*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Nama Melayu adalah suatu
nama yang sudah jelas dan harus dijaga eksistensinya. Namun penempatan nama
Melayu haruslah disesuaikan dengan konteksnya. Tidak tepat Bahasa Indonesia
disebut Bahasa Melayu Indonesia, juga tidak pas candi Borobudur disebut salah
satu hasil peradaban Melayu. Ada pula yang menyebut pejuang Filipina Jose Rizal
berjuang atas nama Melayu. Apa iya? Juga di pantai barat Sumatra, pejuang
sejaman dengan Jose Rizal Bernama Dja Endar Moeda disebut berjuang atas nama
Melayu.
Pada tahun 1949 terbit sebuah buku tentang Jose Rizal yang ditulis oleh Rafael Palma dengan judul The Pride of the Malay Race: A Biography of José Rizal. Dalam buku ini disebut Jose Rizal bisa 22 buah bahasa termasuk bahasa Melayu. Ada juga tulisan yang dibuat oleh Leon Guerrero dengan judul The First Filipino: A Biography of Jose Rizal. Disebutkan didalamnya Jose Rizal ingin menjadikan bangsa Melayu Filipina setara bangsa-bangsa lain di dunia. Dua buku inilah yang kemudian kerap dikutip para penulis di Malaysia. Lalu mengapa di Filipina ada yang menyebut Jose Rizal berjuang atas nama Melayu? Itu satu hal. Hal lainnya adalah di mengapa akhir-akhir ini nama Jose Rizal di Malaysia menjadi penting dalam konteks Melayu? Bukankah Jose Rizal bukan beragama Islam, dan Jose Rizal juga bukan berasal dari orang (etnik) Melayu.
Lantas bagaimana sejarah Jose Rizal pahlawan Filipina sejaman Dja Endar Moeda dan mengapa pula Jose Rizal disebut berjuang demi Melayu? Seperti disebut di atas, Jose Rizal bukan beragama Islam dan Melayu disebut harus orang Islam. Lalu bagaimana sejarah Jose Rizal pahlawan Filipina sejaman dengan Dja Endar Moeda di pantai barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Jose Rizal Pahlawan Filipina Sejaman Dja Endar Moeda; Mengapa Disebut Berjuang Demi Melayu?
Jose Rizal dan Dja Endar Moeda adalah dua tokoh sejaman, sama-sama lahir tahun 1861. Jose Rizal lahir di kampong Kalamba, pantai barat danau Laguna, Luzon, Filipina, Dja Endar Moeda lahir di kampong Saboengan, Padang Sidempoean. Jose Rizal memulai Pendidikan di kampongnya lalu belajar di Ateneo Municipal de Manila dan lulus pada 1877. Ia meneruskan pelajarannya di Ateneo Municipal untuk meraih ijazah dalah bidang pengukuran dan pemetaan tanah dan pada masa yang sama, belajar di Universitas Santo Tomas dalam bidang sastra dan filsafat.
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda setelah lulus sekolah dasar melanjutkan studi di kota Padang Sidempoean di sekolah guru (kweekschool) tahun 1879. Dja Endar Moeda lulus tahun 1884 dan kemudian ditempatkan sebagai guru di kampong Batahan (Natal, pantai barat Sumatra). Pada tahun 1887, Dja Endar Moeda menjadi editor majalah guru Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo. Pada tahun 1893 Dja Endar Moeda pension dini sebagai guru di Singkil, lalu berangkat haji ke Mekah. Setelah pulang dari Mekah, Dja Endar Moeda memilih tinggi di ibu kota provinsi Sumatra’s Westkust di Padang. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda membuka sekolah swasta di Padang dan juga pada tahun itu Dja Endar Moeda bersama rekannya Jerman dan Cina mendirikan surat kabar berbahasa Melayu yang diberinama Petja Barat. Salah satu guru Dja Endar Moeda di Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen, lulus sekolah kedokeran di Belanda yang ditempatkan di Mandailing tahun 1876 namun kemudian beralih profesi menjadi guru bahasa (bahasa Batak dan bahasa Melayu) yang ditempatkan di sekolah guru di Probolinggo. Pada tahun 1881 Charles Adrian van Ophuijsen dipindahkan dari Probolinggo ke sekolah guru di Padang Sidempoean.
Pada tahun 1886 dalam tugas belajarnya Jose Rizal menulis terjemahan Wilhelm karya Schiller dalam bentuk ortografi (bahasa Tagalog). Pada tahun 1887 Jose Rizal menerbitkan novel pertamanya. Jose Rizal dapat dikatakan sebagai pembaharu ejaan bahasa Tagalog. Jose Rizal kemudian terbantu dan lebih bersemangat setelah membaca tulisan Dr. Pardo de Tavera tentang sastra dan bahasa yang diterbitkan di surat kabar Manila pada tahun 1888. Sebelum Jose Rizal menerbitkan novelnya, Dr. Pardo de Tavera telah menerbitkan tulisan berjudul El Sanscrito en la lengua Tagalog. Dalam perkembangannya, Jose Rizal berangkat ke Eropa
Di Eropa (Madrid, Spanyol), Jose Rizal terus memperdalam ortografinya. Jose Rizal kemudian menerbitkan tulisannya yang dimuat dalam majalah/jurnal Madrid Revue La Solidaridad, Vol II No. 29 (hal.88 dan dst). Artikel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul DIE TRANSCRIPTION DES TAGALOG. Artikel Jose Rizal ini memiliki sub judul Briefan Meine Landsleute dimuat dalam jurnal (berbahasa Belanda) Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1893 (8) [volgno 2] Deel: 8.
Jose Rizal dalam hal ini dapat dikatkan sebagai orang pribumi pertama di Filipina yang sangat peduli sastra dan bahasa Tagalog. Orang Spanyol sendiri sudah ada beberapa, tetapi satu yang disukai Jose Rizal yakni Dr. Pardo de Tavera. Novel-novelnya ditulis dalam bahasa Tagalog, artikel-artikel (studi) bahasanya ditulis dalam bahasa Spanyol. Artikel tentang (studi) bahasa dari Jose Rizal banyak disinggung penulis lain (termasuk penulis-penulis Belanda).
Jose Rizal dan Dja Endar Moeda meski berasal dari latar belakang yang
sama, tetapi sama-sama memiliki minat yang sama dalam sastra, mengusung
pembangunan sesame bangsa. Perbedaan keduanya adalah Jose Rizal melakukan studi
bahasa sedangkan Dja Endar Moeda terjun dalam dunia jusnalistik. Novel pertama Dja
Endar Moeda diterbitkan pada tahun 1895 berjudul ‘Hikajat tjinta kasih sajang’
yang diterbitkan oleh Otto Bäumer di Padang. Novel keduanya yang lebih terkenal
dengan judul ‘Hikajat dendam ta' soedah: kalau soedah merewan hati’ yang
diterbitkan pada tahun 1897. Karya sastra/bahasa lainnya dari Dja Endar Moeda
adalah ‘Kitab sariboe pantoen: ibarat dan taliboen, Volumes 1-2’, yang diterbitkan
Insulinde, 1900 dan menulis bersama dengan LJW Stritzko dengan judul ‘Tapian na
Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni toean’ yang diterbitkan
tahun 1900 juga.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Jose Rizal Disebut Berjuang Demi Melayu? Politik Melayu di Malaysia Berbeda dengan Politik Melayu di Filipina
Novel Jose Rizal berjudul Noli Me Tangere (1887) telah menandai semangat dan kesadaran berbangsa Jose Rizal di Filipina. Jose Rizal mengamati apa yang terjadi di lingkungannya, bagaimana orang-orang Spanyol para biarawan yang dengan persetujuan penuh dari pemerintah Spanyol, menurunkan moral, kehilangan, membodohi dan mengeksploitasi tanah airnya, Dia telah memberontak melawan kekuatan jahat para biarawan, dimana dia melihat penyebab kondisi paling menyedihkan di negaranya; dia kemudian harus melarikan diri, menghabiskan beberapa tahun di Inggris, Amerika, Spanyol, dan Jerman, Kembali ke kampong halaman ditangkap, dibuang ke penjara bawah tanah, dan akhirnya menjadi korban pembalasan para biarawan. Tamat Jose Rizal. Namun kisahnya terus bergulir.
Jose Rizal dengan sinis menyebut Filipina "tanah para
biarawan", dan dalam novelnya "Au pays des moines" dia
melukiskan keadaan tanah airnya sebelum perang, dan bagaimana keadaan itu
dibebani oleh kemahakuasaan para Yesuit, Fransiskan, Doinikan, dan ordo
monastik lainnya. Novel Jose Rizal berjudul Noli me Tangere telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Prancis oleh H. Lucas et R. Sempau dengan judul Au Pays des
Moines yang diterbitkan P. Stock di Parijs (lihat De Hollandsche revue jrg 4,
1899, no 8).
Sebelumnya, baik di Filipina maupun di Indonesia (baca: Hindia Belanda), perjuangan dilakukan secara terbuka dengan senjata oleh para pribumi. Tentulah, dengan kekuatan yang lemah dari kekuasaan yang kuat dapat ditaklukkan. Perlawan senjata berakhir dengan berakhirnya perang, tetapi tidak dengan tulisan. Tulisan para pejuang pribumi terus hidup selama buku-buku tersebut dibaca oleh para penerusnya.
Di Indonesia (baca: Hindia Belanda), perjuangan lewat tulisan/buku itu telah
dimulai oleh Willems Iskander dengan bukunya yang terkenal Siboeloes-Boeloes,
Siroemboek-Roemboek yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1872. Seperti buku
Jose Rizal Noli me Tangere, buku Sati Nasoetion alias Willem Iskander masih
dicetak hingga ini hari. Willem Iskander setelah lulus sekolah dasar, pada
tahun 1857 Willem Iskander berangkat studi keguruan di Belanda. Lalu setelah
lulus pada tahun 1861 kembali ke kampong halaman di Mandailing dan pada tahun
1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato, Mandailing (Tapanoeli). Pada tahun 1862 buku terjemahannya
diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Willem Iskander menulis sendiri buku
pelajaran di sekolah guru (kweekschool) Tanobato. (sekolah guru ketiga di
Hindia Belanda setelah di Soerakarta dibuka 1851 dan yang kedua di Fort de Kock
1856). Ada beberapa buku Willem Iskander yang diterbitkan tetapi buku Siboeloes-Boeloes,
Siroemboek-Roemboek yang terkenal. Di dalam buku itu, Willem Iskander menyerukan
agar orang Belanda dientaskan karena sudah terlalu kenyang (hasil eksploitasi tanah
dan penduduk). Sekolah guru Tanobato ditutup tahun 1873. Hal itu karena Willem
Iskander akan melanjutkan studi ke Belanda, namun tahun 1876 Willem Iskander
fdi Belanda dikabarkan meninggal (diduga dibunuh). Sebagai pengganti sekolah
guru Tanobato, dibuka sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun
1879. Salah satu siswa pertama adalah Dja Endar Moeda. Sati Nasoetion alias
Willem Iskander adalah kakek buyut Prof Andi Hamin Nasution (rector IPB
1978-1987).
Jose Rizal telah tiada, Jose Rizal, atas perjuangannya dieksekusi mati pada tahun 1896. Di pantai barat Sumatra, Dja Endar Moeda terus berjuang untuk bangsanya. Pada tahun 1898 sekolah yang didirikannnya semakin maju dan perjuangannya melalui bidang jurnalis semakin terasa. Dja Endar Moeda mengatakan ‘pendidikan dan juranalis sama pentingnya, sama-sama untuk mencerdaskan bangsa’.
Rizal dianggap terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberontakan yang sedang
berkembang dan pada Juli 1892 ia dibuang ke Dapitan di provinsi Zamboanga
(Mindanao). Di sana ia mendirikan sebuah sekolah dan rumah sakit. Pada 1896,
pemberontakan yang dirancang oleh Katipunan, sebuah perhimpunan rahasia
nasionalis, berkembang menjadi suatu revolusi besar-besaran, sebagai sebuah
pemberontakan nasionalis sejati dan menyebabkan diproklamasikannya republik
pertama yang benar-benar demokratis di Asia. Rizal ditahan di tengah
perjalanan, dipenjarakan di Barcelona, dan diajukan ke pengadilan. Ia
dinyatakan terlibat dalam revolusi melalui hubungannya dengan para anggota
Katipunan dan diadili di pengadilan militer dengan tuduhan pemberontakan,
pengkhianatan, dan permufakatan. Selama dalam perjalanan, ia tidak dirantai dan
mempunyai banyak kesempatan untuk melarikan diri, tetapi ia menolaknya. Itu
adalah lambang wataknya bahwa tak seorang Spanyol pun yang dapat menyentuhnya.
Rizal dinyatakan terbukti bersalah atas ketiga tuduhan dan dijatuhi hukuman
mati. Sementara hukumannya semakin
mendekat, Rizal menulis puisinya yang terakhir, yang, meskipun tidak berjudul,
akhirnya dikenal sebagai "Mi Último Adiós" (Selamat Tinggalku yang
Terakhir). Setelah Rizal dijatuhi hukuman
mati, muncul banyak keraguan mengenai kejadian-kejadian di sekitar kematiannya.
Banyak orang yang tetap percaya bahwa Rizal tidak menikahi kekasihnya tercinta
Josephine Bracken sesuai tradisi Katolik Roma beberapa jam sebelum hukuman
matinya, ataupun mencabut bagian-bagian tulisannya yang bernada anti Katolik,
sebuah pertikaian yang tidak kunjung berkurang. Di tempat ia gugur kini berdiri
sebuah patung.(Wikipedia)
Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi sepenuhnya surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya. Ini membuat Dja Endar Moeda lebih bebas, lebih spesifik untuk memperjuangkan sesame sebangsa (pribumi). Pada tahun ini juga Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar baru berbahasa Melayu yang diberi nama Tapian Na Oeli dan satu majalah pembangunan dengan nama Insulinde. Bersamaan dengan itu semua, Dja Endar Moeda mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Medan Perdamaian. Organ dari organisasi kebangsaan Indonesia pertama ini adalah tiga media yang dimilikinya. Pada tahun 1902 Dja Endar Moeda sebagai presiden Medan Perdamaian memberikan bantuan pendidikan ke Semarang sebesar f14.000 melalui direktur Pendidikan pribumi di pantai barat Sumatra (Charles Adrian van Ophuijsen, yang juga mantan gurunya di Padang Sidempoean).
Pada tahun 1896 seorang pribumi lulusan sekolah menengah (HBS) Raden Kartono
melanjutkan studi ke Belanda di Universiteit te Delft. Namun kemudian Kartno pindah
kuliah di Leiden untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1903 Dja Endar
Moeda membawa seorang guru di Padang Sidempoean, Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan untuk melanjutkan Pendidikan (keguruan). Soetan Casajangan adalah
adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean. Pada tahun 1908, Ketika
jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sebanyak 20 oranhg, Soetan Casajangan
mendirikan organisasi mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging. Soetan
Casajangan sebagai presiden, dan Raden Kartono juga ikut menjadi pengurus Bersama
Raden Soemitro sebagai sekretaris. Selama kuliah, Soetan Casajangan membantu
gurunya Charles Adrian van Ophuijsen yang mejadi guru besar di Universitas
Leiden sejak 1903, sebagai asisten dosen dalam pengajaran bahasa Melayu. Organisasi
inilah kemudian yang memotori perjuangan bangsa Indonesia melalui golongan
terpelajar. Organisasi kemudian diubah namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia
tahun 1924 (pada saat ketuanya Mohamad Hatta)..
Dja Endar Moeda mulai banyak protes terhadap pemerintah. Yang pertama Dja Endar Moeda meminta pemerintah menaikkan anggaran Pendidikan untuk pribumi. Yang kedua Dja Endar Moeda meminta pemerintah untuk meniadakan bahsa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah guru. Ketiga, Dja Endar Moeda di dalam surat kabarnya mulai melaporkan kejahatan para pejabat Belanda. Hal yang ketiga inilah kemudian terkena delik pers tahun 1906 dimana hukumannya pada tahun 1907 dengan hukuman cambuk dan diusir dari kota Padang. Namun Dja Endar Moeda tidak berhenti, pada tahun 1907 mendirikan suratkabar pertama di Band Atjeh yang diberinama Pembrita Atjeh dan pada tahun ini juga Dja Endar Moeda mendirikan organisasi kebangsaan di Medan dengan nama Sjarikat Tapanoeli dan lalu pada tahun 1909 mendirikan surat kabar di Medan dengan nama Pewarta Deli (sebagai organ dari Sjarikat Tapanoeli). Sebagaimana kita lihat nanti, di Batavia pada tahun 1908 Soetomo dkk mendirikan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo (sementara Soetan Casajangan di Belanda dengan organisasi kebangsaan Indische Vereeniging).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar