*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Sebagaimana pada artikel sebelum ini, penyebaran populasi sudah berlangsung sejak zaman kuno di pulau Borneo/Kalimantan. Penyebaran populasi di Borneo tidak terpisahkan dengan penyebaran populasi di pulau-pulau Filipina, pulau Sulawesi dan pulau-pulau di Maluku. Satu yang unik dari persebaran populasi di wilayah yang luas itu adalah terdapatnya penggunaan kata elementer ‘ina/qinak’=ibu dan ‘ama/amang’=ayah. Penggunaan kosa kata elementer tersebut ditemukan secara luas di Sumatra terutama di Tanah Batak. Apakah dalam hal ini dapat menjelaskan persebaran penduduk di wilayah Tidung dan wilayah Sabah? Yang jelas bahwa wilayah Tidoeng adalah wilayah yang sudah dikenal sejak zaman kuno dimana terdapat (kerajaan) Seludong (lihat Negarakertagama 1365).
Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir. Bahasa Tidung termasuk dalam "Kelompok Bahasa Tidung" salah satu bagian dari Kelompok Bahasa Dayak Murut. Kelompok Bahasa Tidung terdiri: Bahasa Tidung, Bahasa Bulungan, Bahasa Kalabakan, Bahasa Murut Sembakung dan bahasa Murut Serudung. Penutur Bahasa Tidung pada umumnya terdapat diwilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Sabah Malaysia. Penutur Bahasa Tidung terdapat pada dua Kabupaten di Kaltim, lima kab/kota di Kaltara dan tiga kota di negeri Sabah. Sepuluh daerah tersebut adalah Kota Tarakan, Kab. Malinau, Kab. Bulungan, Kab. Nunukan, Kab. Tana Tidung, Kab. Berau, Kab. Kutai Kartanegara, Kota Tawau, Kota Sandakan dan Kota Lahad Datu. (Wikipedia) .
Lantas bagaimana sejarah Tidung di Indonesia, Nabawan di Sabah; apakah ada hubungan populasi zaman kuno? Seperti disebut di atas, persebaran populasi sejak zaman doeloe menarik diperhatikan karena pada masa ini ditemukan ada arsiran dari satu etnik ke etnik lannya di nusantara, dalam hal ini wilayah-wilayah yang berada di utara khatulistiwa. Lalu bagaimana sejarah Tidung di Indonesia, Nabawan di Sabah; apakah ada hubungan populasi zaman kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Tidung di Indonesia, Nabawan di Sabah; Apakah Ada Hubungan Populasi Zaman Kuno?
Salah satu warisan dunia adalah bahasa. Bahasa sendiri diturunkan dari generasi ke generasi. Bahasa juga mengalami persebaran. Sejumlah elemen bahasa terdapat persamaan diantara wilayah yang berbeda, bahkan wilayah yang sangat berjauhan. Sebagaimana Bahasa adalah yang sudah eksis sejak zaman kuno, perpindahan penduduk (migrasi) juga sudah ada pada zaman kuno. Namun untuk menjelaskan hubungan Bahasa antara satu wilayah dengan wilayah lain tidak cukup dijelaskan secara linguistic tetapi juga dapat dilihat relasinya dengan elemen budaya lainnya dan catatan-catatan sejarah tertulis.
Sebagai contoh
dapat didaftar sejumlah kosa kata dalam Bahasa-bahasa etnik yang berjauhan
misalnya antara Bahasa etnik Batak di Sumatra bagian utara khususnya pantai timur
dengan Bahasa etnik di Borneo yang dalam hal ini Bahasa etnik Tidung. Dua kosa
kata elementer Bahasa etnik Batak dan Bahasa etnik Tidung adalah ‘ina’=ibu dan ‘ama/yama’=ayah.
Kosa kata ‘ina’ juga ditemukan dalam Bahasa Berusum Bahasa Pasir, Bahasa Sangir,
Bahasa Mori, Bahasa Tolaki, Bahasa Muna,
Bahasa Seram, Bahasa-bahasa di Sumbawa, Bahasa-bahasa di Flores, Bahasa Minahasa
dan Bahasa di pulau-pulau Filipina. Sementara itu kosa kata ‘ibu’ ditemukan
dalam Bahasa Jawa, Bahasa Melayu di Sebatik, dan Bahasa Betawi. Bentuk lain
arti ibu adalah kosa kata ‘inde’ dan ‘umak’. Kecuali di Nusatenggara, kosa kata
‘ina’ ditemukan di bagian utara khatulistiwa. Kosa kata ‘ama/amang’ berpasangan
dengan ‘ina’ di wilayah-wilayah yang disebut di atas, Kata lain ayah adalah ‘bapa’
dan ‘ayah’ sendiri.
Tidung adalah suatu kerajaan, suatu kerajaan yang berbeda dengan kerajaan Bulungan di selatan dan kerajaan Mangidari (Sulu) di utara. Tiga kerajaan pesisir ini memiliki hubungan populasi satu dengan yang lain. Orang Tidung tidak hanya di wilayah Tidung juga terdapat di wilayah Mangidari. Populasi Dayak yang besar di pedalaman adalah etnik Punan. Orang Tidung adalah salah satu perantara dengan penduduk Punan di wilayah pedalaman. Namun secara social budaya penduduk Tidung lebih dekat ke Mangidari (kini bagian wilayah Sabah).
Pada tahun 1824 (Traktat London, 1824) batas-batas wilayah yurisdiksi antara Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris dipertegas. Wilayah yurisdiksi Inggris diidentifikasi sebagai Gebied van Soeloe (Mangidari) dan wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda diidentifikasi sebagai Tidoengsche Landen. Pada tahun 1850 Residen Zuid en Oostkust van Borneo (JGA Gallois) yang berkedudukan di Bandjarmasin mengunjungi (kerajaan) Koetai di Tenggarong yang diakhiri dengan penandatangan perjanjian. Wilayah-wilayah di utara (Berousche Landen, Boeloengan dan Tidoengsche Landen) adalah wilayah yang terpisah dari kerajaan-kesultanan Koetai. Meski Koetai, Berau, Boeloengan dan Tidoeng adalah wilayah yusrisdiksi Pemerintah Hindia Belanda, tetapi nyaris tidak pernah ada kehadiran pedagang-pedagang Belanda, tetapi yang lalu lalang di pantai timur laut Borneo tersebut adalah pedagang-pedagang Inggris (yang berpusat di Labuan/Brunai). Boleh jadi pedagang-pedagang Belanda masih khawatir karena pada tahun 1825 (pasca Traktat London 1825) seorang pejabat Belanda yang tengah melakukan ekspedisi dan berkunjung ke pedalaman terbunuh. Pada tahun 1850 kapal (perang) Hindia Belanda Doris de Wall dari Samarinda melakukan perjalanan ke Berau dan tanggal 1 Juni 1851 tiba di Boeloengan. Pada tanggal 2 Juni seorang penduduk asli yang diduga datang dari Tidoeng melaporkan mereka telah diperbudak oleh para perampok (bajak laut). Pada tahun 1956 Residen Zuid en Oostkust van Borneo JGA Gallois menulis laporan tentang wilayah Noordoostkust van Borneo yang dimuat pada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ, 1856, Dari sinilah gambaran tentang wilayah di pantai timur laut mulai terdokumentasi. Dalam laporan ini disebutkan bahwa hubungan pangeran Berou dan Boelongan sama sekali tidak bersahabat. Lanskap Tidoeng, sebelumnya milik Boelongan di bawah Berou, tetap menjadi wilayah Boeloengan sejak pemisahan Boelongan dari Berao akan tetapi Sultan Goenoeng Teboer menyatakan bahwa saat ini Tidungers terkadang memberikan upeti kepadanya. Para pangeran dari delapan suku Tidung yang berbeda tersebut adalah keturunan Bulongan atau sangat dekat dengan rumah Bulongan dan dikenal sebagai vasal Amiril. Pada saat ini radja-radja yang diakui dan mendapat legitimasi dari pemerintah (yang juga mendapat gaji) adalah sebagai berikut (lihat Almanak 1858): Koetai (sejak Oktober 1850); Goenoeng Taboer (Oktober 1850); Sambalioeng (November 1850); Boeloengan en Tidoeng (November 1850). Sebelunya radja-radja yang diakui (lihat Almanak 1848) baru tiga kerajaan, yakni: Koetai, Pasir dan Beraou atau Goenoeng Taboer. Ketiga radja ini melakukan kontrak pada tahun 1844 pada era Gubernur Jenderal Pieter Merkus. Dalam hal ini radja Boeloengan en Tidoeng baru bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1858 secara resmi dibentuk cabang pemerintahan Hindia Belanda di Koetai dengan menempatkan Asisten Residen di Samarinda. Sehubungan dengan kehadiran Asisten Residen, persiapan sudah dilakukan sebelumnya dari kantor Residen di Bandjarmasin. Dalam satu laporan tentang perkembangan di pantai timur Borneo hanya mencatat wilayah Koetai, Sambalioeng, Goenoeng Taboer dan Buloengan (lihat Samarangsch advertentie-blad, 07-05-1858). Juga disebutkan beberapa pedagang disana, termasuk Cina dan Eropa, memiliki keinginan untuk menetap di daerah-daerah itu. Pada Peta 1859, dua nama tempat yang penting di wilayah Tidoengsche Landen adalah (kota) Temelingan Djawa dan (kota) Telokipil. Nama kampong Sesajap berada di daerah aliran sungai Seboewang (yang di hulu disebut sungai Melinau). Sejak 1859 perhatian Pemerintah Hindia Belanda terhadap Beoloengan dan Tidoeng terhambat. Hal ini kere perkembangan politik di Bandjarmasin, semakin meningkatnya perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Antarasari dan para pengikutnya. Pada tanggal 16 November 1863 kapal perang Zr Ms de Vecht berangkat ke pantai timur Borneo. Kapal ini memasuki sungai Sesajap di kerajaan Tidoeng (lihat Bataviaasch handelsblad, 09-12-1863). Disebutkan bahwa kapal ini menemukan kapal perang yang tidak berbendera tricolor di daerah aliaran sungai Sesajap ini. Tidak disebutkan kapal perang siapa. Boleh jadi pemilik kapal perang itu adalah milik para pengikut Pangeran Antasari ada yang menyingkir ke sungai Sesajap atau boleh jadi kapal itu adalah kapal para bajak laut. Situasi dan kondisi baru mulai kondusif pada tahun 1864. Kekosongan posisi Asisten Residen di Samarinda terbilang lama sehingga proses pembentukan cabang pemerintahan ke Boeloengan dan Tidoeng tetap tidak terealisasi. Meski demikian secara random patroli militer juga dilakukan hingga Boeloengan.
Pada saat kapal perang Pemerintah Hindia Belanda sudah hilir mudik hingga ke Batu Tinagat, wilayah Sabah (yusrisdiksi kesultanan Brunai) dan Sandakan (yusdiksi kesultanan Sulu) masih terbilang wilayah independent. Batu Tinagat adalah batas terluar wilayah yurisdiksi Hindia Belanda yang merupakan perbatasan Tidoeng dan Mangidari (lihat juga Peta 1859). Batas ini di huk Batu Tinagat garis batas di muara sungai Tawau kea rah pedalam di utara dan berbelok ke barat. Dengan kata lain, wilayah Tidoeng (Hindia Belanda) termasuk pulau Sebatik. Di utara di dekat muara sungai Tawau di Batu Tinagat terdapat pos check point (Angkatan laut) Hindia Belanda. Catatan: Sebagaimana dijelaskan nanti, nama batu disebut Tinagat diduga merujuk pada Bahasa Tidung (ina=ibu) dan Bahasa Melanau (tina=ibu).
Namun dalam
perkembangannya muncul. Pada tahun 1878 kesultanan Brunai menyerahkan konsesi
wilayah Sabah yang dipimpin oleh Mangaradja Sabah dan kesultanan Sulu
menyerahkan konsensi wilayah Sandakan yang dipimpin oleh Radja Sandakan. Dua
wilayah ini diberikan konsesi kepada pedagang Inggris Baron von Overdeck
mewakili Maskapai Borneo Utara. Dalam pernyataan Overdeck setelah penyerahan
konsesi disebutkan batas selatan Sandakan hingga ke sungai Siboekoe. Dari mana
sumber ini muncul apakah Radja Sandakan atau Sultan Sulu atau dari Overdeck sendiri.
Klaim Overdeck ini akan melewati batas yurisdiksi Belanda-Inggris di Batu
Tinagat (teluk Cowie/St Lucia). Sebagaimana diketahui masa ini batas berada di
sungai Sebakung yang mana pulau Sebatik dibagi dua. Boleh jadi hal itulah mengapa
pada masa ini orang Tidung tidak hanya di Kabupaten Nunukan tetapi juga ada di
wilayah Sabah (Tawau).
Posisi Batu Tinagat sangat strategis, yang mana ke arah utara memiliki jalan darat pintas ke Sandakan melalui Lahad Datu, dan ke barat menuju Tenom melalui Nabawan. Dalam hal ini semasa orang Tidung di sekitar Batu Tinagat/Tawau diduga kuat telah berdagang ke pedalaman melalui jalur-jalur sungai atau darat. Sebaliknya dari wilayah pantai utara di teluk Brunai terhubung ke pedalaman ke Tenom hingga Nabawan, Sapulut dan Samuran.
Sebelum era
Portugis wilayah pantai utara Borneo, pulau-pulau di Filipina, pulau-pulau di Kawasan
Mangindano termasuk Sulu dan Tawi-Tawi serta pantai timur laut Borneo (plus
bagian utara Sulawesi) adalah satu kawasan perdagangan yang ramai.Pada Kawasan yang
luas ini memiliki persamaan kosa kata elementer (ibu dan ayah), suatu kosa kata
yang berbeda dengan Bahasa Melayu dan juga berbeda dengan Bahasa Dayak. Seperti
disebut di atas di pantai utara Borneo di sebelah barat pada etnik Melanau ibu
disebut ‘tina’ (t-ina) dan ayah disebut ‘yama’ (y-ama). Sementara di dalam Bahasa
etnik Tidung ibu disebut ‘ina’ dan ayah disebut ‘yama’ (sama dengan di Melanau).
Etnik di pulau Parago (kini pulau Palawan) ibu disebut ‘qina’ (q-ina’) dan ayah
disebut ‘ama’. Bahasa etnik Sulu untuk ibu adalah ‘ina’ dan ayah adalah ‘ama’.
Juga Bahasa Minahasa untuk ibu adalah ‘ina’ dan atah adalah ‘ama’. Hal itulah
mengapa di zaman kuno nama gunung tertinggi di Borneo/Kalimantan disebut gunung
Kinabalu (kina’balu) yang diduga merujuk pada ibu (gunung ibu). Dalam Bahasa Batak di Sumatra
bagian utara, satu-satunya etnik di Sumatra yang menyebut ibu sebagai ‘ina’ dan
ayah sebagai ‘ama’.
Sebagai Kawasan perdagangan zaman kuno di pantai utara dan pantai timur laut Borneo, hubungan populasi di wilayah pesisir kemungkinan terhubung satu sama lain, yang mana populasi di wilayah pesisir terhubung ke pedalaman dimana penduduk etnik-etnik Dayal berada. Seperti disebut di atas nama tampat kuno di wilayah Sabah di pedalaman disebut Nabawan, Sapulut dan Samuran. Sedangkan nama-nama navigasi pelayaran di Sandakan terdapat nama sungai besar yakni sungai Kinabatang (kina-batang) dan nama batu terkenal di huk teluk St Lucia yakni Tinagat. Dalam Bahasa Batak sungai disebut ‘batang’ dan ‘bulu; atau ‘balu adalah gunung plus ibu disebut ‘ina’.
Lantas bagaimana hubungan populasi etnik Batak di Sumatra bagian utara dengan populasi kawasan perdagangan di pantai utara Borneo dan pantai timur laut Borneo. Dari catatan sejarah yang ada sebelum era Portugis disebutkan dalam laporan Mendes Pinto (1537) Bahasa Kerajaan Aru Batak Kingdom di pantai timur Sumatra sebagai kerajaan yang kuat yang pernah menyerang kerajaan Malaka dan kerajaan Atjeh. Mendes Pinto menyebut kekuatan Kerajaan Aru Batak Kingdom adalah 15.000 pasukan dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Jambi, Indragiri, Brunai dan Luzon.
Dalam hal ini nama Nabawan diduga merujuk pada nama Nababan, suatu marga Batak di Tapanuli. Sedangkan nama Samuran di dekat Nabawan juga terdapat nama yang mirip di Tapanuli yakni nama tempat Sumuran. Di lereng gunung Kinabalu terdapat dua kota kuno yakni Tambunan dan Tamparuli, Tambunan di Tapanuli adalah nama suatu marga seperti halnya Nababan. Nama Tamparuli dalam hal ini mirip dengan nama Tapanuli sendiri,
Seperti di sebut di atas wilayah Sabah dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Mangaradja Sabah, suatu gelar raja yang mirip di Tapanuli. Saba atau sabah dalam Bahasa Batak adalah sawah. Area sawah terluas di wilayah Sabah terdapat di Kota Belud dimana Mangaradja Sabah berkedudukan tempo doeloe (semasa Baron von Overdeck). Nama Brunai sendiri boleh jadi merujuk pada nama sungai Baroemoen dan sungai Panai di pantai timur Sumatra (wilayah Padang Lawas). Salah satu pulau di Filipina disebut pulau Panai. Di Brunai sendiri terdapat sungai besar disebut sungai Limbong, nama suatu marga di Tapanuli dimana di dekat Brunai terdapat nama kampung tua yang disebut Kampong Lawas. Tentu saja di wilayah Melanau terdapat duan ama kota tua yakni Sibu dan Bintulu, suatu nama tempat/kota di Tapanuli yakni Siabu dan Bintuju. Peta (lihat Lazardi Wong Jogja)
Sejauh ini yang diperhatikan dalam hubungan antar popupulasi di wilah pantai utara Borneo dan pantai timur laut Borneo hanya sebatas toponimi nama geografi dan aspek linguistic. Bagaimana dengan budaya dan kebiasaan-kebiasaan dan hubungan social serta perihal religi (kepercayaan lama)?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Etnik Tidung di Kalimantan: Orang Dayak dan Orang Melayu
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar