*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini
Sebelumnya disebut pameran buku (boektentoonstelling),
tetapi kemudian lebih dikenal sebagai pekan baku (boekenweek). Namun kini yang
lebih popular disebut pameran buku (Book Fair). Pada tahun 1940 di Medan sudah
diselenggarakan Boekenweek buku (berbahasa) Belanda yang ke-9 (yang diselenggarakan
tiap tahun). Bagaimana dengan di Batavia? Hanya ada beberapa kali diadakan pekan
buku (berbahasa) Jerman. Mengapa? Bagaimana dengan buku berbahasa Melayu dan
daerah? Pameran buku (boektentoonstelling) Hindia pertama kali diadakan di Batavia
pada tahun 1941 (lihat De Indische courant, 15-11-1941).
Pameran buku di Indonesia, atau lebih dikenal dengan Indonesia International Book Fair (IIBF), memiliki sejarah yang cukup panjang. IIBF pertama kali diselenggarakan pada tahun 1980 dengan nama Indonesia Book Fair (IBF) oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Pameran ini kemudian berkembang menjadi salah satu ajang literasi terbesar di Asia Tenggara dan menjadi momen yang dinanti para pecinta buku. Sejarah Awal: Tahun 1954: Pameran buku pertama di Indonesia diselenggarakan di Medan oleh Tjoe Wie Tay dari Gunung Agung, bertepatan dengan Kongres Bahasa Indonesia. Tahun 1980: IBF pertama kali diadakan, menjadi cikal bakal IIBF yang kita kenal sekarang. Perkembangan IIBF: Tahun 2014: IBF berubah nama menjadi Indonesia International Book Fair (IIBF) untuk memperluas jangkauan. Tujuan: IIBF bertujuan untuk memfasilitasi akses buku bagi semua orang dan menjadi pusat industri kreatif berbasis kekayaan intelektual. Acara: Selain penjualan buku, IIBF juga menyelenggarakan berbagai acara seperti seminar, diskusi, dan peluncuran buku (AI Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah pameran buku masa ke masa? Seperti disebut di atas, kegiatan pameran buku sudah lama diadakan di Eropa. Di Hindia baru menjelang berakhirnya Belanda. Dalam pameran buku Indonesia pertama tahun 1954, Ir Soekarno menantang penerbit untuk menyediakan buku Tan Malaka berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Lalu bagaimana sejarah pameran buku masa ke masa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Pameran Buku Masa ke Masa; Ir Soekarno dan Buku Tan Malaka Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika)
Pameran awalnya dikaitkan dengan suatu festival seperti hasil-hasil pertanian, hasil-hasil industry dan juga kemudian perihal yang berkaitan dengan budaya. Lalu kemudian pameran tentang buku mulai popular di Eropa. Pameran buku (boektentoonstelling) adakalanya diselenggarakan setiap tahun. Bagaimana dengan di Hindia Belanda (baca: Indonesia)?
Pada masa Hindia Belanda, pameran biasanya dihubungkan dengan hasil-hasil pertanian atau hasil-hasil produk holtikultura. Pameran produk hasil-hasil pertanian ini yang terkenal berawal di Buitenzorg pada tahun 1870an. Pameran sejenis kemudian muncul di wilayah Malang. Pada tahun 1886 Hindia berpartisipasi dalam pameran budaya di Amsterdam. Dalam pameran ini karakateristik yang ditunjukkan oleh orang-orang pribumi dalam kontingen Indonesia (baca: Hindia Belanda) yang diorganisir oleh suatu konsorsium antara lain, musik (gamelan), tarian. cara hidup, pakaian tradisi, cara membuat batik dan sebagainya. Kontingen Indonesia juga berpartisipasi dalam pameran di Chicago pada tahun 1896. Dalam pameran (hasil-hasil) indiustri di Osaka pada tahun 1902 juga hadir kontingen Hindia Belanda. Demikian seterusnya.
Pameran diselenggarakan biasanya bertujuan untuk menyediakan wadah bagi pihak tertentu atau berbagai pihak untuk mempromosikan produk apa yang akan ditampilkan. Tentang produk buku, pameran bermula di Medan pada tahun 1932 sebagai pekan buku atau boekenweek (lihat Deli courant, 16-08-1932). Pameran buku ini diselenggarakan oleh Boekhandel Deli Courant. Buku-buku yang ditampilkan adalah buku-buku terbitan (berbahasa) Belanda.
Dalam sejarah perbukuan di Indonesia (baca: Hindia Belanda), hubungan
antara surat kabar dengan toko buku sejalan. Hal ini karena terkait dengan
percetakan/penerbitan. Pada awal Pemerintah Hindia Belanda, sejak surat kabar
pertama diterbitkan pada tahun 1809, surat kabar hanya satu, dan surat kabar
itu berada di tangan pemerintah dan dicetak oleh percetakan pemerintah.
Percetakan pemerintah ini (Lands Drukkerij), selain menerbitkan dokumen
pemerintah juga menerbitkan buku-buku sekolah dan buku-buku umum. Dalam konteks
inilah kemudian muncul toko buku yang terhubung dengan pecetakan/penerbit
tersebut. Dalam perkembangannya mulai bermulculan surat-kabar surat kabar
swasta yang memiliki percetakan sendiri. Dalam konteks inilah kemudian secara
khusus bermuculan percetakan/penerbitan swasta yang juga memiliki toko buku
seperti GCT en Dorp en Co dan G Kolff en Co. Diantara orang pribumi, yang
pertama memiliki toko buku adalah Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1900. Ini
didukung surat kabar Pertja Barat yang telah diakuisisi (termasuk
percetakannya) oleh Dja Endar Moeda. Haji Dja Endar Moeda sendiri adalah
seorang pensiunan guru yang kemudian menjadi kepala editor Pertja Barat juga
menulis buku-buku pelajaran dan buku-buku umum termasuk buku roman.
Inisiasi pameran buku ini diselenggarakan oleh Boekhandel Deli Courant di Medan tampaknya sukses. Hal ini karena pameran tersebut diselenggarakan setiap tahunnnya. Dalam perkembangannya dalam pameran di Medan tidak hanya Boekhandel Deli Courant tetapi juga penerbit-penerbit lainnya di Medan. Pada tahun 1940 pameran buku (boekenweek) di Medan sudah memasuki penyelenggaraan yang ke-9.
De Sumatra post, 04-05-1940: ‘Pameran Buku dan Grafis 1940. Terlepas dari
tuntutan zaman dan keinginan untuk menatap masa depan, "Asosiasi untuk
Pengembangan Kepentingan 3 Toko Buku" telah menyelenggarakan "Pekan
Buku" untuk kesembilan kalinya, yang akan diselenggarakan di Medan dari
tanggal 4 hingga 11 Mei. Tujuan budaya Pekan Buku adalah untuk memperkenalkan
buku-buku Belanda berkualitas kepada publik selama beberapa minggu setiap
tahunnya. Selama Pekan Buku, toko-toko buku akan memberikan hadiah kepada semua
orang yang membeli buku-buku Belanda senilai minimal ƒ 3,50 selama minggu ini. Hadiah
tradisional ini terdiri dari tiga novela yang dijilid dengan indah. Komite
redaksi, yang dibentuk oleh Emmy van Lokhorst dan Victor van Vriesland, telah
memilih sebuah novela karya Jan Campert tahun ini: "Deez kleine hand"
(Tangan Kecil Ini), E. Eewflck, "De Getuige" (Saksi), dan
"Onweer" (Badai Petir) karya seorang penulis yang sebelumnya hampir
tak dikenal, M. Vasalis. Atraksi istimewa akan berupa pameran kecil eks-Libris
Belanda dan grafis sesekali, yang diselenggarakan oleh Boekhandel Varekamp’.
Sementara itu di Batavia tidak terinformasikan pameran buku. Boleh jadi toko-toko buku yang ada di Batavia terbilang besar sehingga sudah mengesankan sebagai suatu pameran. Dalam konteks inilah kemudian, seperti disebut di atas, muncul pekan buku (berbahasa) Jerman pada tahun 1939 dan tahun 1940. Lalu kemudian pameran buku (boektentoonstelling) khusus buku-buku Indonesia (baca: Hindia) pertama kali diadakan di Batavia pada tahun 1941 (lihat De Indische courant, 15-11-1941).
Pada tahun 1942 berakhir kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Selama pendudukan Jepang tidak terinformasikan kegiatan pameran buku. Yang ada adalah percetakan dan penerbitan di bawah kendali Jepang, termasuk surat-kabar surat-kabar. Meski demikian, penerbitan sangat semarak bagi orang Indonesia (telah menggantikan peran orang-orang Eropa/Belanda). Dalam konteks inilah mulai bermunculan sastrawan-sastrawan muda Indonesia seperti Chairil Anwar (penyair) dan Ida Nasoetion (esais). Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaan. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan penerbitan (surat kabar, majalah dan buku) terbelah dua di satu pihak Indonesia dan di pihak lain Belanda. Namun kemudian dua pihak mulai mencair sejak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda sebagai RIS (dimulai 27 Desember 1949). Namun tidak lama kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno membubarkan RIS dan keesokan harinya diproklamasikan NKRI. Ini akan menjadi awal menghilangnya orang-orang Belanda di Indonesia.
Setelah lama tidak terinformasikan pameran buku di Medan dan Batavia, pada tahun 1951 di Medan diadakan pemeran buku (boekenweek) yang diselenggarakan oleh NV Deli Courant (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-06-1951). Pameran tersebut berlangsung dari tanggal 11 sampai 16 Juni 1951 di Medan. Lantas bagaimana dengan di Djakarta?
Seiring dengan perubahan situasi dan kondisi politik yang cepat, toko-toko buku orang Indonesia mulai unjuk gigi. Tidak diketahui bagaimana peta penerbitan dan toko buku orang Indonesia. Namun sangat banyak, bagaikan jamur tumbuh di musim hujan. Yang jelas pada tahun 1951 Penerbit Widjaja mengiklankan buku barunya (lihat De nieuwsgier, 20-02-1951). Disebutkan: Sudah terbit (buku) Falsafah Ideologi Islam oleh Hamka. Mengupas seluk beluk ideologl Islam dan konfrontasinja dengan ideologi lain. Per ex. Rp 9.50. (Buku) Sedjarah Islam oleh A Latif Osman, buku sedjarah jang terlengkap. Dipakai di-sekolah2. Djilid I dan II sedjilid Rp 9.50. Penerbit Widjaya, Petjenongan 48 C, Djakarta.
Di Djakarta sudah sangat banyak penerbit dan toko buku. Para penerbit umumnya memiliki toko buku (selain menjual buku sendiri juga buku-buku yang diimpor). Juga terdapat penerbit di bawah Kementerian Penerangan dan Kantor Berita Antara. Para penerbit juga ambil bagian dalam penerbitan dokumen cetakan pemerintah seperti peraturan dan perundang-undangan yang baru. Namun sejauh ini di Djakarta belum terinformasikan suatu pameran buku. Boleh jadi karena peran toko-toko buku sangat baik dalam mempromosikan buku-buku. Besar dugaan toko buku terbesar di Djakarta adalah Boekhandel Tay San Kongsie yang beralamat di jantung kota (Kramatplein).
Perkembangan penerbitan orang Indonesia juga signifikan di daerah seperti
di kota Medan, di kota Soerabaja, di kota Bandoeng dan lainnya. Orang Indonesia
yang mulai haus buku berbahasa Indonesia, menjadi bisnis besar bagi penerbit
dan toko buku di Djakarta dan di berbagai kota lainnya. Era baru perbukuan
dimulai. Di Djakarta tampaknya Penerbit Widjaya sangat intens mengiklankan
buku-buku barunya. Para penulis buku juga semakin intens dan semakin luas
mendapat order dari penerbit baik untuk buku pelajaran maupun buku umum serta
buku kanak-kanak. Seperti halnya Penerbit Widjaja, penerbit Djambatan juga
mulai intens mengiklankan buku-bukunya.
Para penerbit orang Indonesia tergabung di dalam satu organisasi IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). IKAPI dalam hal ini menjadi wadah bagi semua penerbit untuk mengembangkan diri dan salah satu fungsi organisasi untuk melindungi para anggotanya terutama yang terkait dengan pasokan dari luar negeri seperti buku baru, alat percetakan dan berbagai elemen percetakan seperti kertas dan tinta.
Nieuwe courant, 18-10-1951: ‘Penerbit Indonesia Meminta Dukungan Pemerintah. Pada Rabu pagi, perwakilan Ikatan Penerbit Indonesla (Ikapi) mengunjungi Menteri Keuangan, meminta langkah-langkah untuk mengatasi kerugian yang dihadapi anggota Ikapi ketika buku teks diimpor dari luar negeri tanpa pembayaran penuh sertifikat valuta asing. Penerbit Indonesia menganggap hal ini merugikan mereka. Meskipun Menteri berpendapat bahwa kepentingan umum masyarakat harus lebih diutamakan daripada kepentingan komersial, Bapak Jusuf Wibisono berjanji untuk mengkaji masalah ini dengan saksama’.
Peran IKAPI dalam dunia penerbitan buku di Indonesia
menjadi stratagis. IKAPI yang terus melindungi anggota, juga ingin IKAPI dapat
memberi kontribusi dalam perekonomian Indonesia seperti yang diusulkan IKAPI agar
pemerintah mendorong impor untuk peralatan cetak dan elemennya (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 14-02-1952). Disebutkan sistem sertifikat valuta asing
dalam harus dihapuskan yang dengan sendirinya merupakan kesempatan terbaik bagi
pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya terkait penyediaan bahan
bacaan yang terjangkau bagi masyarakat. Pemerintah harus mendorong impor mesin
cetak dan peralatan cetak lainnya, sehingga Indonesia dapat memenuhi kebutuhan
bukunya sendiri. Tahun lalu, buku senilai 40.000.000 gulden dicetak di Belanda
saja untuk Indonesia. Pajak perusahaan untuk pencetakan buku-buku ini tetap
berada di luar negeri, sementara seseorang sebenarnya dapat membangun bisnis
yang kuat di Indonesia di bidang percetakan dan penerbitan dengan biaya lebih
rendah dari pajak yang dibayarkan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-12-1952: ‘Pengumuman. Dengan mi kami umumkan bahwa mulai dari tanggal 1 Djanuari 1953 Tuan Lie Tan San, akan berusaha sendiri di Kramat Bunder, Djakarta, terpisah dari Firma Thay San Kongsie, sebagai persero dan memakai nama; Toko Buku Lie Tan San. Untuk memenuhi perobahan zaman dewasa ini perusahaan Thay San Kongsie, mulai dari tanggal 1 Djanuari 1953, akan ganti nama dengan nama Firma "GUNUNG AGUNG" d/h Thay San Kongsie. Pada Urnum diberitahukan bahwa semua Thay San Kongsie, tetap diurus sama biasa oleh Company "GUNUNG AGUNG" d/h Thay San Kongsie, Kwitang 13, Djakarta. Perusahaan "GUNUNG AGUNG" d/h Thay San Kongsie, tetap meliputi bagian Toko Buka, Importir, Pertjetakan, Penerbitan dan Taman Batjaan di Kwitang No 13, Kotakpos 135, Telpon 4678 Gambir, Djakarta, Sekian, harap Umun memaklumi adanja. Djakarta, 24 Desember 1952. Thay San Kongsie, Djakarta. Pemimpin/Persero2: Tjio Wie Tay, Lie Tay San dan The Kie Hoat’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Ir Soekarno dan Buku Tan Malaka Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika): Buku-Buku yang Dilarang Beredar di Indonesia
Ir Soekarno, Presiden Indonesia adalah termasuk yang suka membaca buku sejak masih di sekolah hingga di perguruan tinggi. Juga suka menulis. Pada kongres Jong Java tahun 1920 di Soerabaja, Soekarno mengusulkan agar di majalah Jong Java (yang berbahasa Belanda) diperbolehkan tulisan dalam bahaa Melayu. Ir Soekarno pada tahun 1927 menjadi pimpinan redaksi majalah Fikiran Ra’jat di Bandoeng. Secara khusus kemampuan berbicara Soekarno sama baiknya dengan kemampuan menulisnya. Hal itulah mengapa Ir Soekarno hingga menjadi presiden masih sangat suka membaca.
Seperti disebut di atas, sejak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh
Belanda (sejak akhir Desember 1949), pertumbuhan dan perkembangan perbukuaan di
Indonesia sangat cepat, bagai jamur di musim hujan. Sudah barang tentu Presiden
Soekarno sumringah melihat perkembangan perbukuan tersebut. Pada tahun 1953 NV Gunung Agung mengadakan Pekan Buku Indonesia. Pada tahun 1953 ini juga di
Djakarta diadakan Pekan Raya Indonesia pertama (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-10-1953).
Pada taghun 1954 diadakan Pekan Buku Indonesia kembali. Pekan buku tahun ini penyelenggaranya juga NV Gunung Agung. Namu tidak lagi diadakan di Gedung Gunung Agung. Hal ini karena sukses tahun sebelumnya, dan dengan animo yang terus naik, penyelenggara mengadakan pameran buku di Gedung Pertemuan Umum (Decapark).
Penyelenggara mengatakan pekan buku serupa juga akan diadakan setiap tahun bekerja sama dengan seluruh penerbit dan pemangku kepentingan lainnya. Di pameran ini, pengunjung akan memiliki banyak kesempatan untuk merasakan keragaman sastra Indonesia dan karya-karya asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Keragaman yang luar biasa ini—sejak tahun 1945, lebih dari 10.000 buku Indonesia telah diterbitkan dipamerkan dalam pameran ini. Pameran ini dikhususkan untuk buku-buku (berbahasa) Indonesia, dengan tambahan pameran surat kabar, mingguan, dan lainnya. Lebih dari sepuluh ribu buku tersebut dari berbagai bidang dapat dilihat di sini, disusun dengan cermat dan kategoris: buku anak-anak, roman, puisi, sains, puisi, dan sains populer. Karya pribadi dan buku sekolah, serta bagian terpisah berisi surat kabar dan majalah. Gunung Agung juga mengumumkan dalam konteks ini bahwa majalah bulanan "Madjalah Buku Kita" akan segera diterbitkan, yang akan memuat banyak artikel menarik tentang sastra Indonesia, penerbit, percetakan, serta ulasan dan berita tentang tipografi, dan sebagainya. Pada pembukaan Pekan Buku, Gunung Agung juga menerbitkan sebuah buku yang sangat menarik, yang antara lain memuat daftar panjang penjual buku, percetakan, dan penerbit, serta penulis-penulis terkemuka (dengan ilustrasi) dan karya-karya mereka. karena catatan sistematis tentang buku-buku Indonesia seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Saat ini diperkirakan terdapat 2.000 penjual buku, 500 penerbit, dan 700 percetakan di Indonesia. Pameran ini dibuka setiap hari mulai pukul 08.30 hingga 12.30 dan pukul 17.00 hingga 22.00.
Pekan Buku Indonesia dibuka pada Minggu tanggal 8
September dan dijadwalkan berakhir tanggal 15 (lihat Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-09-1954). Presiden Soekarno juga
sempat berkunjung ke Pameran Buku Indonesia pada hari Selasa (14-09-1954). Meski
tempatnya begitu dekat dari istana (di Decapark—kini lapangan bagian utara Monas),
tentu saja sulit bagi presiden membagi waktu. Hal itulah baru dapat dilakukan
sehari sebelum penutupan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-09-1954: ‘Presiden bertanya tentang karya-karya Tan Malaka. "Kirimkan saya karya-karya Tan Malaka lainnya", kata Presiden Soekarno kepada panitia Pekan Buku Indonesia saat berkunjung pada hari Selasa ke pameran buku yang diselenggarakan di Gedung Pertemuan Umum di bawah naungan NV Gunung Agung. Sebelumnya, Presiden telah memesan "Madilog" (Materialisme, Dialektika, dan Logika) dari Tan Malaka. Kunjungan tersebut berlangsung sekitar pukul 11. Presiden, yang menunjukkan minat yang besar, menghabiskan lebih dari satu setengah jam di pameran tersebut. Foto: Kepala negara sedang diajak berkeliling. (Foto: Ipphos).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar