Peta Krakatau Setelah Meletus
Orang pertama yang
mengetahui bahwa pulau Krakatau telah lenyap sebagian adalah Kapten kapal uap
yang membawa Gubernur Jenderal Loudon dari Padang ke Batavia. Di Batavia, pada
saat letusan hingga pagi hari orang masih bertanya-tanya apa yang menyebabkan
suara letusan yang sangat kuat.
|
Foto Krakatau saat erupsi sebelum meledak 1883 |
Pada saat gunung
Krakatau meledak dini hari tanggal 27 Agustus 1883 kapal pada posisi di Kroei. Kapal
tidak berani mendekati pelabuhan karena takut gelombang besar yang mana kapal
dapat menabrak pantai. Kami hanya bertahan di laut. Pada pagi hari, setelah
gelombang laut, pukul 3.30 bergerak dan tiba di teluk Telok Betong pada pukul
7.25 dimana situasi hujan debu. Kapal harus bersusah payah karena sulit
menembus laut yang dipenuhi abu dan batu apung yang disertai gelombang air.
Pada malam hari kami mencoba dengan sekoci untuk mendekati kota Telok Betong.
Namun tidak berhasil karena air tidak bisa ditembus. Pada pagi hari berikutnya
(28 Agustus) sejak pukul 1 dinihari bergerak dan tiba di pulau Tiga. Dari pukul
4 pagi hingga pukul 4 sore kami hanya berdiam di tengah laut karena arus laut
yang liar. Setelah kapal dibersihkan, kami berjalan, melintasi Selat Sunda ke
arah timur dan kemudian ke selatan dekat Krakatau. Satu hal pemandangan ketika
kami melewati Krakatau, kami melihat bahwa tengah pulau itu hilang, dan dari
sini tidak ada tempat untuk dilihat, tetapi ketika kami memutar ke barat
Krakatau, kami melihat terumbu besar muncul antara (pulau) Sebesie dan
Krakatau, tempat beberapa kawah terlihat mengeluarkan kolom asap.
|
Pencatatan seismik di Batavia tanggal 27 Agustus 1883 |
Sebuah foto bertahun 1883 yang diduga sebagai foto
pulau Krakatau meledak. Foto ini mengindikasikan suatu erupsi di Krakatau yang
kira-kira di gunung Perboewatan. Foto ini diduga diambil dari kapal yang
membawa Gubernur Jenderal ke Padang. Alat potret saat itu masih berukuran besar
dan tidak praktis. Petugas pemerintah yang bertugas untuk urusan fotografi
mendampingi Gubernur Jenderal. Saat kapal melewati Selat Sunda momen
erupsi/wedus gembel tersebut diambil dari atas geladak kapal. Sementara itu,
juga dipublikasikan pencatatan seismeik di Batavia pada tanggal 26 dan 27
Agustus 1883. Dalam catatn seismik Batavia ini terdapat tiga data yakni data
declimantie, data horizantale intensiteit dan data verticale intensitiet. Dalam
gambar diperlihat data horizantale/vericale intensiteit pada tanggal 27 Agustus
1883 antara pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore.
|
Pencatatan seismik di Afrika Selatan 26-30 Agustus 1883 |
Catatan kapten kapal ini,
setelah tiba di Anjer dikirim melalui kurir via telegraf dari Serang. Telegram
ini kemudian dimuat surat kabar yang terbit di Batavia, Bataviaasch handelsblad
edisi 29-08-1883, Hasil pencatatan seismik di Port Elisabeth di Afrika Selatan
mengindikasikan gunung Krakatau tengah gawat. Catatan seismik di Port Elisabeth
ini antara tanggal 26 hingga 30 Agustus yang dipublikasikan Institut National
de Géographie (Bruxelles) diperlihat dalam gambar di sebelah. Lalu kemudian beberapa
waktu setelah gunung Krakatau meledak (masih pada tahun 1883), sebuah tim
peneliti Belanda melakukan ekspedisi ke gunung Krakatau. Hasil penelitian ini
disarikan dalam sebuah peta terbaru di seputar pulau Krakatau (Peta 1883b).
|
Area pasca letusan di gunung Krakatau (Peta 1883b) |
Peta 1883b pasca ledakan gunung Krakatau
ini menunjukkan bahwa pulau Krakatau hanya tersisa sebagian kecil. Peta ini
sesuai gambaran yang dilukiskan oleh kapten kapal sebelumnya. Gunung Krakatau
telah lenyap dan hanya air yang berada di atasnya. Dalam peta ini juga ditunjukkan
dua titik di bekas area ledakan semacam kawah yang aktif dari dasar laut. Kawah
yang lebih besar teridentifikasi ada semburan seakan tampak semacam pulau
kecil. Gambaran peta ini juga sesuai dengan catatan kapten bahwa di beberapa
titik terlihat semacam terumbu karang yang dari dalamnya muncul asap. Hal yang
terpenting dari peta ini, para peneliti telah mengukur kedalaman laut di
beberapa titik. Pada peta terlihat titik terdalam di eks area pulau Krakatau
adalah sekitar 300 meter. Pada titik kawah kedalaman laut sekitar 100 meter. Di
atas kawah dari kedalaman 100 meter inilah secara perlahan-lahan kelak muncul dan menjadi cikal bakal pulau Anak Karakatau.
|
Sebaran abu vulkabnik Krakatau, 1883 |
Masih pada tahun 1883
satu tim dari Amsterdam datang untuk memetakan dampak bencana yang ditimbulkan
letusan gunung Krakatau. Dampak yang terjadi sebagaimana dapat diidentifikasi
dalam peta meliputi pantai-pantai di Sumatra dan pantai-pantai di Jawa. Sudah
tentu saja pulau-pulau di Selatan Sunda yang sangat dekat dengan pulau
Krakatau, juga pulau-pulau di laut Jawa yang dekat dengan Batavia dan Banten.
Peta dampak bencana Krakarau ini dibuat oleh JG Stemler (Peta 1883c/JG
Stemler). Peta dampak abu vulkanik baru dipublikasikan oleh Institut National
de Geographie (Bruxelles) pada tahun 1886. Sebaran abu terjauh di sebelah timur
di Bandung, di sebelah utara di Djohor dan Beangkalis, di sebelah barat dan
selatan di pulau Keeling (Cocos eiland) di Lautan Hindia. Institut National de
Geographie (Bruxelles) pada tahun 1886 juga mempublikasikan peta terjauh bunyi
letusan ledakan Krakatau. Di dalam peta, lingkaran bunyi terjauh sampai ke
Ceylon, Ranggoen (Bimma), Manila, Sorong (Papua) dan Perth (Australia). Dalam
peta suara ini juga diidentifikasi pengaruh gelombang laut yang ditimbulkan: 6
jam di Ceylon, 11 jam di Aden (Timur Tengah), 2 jam di pulau Keeling (Cocos
Eiland), 6 jam di Perth, 3 jam di Padang, 4 jam di Sibolga, 10 jam di
Madagaskar dan Port Elisabeth di Afrika Selatan dan 17 jam di pulau Fakland,
Argentina.
|
Peta dampak gunung Krakatau (Peta 1883c/JG Stemler) |
Peta 1883c/JG Stemler
mengindikasikan dampak yang terjadi yang menjadi bagian wilayah Sumatra (warna
biru) dan wilayah Jawa (warna merah). Garis-garis warna biru menunjukkan skala
kerusakan yang sangat besar yang terjadi di sejumlah titik/lokasi di pulau-pulau
di Selat Sunda, pantai-pantai di Sumatra dan Jawa dan pulau-pulau di laut Jawa.
Secara umum, dampak bencana dengan lokasi terluas diidentifikasi di pantai
barat Jawa yakni sepanjang pantai antara Merak (di utara) dan Tjeringin (di
selatan). Masih di wilayah Jawa, dampak besar juga dialami pulau Merak dan
pantai St Nicolaaspunt, serta sisi barat pulau Pandjang di teluk Banten. Selain
itu juga diidentifikasi di pulau Babi, pulau Hoorn serta pulau-pulau di
kepulauan seribu. Di sekitar pantai, dampak besar juga diidentifikasi di pantai
Tanara, pantai Maoek (bahkan masuk jauh ke daratan), pantai Kramat, pantai
Batavia, pantai Antjol dan (pelabuhan) Tandjong Priok. Sementara itu di wilayah
Sumatra, dampak besar diidentifikasi di sepanjang antara (gunung) Radjabasa dan
(ujung selatan) Kalianda (dekat Bakauheni sekarang). Dampak besar juga terjadi di
(kota) Teluk Betong dan pantai sisi timur kota.
|
Area dampak besar (Peta 1883c/JG Stemler) |
Peta 1883c/JG Stemler ini juga
mengukur kedalam laut di sejumlah titik. Ukuran jarak navigasi pada waktu
disebutkan antara Ktakatau dan Batavia selama 28 jam atau 20 mil; jarak antara
Krakatau dengan Anjer selama 8 jam atau 6 mil. Jalan darat yang hanya bisa
diakses setelah bencana adalah dari Serang ke Tjiligon dan dari Tjiligon hingga
sepanjang pantai, di area yang lebih tinggi, hingga ke Tjeringin (Moeara Bama).
Situasi dan kondisi di Selatan Sunda disebutkan bahwa pulau/gunung Krakatau
telah menghilang, pulau Dwars (dekat Anjer) terbelah menjadi lima bagian. Disebuatkan
pada tanggal 28 Agustus terlihat tumpukan yang luas mengapung (puing-puing dan
batu apung) di sekitar barat laut Merak. Di antara pulau Sebesi dan letusan
Krakatau terlihat terumbu karang muncul di atas permukaan laut dengan tanda
kawah. Sementara di teluk Telok Betong pada tanggal 27 Agustus sore terjadi hujan
abu dan batu apung dan pada tanggal 28 ke arah dekat pelabuhan terdapat bank
batu apung. Sedangkan di sepanjang pantai dan darat di selatan kota Telok
Betong hingga teluk Belantong pada tanggal 27 dan 28 Agustus terjadi hujan abu
dan batu apung.
|
Surat kabar Krakatau di Belanda, edisi perdana 22 September 1883 |
Begitu hebatnya ledakan dan
dampak yang ditimbulkan letusan gunung Krakatau di Selat Sunda telah menjadi
perhatian dunia. Pers internasional terus mendapat pasokan berita dari Batavia,
seperti kantor berita Reuter di Eropa dan kemudian mendistribusikannya untuk sejumlah
koran besar di Eropa dan Amerika. Teknologi telegraf telah membuat kecepatan
berita. Saat itu, meski pelayaran dari Batavia ke Eropa sudah melalui terusan
Suez, namun waktu tempuhnya lebih dari sebulan. Terkait dengan Krakatau ini, di Amsterdam
terbit surat kabar baru, surat kabar internasional yang diberi nama Krakatau.
Edisi pertama muncul pada tangal 22 September 1883. Penerbitan surat kabar
internasional ini belum sampai sebulan dari kejadian meledaknya gunung Krakatau
pada tanggal 27 Agustus 1883.
Apakah
Kawah Krakatau Tidur?
|
Peta profil ledakan gunung/pulau Krakatau (1886) |
Kabar tentang aktivitas
vuknanik di sekitar pulau Krakatau secara perlahan menghilang. Namun demikian,
tulisan-tulisan kegunung-apian yang juga merujuk pada letusan gunung Karakatau tahun 1883 semakin banyak
diperhatikan (diteliti). Lalu lintas pelayaran di Selat Sunda bahkan hingga ke
sekitar pulau Krakatau sudah berjalan normal. Letusan gunung Krakatau lambat
laun mulai dilupakan oleh penduduk sekitar. Pada tahun 1883 dipublikasikan peta
profil letusan gunung Krakatau. Peta profil ini memperbandingkan lobang ke
perut bumi, kawah dan puncak gunung Krakatau kono (tinggi), pulau Krakatau
sebelum meledak (gunung Krakatau, Perboewatan, Danan). Profil ini juga
memperlihatkan kondisi setelah ledakan (hanya tampak daratan yang tersisa,
sebelah kanan). Peta profil ini dibuat oleh National de Géographie (Bruxelles).
|
Peta pulau/gunung Krakatau (1911) |
Pada tahun 1911 muncul
publikasi peta terbaru tentang area letusan gunung Krakatau. Peta yang dibuat Badan
Tofografi Batavia yang datanya dikumpulkan tahun 1909 dan dibuat oleh Ms van
Gogh ini menggambarkan bahwa pulau Anak Krakatau belum ada. Pulau yang
diidentifikasi adalah pulau Krakatau dengan pulau yang lebih kecil yang disebut
pulau Krakatau Kecil serta pulau Sertung. Gunung Krakatau telah meletus, pulau
Krakatau hanya tinggal sebagian. Pulau Krakatau yang sebagian ini mewarisi nama
Krakatau (sebagai ibu Krakatau). Dalam peta tahun 1911 di sisa pulau Krakatau
(ibu Krakatau) diidentifikasi gunung Krakatau. Gunung ini tentu saja tidak
setinggi gunung Krakatau yang telah meledak (ayah Krakatau setinggi 822 M).
Lantas, kapan anak Krakatau lahir?.
.
Pada tahun 1919 area
letusan gunung Krakatau kembali dipetakan. Diduga yang memetakan area tersebut
adalah kantor tofografi Batavia. Pada posisi Anak Krakatau yang sekarang, pada
tahun 1908 terdapat kedalaman sekitar 250 meter di bawah permukaan. Pada tahun
1919 sudah ada yang berada 80 meter di bawah permukaan air. Ini artinya, bahwa
di bawah permukaan laut telah terjadi semacam pembekakan dasar laut yang
semakin mendekati permukaan laut (yang kelak kemudian muncul di atas permukaan
air sebagai, pulau Anak Krakatau).
|
Peta 1919 di Krakatau (Koninklijk Instituut voor
de Tropen) |
Pada tahun 1919 Topografische dienst
in Nederlandsch-Indie, Batavia melakukan pemetaan area Krakatau yang kemudian
dipublikasikan oleh Koninklijk Instituut voor de Tropen. Data yang dikumpulkan
selama periode 1919 juga di dalam peta menunjukkan kedalaman laut yang dibuat
oleh Dr BG Escher pada bulan Juni 1919. Peta Escher ini juga membandingkan
dengan peta yang dibuat van Gogh yang datanya dikumpulkan pada tahun 1909. Dalam
peta 1919, titik kedalaman laut pada bulan September dan Oktober tahun 1883. Di
beberapa titik setelah letusan, diidentifikasi ada pendangkalan yang diberi tanda
lingkaran dengan patah-patah (lingkaran besar), sementara yang dibuat dengan
garis kontinu (lingkaran kecil) menandakan kedalaman yang diukur dari atas air
yang semakin dekat ke permukaan.
|
Foto erupsi Anak Krakatau, 1928 |
Pada tahun 1928 terjadi
erupsi di dasar laut yang berada pada posisi tengah pulau Anak Krakatau yang
sekarang. Pulau/gunung Anak Krakatau yang sudah berbentuk sebesar seperti
kira-kira sebesar pulau Anak Krakatau yang sekarang (sekitar 300 M di atas
permukaan laut).
Baru-baru ini PVMBG/ESDM melaporkan
setelah terjadinya erupsi (24-27 Desember 2018) ketinggian pulau/gunung Anak Krakatau telah menurun dari
drastis 338 M/dpl menjadi 110 M/dpl. Penuruan ini diduga sebagai terjadinya
longsor lalu menimbulkan tsunami. Volume yang hilang diperkirakan sekitar 150-180
juta M3, sementara yang tersisa saat ini hanya sekitar 40-70 juta M3.
Lantas, apakah
pulau/gunung Anak Krakatau yang telah mengalami longsor dan tinggi hanya
tinggal 110 M akan kembali tumbuh. Kita tidak tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar