Senin, 27 April 2020

Sejarah Bogor (33): Sejarah Kampong Batu Tulis, Batu Bertulis di Buitenzorg; Kampong Batu Tumbuh di Land Tjilintjing, Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Batutulis, nama keluruhan di kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor memang kini berada di pinggir Kota Bogor, tetapi tempo doeloe justru berada di cenrum peradaban (kerajaan Pakwan-Padjadjaran). Ibarat Tugu Kujang pada masa ini, tempo doeloe di Kerajaan Pakwan-Padjadjaran terdapat tugu bertulis di tengah kota. Tugu ini kemudian disebut penduduk sebagai Batoetoelis (yang menjadi asal-usul nama kelurahan Batutulis). Kampong Batoetoelis, bukan hanya sekadar tentang batu bertulis, tetapi lebih dari itu.

Batu Tulis di Bogor, Batu Tumbuh di Jakarta
Di tempat lain juga terdapat nama kampong Batoetoemboeh, cikal bakal nama keluruhan Tugu di kecamatan Koja, Jakarta Utara. Jika batu tulis di Buitenzorg (Bogor Selatan) diduga ditulis pada era kerajaan Pakwan-Padjadjaran, batu tulis di Batavia (Jakarta Utara) diduga ditulis pada era kerajaan Taroemanagara. Dalam hal ini Kerajaan Taroemanagara adalah kerajaan pertama, Kerajaan Pakwan-Padjadjaran adalah kerajaan terakhir di Jawa Barat (Tanah Sunda). Apakah ada persamaan kampong Batoetoemboeh dengan kampong Batoetoelis?

Lantas apakah sejarah Kampong Batoe Toelis pernah ditulis? Tampaknya hanya ditulis sejarah tentang batu bertulis di Batoe Toelis. Tidak ada yang pernah menulis sejarah kampong dan penduduk Batoe Toelis. Apakah karena kampong Batoe Toelis (kini Kelurahan Batutulis) berada di pinggir kota lalu sejarahnya terpinggirkan? Entahlah. Sejarah Batoe Toelis sejatinya adalah bagian terpenting dari Sejarah Kota Bogor yang sekarang. Untuk menambah pengetahuan, dan menambah wawasan nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 26 April 2020

Sejarah Bogor (32): Sejarah Cisarua dan Pembangunan Jalan Puncak Pas; Abraham van Riebeeck dan Johannes van den Bosch


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
 

Sejarah Cisarua sejatinya sudah tua. Sejarah paling tua di daerah Puncak yang sekarang. Kampong Tjisaroea tempo doeloe adalah kampong tertinggi di lereng gunung Pangrango. Tentu saja titik puncak Pas belum dikenal. Untuk menuju Tjiandjoer dari Tjisaroea masih menyusuri sisi timur melalui Tjipamingkis. Saat itu banyak jalan menuju Tjiandjoer. Jalan utama ke Tjiandjoer melalui Bantar Gebang (muara sungai Tjilengsi) dan Tjibaroesa atau dari Karawang dan Tandjoengpoera (muara sungai Tjibeet) terus ke Tjibaroesa dan Tjipamingkis.

Kampong Tjisaroea (Peta 1703) dan Rute jalan pos Daendels (1810)
Ada satu orang Gubernur Jenderal VOC yang lahir di Hindia yaitu Willem van Outhoorn. Semuanya Gubernur Jenderal VOC adalah kelahiran Eropa/Belanda, kecuali Willem van Outhoorn. Lahir di Larike, Leihitu, Amboina, Maluku pada bulan Mei 1635. Willem van Outhoorn menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1690. Sebagai anak Indo (lahir di Hindia) keinginannya sangat kuat untuk bekerjasama dengan para pemimpin lokal di wilayah pedalaman Batavia. Oleh karena itu van Outhoorn mengirim direktur Abraham van Riebeeck untuk mengenal lebih dekat wilayah-wilayah di hulu sungai Tjiliwong. Inisiatif van Outhoorn ini didukung oleh Joan van Hoorn yang telah membuka lahan di timur Batavia (daerah Pasar Baru yang sekarang). Tiga orang yang senang berkebun ini adalah perintis pertanian di hulu sungai Tjiliwong dan Priangan (Preanger). Gubernur Jenderal VOC Willem van Outhoorn yang berakhir tahun 1704 digantikan oleh Joan van Hoorn (1704-1709) dan kemudian dilanjutkan oleh Abraham van Riebeeck 1709-1711. Pada era tiga Gubernur Jenderal VOC inilah nama (kampong) Tjisaroea melambung tinggi.

Lantas apa hebatnya Sejarah Cisarua? Yang jelas nama Tjisaroea yang pertama dikenal di daerah Puncak yang sekarang. Kampong Tjisaroea adalah titik terpenting yang menjadi awal dibukanya perkebunan dan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di lereng gunung Pangrango. Untuk mengenal lebih jauh dan menambah pengetahuan tentang Sejarah Cisarua, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 25 April 2020

Sejarah Bogor (31): Sejarah Ciawi, dari Bogor, Cianjur, Sukabumi ke Ciawi; Jalan Tol Jagorawi dan Universitas Djuanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada sejarah Ciawi Bogor? Ada dong. Namun sangat disayangkan tidak terinformasikan. Jika kita search ‘sejarah Ciawi’ di google tak satu pun situs yang muncul yang mendeskripsikan sejarah Ciawi. Itulah nasib Sejarah Ciawi yang tidak dicatat oleh jaman baru. Sejarah Ciawi masa lampau tenggelam di sungai Tjiawi.

Ciawi (Peta 1901) dan Gadok (1865)
Ciawi Bogor hanya ‘tersinggung sedikit’ yang dihubungkan dengan pembangunan jalan tol Jakarta-Bogor dan Ciawi (JaGorAwi) yang dimulai tahun 1973. Ciawi Bogor sedikit tersungging dengan pendirikan universita UNIDA (Universitas Djuanda) di ujung jalan tol di Ciawi. Lalu, apa lagi? Tidak ada lagi. Ciawi hanya muncul teriakan sesaat ketika bis dari Bogor ke Cianjur atau Sukabumi melewati Ciawi atau bis dari Jakarta lewat tol ke Bandung atau Sukabumi. Ciawi hanya dianggap perlintasan. Lalu apakah karena itu Sejarah Ciawi hanya ditulis selintas saja? Entahlah!

Sudah waktunya kita menggali data Sejarah Ciawi yang berada di dasar sungai Tjiawi. Jika perhatikan data-data tersebut, Sejarah Ciawi ternyata sangat luar biasa. Sebagai penanda navigasi Sejarah Ciawi tempo doeloe berangkat dari Buitenzorg (Bogor) ke Tjiandjoer. Dalam perkembangannya terbuka jalur dari Tjiandjoer ke Soekaboemi. Pihak Soekabomilah yang kemudian meminta dihubungkan dengan Tjiawi agar menjadi lebih dekat dengan Buitenzorg (menjauh dari Tjiandjoer). Sejak itu Tjiawi sebagai interchange menjadi sangat penting. Sejarah baru Tjiawi dimulai. Nah, untuk menengok bagaimana Sejarah Ciawi berlangsung, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bogor (30): Sejarah Kedung Badak dan Cilebut, Batas Gemeente Buitenzorg; Riwayat Tanah Partikelir Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Kedung Badak dan sejarah Cilebut bukanlah baru. Dua nama tempat ini memiliki sejarah yang sudah tua di Bogor. Sejak era VOC dua nama tempat yang bertetangga sudah dikenal luas. Pada era Pemerintah Hindia Belanda dua nama tempat ini dipisahkan. Kedong Badak dimasukkan ke dalam kota, sementara Tjileboet berada di luar kota tetap sebagai tanah partikelir (land). Pembebasan land di Buitenzorg dimulai pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Namun kapan land Kedong Badak dan land Tjileboet dibebaskan masih perlu ditelusuri. Kini, area Kedong Badak menjadi metropolitan baru di Kota Bogor.

Lahan-lahan di hulu sungai Tjiliwong mulai dikapling-kapling menjadi tanah-tanah partikelir bermula ketika Abraham van Riebeeck tahun 1703 sepulang ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong diberi izin oleh Pemerintah VOC untuk mengelola lahan di Bodjongmanggis (kini Bojong Gede). Ketertarikan Abraham van Riebeeck membuka lahan karena land Bodjongmanggis memiliki tanah yang subur, lebih-lebih setelah Cornelis Chastelein membuka lahan baru di Depok. Sebelum Cornelis Chastelein memperluas lahannya di Serengseng ke Depok, Majoor Saint Martin sudah lebih dahulu mengakuisisi land Tjitajam (land terbaik di hulu sungai Tjiliwong). Majoor Saint Martin, Chastelein dan Abraham van Riebeeck adalah peminat botani yang terkenal. Pada tahun 1701Michiel Ram dan Cornelis Coops membuat peta baru di hulu sungai Tjiliwong. Nama-nama tempat yang diidentifikasi adalah kampong-kampong Babakan, Bantar Djati, Kampong Baroe, Kedong Dalam dan Kedong Waringin. Pada saat itu kampong Kedong Waringin tampaknya lebih terkenal dari kampong Kedong Badak.

Lantas apa hebatnya land Kedong Badak? Yang jelas di Kedong Badak ada jembatan utama yang menghubungkan Batavia dan Buitenzorg. Jembatan ini awalnya dirintis oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750). Jembatan ini kemudian direkonstruksi dengan jembatan beton pada era Pemerintah Hindia Belanda tahun 1818 (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818). Tentu saja biaya pembuatannnya mahal, karena itu kendaraan yang lewat dipungut tol. Jembatan tersebut kini dikenal sebagai jembatan Warung Jambu. Namun yang kini dipungut tol adalah jembatan (flyover) Kedung Badak. Antara jembatan tol masa lalu tersebut dengan jembatan flyover masa kini pada era pendudukan militer Jepang terdapat kamp interniran Eropa-Belanda. Lalu apa hubungannya land Kedong Badak dengan land Tjileboet? Jika warga Kedong Badak ingin naik kereta api harus ke stasion Tjileboet. Okelah, untuk lebih menambah pengetahuan, dan wawasan sejarah nasional di Bogor, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 22 April 2020

Sejarah Air Bangis (25): Alamsjah dan Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda di Air Bangis; Republiken Sejati di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disin

Siapa Alamsjah? Yang jelas bukan Sakti Alamsjah (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung yang pernah saya bertemu tahun 1981). Hampir semua orang tidak mengetahui siapa Alamsjah dan hanya sedikit yang mengenalnya. Alamsjah adalah anak seorang pemimpin berpengaruh di Air Bangis. Alamsjah merantau kali pertama melanjutkan studi sekolah budidaya (Cultuutschool) di Soekaboemi pada tahun 1914. Pada tahun yang sama Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan lulus sekolah menengah pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg.

Abdul Azis Nasution setelah lulus sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (Bukittinggi) tidak menjadi guru, tetapi melanjutkan studi ke sekolah pertanian (Landbouwschool) di Buitenzorg. Pada tahun 1913 Abdul Azis Nasution lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga (Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913). Sekolah yang lama kuliahnya tiga tahun ini, pada tahun 1913, namannya diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool). Abdul Aziz lulus pada tahun 1914. Ini berarti Abdul Azis Nasution adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian Bogor (Middelbare Landbouwschool). Pada tahun ini juga (1914), Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, anak Padang Sidempuan, pionir pribumi kuliah di luar negeri (tiba di Belanda, 1905) pulang ke tanah air dan untuk sementara ditempatkan di sekolah eropa di Buitenzorg (Bogor) sebelum menjadi kepala sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (tahun 1915). Besar kemungkinan Soetan Casajangan telah bersua dengan Abdul Azis Nasution dan Alamsjah. Jelang kepulangan Soetan Casajangan ke tanah air telah bersua dengan Sorip Tagor di Belanda. Sorip Tagor lulus sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) Buitenzorg tahun 1912 dan diangkat menjadi asisten dosen lalu pada tahun 1913 berangkat melanjutkan studi ke Belanda. Sorip Tagor adalah angkatan pertama Veeartsenschool yang dibuka pada tahun 1907. Sorip Tagor Harahap, kelahiran Padang Sidempoean adalah ompung dari Inez/Risty Tagor.

Sudah barang tentu Alamsjah dan Abdul Azis Nasution saling mengenal. Kampong mereka saling berdekatan. Alamsjah lahir dan besar di Air Bangis sedangkan Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan lahir dan besar di Moeara Kiawai (kota dimana muara sungai Batang Kiawai bermuara di sungai Batang Kanaikan). Lantas siapa Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda? Seperti halnya Alamsjah, Toeankoe Radja Moeda juga kurang terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 21 April 2020

Sejarah Air Bangis (24): Orang Cina di Air Bangis, Air Mengalir Sampai Jauh; Orang Tionghoa Air Bangis Pindah ke Padang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disin

Apakah ada orang-orang Tionghoa di Air Bangis? Ada, tetapi secara perlahan-lahan jumlahnya semakin menurun seiring dengan melemahnya perputaran ekonomi di Air Bangis. Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950) jumlahnya tidak banyak lagi dan hanya tinggal satu dua keluarga di kota Air Bangis. Berita yang ada adalah pasukan John Lie Tjeng Tjoan yang merapat di pelabuhan Air Bangis dalam rangka pembebasan Sumatra Barat dari PRRI. John Lie adalah Letnan Kolonel Laut, wakil komandan pembebasan PRRI di Sumatera Barat (di bawah komando Mayor Jenderal Ahmad Yani).

Peta 1904
Sejarah orang Tionghoa di Indonesia selalu menarik perhatian. Orang-orang Tionghoa cenderung tinggal di perkotaan. Mengapa menjadi perhatian, karena orang Tionghoa mudah dibedakan dengan yang lainnya sejak era VOC. Mereka bertempatkan tinggal di wilayah kampement tersendiri. Orang-orang Tionghoa (baca: Chines) pada era Pemerintah Hindia Belanda ke Sumatra termasuk pantai barat Sumatra menyebar (migrasi) dari Singapoera dan Penang. Jumlah orang China di pantai barat Sumatra semakin banyak seiring dengan semakin berkembangya perkebunan di Sumatra Timur (sejak 1870). Orang-orang China yang telah lama menetap di Batavia juga secara perlahan-lahan banyak yang merantau ke pantai barat Sumatra (termasuk di Air Bangis).

Lantas sejak kapan orang-orang Cina di Air Bangis? Satu yang pasti mereka ikut ambil bagian dalam perdagangan. Jumlahnya mulai bertambah seiring dengan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Air Bangis. Mereka awalnya adalah pedagang biasa, namun karena keuletan dalam menekuni bisnis banyak yang berhasil dan menjadi pengusaha besar. Lalu bagaimana perkembangan? Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.