Minggu, 14 Juni 2020

Sejarah Lombok (4): Sejarah Kota Mataram di Lombok, Antara Bali dan Sasak; Nama Mataram Jadi Ibu Kota Nusa Tenggara Barat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Mataram di Jawa adalah masa lampau, Mataram di Lombok adalah masa depan. Pewaris Mataram di Jawa adalah Soerakarta dan Jokjakarta. Lalu, siapa pewaris Mataram di Lombok? Tidak ada. Sebab, Mataram di Lombok adalah ahli waris Selaparang. Dengan kata lain, ahli waris Selaparang adalah Mataram. Dalam hal ini, Mataram di Jawa sudah lama tiada, tetapi Mataram di Lombok masih eksis hingga ini hari.

Ampenan, Mataram dan Tjakranegara (Peta 1894)
Kota Mataram di (pulau) Lombok pada masa ini dapat diperhatikan tempo doeloe berada diantara (kota) Ampenan dan (kota) Cakranegara. Tiga kota tua ini kemudian disatukan menjadi Kota Mataram (yang kini menjadi ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat). Pada era Karangasem, (kota) Mataram dihuni oleh penduduk yang berbeda. Bagian utara (kota) Mataram adalah orang Sasak (Lombok) dan bagian selatan adalah orang Bali. Bagian utara kota Mataram kemudian dimekarkan dengan membentuk kecamatan Selaparang. Kota-kota Ampenan dan Cakranegara juga masing-masing dimekarkan dengan membentuk kecamatan Sandubaya dan Sekarbela. Enam kecamatan yang kini membentuk Kota Mataram bermula dari tiga kota dengan urutan sebagai berikut (dari pantai): Ampenan, Mataram dan Cakranegara. Urutan ini men jadi penanda navigasi terbentuknya Kota Mataram yang sekarang.

Jika Mataram di Jawa adalah masa lalu, dan Mataram di Lombok adalah masa depan, lantas seperti apa perjalanan sejarah (kota) Mataram Lombok? Mungkin pertanyaan ini terkesan sepele dan tidak terlalu penting. Bukan karena terlalu sederhana tetapi justru karena terlalu rumit. Meski demikian, prosesnya dapat disederhanakan. Di sinilah pertanyaan tersebut yang awalnya sepele (terabaikan) menjadi sangat penting untuk diketahui. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kecamatan Ampenan dan Cakranegara Kota Mataram (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kota Mataram dan Kota Ampenan

Radja Lombok Selaparang sudah lama tiada. Memudarnya kerajaan Selaparang di Lombok (timur) diduga karena adanya invasi kerajaan Karangasem di Lombok (wilayah kerajaan Selaparang) sejak 1740. Dua nama tempat di wilayah Lombok barat adalah (pelabuhan) Ampenan dan kota (kampong) Mataram. Dalam perkembangan, diketahui kerajaan Karangasem di Bali menempatkan seorang pangeran Bali di Lombok yang disebut sebagai pangeran van het eiland Selaparang. Pangeran Bali di Lombok tidak membangun kraton di Ampenen dan juga tidak di Mataram melainkan di arah timur yang kemudian disebut Tjakranegara. Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda Radja Bali Selaparang di Lombok dimulai pada tahun 1830 (lihat Almanak 1847).

Bendera Bali Selaparang (Lombok)
Pada tahun 1838 terjadi peristiwa yang tidak terduga di Lombok (lihat Nederlandsche staatscourant, 11-01-1839). Disebutkan permusuhan di pulau Lombok telah berakhir antara Radja Karang Assam dan Goestie Mataram. Goestie terbunuh tetapi pasukannya menang. Lalu Radja Karang Assam membakar bentengnya dimana istri-istrinya dibakar, anak-anaknya dan semua pengikutnya, lalu dia sendiri melemparkan dirinya ke tengah-tengah bara api dan mati. Kerajaan Karang Asem Bali yang tempo doeloe mengalahkan kerajaan Lombok Selaparang, kini berbalik pangeran (kerajaan) Bali Selaparang (Mataram) telah mengalahkan kerajaan Karang Asem Bali di Lombok. Keduanya adalah turunan Karangasem.

Pangeran Mataram Lombok menjadi raja tunggal di Lombok (Bali Selaparang). Bagaimana Goestie Mataram memenangkan perang saudara di Lombok tidak diketahui apakah dibantu Belanda atau didukung penduduk pribumi (Sasak). Mataram dan Tjakranegara adalah tempat yang menguntungkan. Pelabuhan Ampenan menjadi pusat perdagangan yang penting yang mengekspor berbagai komodisi ke luar daerah. Kapal-kapalnya bahkan mengekspor hingga jauh ke Batavia (lihat antara lain Javasche courant, 24-12-1845). Tampaknya Bali Selaparang memiliki hubungan yang baik dengan Batavia (Pemerintah Hindia Belanda). Hubungan baik itu ditunjukkan pada Perang Bali (pertama) pada tahun 1846.

Pada tahun 1846 perselisihan antara Pemerintah Hindia Belanda (Batavia) dengan pangeran (radja) Boeleleng mencapai puncaknya. Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer untuk menghukum pangeran Boeleng (lihat Javasche courant, 07-07-1846). Ekspedisi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel G. Bakker ini dimulai pada tanggal 26 Juni 1816. Pendaratan dilakukan di Boeleleng. Pasukan tambahan disediakan oleh Sultan Madura dan Sultan Sumanap serta Bupati Pamakassan, Juga tidak diduga bahwa seorang pedagang dengan fregat bersenjata, bersama dengan esquader kami, muncul disana yang dipimpin Raja Bali Selaparang untuk berpartisipasi di bawah bendera Lombok. Catatan: Radja Beoleleng adalah saudara dari Radja Karangasem Bali. Bantuan dari Radja Bali Selaparang kepada Belanda untuk menghukum Radja Boeleleng (yang dibantu radja Karang Asem) seakan mengulang pertikaan tempo doeloe antara pangeran Bali Selaparang dengan radja Karangasem Bali di Lombok (1839). Dengan katan lain Bali di pulau Lombok sudah agak berbeda dengan Bali di pulau Bali. Sementara Bali Boeeleleng dan Bali Karangasem dengan caranya sendiri. Ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan dukungan dari kerajaan-kerajaan Bali lainnya di pulau Bali dengan mengirim surat melalui utusan masing-masing ke Pemerintah Hindia Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 27-07-1846)

Perang ini terus berlanjut dan baru berakhir pada tahun 1849. Bagi Pemerintah Hindia Belanda kawasan Bali en Lombok sudah mulai kondusif terutama dalam hubungannya dengan pelayaran dan kontak bisnis antara pedagang-pedagangan Eropa-Belanda dengan pemmpin lokal. Situasi dan kondisi kondusif ini paling tidak di bali Utara dan Lombok. Hal ini dapat dilihat adanya perjanjian-perjanjian baru antara Pemerintah Hindia Belanda dan para pemimpin lokal (lihat Nederlandsche staatscourant, 29-09-1849).

Wujud dari perjanjian baru ini adalah pengangkatan Ratoe Dewa Gede Tankeban, pangeran Bangli, Pangeran Boeleleng dan Pangeran Mataram di pulau Lombok dan Anak Nngoerah Ketoet Karang Assam, pangeran Karang Assam. Disebutkan pada tanggal 25 Junii ini pelantikan pangeran Boeleleng yang baru yang berjanji untuk mengangkat panggawa Boeleleng Madih Rahi sebagai kepala penguasa kekaisaran. Sementara itu pangeran Kloengkoeng, Badong, Tabanan dan Gianjar dengan kapal Zr. MS telah berangkat ke Batavia yang akan diterima oleh Menteri Negara Gubernur Jenderal dalam minggu ini.

Sejak Perang Bali (1846-1849), Pemerintah Hindia Belanda telah mengadministrasikan (pulau) Bali dan (pulau) Lombok sebagai satu kesatuan geografis wilayah. Namun cabang pemerintahan Hindia Belanda baru terdapat di (pulau) Bali yakni dengan membentuk Afdeeling Boeleleng dan Afdeeling Djembrana (dua wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh pangeran Boeleleng). Dua afdeeling di wilayah Bali en Lombok ini ditempatkan di bawah Asisten Residen Banjoewangi (Residentie Besoeki). Meski demikian, di Boeleleng ditempatkan seorang Asisten Residen dan seorang Controleur di Djembrana (Negara).

Ampenan dan Mataram, Lombok (Peta 1850)
Sementara cabang Pemerintah Hindia Belanda sudah terbentuk di Afdeeling Boeleleng dan Afdeeling Djembrana, Pemerintah Hindia Belanda (di Batavia) tetap mengakuai eksistensi para raja-raja di Bali en Lombok. Raja-raja yang diakui di Bali en Lombok adalah Dewa Agoeng Poetra sebagai soesoehoenan van Bali en Lombok (pengeran van Kloengkoeng); Dewa Manggis, pangeran Gianjar; Ratoe Gede Ngoerah Kasiman, Ratoe Alit Ngoerah Denpasar dan Ratoe Gede Ngoerah Made Pametjoetan, semuanya adalah pengeran-pangeran Badoeng; Goesti Ngoerah Made Agoeng, pangeran Mangwi; Goeti Ngoerah Agoeng, pangeran Tabanan; dan Dewa Gede Tangkeban pangeran Bangli. Di Selaparang (Lombok) raja yang diakui adalah Anak Agoeng Agoeng Gede Karang Asem sebagai pangeran kerajaan Karangasem di Bali dan Anak Agoeng Agoeng Ngoerah Ketoet Karang Asem sebagai pangeran van het eiland [Lombok] Selaparang. Dalam konteks ini, secara dejure tidak ada (lagi) Radja Lombok Selaparang, yang ada adalah Radja Bali Selaparang.

Sejak kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Bali en Lombok, meski masih terbatas di (afdeeling) Boeleleng dan Djembrana, kota Mataram secara perlahan tumbuh dan berkembang. Pedagang-pedagang Eropa/Belanda di Lombok yang sebelumnya terbatas di Ampenan mulai memasuki kota Mataram. Kota Tjkaranegara tetap sebagai ibu kota kerajaan Bali Selaparang. Para investor Eropa/Belanda mulai berdatangan, tidak hanya di Boeleleng dan Djembrana tetapi juga Lombok.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kota Tjakranegara dan Kota Mataram

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar