*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Gunung Tambora di Bima mulai meletus tanggal 5 April 1815. Suara letusan yang terdengar di Makassar dari arah selatan pada tanggal tersebut tidak mengetahui datangnya dari mana dan disebabkan oleh apa. Orang-orang di Makassar mengira sebuah tembakan kanon yang dahsyat. Sementara di Soerabaja umumnya orang mengira suara letusan itu berasal dari Lumajang. Sedangkan orang-orang di Banyuwangi yakin suara letusan pada tanggal yang sama berasal dari (letusan) gunung Rawoeng. Darimana suara letusan berasal masih simpang siur. Suara letusan itu juga dilaporkan terdengar hingga Batavia dan Bangka.
Gunung Tambora di Bima mulai meletus tanggal 5 April 1815. Suara letusan yang terdengar di Makassar dari arah selatan pada tanggal tersebut tidak mengetahui datangnya dari mana dan disebabkan oleh apa. Orang-orang di Makassar mengira sebuah tembakan kanon yang dahsyat. Sementara di Soerabaja umumnya orang mengira suara letusan itu berasal dari Lumajang. Sedangkan orang-orang di Banyuwangi yakin suara letusan pada tanggal yang sama berasal dari (letusan) gunung Rawoeng. Darimana suara letusan berasal masih simpang siur. Suara letusan itu juga dilaporkan terdengar hingga Batavia dan Bangka.
Java government gazette, 20-05-1815 |
Lantas
bagaimana cara menyelidiki dan membuktikan suara letusan gunung api yang
dilakukan ketika gunung Tambora meletus kali pertama pada tanggal 5 April 1815,
tetapi tidak seorang pun mengetahuinya? Ini jelas suatu pertanyaan menarik. Ketika
suara letusan itu terdengar di Makassar, suatu ekspedisi segera dikirim ke
selatan untuk meninjaunya. Bagaimana ekspedisi ini bekerja, siapa yang memimpin ekspedisi dan bagaimana
membuktikan bahwa suara letusan itu benar-benar berasal dari gunung Tambora adalah suatu
pertanyaan yang menarik untuk diketahui. Artikel ini akan mendeskripsikannya
berdasarkan laporan yang dimuat surat kabar Java government gazette edisi 20-05-1815.
Di Makassar, Suara
Letusan Terdengar 5 April 1815
Seperti di tempat lain,
di Makassar juga heboh dengan suara letusan yang besar. Suara letusan terdengar
di Makassar tanggal 5 April yang diduga berasal dari selatan. Suara itu berlanjut
dengan jeda sepanjang sore. Menjelang matahari terbenam, suara itu serasa makin
dekat, dan terdengar seperti senjata berat. Inilah awal mula suara letusan
terdengar di Makassar sebagaimana ditulis seseorang yang dimuat pada surat
kabar Java government gazette, 20-05-1815.
Siapa seseorang tersebut tidak diketahui
namanya. Dia adalah seorang yang diminta oleh Asisten Residen Owen Philips
kemudian untuk memimpin ekspedisi untuk menyelidiki ke lokasi asal letusan.
Saya meminta orang pergi ke kapal ke atas tiang untuk
melihat kilatan. Setelah pagi hari saya (pemimpin itu) mulai menyadari dan
menimbang untuk melakukan peninjauan ke arah selatan untuk memastikan
penyebabnya. Pagi itu sangat gelap dan semakin gelap di arah selatan dan tenggara.
Angin bertiup dan dari Timur. Saya mengirim sebuah kapal untuk berlayar ke
selatan mendapatkan informasi apa pun yang dia bisa harus berikan, ketika dia
datang dari seperempat tempat dari mana tembakan telah terdengar.
Di tengah
perjalanan tampak sebuah perahu besar muncul dari horizon selatan. Sulit
menduga perahu besar itu apakah milik pedagang atau kapal para bajak laut.
Saya
mengirim petugas untuk mendekati perahu tersebut untuk memastikan apa yang terjadi. Perahu tersebut diketahui berasal
dari Saleyer. Pemilik perahu, seorang Belanda, berpendapat bahwa dia telah
mendengar suara penembakan malam itu, dua hari sebelum keberangkatannya dari
Saleyer, sekitar tanggal 4 atau 3. Dia mengatakan terdengar sebuah penembakan
dengan keras di selatan pulau (Seleyer). Informasi dari Belanda ini
mengindikasikan sudah ada letusan sebelum tanggal 5 tetapi tidak sampai
terdengar di Makassar. Namun tidak dijelaskan pada tanggal berapa pertemuan di
laut antara pelaut Inggris, Chaloupe dengan pedagang Belanda yang dari Selayar.
Selayar adalah sebuah pulau paling besar di
selatan (pulau) Sulawesi, suatu tempat yang cukup dekat dengan sumber letusan.
Sejak 1811 Hindia Timur dikuasai oleh Inggris, namun hanya terkonsentrasi di
Jawa. Di luar Jawa yang hanya terbatas di Palembang, Bandjarmasing dan Makassar,
belum ada pemerintahan.
Pedagang
Belanda tersebut selama perjalanan tidak menemukan kapal. Sebab ada anggapan
terjadi serangan bajak laut di selatan. Luinetent Owen Philips, berdasarkan
keterangan yang diperoleh dari pedagangan Belanda tersebut, disimpulkan bahwa
suara itu diduga kuat sebagai letusan gunung berapi di (pulau) Sumbawa. Saya
kembali ke Makassar dan melaporkannya kepada Captaint WH Wood.
Pusat Inggris di Makassar pada tahun 1815
dipimpin oleh Captaint WH Wood yang bertindak sebagai pelaksana Resident and
Commandant yang dibantu oleh asisten Luinetent Owen Philips serta beberapa staf
untuk barak (tangsi), kesehatan dan juru bayar (lihat Almanak 1815). Setelah
terjadi letusan, yang memerintahkan di Makassar dalam penyelidikan ke selatan
adalah Luinetent Owen Philips.
Pada
malam hari tanggal 11, tembakan kembali terdengar, tetapi jauh lebih keras, dan
menjelang pagi terdengar berurutan dengan cepat, kadang-kadang seperti tiga
senjata bersama, dan begitu berat sehingga suara itu mengguncang kapal, seperti
yang terlihat di depan rumah-rumah di (dekat) benteng. Pada esoknya, kira-kira
jam 8 pagi, sangat jelas bahwa beberapa kejadian luar biasa telah terjadi. Langit
di selatan dan tenggara telah menunjukkan aspek yang paling suram dan itu
jauh lebih gelap daripada ketika saat matahari terbit, pada awalnya awan hitam itu tampak
seperti badai yang sangat berat atau badai yang mendekat; tetapi ketika semakin
dekat itu muncul kemerahan, dan terus menyebar sangat cepat di atas langit.
Menjelang pukul 10 malam, gelap sekali sehingga saya hampir tidak bisa membedakan
kapal di pantai, meskipun tidak satu mil jauhnya. Saya kemudian kembali ke
kapal. Sekarang terbukti bahwa suatu letusan telah terjadi dari beberapa gunung
berapi di atah selatan dan tampak udara dipenuhi dengan abu atau debu vulkanik yang sudah mulai
berjatuhan di geladak. Pada pukul 11 seluruh langit gelap gulita, kecuali
sebuah space kecil terlihat di dekat cakrawala ke arah timur.
Pada pukul 6
pagi berikutnya, ketika matahari seharusnya saya lihat, itu masih berlanjut
sebagai gelap seperti biasa, tetapi pada pukul setengah tujuh, saya merasa puas
ketika saya merasakan bahwa kegelapan jelas berkurang. Pada pukul 8, saya bisa
dengan samar-samar melihat benda-benda di geladak. Sejak itu, saya mulai
menjadi lebih terang, sangat cepat, dan pada pukul setengah 9 pantai dapat
dibedakan, abunya jatuh dalam jumlah yang cukup besar, tapi tidak seberat
sebelumnya. Penampilan dari kapal ketika cahaya siang menerpa, tampak tiang-tiang
kapal, tali-temali, geladak dan setiap bagian ditutupi dengan (benda yang jatuh
ia memiliki penampilan seperti batu apung yang dikalsinasi, hampir berwarna
kayu) abu, saya yakin beberapa ton beratnya di atas papan kapal, meskipun bubuk
atau debu tetapi tidak dapat ditembus dengan mudah. Ketika dikonversi dari volume
tertentu, ukuran setengah liter diisi dengan berat 12 ons, memiliki bau
terbakar yang samar, tetapi tidak seperti belerang. Atmosfer masih kehitaman, udara
masih diliputi abu sepanjang hari dan tanggal 12 hingga tanggal 15. Ketika
pergi ke pantai di Maressa (Maruso), saya menemukan semua permukaan benar-benar
tertutupi abu hingga satu inci dan seperempat. Padi yang siap dipanen tertutupi
debu. Ikan di kolam terbunuh dan mengambang di permukaan dan banyak burung kecil
bertelur mati di tanah. Aku butuh beberapa hari untuk membersihkan kapal dari
abu, ketika air yang tergenang itu membentuk lumpur yang kuat, sulit untuk
dibasuh.
Ekspedisi ke
Asal Letusan di Gunung Tambora
Pada pagi hari tanggal 15 saya meninjau ke selatan. Dengan angin yang berhembus ringan akhirnya mendekati pulau Sumbawa pada tanggal 18. Pantai ditutupi oleh batu apung yang sangat dan sulit ditembus yang jaraknya ke pantai kurang dari satu mil dan panjangnya tiga mil. Saya mengirim perahu untuk memeriksa lebih jauh. Di pantai banyak batu-batu hitam yang kemungkinan dilemparkan letusan. Batu-batu apung yang banyak di atas air bercampur banyaknya pohon besar mengapung dan balok-balok besar yang terbakar hitam yang terlempar saat letusan. Perahu mengalami kesulitan.
Lalu kami
bergeser sampai kami masuk ke pintu masuk teluk Bima, laut secara harfiah
ditutupi dengan kawanan batu apung dan kayu terapung.
Pada
tanggal 19 tiba di teluk Bima. Saya membuang jangkar dan mendarat di tepi kota
Bima. Saya membayangkan ketika jangkar di Bima pasti telah banyak berubah. Tepi
teluk memiliki penampilan yang paling suram, seluruhnya tertutupi oleh hutan,
bahkan sampai ke puncak gunung. Kedalaman abu yang diukur di sekitar kota Bima saya
temukan tiga inci dan tiga perempat. Dari laporan yang saya berikan kepada Residen
Bima [van den Drost], tampak bahwa letusan meletus dari gunung Tombora, yang
terletak sekitar 40 mil ke arah barat Bima.
Pada malam tanggal
11 ledakan menurut Residen sebagai yang paling hebat, dan membandingkan dengan
mortir berat yang didekatkan ke telinganya. Kegelapan dimulai sekitar jam 7
pagi dan berlanjut sampai tengah hari. Pada pukul 12 angin berat memecahkan
atap rumah. Banyak kediaman di banyak tempat tidak dapat dihuni. Sementara
angin masih tetap ada sepanjang waktu, laut tidak teratur, ombak menggulung ke
pantai dan membanjiri bagian bawah rumah-rumah sedalam satu kaki. Setiap perahu
dipaksa dari jangkar dan didorong terhempas di pantai. Hingga kedatangan kami
di Bima tidak ada siapapun yang datang petugas pemerintah sejak letusan. Seorang
utusan telah dikirim oleh Residen ke Sumbawa 3 hari sebelumnya, dan yang lain
dikirim ke Tambora saat segera kami mendarat dan diharapkan akan kembali pada
hari ketiga. Kami memutuskan untuk menunggu dia kembali.
Pada tanggal 22, kapal Dispatch tiba di teluk dari
Amboina. Kapal ini telah ke Dampo atau teluk Sanjier (Sanggar) sebelum ke teluk
Bima. Mereka sebelumnya mengira Dampo atau teluk Sanjier adalah Bima (sebagai
tempat tujuan). Namun demikian, Chaloep telah pergi ke dalamnya dengan perahu
di pantai di Sanjier (Sanggar). Raja yang tempat memberitahu perwira [Chaloep] bahwa
sebagian besar kota dan sejumlah orang telah tewas oleh letusan; di seluruh wilayahnya
sepenuhnya terisolasi dan tanaman hancur. Kota Sanjier (Sanggar) terletak
sekitar 4 atau 5 di arah tenggara gunung Tombora. Petugas menemukan kesulitan
besar dalam pendaratan di teluk, jarak yang cukup jauh dari pantai yang
dipenuhi batu-batu apung, abu, dan gelondongan kayu. Rumah-rumah tampak terkena
dan ditutupi oleh abu.
Kapal Dispatch
adalah kapal perang. Dispatch yang dipimpin oleh Captaint C Fenn berangkat dari
Calcutta tanggal 20 Mei 1814. Pada tanggal 15 tiba di Indramajo dan tanggal 20
Desember 1814 berangkat dari Indramayo. Kapal Dispatch sejak kedatangannya
tanggal 22 April, setelah lebih dari dua minggu tanggal 8 Mei berangkat dari
Bima ke Batavia. Kapal Dispatch berangkat lagi dan tanggal 31 Juli tiba Amboyna.
Petugas
yang dikirim Residen telah kembali tanggal 22. Residen mengatakan bahwa tidak
dimungkinkan melalui darat. Daratan tidak bisa dilewati. Saya tidak berpikir bebas
untuk menahan kapal lebih lama lagi. Saya meninggalkan teluk pukul 11 di malam
hari dan hari berikutnya sudah di pantai gunung Tomboro.
Sumbawa, Lombock, Bally by Harmar, 1780 |
Setelah
tiga hari ekspedisi yang diutus Asisten Residen Philips dengan kapal bernama
Benares telah kembali ke Bima (lihat Java government gazette, 27-05-1815).
Namun yang menjadi pertanyaan siapa yang diutus untuk memimpin ekspedisi ini
tidak diketahui secara jelas.
Surat kabar Java
government gazette membaca log kapal Dispatch yang dilaporkan pada edisi
27-05-1815. Dari hasil log book diketahui kapal Dispatch pada malam tanggal 11
Apri (saat letusan Tambora menggelegar) posisi kapal berada tujuh derajat di timur
Bima (berangkat dari Ambon). Capt. Fenn menginformasikan kayu dan batu apung di
sepanjang pantai Flores. Sangat sulit dilewati. Adakalanya petugas harus turun
ke air untuk menyingkirkan rintanga yang sangat berbahaya jika tertabrak...Di
Bima, Capt, melaporkan pasokan bahan makanan datang dari pulau tetangga
(mungkin dari Makassar di Sulawesi)..,Capt Fenn juga melaporkan sebuah desa dan
sebidang tanah yang cukup besar, di lereng gunung [Tambora] telah sepenuhnya
tenggelam (oleh debu vulkanik)...Capt Fenn juga melaporkan orang-orang diBima yang
memiliki kesempatan melihat puncak gunung sejak letusan, menyebutkan bahwa
sebagian besar dari bagian gunung telah hilang.
Captain W.
Eastwell, Penemu Letusan Gunung Tambora
Pemimpin
ekspedisi dari Makassar ke gunung Tambora mulai jelas yakni Capt. Eatwell
dengan kapalnya Benares (De Curaçaosche courant, 05-04-1816). Berdasarkan
Almanak 1815 HCC Benares dan Capt. Eatwell dari Banjarmasin tanggal 14 November
1814 dan tiba di Batavia tanggal 28 November. Tangga 5 Januari 1815 HC Cruize,
W, Eatwell dari suatu pelayaran. HCC Benares, captain W. Eastwell berangkat
dari Makassar tanggal 14 Mei dan tiba di Batavia tanggal 11 Mei 1815.
Dari keterangan
ini, Capt. Eatwell diduga adalah seorang nakhoda kapal dagang (HCC Benares).
HCC Benares, Capt Eatwell tercatat berangkat dari Macassar tanggal 14 April (seperti
dilaporkannnya sendiri di surat kabar Java government gazette, 20-05-1815
berangkat tanggal 15 April ke arah selatan ke Sumbawa). Setelah tiga hari dari
tanggal 22 April (seperti dilaporkan Capt Fenn), HCC Benares, Capt Eastwell
kembali ke Bima. Setelah itu tidak diketahui secara jelas keberadaan Capt
Eastwell. Akan tetapi dapat diduga kembali ke Makassar untuk memberikan laporan
kepada (asisten Residen) Philips. Sejak tanggal 14 April HCC Benares, Capt
Eatwell baru tanggal 11 Mei 1815 tercatat kedatangannya di Batavia (sekitar
satu bulan dalam status pelayaran).
Orang Tambora
Sebelum
gunung Tambora meletus tahun 1815 sudah terdapat nama kampong Tambora di Batavia
yang dipimpin oleh Oesoep Abdulla (lihat Naam-boekje van de wel ed. heeren der
hooge Indiasche regeeringe [...] op Batavia [...] zoo als dezelve in wezen zyn
bevonden ultimo december 1779, 1781). Nama Tambora kini menjadi sebuah
kecamatan di Jakarta Barat.
Verhandelingen van het Bat.Gen. 1786 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar