Senin, 12 Februari 2024

Sejarah Bahasa (295): Melacak Asal Bahasa Melalui Sebutan Bilangan Bahasa-Bahasa di Indonesia; Aksara dan Lambang Bilangan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa merujuk pada bahasa yang mendahuluinya. Bahasa berkembang karena adanya interaksi antar bahasa. Bagaimana dengan sebutan bilangan. Yang jelas dalam perkembangan lebih lanjut bahasa termasuk sebutan bilangan, terbentuknya aksara (huruf) dan lambang bilangan (angka). Bagaimana dengan di Papua? Ada baiknya dimulai dari barat (Sumatra dan Jawa). Mengapa?


Jejak Kata Bilangan dalam Prasasti Berbahasa Bali Kuno: Hubungan Kekerabatannya dalam Rumpun Bahasa Melayu Polinesia. I Ketut Paramarta; I.B. Putrayasa; dan I.B. Putra.  November 2019. Forum Arkeologi 32(2):95. Abstrak. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendeskripsikan beragam kata bilangan bahasa Bali Kuno yang terekam dalam jejak prasasti berbahasa Bali Kuno dan mengungkapkan hubungan kekerabatanya dalam jenjang kekerabatan Proto-Malayo Polynesian. Kata bilangan dalam salinan prasasti berbahasa Bali Kuno dan kata bilangan pembanding dalam rumpun Proto-Austronesia dan Proto-Malayo Polinesian dikumpulkan. Jejak kata bilangan bahasa Bali Kuno yang ditemukan dalam tinggalan prasasti berbahasa Bali Kuno adalah kata bilangan desimal utuh, kata bilangan inovasi leksikal yang tidak memiliki konsekuensi struktur tetapi memiliki keterkaitan dengan makna-makna budaya, dan kata bilangan tinggi.Bahasa Bali Kuno menyimpan jejak verbal dalam bentuk kata bilangan sebagai ekspresi budaya menghitung yang terbukti memiliki relasi kekerabatan dengan bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu Polinesia.

Lantas bagaimana sejarah melacak asal usul bahasa melalui sebutan bilangan dalam bahasa-bahasa di Indonesia? Seperti disebut di atas bahasa dan aksara adalah satu hal, sebutan bilangan dan lambang bilangan adalah hal lain lagi. Aksara dan lambang bilangan di wilayah bahasa Papua. Lalu bagaimana sejarah melacak asal usul bahasa melalui sebutan bilangan dalam bahasa-bahasa di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Melacak Asal Usul Bahasa Melalui Sebutan Bilangan dalam Bahasa-Bahasa di Indonesia; Aksara dan Lambang Bilangan

Sebutan bilangan dalam bahasa Bali adalah sebagai berikut: 1=sa, 2=dua (kalih), 3=telu (tiga), 4=empat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=akutus, 9=asia (sanga), 10=adasa, 11=solas, 12=roras. Untuk sebutan bilangan 21=salikur, 22=dualikur, 50=sket, 100=satus, 1000=siu, 10000=alaksa. Sebutan bilangan bahasa Bali lebih mirip bahasa Jawa daripada sebutan bilangan bahasa Batak.


Bilangan/angka satu dalam bahasa Batak disebut sada, sementara dalam bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua (loro), 3=tolu (telu),  4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada (sewelas), 12=sapulu dua (rolas), 100=saratus (seratus), 1000=saribu (seribu). Sebutan bilangan belasan bahasa Batak besifat biner (1-0) dan konsisten seterusnya. 

Untuk sebutam bilangan satuan yang memiliki kemiripan antara bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah 3=tolu (telu), 4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 10=sapulu (sepuluh). Sebutan bilangan bahasa Bali lebih bervariasi dari sebutan bilangan Jawa. Ini dapat diperhatikan sebutan bilangan enam dan digunakannya sebutan bilangan tiga (mirip bahasa Melayu).


Sebutan bilangan dalam bahasa Bali 1=sa berbeda dengan bahasa Jawa (1=siji). Penggunaan sa ini dalam sebutan bilangan bahasa Bali yakni 21=salukur dan 100-satus. Bandingkan dengan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa 100=saratus (seratus), 1000=saribu (seribu). Sa dalam hal ini di dalam bahasa Batak adalah singkatan dari sebutan bilangan sada (dalam bahasa Melayu).

Untuk sekadar keperluan praktis, untuk memahami asal-usul bahasa di Indonesia melalui sebutan bilangan, selanjutnya untuk dijadikan sebagai pembanding awal (rujukan) digunakan sebutan bilangan bahasa Batak dan bahasa Jawa. Seperti disebut di atas, sebutan bilangan di Jawa ada kemiripan dengan sebutan bilangan di Bali. Bagaimana dengan sebutan bilangan dalam bahasa Sunda? Sebutan bilangan 1=sidji (Djawa) mirip 1=hidji (Soenda), Seperti halnya Bali, dalam bahasa Sunda juga ada beberapa perbedaan, misalnya 6=genap, 8=dalapan dan 9=salapan (sementara dalam bahasa Melayu 9=sembilan). Seperti sebutan 1=sa dalam bahasa Bali, diduga sa dalam bahasa Sunda untuk 9=salapan (sa-lapan) sementara dalapan diduga merujuk pada dua-lapan. Bagaimana terbentuknya sebutan bilangan 8=dalapan dan 9=salapan?


Secara umum bahasa-bahasa di nusantara paling tidak dalam struktur sebutan bilangan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk: bahasa Batak terutama sapulu sada; bahasa Jawa terutama sebelas dan seperti kita lihat nanti bahasa Ende yang mirip Romawi (penambahan/pengurangan). Dalam hal ini lambang dasar bilangan Romawi terdiri dari I=1, V=5, X=10, L=50, C=100, D=500, M= 000, sementara untuk bilangan lainnya merupakan kombinasinya. Lambang bilangan/angka Romawi sejatinya berbentuk huruf/aksaranya sendiri (I, V, X. L, C, D dan M). Sangat simple. Dasarnya hanya dengan mengetahui aksara Romawi akan mengetahui lambang angka Romawi.  Berbeda dengan lambang/angka Jawa yang cukup rumit. Bagaimana dengan lambang bilangan Batak? Bukan lambang huruf tetapi ditentukan dengan bentuk yang berbeda dari aksaranya. Bentuk bilangan Batak adalah bentuk geometris (garis dan bidang; titik dan ruang implisit). Tampaknya dari lambang bilangan dari berbagai aksara yang ada hanya lambang bilangan bahasa Batak yang berbentuk geometris. Mengapa? Yang dimaksud geomotrik dalam hal ini titik. garis, bidang dan ruang, yang mana kumpulan titik adalah garis (dimensis atu); hubungan garis adalah bidang (dimensi dua); hubungan bidang adalah ruang (dimensi tiga). Pada masa ini operasi bilangan adalah system aritmatika dan operasi geometric adalah system kalkulus. Dalam nomor/angka bilangan Batak, angka 1, 2, 3 adalah garis (mirip angka 1, 2 3 Romawi). Bagaimana dengan angka 4? Yang jelas berbeda dengan angka Romawi. Angka 4 Batak eksplisit adalah bentuk bidang segitiga (kumpulan tiga garis) tetapi dihitung secara ruang. Artinya segi tiga adalah bidang paling sedikit sisinya (hanya tiga). Jika dibuat menjadi ruang, jumlah bidangnya menjadi empat. Oleh karena itu ditulis bidang segitiga tetapi dihitung ruang segitiga (diamond). Bagaimana dengan angka 5? Empat garis yang dicoret sehingga jumlahnya lima garis. Angka 6 dilambangkan dengan bentuk empat persegi (kubus). Seperti segitiga untuk angka 4, bidang kubus dalam hal ini dihitung ada enam bidang pada ruang.  Sementara angka 7 dilambangkan dengan cara meminjam dari sebagian lambang angka 5 (dua garis; garis lurus dan garis diagonal). Bagaimana dengan angka 8? Dua gabungan segitiga yang jumlah bidangnya adalah 2 kali empat bidang sebanyak 8 (delapan) bidang. Sedangkan angka 9 adalah angka 7 yang ditambahi garis pendek (yang tampak sebagian dari bentuk angka 8). Bagaimana dengan angka 10? Yang jelas dalam aksara Batak tidak ada angka nol (kosong).  Lambang angka 10 dibuat dalam bentuk satu garis yang menyatakan satu dan di depannya lambang bilangan puluh (berbentuk ketupat/jajaran genjang) sehingga dibaca sada pulu yang disingkat menjadi sapulu. Bagaimana dengan angka 11? Yang jelas tidak ada kosa kata belas dalam bahasa Batak. Dalam bahasa Batak angka 11 dibaca sapuluh sada, 12-sapulu dua, dst. 20 (dua puluh), 21-duapuluh sada. Penulisan dan pembacaan (lisan) sebutan bilangan bahasa Batak bersifat biner (1-0; sada ketupat/jajaran genjang). Last but not least. Bagaimana dengan 100? Dua ketupat/jajaran genjang dibaca ratus (misalnya saratus, dua ratus); tiga ketupat dibaca ribu (misalnya saribu, dua ribu). Demikian seterusnya bersifat biner. Lalu bagaimana dengan lambang bilangan Yunani? Seperti lambang bilangan Batak untuk 1-3 mirip dengan lambang bilangan Romawi. Akan tetapi lambang bilangan 4 Batak mirip dengan lambang bilangan 10 Yunani. Apakah ini mengindikasikan lambang bilangan Romawi dan Yunani terispirasi dari lambang bilangan Batak? Yang jelas lambang bilangan Batak 1, 9 dan 10 mirip dengan lambang bilangan Arab. Dalam perkembangan masa selanjutnya, apakah lambang bilangan Latin merujuk pada lambang bilangan Arab? Yang jelas aksara-aksara sudah lama adanya. KF Holle tahun 1880 mendokumentasi daftar semua aksara yang terdapat di nusantara (lihat Tabel Oud en Nieuw Indisch Alphabetten: Bijdrage tot de Palaeographi van Nederlandsch Indie (Bruining en Co, 1882). Aksara-aksara inilah kemudian yang digunakan oleh para ahli untuk mempelajari aksara-aksara di Indonesia. Pada tahun 1927 Schröder, seorang Jerman menemukan ada kemiripan aksara Funisia dengan aksara Batak (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Sebagaimana diketahui bangsa Fenisia atau Funisia (Phoenices) adalah bangsa kuno yang pernah menguasai pesisir Laut Tengah. Mereka berasal dari wilayah Timur Tengah, atau sekarang di Lebanon dan Suriah. Penemuan aksara oleh Schröder tentulah menarik perhatian dunia internasional di bidang linguistic dan aksara. Jarak antara Laut Tengah dan pantai barat Sumatra sangat berjauhan. Selama ini dipahami bahwa dari dua kelompok aksara Semit Utara yang terdiri dari aksara Aramee dan aksara Fenesia. Aksara Aramea diduga menurunkan aksara Jawa melalui aksara Pallawa dan ke atas aksara Brahmi. Sedangkan aksara Fenesia (silabis) menurunkan aksara Yunani (alfabet) hingga ke aksara Latin. Jika aksara Batak setua aksara Fenesia, lalu apakah lambang bilangan Batak yang menjadi inspirasi dalam terbentuknya lambang bilangan Yunani, Romawi, Arab dan Latin? Ini sangat tergantung pada tingkat pemahaman kita, apakah peradaban modern bermula di barat (Eropa) atau peradaban modern bermula di timur (nusantara). Yang jelas, sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri.

Dalam hal ini penting diperhatikan dalam sebutan bilangan bahasa Batak dan bahasa Jawa yang mirip satu sama lain, yakni munculnya sebutan bilangan 6=genap, 8=dalapan dan 9=salapan dalam bahasa Sunda. Dalam hal ini untuk 9=salapan (sa-lapan) sementara dalapan diduga merujuk pada dua-lapan. Bagaimana dengan sebutan bilangan 6=genap? Sebagaimana diketahu, sebutan bilangan-bilangan tersebut dalam bahasa Melayu adalah 6=enam, 8=delapan dan 9=sembilan. Sejauh ini disebut bahasa Batak, bahasa Jawa dan bahasa Sunda adalah bahasa-bahasa Austronesia dan bahasa Melayu sendiri terbentuk dari bahasa-bahasa Austronesia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Aksara dan Lambang Bilangan: Bahasa-Bahasa di Wilayah Papua

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar