*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini
Klik Disini.
Kota Surabaya pada masa ini memiliki ribuan
nama jalan. Tentu saja itu semua bermula dari satu (nama) jalan. Nama jalan
yang pertama di Kota Surabaya adalah Bergstraat. Nama jalan Bergstraat ini adalah
jalan yang menghubungkan Kantor Resident Soerabaja dan Rumah Bupati Soerabaja.
Nama jalan Bergstraat ini teridentifikasi pada surat kabar yang terbit di
Surabaya tahun 1855 (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en
commercieel nieuws- en advertentieblad, 18-07-1855).
|
Peta Soerabaja, 1830 |
Bersgstraat disebut yang pertama karena jalan utama yang
menghubungkan dua tempat utama: Rumah/Kantor Resident dan Rumah/Kantor Regent.
Lokasi jalan ini berada di sisi barat Kali Mas (eks sungai Soerabaja).
Bergstraat ini kini menjadi Jalan Jembatan Merah, Jalan Veteran dan Jalan
Pahlawan. Dua nama jalan utama lainnya adalah Heerenstrat (kini Jalan Rajawali)
dan Chineesche Voorstraat (kini Jalan Karet).
Pemberian (identifikasi) nama jalan muncul
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Lantas bagaimana proses permulaan
penamaan jalan di Surabaya.Apa saja nama-nama jalan tempo doeloe di Kota
Surabaya? Nama jalan pada masa lalu identik sebagai pedoman navigasi di dalam
kota. Pertanyaan ini tentu saja menarik perhatian pada masa kini: Nama jalan
yang sekarang apa namanya pada tempo doeloe. Mari kita telusuri.
Bergstraat, Heereensstraat dan Handelsstraat
Memahami sejarah jalan di suatu kota, seperti
Kota Surabaya sudah barang tentu harus dimulai dari cikal bakal kota itu
sendiri. Cikal bakal kota Surabaya dimulai dari sebuah kampung yang menjadi
tempat Bupati/kraton Soerabaja yakni Kampung Surabaya yang lokasinya kini berada
di depan Kantor Gubernur. Perkampung Tionghoa berada di seberang Kampung
Surabaya (kini pecinan). Lalu muncul area orang-orang Eropa tidak jauh dari
benteng/casteel Soerabaya. Di area orang Eropa ini pada permulaan Pemerintah
Hindia Belanda (1820-1830) didirikan Kantor Residen Soerabaja.
Kantor Residen Soerabaja ini menghadap ke Kali Mas (eks
sungai Soerabaja). Dari depan Kantor
Residen sudah terdapat jalan pos menuju Simpang melalui Rumah/Kraton Bupati
Surabaya. Simpang sendiri adalah pertemuan jalan pos dari Gresik ke Soerabaja
dan jalan pos dari Pasoeroean ke Soerabaja. Oleh karenanya jalan pos Trans-Java
adalah Gresik, Simpang dan Pasoeroean. Dengan kata lain jalan pos Trans Java
berada di luar Soerabaya.
Jalan dalam kota
Soerabaya antara Kantor Residen dengan Kantor/Rumah Bupati lalu disebut dengan
nama Bergstraat (sisi barat Kali Mas). Mengapa disebut Bergstraat? Diduga
karena mengikuti nama jalan yang populer di Amsterdam kala itu. Jalan
Bergstraat inilah yang diduga sebagai nama jalan pertama di Surabaya. Jalan
yang kedua adalah Heereenstraat. Disebut Heerenstraat diduga menjadi area Eropa
orang-orang Eropa/Belanda sejak era VOC. Petinggi-petinggi VOC selalu namanya
disebut Heer (lihat Naam-boekje van de wel ed. heeren der hooge Indiasche
regeeringe [...] op Batavia [...] zoo als dezelve in wezen zyn bevonden ultimo
december 1779). Nama jalan yang ketiga adalah Chineesche Voorstraat.
Kantor Residen mengalami perbaikan (dibangun baru) antara
tahun 1830-1850. Pada saat pembangunan baru kantor residen ini juga
diintegrasikan dengan pembangunan jembatan Roode Brug (Jembatan Merah). Posisi
jembatan ini persis di depan kantor Residen. Jembatan ini menuju perkampungan
Tionghoa yang disebut Jalan Chineesche Voorstraat (kini disebut Jalan Karet). Sementara sebelumnya di belakang kantor Residen sudah terbentuk jalan di
area orang Eropa yang disebut Jalan Heereenstraat (kini disebut Jalan
Rajawali). Ini berari diantara jalan Heereenstraat dan Roode Brug/Chineesche
Voorstraat dihalangi oleh bangunan Kantor Residen.Jalan penghubungan antara Heereenstraat dan Roode Brug/Chineesche
Voorstraat dibuat jalan memutar samping kanan Kantor Residen. Jalan melengkung
ini kelak disebut Jalan Paradestraat.
Tiga jalan terawal di
Kota Soerabaja ini (dengan pusat Kantor Residen) menandai simpul tiga arah:
barat di Jalan Bergstraat (perkampungan asli/kraton Bupati); utara di Jalan
Heerenstraat (area Eropa/Belanda) dan selatan di Chineesche Voorstraat (perkampungan Tionghoa). Dari tiga jalan utama
ini kemudian berkembang jalan-jalan yang lain.
Pada peta tahun 1855 beberapa nama-nama jalan di
Soerabaja sudah dilaporkan, yakni: Schoolstraat, Boomdwarstraat,
Oudeschoolstraat, Roomsche kerkstraat, Embdenstraat, Soecieteit atau Berg
straat, Willemkadestraat, Heerenstraat, Overvartstraat, Regentstraat dan
Grissekweg, Simpangscheweg dan lainnya. Sedang nama-nama situs penting diantaranya
adalah Willemsplein dan Societeit (lihat De Oostpost: letterkundig,
wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 18-07-1855).
Dari informasi surat kabar Oostpost tahun 1855
ini, jalan Bergstraat tampaknya telah dibagi menjadi dua ruas jalan: Bergstraat
dan Willemkadestraat (kini Jalan Jembatan Merah). Ujung jalan Bergstraat adalah
Jalan Regentstraat (kini Jalan Kebon Royo). Nama Bergstraat juga sudah muncul
nama pengganti yakni Societeitstraat (kini Jalan Veteran). Sementara jalan
Heereenstrat ujung menjadi Grissekweg. Munculnya Grissekweg ini mengindikasikan
jalan pos Trans-Java telah bergeser dari Simpang ke tengah kota (Hereenstraat-Bergstraat).
Sedangkan jalan antara Regentstraat dengan Simpang disebut Simpangscheweg. Sementara
itu, lapangan disamping Kantor Residen dengan jalan melengkung antara
Heerenstraat dan Roode Brug disebut Willemplein (Lapangan Willem).
|
Jalan Pos Trans-Java (Peta Soerabaja, 1867) |
Willem adalah nama raja Belanda saat itu (Willem III). Sementara
Societeit adalah suatu perkumpulan sosial orang-orang Eropa di Soerabaja.
Societeit pertama di Soerabaja adalah Societeit Concordia (nama klub sosial
militer yang juga terdapat di Batavia dan Bandoeng). Alamat Societeit Concordia
ini berada di Bergstraat (nama yang akan menggantikan nama lama jalan ini). Sedangkan
Oostpost adalah surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Soerabaja, terbit
pertama kali pada tahun 1853 (lihat artikel lainnya). Jalan Pos Trans-Java adalah jalan utama di
seluruh wilayah Jawa mulai dari Anjer (Bantam) hingga Panoeroekan/Banjoewangi.
Jaln pos (Grotee post weg) ini dirintis pada era Daendels, 1810). Pada Peta 1867 jalan pos ini terlihat telah bergeser dari Gresik ke Simpang menjadi Greesik ke Soerbaja (melalui Heereenstraat, Bergstraat dan Regentstraat dan Simpangsch weg).
|
Nama-nama Jalan di Soerabaja, 1867 |
Jumlah
nama jalan di Kota Soerabaja semakin banyak. Pada peta Kota Soerabaja tahun
1867 teridentifikasi sebanyak 55 nama jalan. Dari nama jalan yang ada, selain nama
jalan yang lama muncul sejumlah nama jalan yang baru. Nama-nama jalan yang
bertambah tidak hanya di area Eropa tetapi juga di perkampungan asli dan
perkampung Tionghoa. Nama Bergstraat masih ada, beberapa nama jalan telah
berubah. Nama jalan baru yang muncul adalah Handels straat (terusan Roode
Brug). Nama jalan melengkung di Willemplein disebut dengan nama Paradestraat.
Nama jalan lainnya mengindikasikan perkampungan orang Melayu (Malaische
voorstraat).
Pada peta Kota
Soerabaja tahun 1880 nama-nama jalan yang ada tidak banyak berubah. Nama jalan
Societeit telah menggantikan nama jalan Bergstraat. Nama jalan Handelstraat
semakin besar, hal ini sehubungan dengan pembangunan jembatan di ujung jalan
Handelstraat (Jembatan Tjiantian) di atas sungai Pengierikan. Jalan
Handelsstraat ini kemudian disebut Jalan Kembang Jepoon (kini Jalan Kembang
Jepun).
Wilayah kota yang terus
berkembang, jumlah jalan baru semakin bertambah. Nama-nama jalan baru terus
bertambah. Beberapa nama jalan yang baru berdasarkan Peta Soerabaja 1905 adalah
munculnya nama Tjiantien (terusan Handelstrast seberang Jembatan Tjiantien).
Terusna jalan Bergstraat/Societeit straat yang dulu disebut Simpangweg telah
diberi nama Jalan Aloon-Aloon (setelah Regentstraat). Dengan demikian, jalan pertama
di Soerabaja, Bergstraat telah menjadi tiga ruas: Willemkadestraat (kini Jalan
Jembatan Merah); Socoeteitstraat (kini Jalan Veteran); dan Aloon-Aloon straat
(kini Jalan Pahlawan).
.
Daftar Nama-Nama Jalan di Surabaya Tempo Doeloe
Hingga berakhirnya era kolonial Belanda,
jumlah nama jalan di Soerabaja sudah mencapai 516 buah nama jalan. Jumlah ini
telah bertambah lebih dari 500 nama jalan sejak tahun 1840an. Tiga nama jalan
yang utama sejak awal Berg/Societeit straat, Heereen Straat dan Chinese
voorstraat (plus Handelstraat) telah eksis selama satu abad. Pada pasca
pengakuan kedaulatan RI (1950) nama-nama jalan utama ini telah diubah. Berg/Societeit straat diubah menjadi Jalan
Veteran, Heereen Straat menjadi Jalan Rajawali; dan Chinese voorstraat menjadi
Jalan Karet. Sedangkan Jalan Handelstraat yang sering dipertukarkan dengan
Jalan Kembang Jepoon tetap dipertahankan sebagai Jalan Kembang Jepun (De vrije
pers : ochtendbulletin, 25-03-1950).
|
Daftar Nama Jalan di Soerabaja (1940) |
Secara umum nama-nama jalan di Kota Soerabaja hingga
berakhirnya era kolonial dibagi ke dalam beberapa kelompok: Nama Belanda (kota,
figur kerajaan, pahlawan); nama Tionghoa (kawasan, Asia Timur, tokoh); nama
lokal (tempat atau geografis, bunga, pohon). Nama-nama berbau Belandan dan
Tionghoa telah diganti semua. Sedangkan nama-nama berbau lokal sebagian
diterjemahkan dan sebagian yang lain tetap seperti biasa. Perubahan nama juga
didasarkan atas pertimbangan strategis misalnya jalan Societeit menjadi Jalan
Veteran dan Aloon-Aloon straat menjadi Jalan Pahlawan. Kedua nama jalan ini di
satukan dengan nama Jalan Jembatan Merah (menggantikan Willemkadestraat).
Regentstraat menjadi Jalan Kebon Rojo.
|
De vrije
pers : ochtendbulletin, 25-03-1950 |
Sehubungan dengan perubahan nama-nama
tersebut nama-nama Indonesia yang ada telah dipertahankan, 'dengan pemahaman
bahwa akhiran' weg, straat, laan dan steeg (gang) diubah menjadi djalan,
boulevard diubah menjadi djalan raja, park jadi taman, plantsoen jadi halaman
dan plein (persegi) menjadi lapangan, Dalam penamaan baru nama jalan di
Soerabaja ini, di wilayah Sawahan nama-nama jalan diberi berdasarkan nama-nama
gunung. Di wilayah Udjung diberi nama yang terkait lautan, di wilayaj Pesapen
terkait dengan kapal; di wilayah Kebalen nama-nama jalan berdasarkan nama-nama
negara bagian di Semenanjung; di wilayaj Jembatan Merah terkait dengan
nama-nama burung, seperti Heerenstraat menjadi Jalan Radjawali; di wilayah
Kembangan demgan nama-nama rempah; di Patjarkoening dengan nama-nama candi. Di
Kembang Koening dengan nama-nama tokoh seperti Mangkoenegoro dan Chairil Anwar;
di wilayah Darmo dengan nama-nama pahlawan nasional seperti Dr. Soetomo, MH
Thamrin dan WR Supratman.
Dr. Soetomo adalah sahabat dekat Dr. Radjamin Nasution
sejak di bangku kuliah di STOVIA di Batavia.. Saat Dr. Soetomo meninggal tahun
1938 ketika pemberangkatan ke pemakaman, Dr. Radjamin Naqsution yang berpidato
atas nama keluarga almarhum. Dr. Radjamin Nasution adalah anggota dewan kota
(gemeenteraad) Soerabaja sejak tahun 1931. Pada tahun ini atas saran Parada
Harahap (pengurus PPPKI) Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution mendirikan
Partai Bangsa Indonesia (PBI). Pada tahun 1935 PBI merangkul Boedi Oetomo
menjadi partai yang lebih besar dengan nama partai baru Partai Rakyat Indonesia
(Parindra) yang tetap berkantor pusat di Soerabaja. Tokoh Parindra selain Dr.
Soetomo dan Dr. Radjamin adalah MH Thamrin dan Dahlan Abdoellah. Pada saat
pendudukan Jepang Dr. Radjamin Nasution didaulat menjadi Wali Kota Soerabaja
dan Dahlan Abdoellah sebagai Wali Kota Batavia/Djakarta. Hanya ada dua kota di era pendudukan Jepang yang berstatus kota dan dikepalai oleh wali kota (Batavia dan Soerabaja). Sementara pada era kolonial Belanda hanya ada du kota dimana wakil wali kota (burgemeester) yang dijabat oleh pribumi, yakni Wakil Wali Kota Batavia MH Thamrin (1930) dan Wakil Wali Kota Padang Dr. Abdoel Hakim Nasution (1931-1942). MH Thamrin besan Dr. Abdoel Hakim Nasution. Sementara itu, WR Supratman adalah editor Parada Harahap di kantor berita Alpena (kantor berita pribumi pertama didirikan oleh Parada Harahap tahun 1925). Kuburan Dr. Radjamin Nasution dan WR Supratman saling berdekatan.
Kabar berita bahwa Jepang telah memulai invasi
ke Asia Tenggara diketahui di Soerabaja bermula dari surat anak Radjamin
Nasution. Pada saat serangan pertama Jepang, Radjamin Nasution, anggota
Volksraad (dari Parindra) yang tengah ‘pulang
kampung’ di Surabaya tiba-tiba mendapat surat dari anak perempuannya, seorang
dokter yang bersuamikan dokter yang sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong
Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar,
karena termasuk berita penting masa itu. Surat kabar Soeara Oemoem yang terbit
di Surabaya mempublikasikan isi surat keluarga (anak kepada ayahnya) tersebut
menjadi milik publik sebagaimana dikutip oleh koran De Indische Courant tanggal
08-01-1942. Berikut isi surat tersebut.
Tandjong Pinang, 22-12-194l.
Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio
Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada
Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam
hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di
gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan
terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang
bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa
yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah
jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.
Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku
mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk
mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya
diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap
hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa
kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa
melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.
Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami
merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat
kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak
mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi
saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya…Saya mendapat telegram
Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli…Saya memiliki Kakek dan bibi di
sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan
di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera.
Surat kabar Soeara Oemoem adalah organ Partai
Bangsa Indonesia dan kemudian Partai Rakayat Indonesia (Parindra). Surat kabar
Soeara Oemoem awalnya adalah surat kabar Bintang Timoer edisi Soerabaja (Oost
Java) milik Parada Harahap. Edisi Jawa Timur (bersamaan dengan edisi Jawa
Tengah) dimaksudkan untuk menyebarluaskan luaskan kiprah organisasi PPPKI
(ketua MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap) yang baru saja (1928) berhasil
mengorganisir Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior).
|
Dua pemuda paling radikal melawan Belanda |
Parada Harahap bukanlah orang biasa. Parada Harahap lahir
1899 hanya lulusan sekolah dasar di Padang Sidempoean. Pada usia 15 tahun
merantau ke Deli dan menjadi krani (juru tulis) di perkebunan seorang
Eropa/Jerman. Pada tahun 1917 mengirim laporan yang dibuatnya sendiri dan
mengirim ke redaksi surat kabar yang terbit di Medan. Laporan itu tentang
kekejaman para pengusaha perkebunan kepada para kuli asal Jawa (kasus poenali
sanctie). Beberapa waktu kemudian laporan itu disarikan redaksi ke dalam
berbagai tulisan dan beberapa edisi pada bulan Juni 1918. Berita surat kabar
Medan ini kemudian dilansir surat kabar yang terbit di Jawa (surat kabar Soeara
Djawa). Berita kasus poenali sanctie ini menjadi heboh. Atas peristiwa besar
tersebut, surat kabar Medan tersebut dibreidel dan Parada Harahap sebagai
sumber berita dipecat dari posisinya sebagai krani. Parada Harahap pulang
kampung di Padang Sidempoean. Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan surat
kabar di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka (suatu nama yang membuah
Belanda gerah). Selama dua tahun lebih di Padang Sidempoean belasan kali Parada
Harahp terkenal delik pers dan beberapa kali harus di bui. Pada tahun 1919 dan
1921 Parada Harahap mewakili pemuda Tapanoeli pada kongres Sumatranen Bond di
Padang. Saat kongres pertama inilah Parada Harahap bertemu seorang pemuda yang
masih muda, sekolah MULO (setingkat SMP) bernama Mohamad Hatta yang juga
berpatisipasi dalam kongres. Pada kongres kedua juga mereka berpartisipasi. Pasca
kongres kedua Sumatranen Bond (1921) Mohamad Hatta melanjutkan studi ke Belaada,
Parada Harahap hijrah ke Batavia (karena surat kabarnya Sinar Merdeka
dibreidel). Parada Harahap di Batavia pada tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang
Hindia. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribum pertama
yang diberi nama Alpena. Sebagai editor Parada Harahap merekrut WR Supratman
dari Bandoeng. Pada tahun1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih
radikal yang diberi nama Bintang Timoer di Batavia. Ir. Soekarno yang baru lulus di THS
Bandoeng kerap mengirim tulisan ke Bintang Timoer. Dari sinilah perkawanan
Parada Harahap dengan Soekarno terbentuk
Sementara Parada Harahap sudah sejak lama kenal dengan Mohamad Hatta. Pada
tahun 1927, Parada Harahap yang sudah menjadi pengusaha (ketua Kadin pribumi
Batavia), pemilik beberapa medaa dan percetakan dan tetap menjadi editor surat
kabarnya, Parada Harahap menggagas dibentuknya sebuah sarikat dari semua
oraganisi kebangsaaan yang disebut PPPKI (ketua ditunjuk MH Thmarin dan Parada
Harahap sebagai sekretaris dan kepala kantor). Saat itu, Parada Harahap juga
merangkap sebagai sekretaris Sumatranen Bond. Agenda pertama PPPKI adaalah
melaksanakan kongres PPPKI (senior) bulan September 1928 dan Kongres Pemoeda
pada bulan Oktober 1828, Parada Harahap menujuk ketua panitia kongres PPPKI Dr.
Soetomo, Untuk pemain kunci di panitia Kongres Pemoeda, Parada Harahap meminta
dua anak buahnya di Jong Sumatranen Bond (Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoedin
Harahap yang masih duduk tingkat dua dan tingkat satu di sekolah hukum
Rechthoogeschool). Parada Harahap, 28 tahun yang dianggap senior dalam politik
praktis di antara kalangan pemuda, boleh dikatakan sebagai penghubung (hub)
antara golongan senior (seperti MH Thamrin dan Mr. Abdoel Firman Siregar gelar Managaradja
Soangkoepon yang keduanya adalah anggota Volksraad, serta Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasoetion) dan
golongan pemuda. Parada Harahap adalah orang yang aktif di belakang terhubungnya empat
pemuda revolusioner (Mohamad Hatta, Soekarno, Mohamad Jamin dan Amir
Sjarifoedin). Saat itu Soetan Sjahrir masih duduk SMA di Bandoeng. Diantara nama-nama tersebut hanya Parada Harahap dan Soekarno yang tidak punya 'hutang' kepada Belanda (karena itu seumur-umur keduanya tidak pernah cooperative dengan Belanda; tetapi tidak dengan Jepang)..
Ketika, Ir. Soekarno ditangkap pertengahan tahun 1933,
Parada Harahap marah besar dan lalu memimpin tujuh orang revolusioner ke Jepang
pada November 1933 (termasuk di dalamnya Mohammad Hatta yang baru selesai studi
di Belanda dan sudah kembali ke tanah air).
|
Pahlawan Kota Soerabaja |
Setelah pulang Parada Harahap dan kawan-kawan dari Jepang
tudak langsung ke Batavia tetapi singgah di Soerabaja pada tanggal 13 Januari
1934. Ini dimaksudkan untuk melihat situasi dan kondisi karena takut ditangkap.
Pilihan singgah di Soerabaja karena lebih aman, selain pelabuhan Tandjong Perak
sebagai basis kapal-kapal Jepang juga karena ketua Sarikat Pekerja pelabuhan Tanjong
Perak adalah Dr. Radjamin Nasution (Dr. Radjamin Nasution adalah pejabat kesehatan
di Kanto Bea dan Cukai di Soerabaja) dan juga karena keberadaan Dr. Soetomo
sebagai Kepala Rumah Sakit Soerabaja. Tanggal 13 Januari ini juga merupakan
tanggal pemberangkatan Ir. Soekarno dari Batavia diasingkan ke Flores. Setelah Parada
Harahap dan kawan-kawan kembali ke Batavia mereka ditangkap. Parada Harahap dan
kawan-kawan lolos di pengadilan karena tidak terbukti setelah Konsulat Jepang
memberikan kesaksian. Namun Mohammad Hatta masih dijerat dengan pasal lain yang
menyebabkan Mohammad Hatta juga diasingkan (ke Digoel). Pada tahun 1938 Parada
Harahap, MH Thamrin dan Radjamin Nasution meminta keringan hukuman bagi
Soekarno dan Mohammad Hatta. Akhirnya dikabulkan dan tempat pengasingan
dipindahkan: Soekarno dipindahkan ke Bengkoelen dan Mohammad Hatta ke Banda.
Skenario para tokoh inilah yang boleh dikata mengapa Jepang mulus menaklukkan
Belanda di Indonesia. Pada saat pendudukan Jepang tokoh-tokoh inilah yang
menjadi berkolaborasi dengan Jepang. Soekarno dan Mohamamd Hatta menjadi Ketua
dan Wakil Dewan Indonesia di dalam Pemerintahan Militer Jepang; Radjamin
Nasution dan Dahlan Abdoellah menjadi walikota (hanya ada dua wali kota di era
pendudukan Jepang: di Batavia dan Soerabaja). Parada Harahap sendiri menjadi
Ketua Koordinasi media (radio, surat kabar dan lembaga kebudayaan). Sementara
satu ‘anak didik’ Parada Harahap bernama Amir Sjarifoeddin Harahap menolak
kerjasama dengan Jepang dan melakukan perlawanan di Soerabaja dan Jawa Timur
dan akhirnya dapat ditangkap lalu dipenjara di Malang. Hukuman bagi Amir
Sjarifoeddin adalah hukuman mati, tetapi Soekarno dan Parada Harahap meminta
keringanan dan akhirnya hanya hukuman sumur hidup dan tetap dibui di Malang.
Pada saat kemerdekaan (pasca Proklamasi RI) Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta
menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Amir Sjarifoeddin Harahap yang masih
dipenjara dijemput ke Malang tetapi sulit, tetapi sekali-lagi karena pengaruh
Soekarno dan Parada Harahap dapat dibebaskan. Jabatan yang diberikan kepada
Amir Sjarifoeddin adalah Menteri Informasi. Ini dimaksudkan untuk mengeliminasi
agar positioning Soekarno dan Mohammad Hatta kuat dimata pasukan sekutu/Inggris
yang tengah melakukan pembebasan interniran Belanda/Eropa dan pelucutan militer
Jepang. Amir Sjarifoeddin yang anti Jepang menjadi strategi RI untuk
menghilangkan kekhawatiran pihak sekutu/Inggris yang sedang bertugas. Sebab
pihak sekutu/Inggris masih merasa was-was Sokarno dan Mohamamd Hatta bermain
mata dengan Jepang. Parada Harahap yang anti Belanda dalam hal ini ikut
membantu Amir Sjarifoeddin sebagai Kepala Biro Informasi Kementerian Informasi.
Parada Harahap dalam hal ini adalah aktor penting: Parada Harahap adalah mentor
politik praktis tiga founding father RI sejak 1927 (pendiri dan sekretaris
PPPKI): Soekarno, Mohammmad Hatta dan Amir Sjarifoeddin. Catatan: PPPKI adalah
supra organisasi kebangsaan, organisasi nasional yang menghimpun semua
organisasi kedaeran yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia (disingkat PPPKI) yang berkantor di Gang Kenari (kini
masih eksis sebagai Gedung Thamrin). Di kantor ini, Parada Harahap sebagai
kepala kantor hanya memajang tiga foto di dinding yakni Diponegoro, Soekarno
dan Mohammad Hatta. Tugas besar pertama PPPKI adalah pada tahun 1928 menyelenggarakan
Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior). Parada Harahap mengangkat Dr.
Soetomo sebagai Ketua Panitia Kongres PPPKI dan Panitia Kongres Pemuda dari
mahasiswa-mahasiswa Rechts Hoogeschool: Soegondo (ketua); Mohammad Jamin
(sekretaris); Amir Sjarifoeddin (bendahara). Mohammad Jamin dan Amir
Sjarifoeddin adalah anak buah Parada Harahap. MH Thamrin dan Parada Harahap saat
itu adalah pengusaha di Batavia, dimana Parada Harahap saat itu adalah Ketua
Pengusaha Pribumi di Batavia (semacam Kadin masa ini). Pengusaha Batavia inilah
yang menyokong pendanaan dua kongres tersebut dan corongnya adalah surat kabar
Bintang Timoer milik Parada Harahap (yang juga dibuat edisi Semarang/Midden
Java dan edisi Soerabaja/Oost Java (cikal bakal Soeara Oemoem). Parada Harahap
meminta Soekarno dan Mohammad Hatta berpidati di Kongres PPPKI. Soekarno
bersedia datang dari Bandoeng, sementara Mohammad Hatta tidak bisa hadir karena
kesibukan di Belanda tetapi mengutus Ali Sastroamidjojo. Pada saat Kongres
Pemuda ini lagu nasional Indonesia Raja diperdengarkan karya WR Supratman.
Untuk sekadar diketahui WR Supratman adalah anak buah Parada Harahap sejak
tahun 1925, ketika Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi Alpena, WR
Supratman yang tinggal di Bandoeng diajak Parada Harahap dan ditugaskan sebagai
editor Alpena (WR Supratman tinggal bersama di pavilium rumah Parada Harahap.
Ketika WR Supratman meninggal di Soerabaja, Parada Harahap yang memberangkatkan
ke pemakaman (sebagaimana Radjamin Nasution memberangkatkan DR. Soetomo ke
pemakaman). Inilah alasan, ketika Radjamin Nasution (mantan wali kota Soerabaja
di pengungsin di era perang kemerdekaan) meninggal dunia, negara mengusulkan Radjamin
Nasution dimakamkan ke Makam Pahlawan Kota Soerabaja, tetapi keluarga menolak
dan dimakamkan di pekuburan dimana WR Supratman dimakamkan (boleh jadi ini
wasiat dari Radjamin Nasution). Peran lain yang juga penting dari Radjamin
Nasution adalah ketika pembentukan PPPKI di rumah Prof. Husein Djajadiningrat
(dosen Soegondo, Mohamamd Jamin dan Amir Sjarifoeddin), Parada Harahap meminta
Dr. Soetomo bergabung mewakili Boedi Oetomo (yang enggan bergabung karena
merasa sudah nyaman). Selanjutnya, pada tahun 1929 jelang kongres PPPKI di Solo
Soekarno memohon kepada Boedi Oetomo untuk ikut total bergabung dengan
perjuangan nasional. Ajakan ini disempurnakan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin
Nasution ketika membesarkan PBI. Lalu PBI berkolaborasi dengan Boedi Oetomo dan
lalu PBI berubah menjadi Parindra (Partai Rakyat Indonesia).
Salah satu nama lokal yang tetap dipertahankan di
Soerabaja adalah Jalan Kaliasin. Di daerah inilah kali pertama angkatan udara
Jepang menjatuhkan bom di Kota Surabaya (lihat Soerabaijasch handelsblad, 04-02-1942).
Disebutkan dalam serangan pertama di Kali Asin ini terdapat 14 tewas (empat
orang Eropa/Belanda) dan sebanyak 51 orang terluka. Salah satu warga yang tinggal di Jalan Kali Asin
merasakan dahsyatnya bom tersebut. Warga tersebut bernama Ismail Harahap,
kelahiran Padang Sidempoean. Anak muda ini baru lulus sekolah Apoteker di
Batavia tahun 1940 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1940) dan ditempatkan
di Soerabaja pada tahun 1941. Setahun kemudian Juli 1942 Ismail Harahap menikah
dengan seorang wanita cantik berdarah Prancis. Anak mereka lahir 25 Mei 1943
yang diberi nama Andalas Harahap gelar Datoe Oloan. Anak pertama Ismail Harahap
ini kelak dikenal sebagai pionir musik rock terkenal: UCOK AKA (singkatan Apotik
Kaliasin).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar