Rabu, 06 Januari 2021

Sejarah Banten (2): Pelayaran Pertama Kali Belanda di Hindia Timur Tiba di Banten (1596); Cornelis dan Frederik de Houtman

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Portugis (yang disusul Spanyol) sudah satu abad di Hindia Timur (baca: nusantara, Indonesia). Seperti jauh sebelunya, orang-orang Portugis mengikuti jejak orang-orang Moor. Lalu orang-orang Belanda (yang disusul Inggris) mengikuti jejak orang-orang Portugis dan Spanyol. Kedatangan orang-orang Belanda, berbeda situasi dan kondisinya ketika awal kedatangan orang Portugis. Ada perbedaan waktu satu abad. Pelayaran Belanda pertama (sejak 1595 dari Texel) sudah berada pada level teknologi pelayaran yang lebih tinggi dan (sistem) manajemen yang lebih terorganisir.

Pelayaran pertama Belanda ini dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Laporan perjalanan pelayaran pertama ini telah dibukukan yang diberi judul ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent’. Jurnal ini diterbitkan pada tahun 1598 yang didalamnya berisi sepenuhnya catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249 orang. Di dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta yang telah diupdate dari peta-peta Spanyol seperti peta pulau Sumatra dan pulau Jawa. Setelah sempat singgah selama enam bulan di pulau Madagaskan, dimana Frederik de Houtman menyusun kamus bahasa Melayu, akhirnya mereka menemukan jalan hingga pulau Enggano dan kemudian menuju kota (pelabuhan) Banten. Mereka kurang diterima di Banten, setelah mampir di beberapa tempat seperti Jacatra dan Japara, mereka berbalik di pulau Lombok dan merapat di pantai timur Bali (Padang Baai) pada tanggal 21 Februari 1596. Sebelum kembali ke Belanda via selatan Jawa dan Afrika Selatan, Cornelis de Houtman meninggal dua pedagang Belanda di Bali. Frederik de Houtman adalah adik Cornelis de Houtman yang bertindak sebagai ahli bahasa (Melayu).

Lantas bagaimana kontak orang-orang Belanda ini di Banten? Tentu saja sudah ada yang menulis sejarahnya. Namun bagaimana situasi dan kondisi di kota (pelabuhan) Banten tampaknya kurang terperhatikan oleh penulis-penulis sejarah. Padahal situasi dan kondisi di pelabuhan Banten adalah gambaran awal tentang sejarah Banten sendiri. Okelah kalau begitu. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Karena itu kita mulai dari permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pelabuhan Banten: Kesultanan Banten

Kota Banten yang sekarang, tempo doeloe posisinya tidak berubah hingga sekarang. Kota Banten berpusat di benteng dan kraton Surosowan (masih bisa diidentifikasi hingga ini hari). Namun posisi relatifnya telah berubah, pada masa ini seakan jauh dari pantai, padahal tempo doeloe, ketika tiga kapal dalam pelayaran pertama Belanda berlabuh di teluk Banten (1596) posisi kraton (diduga Surosowan) berada di pantai (dekat ke laut).

Dalam Peta 1596 kedalaman laut di teluk (Banten) bervariasi dari satu meter (di bibir pantai) hingga sembilan meter. Perahu-perahu pribumi bisa merapat sampai bibir pantai. Akan tetapi tiga kapal Belanda (yang sangat besar) hanya bisa buang jangkar di kedalaman tiga meter atau lebih. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam Peta 1596 ini diidentifikasi pulau yang bernama Pulau Dua (karena terdiri dari dua pulau). Sejajar dengan garis pantai Pulau Dua ini adalah lima pulau yang tidak bernama. Nah, sekarang kita identifikasi situasi dan kondisi di teluk pada peta satelit masa kini. Posisi Pulau Dua tidak lagi di tengah laut, tetapi sudah menyatu dengan daratan (pantai). Pulau-pulau yang tidak bernama tempo doeloe, pada masa ini dikenal sebagai Pulau Lima, Pulau Kambing dan Pulau Kubur.

Adanya proses sedimentasi jangka panjang di teluk (Banten), posisi bibir pantai telah bergeser ke tengah laut sehubungan dengan terbentuknya daratan. Proses serupa ini sangat lazim di pantai-pantai dangkal apalagi di teluk. Proses sedimentasi ini karena sungai membawa lupur dan sampah (seperti batang pohon dan daunan) seiring dengan meningkatnya aktivitas penduduk dalam proses produksi (perdagangan seperti perkebunan lada).

Pulau Sumatra, Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan bentuknya tempoe dioeloe berbeda dengan yang sekarang. Pulau Sumatra tempo doeloe lebih ramping yang mana pusat peradaban berada di sekitar bukit Barisan di pedalaman dekat dengan danau-danau ulai dari utara hingga selatan (danai Laut Tawar, danau Toba, danau Siais, dana Maninjau, danau Singkarak, danau Kerinci dan danau Ranau). Kota-kota seperti Palembang dan Jambi tempo doeloe berada di pantai. Pulau Jawa juga telah mengakami pembekakan di pantai utara. Semisall kota Teluk Naga (Tangerang) yang sekarang tempo doeloe berada di pantai (suatu teluk). Seluruh kecamatan Teluk Naga yang sekarang pada era Portugis (awal VOC) masih berupa lautan (perairan). Demikian juga di pantai selatan, barat dan timur pulau Kalimantan telah menjadi daratan luas (lahan gambut yang sekarang). Hal serupa inilah yang terjadi di teluk Banten, berbeda tempo doeloe dengan yang sekarang.

Berdasarkan sketsa kota (Banten) yang dibuat oleh Cornelis Claesz berdasarkan laporan para pelaut dalam pelayaran pertama Belanda tersebut diidentifikasi jarak pagar kraton dengan pantai (pelabuhan) hanya sekitar empat bangunan. Pusat kota Banten (kraton) sendiri dibatasi oleh kanal-sungai di bagian luar dan pagar di bagian dalam. Kanal dan pagar menjadi semacam benteng pertahanan. Dalam hal ini kota Banten (yang berpusat di kraton dan masjid) begitu dekat dengan pantai (di dalam teluk).

Kesultanan Banten tipikal dengan kota-kota kerajaan yang lain yang berada di pantai atau kota kerajaan yang tidak jauh dari muara sungai. Area kesultanan Banten mirip dengan area kerajaan Gowa-Makassar, kerajaan Atjeh dan kerajaan Malaka. Kota-kota pelabuhan yang berada di muara sungai antara lain kota Zunda (kini Jakarta), Semarang, Soerabaja, Djohor dan Bandjarmasin serta Amboina, Ternate dan Tidore. Beberapa kota pelabuhan yang di zaman kuno berada di pantai, tetapi karena proses sedimentasi, tetapi menjadi seakan jauh ke pedalaman antara lain Martapura (Lampong), Palembang, Telainapura (Djambi), Indtraguri (sungai Kampar), Indrapoera (sungai Siak), Bengkalis (sungai Rokan), Pasai (sungai Djamboe Aer) dan Pedir (sungai Pidie) serta di pantai barat Sumatra Indrapoera, Pauh (sungai Batang Arau), Oedjoeng Gading (sungai Sikabao), Pasaman, Linggabajoe (sungai Batang-Natal), Sangkoenoer (sungai Batangtoroe), Baroes (sungai Baroes) dan Singkil (sungai Singkil).

Pada bagian luar (benteng) kraton Banten pada sketsa kedua kota (Banten) yang dibuat oleh Cornelis Claesz baik di sisi barat maupun sisi timur terdapat area untuk orang asing.Pusat perdagangan berada di sisi timur. Pasa sisi timur ini juga terdapat masjid. Di pusat perdagangan ini terdapat sejumlah pasar (seperti pasar lada, pasar ayam, pasar perhiasan) dan sejumlah kawasan tempat tinggal dan bisnis (gudang dan kantor). Dua area pemukiman yang diidentifikasinya namanya adalah area Bengalen dan Guzarat di dekar pantai dan pemukiman Cina agak jauh ke dalam. Pedagang-pedagang yang ada di pasar juga digambarkan ada perempuan.

Cornelis Claesz pemilik toko buku dan penerbit di Amsterdam yang menerbitkan log perlayaran pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Frederik de Houtman, saudara dari Cornelis de Houtman bertindak sebagai asli bahasa (Melayu), Cornelis Claesz mengupulkan berbagai catatan dari pelayaran tersebut termasuk peta (sketsa). Dalam pelayaran pertama ini saudara Cornelis Claesz bernama Jacob Claesz ikut dalam pelayaran yang mana Jacob Claesz (van Delf) bersama Emanuel Rodenburgh ditinggal di Bali ketika (dua kapal yang tersisa dari Cornelis de Houtman) kembali ke Belanda Februari 1597.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kesultanan Banten di Mata Orang Belanda: Era VOC

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar