Jumat, 16 Februari 2024

Sejarah Bahasa (303):Aksara Jawi dan Bukti Pertama di Trenggano, Aksara Orang Moor? Pantai Timur Sumatra-Pantai Barat Papua


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Abjad Jawi alias huruf Jawi, aksara Jawi, abjad Arab-Melayu, abjad Yawi, tulisan Jawi, atau tulisan Melayu adalah kumpulan huruf berbasis abjad Arab yang umumnya digunakan untuk menuliskan teks dalam bahasa Melayu (dialek Malaysia, Brunei, Siak, Pahang, Terengganu, Johor, Deli, Kelantan, Songkhla, Riau, Pontianak, Palembang, Jambi, Sarawak, Musi dan dialek lainnya) dan bahasa-bahasa lainnya; seperti bahasa Aceh, Betawi, Banjar, Kerinci, Minangkabau maupun Tausug.


Istilah Moor adalah sebuah eksonim pertama kali digunakan oleh orang Kristen Eropa untuk menunjuk populasi Muslim di Maghreb, al-Andalus (Semenanjung Iberia), Sisilia dan Malta selama Abad Pertengahan. Bangsa Moor bukanlah bangsa yang tunggal, berbeda, atau memiliki definisi sendiri. Orang-orang Eropa abad pertengahan dan periode modern awal menerapkan nama ini secara beragam pada orang Arab, Berber dan Muslim Eropa. Istilah dalam arti lebih luas untuk merujuk pada umat Islam pada umumnya, khususnya keturunan Arab atau Berber, di Andalusia atau Afrika Utara. Pada masa kolonial, Portugis memperkenalkan nama "Ceylon Moor" dan "Indian Moors" di Asia Selatan dan Sri Lanka, dan umat Islam Bengali juga disebut Moor. Di Filipina, komunitas Muslim yang sudah lama berdiri, sebelum kedatangan Spanyol, kini mengidentifikasi diri mereka sebagai "orang Moro", sebuah nama samaran yang diperkenalkan oleh penjajah Spanyol karena keyakinan Muslim (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah aksara Jawi bukti pertama di Trenggano, aksara Orang Moor? Seperti disebut di atas aksara Jawa diduga dipopulerkan oleh orang-orang Moor. Pantai Timur Sumatra-Pantai Barat Papua. Lalu bagaimana sejarah aksara Jawi bukti pertama di Trenggano, aksara Orang Moor? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Aksara Jawi Bukti Pertama di Trenggano, Aksara Orang Moor? Pantai Timur Sumatra-Pantai Barat Papua 

Siapa yang mengintroduksi aksara Jawi (aksara Arab gundul)? Yang jelas berbeda dengan aksara Batak, aksara Jawi lebih mirip aksara Arab. Kehadiran orang-orang Arab di pantai barat Sumatra (Barus) diduga sudah mulai pada abad ke-7. Selain di Barus (sesuai prasati pada nisan di Barus), sesuai catatan Tiongkok pada tahun 628 sudah ada kampong-kampong orang Arab di Canton (pantai timur Tiongkok). Lantas apakah dengan demikian orang Arab yang mengintrodusir aksara Jawi di nusantara?


Secara etimologinya, kata jawi adalah kependekan dari istilah Arab: Al-Jaza'ir Al-Jawi (terj. 'kepulauan Jawa') yang merupakan sebuah pengistilahan oleh bangsa Arab untuk kepulauan Indonesia. Kata jawi yang digunakan oleh bangsa Arab tersebut merupakan sebuah kata serapan langsung yang berakar dari Jawa: jawi yang merupakan istilah krama dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk merujuk pulau Jawa maupun etnis Jawa. Kata 'Jawi' digunakan karena pada masa lampau, kepulauan Indonesia secara umum berada dibawah kekuasaan kemaharajaan yang berasal dari pulau Jawa. Penyebutan Jawi juga berasal dari sebutan Pulau Sumatra sebagai Al-Jawah dalam buku Al-Rihlah yang ditulis oleh Ibnu Batutah. Sementara itu, menurut Abdul Hadi WM, asal-usul penyebutan huruf Jawi sebab huruf ini disusun oleh Syekh Jawini. Syekh Jawini adalah guru bahasa yang hidup pada akhir abad ke-13 di Samudra Pasai, Aceh. Beliau lah yang mempelopori penggunaan huruf Jawi dalam tulisan-tulisan berbahasa Melayu. Bukti awal kemunculan tulisan Jawi bisa ditemukan pada Prasasti Terengganu. Museum Negara Malaysia. Kemunculan Jawi berkaitan dengan kedatangan agama Islam ke Nusantara. Abjad ini didasarkan pada abjad Arab dan digunakan untuk menuliskan ucapan Melayu. Dengan demikian, tidak terhindarkan adanya tambahan atau modifikasi beberapa huruf untuk mengakomodasi bunyi yang tidak ada dalam bahasa Arab (misalnya ucapan /o/, /p/, atau /ŋ/). Penggunaan alfabet Romawi pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-19. (Wikipedia)

Seperti disebut di atas, aksara Jawa sedikit berbeda dengan aksara Arab. Aksara Arab ditemukan di Barus yang berasal dari abad ke-7, sementara aksara Jawi pertama yang ditemukan berada di Trenggano yang diduga berasal dari abad ke-14. Terkait dengan prasasti banyak pertanyaan yang muncul: mengapa di Trengganu, mengapa satu-satunya prasasti beraksara Jawi; siapa dan darimana yang memberi titah sebagaimana dalam teks; siapa yang menelis (memahat) teks dan sebagainya yang akan ditanyakan selanjutnya.


Nama Trengganu paling tidak sudah terinformasikan pada era Majapahit sebagaimana di dalam teks Negarakertagama (1365). Nama-nama lain yang disebut di wilayah Semenanjung Malaya yang sekarang adalah Kelantan, Tumasik, Pakan Muar, Kelang dan Kedah (tampanya belum muncul nama Malaka). Orang-orang Moor pada masa ini sudah tersebar di nusantara yang didufa menjadi sebab utusan Moor Ibnu Batutah yang berkunjung ke pantai timur Sumatra (Samudra Pasai) dan Tiongkok pada tahun 1345.

Teks prasasti Trengganu sudah banyak yang membaca, termasuk yang ada di Wikipedia yang sekarang, Prof Ahmad Adam telah membaca ulang (lihat Youtube). Untuk aksara Jawi saya masih bisa membaca, namun saya memiliki pembacaan yang berbeda untuk beberapa perkataan. Sayang sekali banyak teks yang hilang (terhapus). Jelas sulit membaca isu keseluruhan teks, selain banyak teks terhapus, juga bahasa yang digunakan saat itu sulit menentukan pembandingnya. Namun secara umu keseluruhan teks mengindikasikan peraturan perundang-undangan (seperti halnya dalam teks Tanjung Tanah (Kerinci). Intinya dalam teks prasasti ini harus dengan cermat mengartikan teks yang hilang, membaca teks dan bahasa (perkataan) yang ditulis.


Selain teks Tanjung Tanah, sumber semasa yang dapat dibandingkan adalah prasasti Batugana di Padang Lawas (Tapanuli). Prasasti Batugana I disebut juga Prasasti Panai, disebut aksara Kawi berbahasa Melayu Kuno. Teks prasasti sebanyak 10 baris, yang diguratkan mengelilingi batu mulai dari atas ke bawah. Satu yang penting dalam teks Batugana ini ada penggunaan kosa kata ‘haji’. Catatan: saya ragu apakah aksara yang digunakan aksara Kawi. Pembacaan teksnya saya agak ragu apakah sudah benar. Teks lainnya semasa adalah Prasasti Sitopayan I di Padang Lawas (Tapanuli) disebut aksara Batak berbahasa Melayu.

Teks prasasti Trengganu memang mirip bahasa Melayu, tetapi apakah itu hanya bahasa yang berlaku di Trengganu saja? Bahasa Melayu sendiri sudah sangat luas terutama di pantai timur Sumatra. Dalam hubungannya dengan aksara Jawi di Trengganu dan yang terkait (agama) Islam, selain nama Samudra Pasai di utara Sumatra, adalah posisi geografis Padang Lawas. Dalam prasasti Batugana ditemukan kosa kata Haji. Apa maknanya? Apakah (kerajaan di) Padang Lawas yang memberi titah pada teks prasasti Trengganu?


Seperti disebut di atas, utusan Moor, Ibu Natutah dalam risalahnya disebutkan setelah menunaikan haji di Mekkah (mendapat gelar haji), melanjutkan perjalanan ke timur. Dalam hal ini orang-orang yang telah berhaji disebut haji. Apakah dalam teks Batugana ada orang Moor atau Arab yang telah bergelar haji sudah berada di Padang Lawas? Dalam risalah Ibu Batutag disebut seorang raja pribumi Sumatra. Siapakah itu? Selain itu dalam risah Ibnu Batutah pada tahun 1345 singgah di Kesultanan Pasai yang juga disebut Al Jawa. Ibnu Batutah menyebut sultan Samudara rajin beribadah dengan tingkat ketekunan yang tinggi, dan kerap memerangi kaum penyembah berhala di kawasan itu. Ibnu Batutah meriwayatkan bahwa Pulau Sumatra kaya akan kapur barus. Siapa raja pribumi Sumatra yang diduga penyembah berhala? Seperti kita lihat nanti Mendes Pinto (1537) menyebutkan kerajaan Aru Batak di pantai timur Sumatrta memiliki pasukan yang kuat dengan para pelatih orang-orang Moor.  

Dalam pelayaran Ibnu Batutah dari Samudra Pasai ke Tingkok, sudah ada kota-kota yang disinggahi yang mana sudah ada yang beragama Islam. Di Conton, Ibnu Batutah menemukan perkampongan orang Islam yang mana juga Ibnu Batutah dapat menemui orang senegaranya di Laut Mediterania. Meski demikian, kesultanan (kerajaan Islam) terjauh di timur menurut Ibnu Batutah hanya di Samudra Pasai. Di Tiongkok, termasuk Canton berada di bawah kekuasaan orang Mongol (bangsa yang sama juga sebelumnya pernah menduduki Persia hingga Irak). Sementara itu menurut Ibnu Batutah yang pernah ke Delhi (itara India) adalah sisa kesultanan Islam yang masih tersisa yang luput dari serangan Mongol.


Dalam gambaran yang diperoleh dari perjalanan Ibnu Batutah sebagaimana di dalam risalahnya, sangat masuk akal aksara Jawi sudah eksis sebagaimana ditemukan dalam prasasti Trengganu. Jika di Jawa masih beragam Hindu (sebagaimana risalah Ibnu Batutah yang pernah berkunjung) dan di Tiongkok hanya ada pekampongan Islam, lantas apakah yang memberi titah di Trengganu sebagaimana pada teks Prasasti Trengganu, adalah kesultanan Samudara Pasai? Sementara radja pribumi Sumatra masih menyembah berhala. Sekali lagi: siapa itu Radja Sumatra?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pantai Timur Sumatra-Pantai Barat Papua: Orang-Orang Moor di Nusantara

Keberadaan aksara Jawi dengan bukti pertama di Trenggano yang diduga berasal dari abad ke-14 menimbulkan banyak pertanyaan. Pertanyaan pertama yang diajukan adalah apakah aksara Jawi diintroduksi oleh orang-orang Moor? Tentu saja belum ada yang menjawabnya karena belum ada orang yang menanyakannya. Lantas mengapa orang Moor?


Ada dua sumber pertama yang komprehensif tentang orang Moor. Pertama adalah risalah Ibnu Batutah dalam karyanya berjudul al-Rislah yang ditulis setelah menyelesaikan perjalanannya ke berbagai wilayah selama 30 tahun termasuk ke Sumatra dan Canton. Ibnu Batutah tiba di Sumatra pada tahun 1345. Keberadaan orang-orang Moor sudah ada di Ethiopia (lihat Bible in duytsche, 1477). Kedua, laporan ekspedesi Mendes Pinto mulai dari Goa (pantai barat India), selat Malaka (Sumatra dan Semenanjung), pantai utara Jawa dan Indochina dan pantai timur Tiongkok (Canton). Mendes Pinto di pantai timur Sumatra pada tahun 1537. Sejak abad ke-16 banyak buku, majalah dan surat kabar yang isinya dimana nama/orang Moor disebut. Orang Moor juga banyak di Turki (lihat Geestelijke minnevlammen door Matthijs van der Merwede (1653). Peran orang-orang Moor dalam perdagangan di Hindia Timur cukup penting semasa era Portugis dan era VOC. Tentang sejarah Moor juga disebut dalam buku Historie der waereld (1780).

Seperti dikutip di atas, terminology Moor adalah sebutan orang Eropa terhadap orang-orang Islam yang bukan Arab di sekitar laut Mediterania. Orang-orang Moor inilah yang menjadi pembentukan peradaban modern fi Eropa khususnya di Eropa selatan terutama di wilayah semenanjung Spanyol. Kota-kota peninggalan era pemerintahan Islam di Spanyol (Andalusia) antara lain Cordoba, Granada, Sevilla, Madrid dan Toledo. Orang-orang Moor dalam navigasi pelayaran perdagangan di nusantara sudah sejak lama.


Sejak terjadinya perang di Eropa dimana orang Romawi melawan orang Islam (Perang Saling) tahun 1000an, orang-orang Moor terusir dari Spanyol dan menyebar ke berbagai penjuru. Pada waktu yang bersamaan Kerajaan Chola di India melakukan invasi hingga selat Malaka terutama di pantai timur Sumatra sebagaimana dinyatakan dalam prasasti Tanjore (1030). Kehadiran orang-orang Moor di pantai barat India (seperti Goa daam Gijarat) diduga kuat yang melemahkan pengaruh kerajaan Chola di pantai timur India. Pada masa ini di pedalaman India yang memiliki kuasaan adalah orang-orang Islam, yang mana salah satu kesultanan terdapat di Delhi. Gabungan pengaruh Arab, Moor dan Persia (serta Mesir) di Asia Selatan lambat laun menggantikan kekuatan perdagangan orang-orang India di nusantara. Orang-orang Moor yang tidak memiliki negara (stateless) dengan sendirinya mudah beradaptasi (berbaur) dengan orang-orang pribumi di Sumatra maupun di semenanjung Malaya.

Pada abad ke-14 sudah banyak orang Moor mulai dari India hingga Tiongkok. Gambaran ini dapat ditemukan dalam buku al-Rislah karya Ibnu Batutah. Disebutkan dalam awal perjalanan Ibnu Batutah pada tahun 1326 bertemu dengan seorang ahli agama Sjeh Burhanudin di Aleksandria mengatakan kepada Ibnu Batutah bahwa kelak engkau bertemu dengan saudaraku Faridudin di India, Rukanudin di Sindi, dan Burhanudin di Tiongkok. Besar dugaan orang-orang Moor inilah yang memberi pengaruh besar dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam di nusantara. Ibnu Batutah juga menyebut bahwa orang-orang Islam di pantai barat India dari golongan mazhab Maliki sebagaimana juga di kesultanan Samudra Pasai.


Orang Moor berbeda dengan bangsa Arab dan baangsa Persia. Ketiga bangs aini beragama Islam dengan aksara yang kurang lebih sama (aksara Arab). Orang Moor dapat dikatakan adalah mix-populatin yang merupakan campuran ras Arab, ras Afrika dan ras Eropa. Namun secara sosiologis lebih mudah berinterakasi antara orang Moor dengan orang Arab jika dibandingkan dengan orang Persia yang bermahzab berbeda. Oleh karena orang Moor sebagai stateless di wilayah-wilayah rantau lebih mudah beradaptasi dan berbaur. Orang-orang yang beragama Islam dan sedikit berwajah Eropa ini dimanapun orang Eropa menyebutnya sebagai orang Moor (yang dibedakan dengan orang Arab dan orang Persia). Dalam buku Historie der waereld (1780) disebut orang Moor berkulit sawo matang. Dengan percampuran dengan penduduk pribumi di India dan nusantara, orang-orang Moor ini kemudian wajah Eropanya semakin luntur seperti halnya kelompok populasi Moor ditemukan di Pakistan, India, Bangladesh dan nusantara. Nama-nama Djamaludin, Burhanudin, Hasanudin antara lain berakhiran udin adalah nama-nama khas orang-orang Moor.

Orang-orang Moor di nusantara yang melebur dengan penduduk pribumi (berbahasa Melayu) diduga menjadi sebab musabab terbentuknya kerajaan Islam di pantai timur Sumatra sebagai kerajaan Islam pertama di nusantara (Kesultanan Samudra Pasai). Dalam konteks inilah kita berbicara tentang ditemukannnya prasasti Trenggano yang beraksara Jawi (huruf Arab gundul) dengan berbahasa Melayu.


Lantas mengapa tidak ditemukan jenis prasasti yang sama di tempat lain yang berasal dari zaman itu. Ini seakan-akan hanya ada di Trengganu. Sementara itu jenis prasasti-prasasti lainnya dalam aksara Batak berbahasa Batak/Melayu, aksara Pallawa berbahasa Sanskerta/Jawa dan lainnya eksis di berbagai tempat. Besar dugaan pada era itu pengaruh kesultanan Samudra Pasai masih terbatas, sementara pengaruh kerajaan-kerajaan di Sumatra cukup kuat di Sumatra (kerajaan Batak di utara Sumatra) dan pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa di Jawa. Namun pengaruh kerajaan di Jawa sudah merambah ke Sumatra (bagian selatan). Dalam konteks inilah mungkin dapat dihubungkan terusirnya raja-raja Melayu di Sumatra bagian selatan (Palembang) berpindah ke Semenanjung Malaya (kerajaan Malaka).

Seperti disebut di atas, dalam risalah Ibnu Batutah menyebut ada raja pribumi Sumatra yang kuat yang selalu bersitegang dengan Kesultanan Samudra Pasai (golongan Islam versus golongan penyembah berhala—Hindu.Budha). Schnitger, seorang arkeolog dalam studinya pada candi-candi Padang Lawas yang berasal dari abad ke-14 yang dipublikasikan tahun 1936 menyebutkan kerajaan di Padang Lawas memiliki kepercayaan sekte tersendiri dari Budha yang disebutnya sebagai sekte Bhairawa (agama Batak kuno). Masih menurut Schnitger, dua raja terkenal yang menjadi pendukung fanatic agama Budha Batak ini adalah raja Kertanegara (di Singosari-Jawa) dan raja Adityawarman (di Dharmasraya-Sumatra bagian tengah). Dalam konteks inilah diduga yang menyebabkan ruang ekspansi Kesultanan Samudara Pasai terbatas. Lantas bagaimana dengan Malaka yang telah menjadi kesultanan? Besar dugaan itu terkait dengan Kesultanan Samudra Pasai di pantai timur Sumatra. Kesultanan Malaka selalu berada di bawah bayang-bayang ketakutan dari Kerajaan Batak Kingdom di pantai timur Sumatra (lihat Mendes Pinto, 1537).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar