*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Sejarah
kuno selalu menyisakan pertanyaan yang sangat banyak. Semakin kuno suatu
sejarah semakin banyak fakta dan data yang tercecer. Upaya penemuan data
tersebut tentu saja terus dilakukan karena banyaknya deposit data yang belum
tergali. Namun demikian, upaya tersebut seiring dengan meningkatkan ilmu dan
pengetahuan memungkin banyak cara yang digunakan untuk mendeteksi dimana data harus
dicari dan digali. Hal itulah yang juga berkenaan dengan sejarah Pasai yang
disebutkan kerajaan Pasai ini berada di antara Sungai Jambo Air dan Krueng Pase.
Pada peta-peta Portugis sejumlah nama tempat diidentifikasi di (pulau)
Sumatra yang diduga sebagai kerajaan. Secara khusus kerajaan-kerajaan di bagian
utara Sumatra adalah Atjem (Aceh), Sumerlang (Samalanga di Bireuen), Pasange (Pasai), Ambuara, Terra Daru, Daja,
Soeson, Baruas (Barus) dan Bathang (Batang Natal). Nama Ambuara kemudian
diketahui sebagai Djamboe Aer) dan Terra Daru adalah kerajaan Aru (kini
Tapanuli Bagian Selatan). Dalam bahasa Portugis Terra adalah Tanah sedangkan
Daru adalah singkatan dari de Aru, d’Aru dan Daru (Aroe berasal dari bahasa
India, aroe=sungai; sungai B-aroe-moen). Dalam peta-peta pada era VOC (Belanda)
nama-nama tersebut beberapa telah meredup dan yang lainnya masih eksis.
Sementara beberapa nama tempat baru muncul dan mulai populer seperti Singkil,
Labo (Meulaboh) dan Dilli (Deli).
Sudah
barang tentu nama Pasai begitu penting di masa lampau. Hal itulah mengapa tetap
perlu menulis sejarah Pasai dan memutakhirnya narasinya sehubungan dengan
ditemukannya data baru. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe bahwa sejarah
adalah narasi fakta dan data. Lantas bagaimana merekonstruksi narasi sejarahnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Permulaan
itu imumnya dimulai dari keberadaan sungai. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.
Nama Pasai: Sungai Ambuara
Jangan
bayangkan dulu nama Lhokseumawe dan Lhoksukon. Dua nama tempat ini masih
relatif baru. Jauh sebelumnya, pada zaman kuno, ada kerajaan yang eksis yang
disebut kerajaan Pasai. Nama Pasai ini masih teridentifikasi pada peta-peta
Portugis maupun buku-buku Eropa yang diterbitkan sejaman. Dalam peta Portugis
tersebut tetangga (kerajaan) Pasai adalah (kerajaan) Ambuara. Tidak ada
pernulis yang menyinggung kerajaan Ambuara ini.
Penulis-penulis sejarah pada era Hindia
Belanda meyakini nama Ambuara adalah sungai Djamboe Aer (kini Jambo Aye atau
Jamnu Air). Pada peta-peta era Hindia Belanda, sungai Djamboe Aer ini sebelum
bermuara ke laut terpecah menjadi dua muara sungai yang satu disebut sungai Djaeboe
Aer dan sungai Arakoendo. Boleh jadi di era Portugis sungai ini masih utuh
dengan nama Djamboe Aer yang bermuara ke teluk di sekitar Lhoknibong yang
sekarang. Oleh karena terjadi proses sedimentasi jangka panjang, teluk menjadi
rawa yang menyebabkan sungai Djamboe Aer bercabang yang ke arah utara disebut
sungai Djamboe Aer (sebagai induk) dan yang ke arah selatan disebut sungai
Arakoendo. Oleh karena muara sungai bersumber dari sungai yang sama di arah
hulu lalu muncul nama keduanya yang disebut Ambuara (Djamboe Aer dan
Arakoendo). Sungai yang ke arah utara (sungai Djamboer Aer) ini kini sudah mati
sehingga sungai Djamboe Aer didugunakan untuk ke hilir sebagai sungai Djamboe
Aer (Nama Arakoendo tamat). Nama Lhokniboeng diduga merujuk pada nama teluk
Niboeng (yang menjadi nama tempat Lhok Nibong). Lhok diduga kuat merujuk pada
sebuat telok, teloek yang mereduksi menjadi Lhok. Nama tempat yang menggunakan
nama Lhok ini adalah Lhoksoekon (suatu telok zaman kuno) dan Lhokseumawe (teluk
di pulau).
Kerajaan
Ambuara diduga berada di (kota) Lhoknibong yang sekarang. Lantas dimana letak
kerajaan Pasai? Pada masa ini letak kerajaan Pasai ini hanya disebut berada antara
sungai Krueng Jambo Aye (sungai Jambu Air) dan sungai Krueng Pase (sungai
Pasai), Seperti halnya kerajaan Ambuara yang diduga terletak di Lhoknibong,
lalu apakah letak kerajaan Pasai berada di (kota) Lhoksukon yang sekarang? Nama Lhoknibong dan Lhoksukon diduga adalah nama
yang sudah eksis di zaman kuno, jauh sebelum terbentuknya nama tempat
Lhokseumawe.
Sungai Ambuara adalah sungai terbesar kedua di
bagian utara pulau Sumatra. Sungai Ambuara ini bermuara di Gayo (sekitar danau
Laut Tawar). Sungai terbesar pertama adalah sungau Baroemoen yang bermuara di Angkola
(sekitar danau Siais). Sebelum terbentuknya kota-kota pelabuhan di pantai yang
kemudian bertransformasi menjadi kerajaan (seperti Ambuara dan Pasai), pusat
peradaban pertama berada di wilayah pegunungan di sekitar danau (era
Boedha-Hindoe). Sisa peradaban Boedha-Hindoe yang paling masif ditemukan di
Angkola (Padang Lawas) sekitar danau berupa puluhan candi-candi kuno. Sebelum
terbentuknya pusat perdagangan di Lhoknibong dan Lhoksukon, arus perdagangan
dari pegunungan menuju ke pantai barat (jalur awal masuknya pedagang-pedagang
India), Wilayah peradaban pertama di pegunungan ini berada di wilayah Tanah
Gayo (yang berpusat di danau Laut Tawar). Orang Gayo dapat dikatakan adalah
penduduk asli di ujung utara pulau Sumatra. Sementara di hulu sungai Baroemoen
yang juga menjadi penduduk asli adalah Orang Batak (Angkola dan Mandailing).
Pada-peta era VOC, dibagian utara pulau Sumatra hanya dua wilayah yang disebut
Terra atau Tanah yakni Terra Ambuara (Orang Gayo-Alas) dan Terra Daru (Orang
Angkola-Mandailing). Penyebutan Terra merujuk pada kerajaan di pedalaman
(terra). Penduduk asli lainnya di pulau Sumatra adalah Toba (danau Toba), Agam
(danau Maninjau), Solok (danau Maninjau), Kerinci (danau Kerinci),
Komering-Lampong (danau Ranau). Semua penduduk asli ini dari selatan (Lampong)
hingga ke utara (Gayo) memiliki aksara sendiri yang satu sama lain mirip
(berbeda dengan di Jawa, Bali dan Lombok). Mereka penduduk asli ini yang turun
gunung bertransaksi (dengan pedagang-pedagang dari lautan) di pelabuhan-pelabuhan
pantai seperti di Lhoksukon dan Lhokniboeng (Gayo), Panai (Angkola-Mandailing),
Siak dan Indragiri (Agam dan Solok), Djambi
(Kerinci),, Palembang (Komering), Martapoera-Manggala (Lampong).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kerajaan Dilli dan Kerajaan
Aroe
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar