*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Kerajaan Selaparang sudah lama eksis, wilayahnya tidak hanya (pulau) Lombok juga termasuk pulau Penida. Invasi Kerajaan Karangasem pada tahun 1740 menyebabkan pulau Penida lepas dan pulau Lombok terbelah (muncul koloni Bali di Lombok bagian barat). Satu abad kemudian, pangeran kerajaan Selaparang mulai memikirkan agar seluruh (pulau) Lombok berada di bawah kendali kerajaan Selaparang. Bagaimana hasilnya?
Kerajaan Selaparang sudah lama eksis, wilayahnya tidak hanya (pulau) Lombok juga termasuk pulau Penida. Invasi Kerajaan Karangasem pada tahun 1740 menyebabkan pulau Penida lepas dan pulau Lombok terbelah (muncul koloni Bali di Lombok bagian barat). Satu abad kemudian, pangeran kerajaan Selaparang mulai memikirkan agar seluruh (pulau) Lombok berada di bawah kendali kerajaan Selaparang. Bagaimana hasilnya?
Kerajaan Selaparang Lombok (Peta 1720) |
Pangeran kerajaan Boeleleng berseteru dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Pangkal perkara karena pangeran Boeleleng dianggap
melanggar perjanjian dan persoalan tawan karang. Pemerintah Hindia Belanda
menultimatum pangeran Boeleleng dengan mengirim ekspedisi militer. Ekspedisi
ini didukung oleh Sultan Madoera en Sumanap dan Bupati Pamakassan. Ekspedisi
ini juga didukung Pangeran Selaparang di bawah bendera Lombok (lihat Javasche
courant, 07-07-1846). Inilah awal Perang Lombok. Untuk menambah pengetahuan,
mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Perang Lombok
Pemerintah VOC dengan kekuatan militernya yang
didukung pasukan pribumi sudah sangat berpengalaman untuk urusan perang, tidak
hanya terhadap pesaing Eropa (Portugis dan Inggris) juga terhadap
kerajaan-kerajaan lokal (pribumi). Kemenangan di kerajaan Gowa dan Demak/Djapara
telah menaikkan moral politik Pemerintah VOC (yang berpusat di Batavia). Lalu
lintas pelayaran (pedagang-pedagang) VOC di jalur selatan dari Batavia ke Banda/Amboina
melalui pantai utara Madura, Bali, Lombok dan Timor masih tetap dianggap
penting dan dipertahankan. Jalur ini dapat dianggap jalur tradisional VOC
bahkan sudah sangat mengenalnya sejak ekspedisi pertama (1595-1597) dan kedua
(1598-1600) Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Seabad kemudian jalur
pelayaran selatan ini tetap dipertahankan dengan menganggap (pulau) Lombok
penting bagi VOC sebagai pusat perdagangan dan jalur pelayaran.
Di
pulau Bali sudah terdapat beberapa kerajaan, sedangkan di Lombok hanya terdapat
satu kerajaan yakni di pantai timur Lombok (lihat Peta 1720). Pemerintah VOC
sudah barang tentu menganggap kerajaan-kerajaan di dua pulau ini penting sebagai
simpul perdagangan. Namun yang lebih penting dalam hal ini adalah posisi dimana
pos perdagangan VOC. Pada Peta 1720 tanda navigasi jangkar (anker) diletakkan
di teluk Lombok, pantai Ampenan (Mataram) dan teluk Lembar (kerajaan Selaparang)
dan teluk Bali (kerajaan Kloengkoeng) sebagai pelabuhan perdagangan ((VOC). Tanda
navigasi lainnya adalah pengukuran kedalaman laut di sepanjang pantai barat
(pulau) Lombok dan pantai utara Blambangan (pulau Jawa). Tanda navigasi ini
mengindikasikan jalur pelayaran sepanjang pantai yang boleh dikatakan sebagai
jalur yang intens dilalui oleh kapal-kapal VOC. Lantas mengapa yang dipilih
pantai (barat) Lombok antara teluk Ampenan dan teluk Lembar? Lebih aman. Posisi jalur VOC ini di satu sisi menguntungkan
(kerajaan) Selaparang di (pulau) Lombok dan di sisi lain VOC menghindari konflik
dengan Bali (yang sudah menguasai selat Bali dengan penaklukan kerajaan
Blambangan).
Situasi dan kondisi menjadi kacau pada tahun
1740. Kerajaan Karangasem melakukan aneksasi di Lombok (pantai barat). Apa yang
menjadi pangkal perkara? Besar dugaan kemesraan
antara Pemerintah VOC dan kerajaan Selaparang membuat Bali cemburu? Tentu saja tidak. Kerajaan Karangasem (dan cabang
pemerintahannya di kerajaan Boeleleng) diduga kuat berupaya untuk mengusir
keberadaan pedagang-pedagang VOC di kawasan. Dengan menguasai Lombok bagian
barat, kerajaan Karangasem menguasai selat. Selat Bali dan selat Lombok adalah perairan
yang terhubung dengan (kerajaan-kerajaan) di Bali yang mana selama ini pantai
barat Lombok menjadi jalur pelayaran VOC. Bali tampaknya ingin menguasai
kawasan sekitar Bali.
Pemerintah VOC tentu saja
tidak terlalu peduli aneksasi Bali terhadap Lombok, sejauh tetap masih bisa
bernegosiasi dengan Bali dan atau Lombok. Kerajaan Selaparang di pantai timur
Lombok sudah barang tentu gigit jari. Posisi bargaining (kerajaan Selaparang)
sangat lemah, sementara kerajaan-kerajaan Bali sangat kuat karena hubungan
timbal balik antara VOC di Batavia dengan para pemimpin Bali masih terjaga.
Banyaknya orang Bali yang menjadi kekuatan militer VOC (di berbagai tempat)
dengan sendirinya menyandera Pemerintah VOC. Hubungan yang intens antara para
pemimpin Bali dengan Batavia dalam satu abad terakhir masih terjaga Ini dapat
dibaca pada komunikasi antar dua belah pihak pada catatan Kastel Batavia
(Daghregister). Kenyataan ini boleh jadi disadari penuh oleh kerajaan
Selaparang (Lombok). Pada era inilah peran Selaparang melemah sementara
eksistensi Soembawa di perairan selat Alas tidak menentu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pembentukan Pemerintahan di Pulau Lombok
Setelah berakhirnya VOC, kerajaan Belanda
membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Namun penataan dan pembentukan cabang-cabang
pemerintahan belum sepenuhnya terwujud kemudian terjadi pendudukan Inggris
(1811-1816). Setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali, cabang-cabang
pemerintahan yang dibuat Inggris diperbarui lagi. Salah satu residentie yang
dibentuk adalah Residentie Bezoekie en Banjoewangie. Residen di Bondowoso dibantu
dua Asisten Residen di Probolinggo dan di Banjoewangie (lihat Almanak 1833).
Nama residentie diubah namanya menjadi Residentie Besoeki dengan menempatkan
seorang asisten residen di Banjoewangi (lihat Almanak 1841). Hingga tahun 1845
(lihat Almanak 1845) belum ada Pemerintahan Hindia Belanda di Bali namun
kedudukan raja Bali diakui.
Di luar
Jawa baru ada di Sumatra dan Kalimantan. Di Sumatra terdapat di Pantai Barat
Sumatra (Sumatra’s Westkust), Bengkoelen, Lampong, Palembang dan Bangka, di
Kalimantan terdapat di Bandjarmasing (juga tempat kedudukan Gubernur), Koetai,
Pontianak dan Sambas. Di Province Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga
Residentie. Gubernur (AV Michiels) berkedudukan di Padang, residen di Tapanoeli
adalah Alexander van der Hart. Meski demikian Pemerintah Hindia Belanda mengakui
kedudukan sejumlah sultan-sultan seperti di Soerakarta, Banjarmasin, Djambi,
Bima dan raja-raja di Goa dan Bone. Di Bali en Lombok disebut Keizer van Bali
en Lombok Dewa Agoeng Poetra yang berkedudukan di Kloengkoeng dan pangeran (Bali)
van Selaparang (Lombok) Goesti Ngoerah Ketoeh Karang Assam.
.
Pada tahun 1846 mulai terbuka adanya perselisihan
antara Pemerintah Hindia Belanda dengan pangeran (Bali) van Boeleleng Goesti
Ngoerah Made Karang Asem. Disebutkan penghinaan berulang-ulang di perairan Bali
pada bendera [Belanda, tricolor], dan yang paling baru penolakan Radja van Boeleleng
atas perjanjian yang ada antara dia dan Pemerintah Belanda. Menteri negara atas
nama Gubernur Jenderal telah menginstruksikan suatu ekspedisi ke Bali
(Boeleleng) dengan membawa ultimatum pemerintah dengan tuduhan yang ditentukan jika tidak
direspon tepat waktu atau memberikan respons yang tidak memuaskan, segera
dilanjutkan ke permusuhan. Ultimatum itu terutama ditujukan kepada pangeran Boeleleng
Goesti Ngoerah Made Karang Asem. Ultimatum ini telah disampaikan Asisten
Residen Banjoewangi dan kemudian disusul oleh Resident Besoeki.
Beberapa
poin ultimatum ini adalah bahwa perjanjian
yang dilanggar dan ditandatangani sendiri oleh pangeran Boeleleng pada tanggal
26 November 1841 dan 8 Mei 1843; bahwa
penduduk Djembrana pada bulan Januari 1844,wilayah Boeleleng, bersalah karena
menjarah kapal yang berlayar di bawah bendera Belanda di atas kapal milik warga
negara Hindia Beanda dan bahwa kompensasi yang dijanjikan belum diberikan;
bahwa dia tidak menerima dan memperlakukan utusan-utusan Pemerintah dengan
penghargaan yang pantas sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
tetapi sebaliknya diperlakukan sebagai musuh; bahwa surat Gubernur Jenderal
tidak dijawab dan bahwa ia tidak menampilkan bendera Belanda sesuai waktu dan
sebagaimana mestinya. Surat perjanjian baru telah disiapkan yang ditunggu
hingga 3X24 jam yang antara lain berisi penghapusan perampokan pantai dan
berkomitmen untuk pencegahan pembajakan dan perbudakan dan melindungi [lalu
lintas] perdagangan; bahwa jika kondisi ini tidak diadopsi dalam 3 kali 24 jam,
serangan terhadap wilayah kekuasaannyanya akan segera terjadi dan
konsekuensinya akan menimpanya, Radja van Boeleleng, karena ia telah melukai
dirinya sendiri; tetapi Menteri Negara, Gubernur Jenderal, percaya bahwa pada
waktunya, dan sebelum semuanya terlambat, dia akan mengambil satu-satunya jalan
yang dapat mengarah pada menghindari konsekuensi dan nasib rekonsiliasi seperti
itu.
Ekspedisi terpaksa dijalankan (lihat Javasche
courant, 07-07-1846). Ekspedisi ini dipimpin oleh Letnan Kolonel G. Bakker yang
menjadi kommandant ekspedisi Bali yang dimulai pada tanggal 26 Juni 1816.
Pendaratan dilakukan di Boeleleng. Pasukan tambahan disediakan oleh Sultan
Madura dan Sultan Sumanap serta Bupati Pamakassan, pada waktu yang diberikan
untuk Beliling. Juga tidak diketahui bahwa seorang pedagang dengan fregat
bersenjata, bersama dengan esquader kami, muncul disana yang dipimpin Raja
Selaparang untuk berpartisipasi di bawah bendera Lombok.
Perang
ini terus berlanjut. Sehubungan dengan semakin perlawanan Boeleleng yang belum
terselesaikan, akhirnya Gubernur Sumatra’s Westkust Generaal Majoor AV Michiels
menjadi pimpinan ekspedisi. Perlawanan Boeleleng berakhir pada tahun 1849.
Setelah berakhirnya Perang Boeleleng tahun 1849,
mulai dipersiapkan cabang pemerintahan di Boeleleng pada tahun 1856. Dalam
permulaan pemerintahan ini dipimpin oleh Asisten Residen Banjoewangi dengan
nama pemerintahan Bali en Lombok. Dua afdeeling dibentuk yakni Afdeeling
Boeleleng dan Afdeeling Djembrana. Di Boeleleng ditempatkan seorang asisten
residen dan di Djembrana seorang controleur.
Untuk
pemimpin lokal diangkat sebagai bupati Boeleleng adalah Radja Goesti Ngoerah
Ktoet Djelantik sejak 1861 (lihat Almanak 1863). Juga diangkat kapitein China,
kepala Boegis di Boeleleng, Abdoellah, kepala di Tamboekoer (Badoellah) dan
kepala di Sangsit (Daeng Mali). Untuk membantu asisten residen di Boeleleng
ditambahkan seorang Controleur. Di Djembrana diangkat bupati Goesti Ngoerah
Made Pasekan (sejak 1856), kapala Jawa di Banjoe Biroe, di Tegal Bodeng dan di
Pengambengan,
Dalam perkembangannya status Banjoewangi
ditingkatkan dari Asisten Residen menjadi Resident, Residen Banjoewangi tetap
membawahi Bali en Lombok (lihat Almanak 1867). Di Boeleleng tetap seorang
asisten residen dengan pemimpin lokal bupati Radja Goesti Ngoerah Ktoet
Djelantik dan pemimpin lokal di Djembrana bupati Goesti Ngoerah Made Pasekan.
Fungsi Controleur di Djembrana dihapuskan.
Pembagian
wilayah Pemerintah Hindia Belanda sejauh ini Bali dan Lombok disatukan.
Sementara di sisi timur Lombok sudah dibentuk afdeeling Bima. Dalam hal ini
afdeeling Bima termasuk wilayah Afdeeling Zuiden Districten dari Province
Celebes. Di Afdeeling Bima ditempatkan seorang Controleur. Dalam Almanak 1871 Radja
Goesti Ngoerah Ktoet Djelantik masih bupati Boelelen, sedangkan bupati
Djembrana lowong tetapi masih ada Patih. Pemimpin lokal yang baru adalah kepala
Muslim Bali di Pengastoelan dan kepala Muslim Mandar dan Bali di Loloan.
Seperti sebelumnya meski beberapa lanskap tidak
ada pemerintahan Hindia Belanda, tetapi radja dan sultan diakui (lihat Almanak
1871). Di pulau Sumbawa yang diakui adalah pangeran Bima, sultan Soembawa,
pangeran Dompoe dan pangeran Sangar. Di Bali raja-raja yang (tetap) diakui
adalah Dewa Agoeng Poetra sebagai soesoehoenan van Bali en Lombok (pengeran van
Kloengkoeng), Dewa Manggis pangeran Gianjar, Ratoe Gede Ngoerah Kasiman, Ratoe
Alit Ngoerah Denpasar dan Ratoe Gede Ngoerah Made Pametjotan yang semuanya
adalah pengeran-pangeran Badoeng; Goesti Ngoerah Made Agoeng pangeran Mangwi,
Goeti Ngoerah Agoeng pangeran Tabanan dan Dewa Gede Tangkeban pangeran Bangli.
Sementara radja di Boeleleng dan di Djembrana merangkat bupati.
Di
Selaparang (Lombok) raja yang diakui adalah Anak Agoeng Agoeng Ngoerah Ketoet
Karang Asem sebagai pangeran van het eilnad Selaparang dan Anak Agoeng Agoeng
Gede Karang Asem sebagai pangeran kerajaan Karangasem di Bali. Mereka berdua
ini diakui sejak 1830.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar