*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Sejarah perbudakan boleh jadi seumur dengan peradaban manusia. Mungkin tidak pernah habis-habisnya. Pada era VOC sistem perbudakan itu eksis sebagai bagian dari pedagangan. Pada era Pemerintah Hindia Belanda praktek perbudakan itu terdapat di berbagai wilayah yang kemudian secara perlahan-lahan dibatasi hingga akhirnya dilarang. Namun praktek perbudakan, seperti disebut seumur dengan peradaban itu sendiri, pada masa ini praktek perbudakan itu muncul dalam wujud lain yang dikenal sebagai human traficking.
Sejarah perbudakan boleh jadi seumur dengan peradaban manusia. Mungkin tidak pernah habis-habisnya. Pada era VOC sistem perbudakan itu eksis sebagai bagian dari pedagangan. Pada era Pemerintah Hindia Belanda praktek perbudakan itu terdapat di berbagai wilayah yang kemudian secara perlahan-lahan dibatasi hingga akhirnya dilarang. Namun praktek perbudakan, seperti disebut seumur dengan peradaban itu sendiri, pada masa ini praktek perbudakan itu muncul dalam wujud lain yang dikenal sebagai human traficking.
Perbudakan
adalah bentuk intervensi manusia terhadap manusia lainnya sebagai hak
kepemilikan bagai pemilik dengan barangnya. Praktek perbudakan secara geografis
berada di tiga area utama: daerah pemasok atau pengirim, daerah pengguna atau
penerima dan pusat perdagangan (pasar budak). Oleh karena itu, budak dianggap
sebagai salah satu komoditi perdagangan yang ada harganya bagi pemilik, tetapi
bagi buda itu senidiri dia merasa tidak punya harga diri, karena haknya yang
paling azasi telah dikapitalisasi oleh pemilik (sebagai barang). Hak azasi para
budak sebelumnya telah direkrut dari masyarakatnya dengan jalan damai atau
dengan jalan kekerasan. Jalan damai umumnya karena orang tua menjual anggota
keluarganya karena ingin menebus utang sedangkan jalan kekerasan adalah
penculikan (perampokan) atau peperangan yang mana yang kalah dijadikan sebagai
budak. Para radja-radja juga memainkan peran penting dalam dunia perbudakan.
Tempo doeloe, wilayah perairan pulau Lombok juga
termasuk salah satu situs dalam praktek perbudakan. Para budak dipasok dari
pulau-pulau lainnya dan para budak diangkut ke berbagai tempat terutama ke
pulau Jawa, khususnya Batavia. Tentu saja ada budak yang bersumber dari Lombok.
Sebagaimana juga di tempat lain (pulau-pulau lainnya di Hindia Belanda), wujud lain
dari sistem perbudakan di Lombok adalah eksploitasi para pangeran kerajaan Bali
Selaparang terhadap penduduk Sasak. Eksploitasi yang berlebihan menjadi faktor penting
yang menyebabkan penduduk Sasak melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Bali
Selaparang. Bagaimana semua itu terjadi di Lombok? Nah, untuk menambah
pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Perdagangan Budak di Bali dan Lombok
Beberapa surat diterima di Batavia baik pada era
VOC maupun era Pemerintah Hindia Belanda yang di dalam surat-surat tersebut ada
indikasi perbudakan antara lain datang dari pangeran Karangasem (yang juga
penguasa pulau Lombok). Isi surat-surat itu sangat menarik karena budak sebagai
komoditi pedagangan dan budak juga dijadikan sebagai alat bayar. Pangeran
Karangasem ingin mendapatkan kebutuhan senjata untuk berperang dengan penduduk
Sasak dengan nilai tukar budak.
Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1882 |
Saat itu kerajaan Karangasem, di satu sisi Boeleleng
dan di sisi lain Lombok, saling terhubung dalam persoalan tahta kerajaan
Karangasem. Dalam suratnya tahun 1892 Goesti Made dari Karangasem (Bali) en
Selaparang (Lombok) menyebutkan telah mengirim 100 budak Bali ke Batavia.
Pengiriman ini tampaknya masih terus berlanjut. Ini mengindikasikan bahwa
praktek perbudakan di seputar pulau Lombok ada.
Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1878 |
Pemerintah
VOC juga membutuhkan banyak orang untuk dijadikan sebagai pekerja apakah untuk
pembangunan proyek-proyesk seperti pembangunan benteng atau untuk dijadikan
sebagai pasukan pendukung militer VOC. Kelompok pribumi non-budak ini di
Batavia memiliki pemimpin sendiri-sendiri (yang disebut Captein). Beberapa nama
kapten pribumi terkenal pada era VOC adalah Kapiten Jonker, Kapitein Manipa,
pangeran Aroe Palaka. Para pasukan pendukung militer VOC ditempatkan di seputar
Batavia. Mereka ini banyak yang tidak kembali ke kampong halaman dan membuka
perkampongan di seputar Batavia. Mereka inilah yang menyebabkan sejumlah
perkampongan terbentuk sesuai nama asal mereka seperti kampong Ambon, Banda(), Bali,
Tambora, Makassar, Boegis, Melajoe dan Jawa.
Praktek perbudakan terus berlangsung hingga era
Pemerintah Hindia Belanda. Perdagangan budak di sekitar perairan Lombok (selat
Lombok) masih terus eks, terutama dari kerajaan-kerajaan di Bali (lihat Utrechtsche
courant, 28-11-1836). Perdagangan budak tampaknya sangat menguntungkan.
Utrechtsche courant, 28-11-1836 |
Pangeran Bali Selaparang dan Intervensi Pemerintah Hindia Belanda
Banyaknya budak di Jawa, khususnya di Batavia
(yang berjumlah hampir 20 ribu, pada saat pendudukan Inggris (1811-1816), mulai
dibatasi budak yang didatangkan ke Jawa. Langkah pemerintah pendudukan Inggris
dapat dikatakan sebagai berbanding terbalik dengan orang-orang Belanda
sebelumnya. Namun demikian, Gubernur Rafflles tidak benar-benar untuk
pembebasan budak tetapi hanya sekadar membatasi masuknya budak ke Jawa. Di luar
Jawa perbudakan tidak pernah berhenti. Budak-budak
dari kepulauan Soenda Ketjil masih terus dipasok, mungkin tidak ke Jawa tetapi
ke daerah lain. Masih banyak pedagang-pedagang Eropa yang membutuhkan budak.
Seperti
telah disebut di atas,ketika Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali, tidak
ada program untuk membatasi perbudakan seperti di era Inggris. Pemerintah
Hindia Belanda meski politik pembebasan budak di Eropa sudah mencuat, namun isu
itu tidak terlalu dipedulikan. Pemerintah Hindia Belanda menyadari masih banyak
yang membutuhkan budak, termasuk radja-radja pribumi. Banyaknya budak dianggap
sebagai salah satu wujud kekayaan radja. Para budak dijadikan sebagai renaga
kerja.
Namun demikian, Pemerintah Hindia Belanda meski tidak melarang praktek perbudakan,
tetapi Pemerintah Hindia Belanda hanya mempersoalkan cara bagaimana mendapatkan
budak. Penculikan dan perampokan budak bagi Pemerintah Hindia Belanda dianggap
pelanggaran yang harus dibasmi.
Leydse
courant, 09-11-1838 “Laporan
ekspedisi kapal induk ss Heklan yang didampingi dua kapal brig Arend dan Siwa dan
dua kapal penjelah yang membawa satu detasemen militer melawan bajak laut di
Floris. Kepala kampung Goegé, Radja Larantuka, dan tujuh kampung lagi yang
terletak di teluk Endé, di sekitar utara Floris, telah dihancurkan karena
hukuman berat atas tindakan mereka dan perdagangan budak. Di Endé seseorang
telah dikirim untuk bernegosiasi tetapi sia-sia, 110 oposisi yang telah ditemui
pada bagian dari populasi dan terutama dari orang-orang Bugis. Dua orang tewas
di kapal korvet Boreas dan dua lainnya terluka di brig Siwa. Kapal induk Zr. Ms
Hekla setelah menuntaskan pertempuran di Flores dan selat Bonnaratta berangkat untuk
menyisir ke perairan Lombok’. Dalam berita lainnya juga terdapat soal budak,
sebagai berikut: ‘Kasus perdagangan budak telah ditemukan di Batavia (yang
tidak pernah terjadi selama bertahun-tahun). Pada tanggal 2 September, barque
Portugis, Margarida, kapten TA. d'Aquina yang akan menuju Macao yang merapat di
Batavia, ditemukan di dalam 46 orang penduduk asli dari bagian Portugis di
Timor. Menurut kisah sang kapten, orang-orang ini akan diberangkatkan untuk
belajar agama Kristen di Macao dan dilatih dalam beberapa profesi! Namun,
ternyata pretensi ini tidak benar, dan beberapa orang berpendapat di Batavia
bahwa keterangan itu hanyalah dalih. Sebab setelah dibawa ke darat diduga secara
diam-diam akan dijual sebagai budak. Nakhoda kemudian ditahan sambil menunggu
penyelidikan menyeluruh dari masalah ini’.
Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda telah
mengikuti kebijakan Raffles sebelumnya. Pemerintah Hindia Belanda tidak hanya
memerangi para perombak penduduk yang akan dijadikan budak tetapi juga telah
melarang perdagangan budak ke Jawa (paling tidak memasuki Batavia). Dalam hal
ini perdagangan budan masih eksis meski Pemerintah Hindia Belanda menganggapnya
sebagai perdagangan ilegal. Meski demikian, Pemerintah Hindia Belanda telah
mulai membasmi perdagangan budak, bahkan hingga ke sumbernya di perairan
Flores, Lombok dan Bali. Wilayah perairan kepulauan Soenda Ketjil ini diketahui
sejak lama sebagai perairan yang banyak ditemukan transaksi perdagangan budak.
Pada
tahun 1837 terjadi perang saudara di Lombok antara kerajaan Bali antara Mataram
dan Karangasem. Radja Mataram terbunuh tetapi yang kalah adalah kerajaan Karangasem.
Lalu radja Karangasem bunuh diri bersama keluarganya le dalam api. Sejak itu
kerajaan Bali Mataram satu-satunya dan penguasa tunggal di pulau Lombok yang
kemudian lebih dikenal sebagai kerajaan Bali Selaparang, Pangeran makhkota kerajaan
Bali Mataram menjadi radja Bali Selaparang. Pada tahun 1943 Pemerintah Hindia
Belanda membuat perjanjian dengan kerajaan Bali Selaparang. Dalam perjanjian
ini tidak terdapat perihal perbudakan (hanya terbatas pada upaya untuk saling
menjaga keamanan dan keadilan di kawasan dan melarang impor senjata dari luar (Hindia
Belanda).
Kerajaan Bali Selaparang cepat menjadi berjaya
dan mendapat kemakmuran. Pedagang Inggris GP King yang diduga terlibat dalam
perang saudara itu telah menjadi pedagang asing paling berkuasa di pelabuhan
Ampenan. GP King dan kerabat kerajaan Bali Selaparang bahu membahu untuk saling
menguntungkan di Lombok. Kerajaan Bali Selaparang menjadi makmur dan KP King
menjadi kaya raya. Dalam laporan Heinrich Zollinger (1847) kerajaan Bali
Selaparang semakin memperbudak penduduk Sasak. Para pangeran Bali Selaparang laun
telah memainkan tindakan yang keras (eksploitasi penduduk Sasak).
Para
pengeran juga terlibat dalam perdagangan budak di kawasan Lombok, Seluruh pulau
Lombok dibawah kendali kerajaan Bali Selaparang. Penduduk yang dirampok dan
dicuri yang kemudian dijadikan budak di Soemba dan Ende diangkut dengan
kapal-kapal ke pantai barat Soembawa dan pantai timur Lombok. Pusat transaksi
perdagangan budsak di pantai timur Lombok ditemukan pelabuhan Pidjot, pelabuhan
Lombok dan pelaboehan Soegihan, Para pelanggan di pelabuhan-pelabuhan ini
adalah orang yang berdiam di pulau tersebut. Tampaknya para pangeran Bali
Selaparang bermain mata dengan para pedagang budak di pantai timur Lombok. Kecurigaan
ini muncul sehingga Pemerintah Hindia Belanda meminta radja Bali Selaparang
untuk mencegahnya, tetapi para pengeran berdalih mereka tidak bisa melarang
karena tidak terdapat dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1843. Pemerintah Hindia Belanda sejak 1860 telah meratifikasi
larangan perdagangan budak dan mulai dengan kebijakan pembebasan budak di
seluruh Hindia Belanda. Atas dasar kecurigaan itu, lalu kemudian Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1877 secara tertulis meminta kerja sama para pangeran
Lombok untuk mencegah impor budak di dalam kerajaan merreka. Upaya Pemerintah
Hindia Belanda untuk menekan perjanjian dengan kerajaan Bali Selaparang, karena
pada tahun 1885 muncul keluhan baru tentang perampokan manusia yang terjadi di
pulau-pulau sebelah timur Soembawa. Hasil penyelidikan terbukti para budak-budak
yang dikirim tersebru menuju pelabuhan-pelabuhan di barat pulau Soembawa dan
timur pulau Lombok. Dengan adanya perjanjian tersebut Pemerintah Hindia Belanda
mengirim kapal perang ke perairan timur Lombok untuk mengendalikan. Salah satu
pangeran yang terlibat dalam soal budak ini adalah Anak Agoeng Made. Dalam
praktek perdagangan budak di Lombok ternyata tidak hanya di perairan yang di
datangkan dari pulau-pulau lainnya, tetapi juga dalam perdagangan budak
tersebut datang dari pedalaman (Lombok) dinaikkan ke kapal. Namun mereka ini bermacam-macam
ada penduduk yang dijadikan budak karena gagal membayar hutang dan juga ada
orang yang masih muda atau anak-anak yang diculik oleh oknum tertentu kemudian
dibawa untuk dijual sebagai budak. Para pangeran memiliki budak sendiri, jika
lebih dari yang dibutuhkan baru menjual ke
atas kapal. Budak-budak yang ada di pedalaman Lombok terbagi dua yang berasal
dari luar pulau disebut spandjak dan yang berasal dari penduduk Sasak disebut
sepahan. Budak yang dimilii para pangeran juga ada yang berasal dari Bali. Untuk
kasus penculikan orang yang dijadikan budak di Lombok sudah ada hukum yang
berlaku di Lombok yakni orang yang melakukan penculikan akan dikenakan hukuman
berat. Dalam hubungan ini, setelah adanya perjanjian tahun 1887, perdagangan
budak di perairan Lombok dapat dikendalikan dan masalah perbudakan di pedalaman
Lombok dapat dicegah (deskripsi ini dapat dibaca dalam laporan Aaisten Residen
Lombok yang dikutip oleh surat kabar De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 15-11-19000.
Kerajaan Bali Selaparang sebagai penguasa tunggal
di Lombok, para pangeran mulai bertindak sewenang-wenang terahap penduduk
Sasak. Wujud lain dari sistem perbudakan muncul. Para pangeran banyak merekrut
penduduk Sasak untuk berbagai tujuan seperti membantu para pengeran dalam
berperang (ke Bali), membangun taman-taman dan puri-puri mereka serta
pembangunan jalan jembatan. Dalam perang, pasukan yang berasal dari penduduk
Sasak selain tidak memiliki kualifikasi karena tidak terlatih dan secara fisik
kurang terpenuhi gizinya banyak yang tewas di dalam perang. Pasukan ini menjadi
hanya sekadar tameng. Demikian juga dalam membangun taman-taman dan puri-puri
peristirahatan seperti di Lingsar banyak yang menjadi korban meninggal. Semua
itu, penderitaan penduduk Sasak karena kekurangan pangan (karena kurangnya
tenaga keluarga yang bekerja di pertanian), banyak yang tewas dalam perang atau
kerja rodi menjadi faktor pemicu munculnya pemberontakan yang digalan oleh para
pemimpin Sasak untuk melawan (pangeran) kerajaan Bali Selaparang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar