Kamis, 07 Januari 2021

Sejarah Banten (4): Mengapa Disebut Selat Sunda, Antara Sumatra dan Jawa? Nama Selat Balambangan Jadi Nama Selat Bali

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Kapan selat Sunda disebut? Yang jelas nama Selat Sunda tidak pernah berubah, suatu selat (jalur navigasi pelayaran) yang memisahkan pulau Sumatra dan pulau Jawa. Seperti selat Malaka dan selat Karimata, selat Sunda adalah pintu masuk jalur navigasi pelayaran utama menuju Laut Jawa (pertemuan pulau Sumatra, pulau Jawa dan pulau Borneo). Seputar Laut Jawa adalah lalu lintas perdagangan yang intens sejak zaman kuno.

Penamaan geografis sejak zaman kuno, terutama nama pulau, nama gunung, nama sungai dan nama selat) adalah penanda navigasi dalam pelayaran perdagangan antar bangsa. Penulis-penulis geografi dan pembuat peta di Eropa sangat berkepentingan derngan nama-nama geografis tersebut untuk dibukukan (sebagai bagian dari ilmu pengetahuan). Nama-nama para penjelah saat permulaan pemetaan (dunia) menjadi penting, sepenting nama-nama geografis yang ditemukannya. Jika belum ada nama (lokalnya), nama-nama para penemu ini oleh para ahli (geografi dan peta) ditabalkan namanya, seperti pulau Tasman. Nama-nama geografis di Sumatra, Jawa dan Borneo umumnya sudah tua (sebelum kehadiran orang Eropa) dan banyak yang merujuk pada nama-nama (berasal) dari India, seperti Malaya yang merujuk pada nama gunung Himalaya yang kemudian orang-orang Moor menyebutnya Malaka (dan orang Portugis menyebutnya Malacca). Orang Moor beragama Islam berasal dari Afrika Utara sebagai pendahulu (predecessor) orang-orang Portugis di nusantara.

Lantas mengapa jalur navigasi antara pulau Sumatra dan pulau Jawa (selat) disebut Sunda? Mengapa bukan Selat Sumatra atau Selat Jawa? Tentu saja tidak Selat Banten, karena Banten sendiri belum eksis. Lalu mengapa jalur navigasi antara pulau Sumatra dan pulau Jawa (selat) disebut Sunda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Banten (3): Kesultanan Banten Berbahasa Melayu; Lingua Franca, Antara Madagaskar - Ternate dan Luzon - Maori

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Bahasa apa yang digunakan di Kesultanan Banten, jelas bukan bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Di (kerajaan) Demak digunakan bahasa Melayu, demikian juga di Kesulatan Banten. Mengapa? Bukan karena bahasa yang digunakan di Malaka dan Atjeh adalah bahasa Melayu. Namun karena hanya satu alasan, bahwa lingua franca saat itu sudah sejak lama digunakan bahasa Melayu sebagai bahasa dalam navigasi pelayaran.

Pada era Portugis, di kota pelabuhan (kesultanan) Banten sudah sangat banyak orang Cina berdiam maupun orang Bengalen dan Guzarat. Mendes Pinto pada tahun 1547 yang dapat dibaca di dalam bukunya, mereka yang beraga bangsa ke Cina, Zunda, Demak dan Banten mengindikasikan bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Mendes Pinto kali pertama ke Malaka pada tahun 1539. Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru di daerah aliran sungai Baroemoen (kini Padang Lawa, Tapanuli) menyebut kerajaan ini memiliki 15.000 tentara, selain orang Batak, sebanyak tujuh ribu orang didatangkan dari Indragiri, Djambi, Borneo (Kelimantan) dan Luzon (Filipina). Pasukan kerajaan Aru ini diperkuat oleh orang-orang Moor (beragama Islam dari Afrika Utara). Pada pelayaran Belanda yang pertama yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597) selama enam bulan berdiam di Madagaskan yang mana Frederik de Houtman berkesepatan belajar dan menyusun kamus bahasa Melayu sebelum melanjutkan pelayaran ke Hindia Timur (dan berlabuh di Banten). Bagaimana bahasa Melayu sampai di Madagaskar diduga sudah sejak lama komunitas orang Hindia Timur (berbahasa Melayu) yang dibawa orang-orang Portugis.

Bahasa Melayu sebagai lingua franca, posisi geografis kota pelabuhan (kesultanan) Banten yang berada di pantai (terbuka) menjadi faktor penting mengapa bahasa Melayu yang digunakan di Banten. Tentu saja setiap komunitas di kota pelabuhan Banten menggunakan bahasanya sendiri dalam interaksi sesama. Namun sebagai bahasa internasional (lingua franca) adalah bahaa Melayu. Dalam hal ini bahasa Melayu (lingua franca) adalah satu hal. Bagaimana terbentuknya bahasa Banten, bahasa Betawi dan bahasa Cirebon hal lain lagi. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan, Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 06 Januari 2021

Sejarah Banten (2): Pelayaran Pertama Kali Belanda di Hindia Timur Tiba di Banten (1596); Cornelis dan Frederik de Houtman

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Portugis (yang disusul Spanyol) sudah satu abad di Hindia Timur (baca: nusantara, Indonesia). Seperti jauh sebelunya, orang-orang Portugis mengikuti jejak orang-orang Moor. Lalu orang-orang Belanda (yang disusul Inggris) mengikuti jejak orang-orang Portugis dan Spanyol. Kedatangan orang-orang Belanda, berbeda situasi dan kondisinya ketika awal kedatangan orang Portugis. Ada perbedaan waktu satu abad. Pelayaran Belanda pertama (sejak 1595 dari Texel) sudah berada pada level teknologi pelayaran yang lebih tinggi dan (sistem) manajemen yang lebih terorganisir.

Pelayaran pertama Belanda ini dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Laporan perjalanan pelayaran pertama ini telah dibukukan yang diberi judul ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent’. Jurnal ini diterbitkan pada tahun 1598 yang didalamnya berisi sepenuhnya catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249 orang. Di dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta yang telah diupdate dari peta-peta Spanyol seperti peta pulau Sumatra dan pulau Jawa. Setelah sempat singgah selama enam bulan di pulau Madagaskan, dimana Frederik de Houtman menyusun kamus bahasa Melayu, akhirnya mereka menemukan jalan hingga pulau Enggano dan kemudian menuju kota (pelabuhan) Banten. Mereka kurang diterima di Banten, setelah mampir di beberapa tempat seperti Jacatra dan Japara, mereka berbalik di pulau Lombok dan merapat di pantai timur Bali (Padang Baai) pada tanggal 21 Februari 1596. Sebelum kembali ke Belanda via selatan Jawa dan Afrika Selatan, Cornelis de Houtman meninggal dua pedagang Belanda di Bali. Frederik de Houtman adalah adik Cornelis de Houtman yang bertindak sebagai ahli bahasa (Melayu).

Lantas bagaimana kontak orang-orang Belanda ini di Banten? Tentu saja sudah ada yang menulis sejarahnya. Namun bagaimana situasi dan kondisi di kota (pelabuhan) Banten tampaknya kurang terperhatikan oleh penulis-penulis sejarah. Padahal situasi dan kondisi di pelabuhan Banten adalah gambaran awal tentang sejarah Banten sendiri. Okelah kalau begitu. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Karena itu kita mulai dari permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Banten (1): Sejarah Awal Banten, Sejarah Masa Kini Riwayat Tempo Doeloe; Pelabuhan Besar Pantai Utara Jawa (Barat)

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Setelah mempelajari Sejarah Aceh, kini giliran Sejarah Banten dipelajari. Pada masa lampau terutama pada era Portugis nama Atjeh dan nama Banten begitu penting seperti halnya Malaka. Pada era ini di ufuk timur nama-nama Ternate, Tidore, Amboina dan Banda sangat bersinar sebagai sentra utama rempah-rempah. Nama Banten mulai meredup pada paruh kedua abad pertama era VOC, Meski demikian, sejarah Banten tetap berlangsung, bahkan hingga ini hari. Keseluruhan era yang akan dipelajari Sejarah Banten.

Serial artikel Sejarah Banten adalah bagian tidak terpisahkan Sejarah Menjadi Indonesia. Nama besar Banten tercatat dalam tinta emas dalam narasi sejarah dunia. Oleh karena itu, seperti Sejarah Atjeh, dalam hal ini Sejarah Banten akan ditinjau dari berbagai aspek dari semua era: era Hindoe, era Islam, era Eropa, dan era Idonesia sendiri. Dalam blog ini selain serial artikel Sejarah Aceh, juga telah disajikan serial artikel Sejarah Jakarta, Sejarah Depok Sejarah Tangerang Sejarah Bekasi Sejarah Bogor, Sejarah Sukabumi dan Sejarah Bandung. Dalam blog ini juga sudah disajikan sejarah Semarang (Jawa Tengah), Sejarah Yogyakarta dan Sejarah Surabaya (Jawa Timur), Sejarah Bali, Sejarah Lombok, Sejarah Ambon (Maluku bagian selatan), Sejarah Makassar (Sulawesi bagian selatan) dan Sejarah Manado (Sulawesi bagian selatan). Tentu saja sejarah di wilayah-wilayah pulau Kalimantan dan pulau Sumatra plus Semenanjung Malaya. Sebelum mengakhiri serial sejarah wilayah sebelum mengerucut pada Serial Artikel Sejarah Menjadi Indonesia, setelah serial artikel Sejarah Banten ini akan ditinjau Sejarah Timor, Sejarah Ternate dan Sejarah Papua plus Sejarah Australia.

Lantas mengapa serial artikel Sejarah Banten dibuat? Tentu saja bukan semata-mata karena nama besar Banten tetapi karena dimaksudkan untuk menyusun Sejarah Menjadi Indonesia. Lalu mengapa harus ditulis kembali padahal sejarah Banten sudah ditulis? Hanya semata-mata untuk memperkaya pemahaman. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, sejarah adalah narasi fakta dan data. Itu berarti sejauh ditemukan data baru, penulisan narasi sejarah tidak pernah berhenti. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan, maka dalam serial Sejarah Banten ini kita mulai dengan artikel pertama tentang asal-usul Banten. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 05 Januari 2021

Sejarah Aceh (44): Anthonius Philippus van Aken, Gubernur Provinsi Aceh; Berwasiat Minta Dikubur di Kota Radja, Mengapa?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini

Tidak semua orang Belanda ‘menjahati’, ada juga yang humanis. Tidak semua orang Indonesia baik, ada juga yang jahat. Indonesia. Orang Belanda yang humanis banyak yang membela pribumi di era kolonial. Mereka ini tidak jarang dimusuhi oleh rekan sebangsanya. Yang jelas orang Belanda di Belanda umumnya lebih baik daripada orang Belanda di Hindia Belanda. Mengapa?

Kita tidak sedang membicarakan orang Belanda yang brutal, rasis dan pasis. Pada era kolonial Belanda, banyak pejabat Belanda yang mendengar keluh kesah penduduk. Banyak yang memberi jalan keluar untuk mengatasai permasalahan. Banyak orang Belanda yang menikah dengan pribumi bahkan berperilaku lebih baik dari orang pribumi, Banyak orang Belanda yang pejabat maupun pendidik dan ilmuwan yang bersedia tulus membimbing individu atau keluarga untuk meraih kemajuan, bahkan hingga mendapat kesempatan studi di Belanda. Banyak orang Belanda yang tidak bersedia kembali ke negeri Belanda dan ingin menetap di bumi Indonesia.

Seorang pejabat tinggi di era Pemerintah Hindia Belanda, pernah menjadi Gubernur Provinsi Aceh, Anthonius Philippus van Aken ketika meninggal di Batavia, di dalam wasiatnya ingin dikubur di Atjeh. Lho, koq! Pada era VOC seorang mantan pejabat tinggi yang kaya raya di dalam wasitnya ingin memberikan hartanya kepada para budaknya daripada anaknya sendiri. Mengapa? Itulah anomali dalam cara berpikir orang Belanda. Lantas mengapa Anthonius Philippus van Aken berwasiat dikubur di Aceh? Suatu misteri. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.