan penduduk pribumi seperti di Sumatra dan Riau).
Apa itu bahasa Melayu pasaran? Bahasa Melayu sudah sejak lama digunakan di Nusantara sebagai lingua franca dan semakin intens pada era VOC/Belanda. Suatu bahasa yang juga diadopsi oleh berbagai kelompok penduduk pribumi (suku) yang memiliki bahasa sendiri (dwi-bahasa). Pada tahun 1824 terjadi perjanjian antara Belanda dan Inggris (tractaat London 1824) dimana dilakukan tukar guling antara Bengkoeloe dan Malaka. Sejak itu batas-batas yurisdiksi antara Belanda (Hindia Belanda) dan Inggris (Semenanjung dan Borneo Utara) semakin tegas. Hindia Belanda sebagai suatu negara (semacam provinsi dari Kerajaan Belanda) maka diberlakukan izin (semacam visa dan passport). Arus orang dan barang antara Hindia Belanda dengan wilayah yurisdiksi Inggris semakin dibatasi. Dalam konteks inilah bahasa Melayu pasaran berkembang dengan adanya serapan dari bahasa Belanda dan bahasa-bahasa daerah dan bahasa Cina. Bahasa Melayu pasaran yang terus berkembang inilah yang kemudian diklaim sebagai Bahasa Indonesia yang menjadi satu isu dalam konteks nasionalis (untuk menolak bahasa Belanda).
Bahasa Melayu pasaran ini (yang menjadi lingua franca di wilayah yurisdiksi Hindia Belanda) secara intens digunakan Pemerintah Hindia Belanda untuk menerjemahkan berbagai peraturan perundang-undangan dan penulisan buku-buku pelajaran untuk sekolah guru dan sekolah dasar pemerintah. Bahasa Melayu pasaran ini, selain berkembanga dinatara para pelaku perdagangan dan pelayaran, juga bahasa Melayu pasaran ini mulai digunakan dalam penerbitan majalah dan surat kabar yang dikelola oleh investor Belanda, investor Cina dan kemudian investor pribumi.
Surat kabar dan majalah yang mengunakan bahasa Melayu (pasaran) yang beredar di wilayah yurisdiksi Hindia Belanda dan di negeri Belanda menjadi bahasa komunikasi dalam bentuk tulisan dan referensi. Organisasi-organisasi kebangsaan (Indonesia) termasuk organisasi pemudanya menjadikan bahasa Melayu pasaran tersebut sebagai bahasa penghubung. Intensitas penggunaan bahasa Melayu pasaran ini, dan semakin banyaknya pejuang bahasa yang mengedepankan bahasa Melayu pasaran di sekolah-sekolah semakin menekan pengguna bahasa Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda sempat mengkhawatirkan semakin melemahnya penggunaan bahasa Belanda diantara pribumi. Tekanan bahasa Melayu pasaran ini semakkin lama semakin kuat, lebih-lebih semakin banyak surat kabar dan majalah yang dikelolal oleh orang-orang pribumi.
Bahasa Melayu (pasaran) dalam konteks nasional, dengan kesadaran yang tinggi, yang tidak hanya telah diadopsi seluruh lapisan masyarakat di seluruh Hindia Belanda, diklaim sebagai bahasa persatuan yang disebut Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu pasaran yang telah dibingkai sebagai Bahasa Indonesia menjadi berbeda dengan bahasa Melayu yang dilesetarikan oleh sebagian kelompok penduduk Indonesia yang dianggap sebagai bahasa daerah yang setara dengan bahasa-bahasa daerah lainnya seperti bahasa Jawa, Sunda dan Batak.
Pada Kongres Pemuda tahun 1926 (bulan April) tidak ada indikasi membahasa bahasa karena tidak menjadi isu dalam kongres. Isu yang mengemuka yang dibahas adalah tentang pendidikan, budaya Indonesia dan partisipasi perempuan. Pada kongres ini yang dihadiri berbagai organisasi pemuda belum membicarakan masalah persatuan dan kesatuan. Pada Kongres Pemuda 1928, sebelum kongres diadakan pada bulan Oktober, terlebih dahulu terjadi pertemuan para pemimpin organisasi pemuda yang kemudian menyatukan diri dalam satu federasi yang disebut Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia (PPPI). Federasi ini kemudian membentuk komiter kongres yang akanm mengoganisir kegiatan Kongres Pemuda 1928. Dalam kongres inilah kemudian dibuat satu keputusan kongres di bawah nama Poetoesan Kongres yang menyatakan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa: Indonesia. Dalam Kongres Pemuda 1928 inilah nama Bahasa Indonesia diikrarkan kali pertama. Seperti disebut di atas, nama Bahasa Indonesia sendiri sudah menjadi isu jauh sebelum kongres itu sendiri.
Nama Bahasa Indonesia sebagai salah satu ikrar dalam Kongres Pemuda 1928 terus bergulir sebagai bahasa yang merekatkan dan mempersatukan satu sama lain bangsa Indonesia. Nama bahasa Melayu lambat laun telah digantikan oleh nama baru Bahasa Indonesia. Sementara perjuangan persatuan terus digalang diantara berbagai organisasi pemuda. Akhirnya pada tahun 1930 federasi organisasi pemuda tahun 1928 (yang masih berifat integratif) ditingkatkan lagi persatuan dan kesatuannya dengan melebur semua organisasi pemuda dengan satu nama yakni Pemoeda Indonesia (dengan sendirinya seperti Jong Java, Jong Sumatra dan (jong) Pemoeda Indonesia dilikuidasi). Hasil peleburan itu menetapkan nama tunggal, dengan mengambil nama Pemoeda Indonesia, yakni Pemoeda Indonesia.
Saat fusi organisasi pemuda menjadi Pemoeda Indonesia pada tahun 1930, di lain pihak Ir. Soekarno berada di dalam tahanan (ditangkap setelah Kongres PPPKI tahun 1929 yang diadakan di Solo) dalam kasus PNI. Lalu bagaimana sikap Ir Soekarno tentang penggunaan nama Bahasa Indonesia? Ini dapat dibaca pada dialog persidangan Ir Soekarno yang menghadirkan sejumlah saksi dimana dalam persidangan ini salah satu pembela adalah Mr Sartno (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-10-1930).
Dalam hal ini penamaan nama Bahasa Indonesia tidak hanya menyebar diantara para pemuda (sejak Kongres Pemuda 1928) tetapi juga telah digunakan oleh para senior seperti Ir Soekarno. Dengan demikian, penggunaan nama Bahasa Indonesia telah mantap.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Nama Bahasa Indonesia: Semakin Dikenal Sejak Era Hindia Belanda Dipatenkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar