*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Siapa
yang peduli sejarah Tangse di kabupaten Pidie. Kota kecamatan ini pada masa
kini boleh jadi dianggap tidak ada apa-apa selain keindahan alam yang
tersebunyi (The Hidden Geopark). Tidak seperti halnya Kota Tangsel, tetangga
Kota Jakarta yang kini menjadi pusat peradaban baru, kota Tangse yang kini
seakan terpencil, sejatinya di masa lampau, seperti tetangganya Kota Takengon
adalah pusat peradaban lama (The Lost Civilizations). Bagaimana bisa? Itulah
dua kota kuno di provinsi Atjeh: Takengon dan Tangse.
Pada awal pembentukan cabang pemerintahan
Hindia Belanda, daerah aliran sungai Baroe (kini sungai Pidie) dibagi dua.
Wilayah hilir disebut Moekim Pedir (ibu kota di kampong Segli) dan wilayah hulu
disebut Moekim Pidie. Di wilayah Moeki Pidie terdapat dua kampong besar yakni kampong
Tangse dan kampong Geumpang, yang mana yang dijadikan ibu kota adalah Tangse. Sebagian
wilayah moekim Pidie inilah yang kini menjadi wilayah Kecamatan Tangse.
Sementara nama Pidie kini dijadikan sebagai nama wilayah (kabupaten) Pidie. Ini
berarti nama Pidie lebih terikat dengan Tangse daripada Sigli (sebelumnya dieja
Segli). Pada masa kini kecamatan Tangse terdiri banyak gampong (desa), yakni: Alue
Calong, Blang Bungong, Blang Dalam, Blang Dhot, Blang Jeurat, Blang Malo, Blang
Pandak, Beungga, Keubon Nilam, Keudee Tangse, Krueng Meuriam, Krueng Seukeuek,
Layan, Lhok Keutapang, Nubok Badeuk, Paya Guci, Peunalon I, Peunalon II, Pulo
Baro, Pulo Kawa, Pulo Mesjid I, Pulo Mesjid II, Pulo Sejahtera, Pulo Seunong,
Pulo Ie, Rantau Panyang, Tuha Blang Beungoh dan Ulee Gunong. Nama-namanya unik,
bukan? Tapi ada hubungan satu sama lain dari zaman kuno hingga era Hindia
Belanda.
Lantas
bagaimana wilayah Tangse dapat dikatakan sebagai The Hidden Geopark? Silahkan berkunjung sendiri untuk merasakan
eksotik dan sensasinya. Lalu bagaimana wilayah Tangse dapat dikatakan sebagai
The
Lost Civilizations? Nah, itu dia.
Tampaknya harus dipelajari sejarahnya sejak zaman kuno. Seperti
kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya
ada permulaan.
Okelah, untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.
Nama Tangse dan Nama Takengon
Tidak
pernah diketahui ada nama tempat Tangse. Baru pada Peta 1860 nama Tangse
diidentifikasi. Itu berarti pemetaan dilakukan jauh sebelum terjadi Pera Atjeh
(1874). Hanya satu-satunya nama tempat (kapong) Tangse yang diidentifikasi di
pedalaman (dari jalur masuk kota Sigli). Sebagai nama wilayah dalam peta
tersebut diidentifikasi sebagai Oloe Pedir. Sebagaimana dilihat nanti Oeloe
Pedir adalah Pidie.
Peta atau skestsa (kaart) adalah salah satu
sumber data penting yang jarang digunakan oleh penulis sejarah. Umumnya sumber
sejarah hanya fokus pada surat kabar, majalah atau buku sejaman. Namun yang
jelas, peta juga dapat diandalkan karena peta umunya dibuat berdasarkan
penambahan nama geografi baru pada peta-peta terdahulu atau deskripsi geografi.
Peta 1860 dapat dikatakan peta pertama yang telah mengindetifikasi nama Tangse
di Oeloe Pedir.
Tangse
dan Pidie tampaknya satu paket dalam sejarah, ibarat koin dua sisi. Nama Tangse
dan nama Pidie diduga kuat berasal dari India. Pedir diduga cara menyebut Pidie
oleh (bangsa) yang lain. Di pantai barat Atjeh ada nama kuno lainnya Labo (kini
Meulaboh). Nama tempat ini terhubung dengan Pidhi dan Tangse di pedalaman
melalui daerah aliran sungai Teomon. Besar dugaan di masa lampau Labo adalah
pelabuhan utama Takengon (di pedalaman). Namun dalam perkembangannya pelabuhan
ke pantai barat bergeser ke pantai timur (Pedir) melalui sungai Baroe
(sebelumnya disebut sungai Pidie dan Pedir). Antara Tangse dan Takengon
terhubung di pedalaman. Kawasan pedalaman ini diduga pusat peradaban awal di
provinsi Aceh yang berpusat di danau Laut Tawar (Takengon).
Pada era Boedha-Hindoe orang-orang India
berdagang ke pantai barat Sumatra. Para pedagang-pedagang ini kemudian
berinteraksi dengan penduduk asli di pedalaman (orang Gayo). Orang-orang India
kemudian membuat koloni tidak hanya di pantai tetapi juga di pedalaman. Pada
era awal inilah penduduk asli di pedalaman tercerahkan dengan religi
(Boedha-Hindoe), ilmu dan pengetahuan termasuk aksara, seni dan pengolahan biji
tambang seperti emas. Pola koloni ini adalah tipikal untuk pedagang-pedagang
India di banyak tempat di nusantara seperti di pulau Sumatra dan pulau Jawa.
Era sejaman inilah yang kini dikenal era Boedha-Hindoe. Koloni-koloni India di
pantai-pantai kemudian menjadi ramai sehubungan dengan pedagang-pedagang baru
muncul dari Persia dan orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara (kini
Mauritania, Morocco dan Tunisia).
Lantas
apa yang menjadi keutamaan nama tempat Pidie dan Tangse di pedalaman? Seperti disebut di atas kawasan pedalaman ini
menghasilkan emas. Tentu saja tidak hanya itu. Ada gading (gajah), hasil-hasil
hutan (kamper, damar dan mungkin kemenyan) dan berbagai jenis kulit seperti kulit
harimau dan berbagai flora dan fauna lainnya.
Di Takengon terdapat
danau yang masih eksis hingga ini hari. Danau tersebut awalnya disebut Danau
Takengon (kini disebut danau Laut Tawar). Ada hal yang perlu ditinjau lebih
lanjut tentang keberadaan Tangse ini di masa lampau dengan mengajukan
pertanyaan apakah kota Tangse yang sekarang di masa lampau merupakan suatu
danau besar? Seperti yang tampak
dari video Teungku Syukri bahwa kota Tangse seakan suatu lembah yang
dikelilingi perbukitan yang di tengah kota terdapat banyak sungai. Gambaran
spasial ini juga bersesuain dengan peta satelit kota Tangse. Jika diperhatikan
peta-peta pada era Hindia Belanda, kawasan lembah Tangse ini terdiri dari
beberapa nama kampong selain nama kampong Tangse juga ada nama-nama kampong
yang menggunakan nama Poelo, Teluk, Rawa, Koewala dan lainnya, Sebagai suatu
lembah, masih berdasarkan peta lama dan peta satelit, Tangse adalah hulu dari
dua sungai besar yang satu mengalir ke barat (sungai Teunom) dan yang lain ke
timur sebagai sungai Pidie (kini sungai Baroe bermuara ke Sigli). Sebagai danau
banyak anak sungai bermuara ke danau. Sedangkan luapan air danau (rawa) mengalir
ke barat seperti yang disebut di atas. Apa yang menyebabkan lembah ini
tergenang dan membentuk danau diduga karena proses vulkanik atau tektonik yang
menyebabkan jalan air terhalang dan apa yang menyebabkan danau mengering diduga
juga karena proses vulkanik atau tektonik yang menyebabkan arus sungai yang sekarang
terbentuk (ke barat). Jika hal ini memang benar-benar terjadi di masa lampau,
dapat diduga wilayah penduduk asli Gayo di Takengon (danau Takengon atau danau
Laut Tawar) dan di Tangse (danau Tangse) terhubung sebagai dua pusat peradaban
lama di pedalaman pada ketinggian yang hawanya sejuk. Dalam suatu penelitian
flora dan fauna pada era Hindia Belanda ditemukan ada beberapa flora yang
ditemukan di kawasan Gayo juga ditemukan di gunung Himalaya (India). Bukankah
nama Pidie dan Tangse juga ditemukan di India?
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Tangse: The Hidden Geopark of
Lost Civilizations
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar