Banyak sumber data untuk mengolah dan merekonstruksi sejarah kota-kota, termasuk sejarah Kota Padang. Yang paling umum digunakan adalah buku. Informasi dari buku menjadi terbatas karena data dan informasi telah mengalami reduksi (oleh penulisnya). Untuk mengatasi masalah tersebut surat kabar, majalah dan publikasi statistik sangat berguna. Secara khusus, data dan informasi yang bersumber dari surat kabar sangat jarang digunakan penulis-penulis Indonesia masa kini, padahal data surat kabar bagaikan data ‘real time’ yang mampu menyediakan informasi dalam memahami perubahan setiap tahapan waktu.
Lukisan tertua Kota Padang (1846) |
Penulis-penulis Indonesia, lebih mengandalkan buku-buku,
padahal buku-buku yang ditulis adalah kompilasi dari surat kabar, majalah dan
statistik berkala. Uniknya, para penulis menganggap bahwa semakin langka sebuah
buku (sulit diakses) maka semakin dikultuskan. Oleh karena hanya dia yang
memiliki buku tersebut, maka dia merasa sebagai pionir. Padahal buku itu
sendiri telah mengalami reduksi terhadap suatu peristiwa atau suatu momen yang
sesungguhnyanya. Solusi terbaik adalah mengkombinasikan semua sumber agar
mendapat gambaran yang utuh.
Sumber data lainnya yang bisa dimaksimumkan
adalah lukisan, sketsa, peta dan foto. Sumber data lukisan atau foto dapat
memberikan gambaran vertical (visual) masa lalu yang lebih kompak, sedangkan
sketsa atau peta dapat memberikan gambaran horizontal tentang spasial yang
lebih luas. Kedua sumber ini dapat saling melengkapi. Baik foto/lukisan atau
peta/sketsa jika masing-masing diurutkan sesuai waktu akan menyediakan ‘data
panel’ yang dapat menghasilkan informasi yang maksimum (akurat dan lengkap). Time series data
(verbatim, visual dan metric) adalah syarat perlu dalam penulisan sejarah.
Namun itu tidak cukup dan harus didukung ruang spasial. Dengan demikian, untuk
memahami suatu peristiwa atau momen semakin teruji.
Oleh karenanya, untuk mengolah Sejarah Kota Padang, tidak hanya cukup
data dan informasi dari buku. Kita harus memaksimumkan penggunaan data dan
informasi yang bersumber dari surat kabar dan majalah. Tentu saja itu tidak
cukup, peta (sketsa) dan foto (lukisan) akan membuat data dan informasi menjadi
lebih kompak. Sejarah kota yang berbasis data dan informasi yang kompak akan
menyajikan sejarah yang sebenarnya.
Namun perlu disadari sumber sejarah yang kita
gunakan, seperti non verbatim (sketsa, lukisan, peta dan foto) adakalanya tidak
akurat dalam menyajikan informasi waktu. Untuk meningkatkan validitas setiap
sumber tetap harus diverifikasi. Untuk proses validasi ‘data panel’ ruang dan
waktu dapat membantu. Hal lain yang perlu disadari setiap kejadian tidak berdiri
sendiri, setiap kejadian selalu memiliki referensi (ruang dan waktu). Mengutamakan
dimensi ruang dan waktu dalam menyiapkan data akan menghasilkan interpretasi
yang baik, sebaliknya mengabaikannya akan memunculkan cara pandang
eksklusivitas (ego). Cara kerja yang tak lazim ini (tidak proporsional) kerap muncul
dalam penulisan sejarah di Indonesia: menggelembungkan yang satu dan
mengerdilkan yang lain. Akibatnya hasil-hasil penulisan sejarah tidak
jarang muncul kontroversi.
Dalam penulisan sejarah, pada penemuan data seringkali
muncul euphoria eureka! dan lupa memverifikasi. Akan tetapi sulitnya, ketika
ditemukan data baru sulit mengubah interpretasi yang sudah ada. Ini juga tidak
lazim, tapi itulah adanya. Kemauan mengoreksi sangat dikedepankan.
Gambar Pertama Kota Padang
Foto tertua Kota Padang (1867) |
Gambar tertua tentang Kota Padang tidak akan
ditemukan dalam bentuk foto. Karena teknologi fotografi belum ada. Sebuah
lukisan Kota Padang (diduga) dibuat pertama kali oleh JHW. le Clercq pada
tanggal 1 Juni 1846. Lukisan de Clercq ini meski dibuat sederhana tetapi cukup
berhasil untuk memberikan perspektif suatu momen pada masa lampau dimana dia
melukis berada di muara sungai Batang Arau. Bandingkan dengan foto yang dibuat
oleh Woodbury & Page pada tahun 1867.
JHW. le Clercq yang ditampilkan hanya memberikan
informasi sedikit dan hanya terbatas pada lukisan itu. Akan tetapi jika kita
urutkan semua lukisan le Clercq akan kita temukan suatu penggalan-penggalan waktu
perjalanan ekspedisi yang panjang yang dilakukannya yang menunjukkan dia berada
dimana. Lukisan le Clercq di atas
(bertanggal 1 Juni 1846) menunjukkan dia berada di Kota Padang.
Lukisan tertua Kota Padang Sidempuan (1846) |
Pada pertengahan bulan Juni ditemukan lukisan
le Clercq bertanggal 14 Juni 1846 di Solok. Lalu beberapa hari berikutnya ditemukan
lukisan di Agam dan kemudian di Loeander (1846-07-01) dan selanjutnya secara
berturut-turut di Pinyonge (1846-07-04), Siaboe (9 July 1846), Padang
Sidempoean (1846-07-11), Loeboek Raja (1846-07-14) dan Batang Toroe (17 Juli
1846). Rangkaian lukisan ini seakan garis kontinu antara Kota Padang dan
Sibolga melalui Solok, Fort de Kock, Padang Sidempoean.
Lalu saya teringat ketika menulis Sejarah
Padang Sidempuan dan saya telah menemukan sebuah artikel yang dimuat dalam Algemeen
Handelsblad edisi 09-12-1847 dan saya kombinasikan dengan lukisan-lukisan yang
dibuat le Clercq tampanya ada keterkaitan. Artikel surat kabar tersebut adalah sebagai
berikut.
Algemeen Handelsblad, 09-12-1847 (surat pembaca, yang
ditulis pada bulan Agustus 1846, di Sidim Poewang di dataran tinggi Sumatera):
‘Saya tinggal di sebuah lembah di bagian lembah sungai Ankola... Rumahku, jika
anda tahu, telah dibangun, dan jendela telah dilengkapi dengan jendela kaca,
sangat menyenangkan, dan taman di sekitar rumah saya…Di sini di sekitar negara
Batta ini, rumah-rumah tidak begitu kuat dibuat, sebagai salah satu kebiasaan
mereka, beberapa diantaranya mewah (mungkin maksudnya rumah adat). Namun
kuda-kuda mereka cukup tersedia yang boleh dibilang dianggap untuk yang terbaik
dari Nusantara setelah Makassersche. Mereka berlari cepat dan bisa bertahan
lama…Pria naik kuda hanya di sini…Jika kamu membayangkan yang satu akan
menemukan di sini, seperti dengan setiap langkah kaki harus berhati-hati. Hal
ini berlaku sesedikit bahwa ular atau hewan liar pada dasarnya banyak ditemukan
di sini.berlimpah baik di sepanjang jalan atau di daerah penduduk, anda bertanggung jawab untuk selalu
hati-hati. Adakalanya bertemu harimau, orangutan, oliefanlen, dll, seseorang
harus menembus hutan ketika ia bepergian, mendaki gunung, ..oleh orang-orang
jarang melintasi wilayah ini sepanjang saya dalam dua tahun tinggal di tempat
ini, aku punya pengalaman, bagaimana aku kadang-kadang melakukan perjalanan
cukup jauh, di tengah jalan dapat melihat
satwa liar, seekor badak, orang oetan dan aku bahkan tidak perlu
menemukan mereka sampai jauh…Kita memiliki garnisun kecil disini, itu biasanya
sangat tenang (tidak ada gangguan keamanan). Jarang seseorang dari Padang atau
Tappanoelie (Sibolga) untuk mengunjungi kami, dan itu sudah beberapa bulan
sejak kami telah dikunjungi beberapa fisikawan di sini (geolog). Sebulan lalu,
yang di posting (pos) ini terkait dengan Jenderal von Gagern…Pada pertengahan
Juni (1846), ia telah ditemani Jenderal Michiels, gubernur militer Sumatra’s
Weskust... Anda bisa membayangkan betapa besar jumlah kami di sini dalam
kunjungan pejabat tinggi ini…untuk menyambut tamu kami…rumah dan Kasernen,
gebraiji ordo dan semuanya dipoles atau diperbaharui…Pada bulan Juli (1846)
kedua jenderal itu di sini (Padang Sidempuan),
dengan rombongan, empat asisten, tiga ambtenaren sipil, dan pegawai dan
operator, waarvar. Lebih dari dua ratus operator telah diperlukan untuk
membawa.pakkagie (perbekalan) yang dibawa melalui pegunungan dan lembah.
Kuda-kuda diberi makan hanya rumput, di sini setiap hari harus dipotong.
Sekarang, untuk memastikan agar kuda-kuda Lords terdapat seratus Melayu dalam
layanan harian. Satu kemudian membayangkan
yang sulit dimengerti dan banyaknya kerumunan di kami sehingga sangat
ramai di Sidimpoewang. Dari semua sisi yang kepala Batta, datang dengan
sejumlah pengikut, semua datang dengan di atas kuda, banyak peningkatan harian,
mereka untuk menyaksikan Pak Gubernur eerbewijzingen. Untuk menampung tamu
kami, secara substansial tidak mudah.Tentu saja, bagi dua jenderal, rumah yang
dipilih adalah rumah terbaik untuk mereka tinggal; ini adalah gouvernementsgebouw,
dan untuk ini kamar dan ruangan harus sangat rapi dan tersedia rak baru yang
luas. Gubernur, itu mendiami, harus mencari tempat yang aman; Aku, dan
tuan-tuan lain dari posting ini (yang berdiam di sini), memiliki yang terbaik
untuk meninggalkan penguasa sipil dan pembantu berperan besar. Dengan saya
tinggal Mr L. dan teman saya, R. Meskipun para jenderal telah berkunjung dan
selesai ke tempat di pelosok-pelosok di sini, namun mereka lebih dari empat hari mereka tinggal di
sini--dua kali dari yang direncanakan. Ini bukti bahwa hal itu menyenangkan
mereka dengan kami. Sekarang di sini adalah benar-benar lingkungan yang sangat
menyenangkan dan untuk menawarkan banyak variasi; dan udara yang kita hirup
dalam bergslreken ini, sangat sehat. Semuanya telah ditinjau di sini, bahkan
rumah sakit dan apotek kami dan tentang segala sesuatu memberi kesan bahwa
Jenderal von Gagern menyatakan kepuasannya…Kita yang berada jauh di sini kita
dinyatakan dalam pengasingan kami cukup sering menyerah, karena tidak ada orang
yang datang. Kini, semua Eropa Scheeren amble hamba dan petugas setiap
hari..setelah kepergian tamu yang tinggi, sebelum kita kembali ke kehidupan kita
yang tenang dan panjang hanya akan mengunjungi kami entah kapan lagi itu.
Rombongan meninggalkan kami menuju Tappanoelie (Sibolga), untuk selanjutnya
para jenderal di sepanjang pantai menuju ke Padang untuk kembali…Ini adalah
salah satu Fraaije dan komisi terhormat; menguntungkan yang sama karena salah
satu adjudannya mengatakan kepada saya bahwa secara umum mengeluarkan dana
sebesar f 4.000..Hujan di sini biasanya lebih berat, guntur dan petir ganas dan
lebih mengerikan daripada di Eropa dan kita semua di sini selalu sangat sehat,
bukti bahwa kita memiliki climaat yang sangat baik’…Jenderral von Gagern adalah
utusan Raja yang datang dari Negeri Belanda, seorang tentara professional
pensiunan jenderal Jerman yang memberi advis ke Raja dari kunjungannya ke Hindia
Belanda’.
Ketika kini saya tengah menulis Sejarah Kota
Padang, yang mana saya menemukan lukisan tertua Kota Padang, ternyata
pelukisnya adalah JHW. le Clercq. Lalu saya menelusuri tanggal terdekat dari
lukisan Moearo, muara sungai Batang Arau dan saya menemukan lukisan-lukisan le
Clercq di Solok dan Agam dan Loeander. Garis waktu pembuatan lukisan le Clercq
ini ternyata bersesuaian dengan artikel yang pernah saya kutip beberapa tahun
yang lalu. Kesimpulannya: JHW. le Clercq telah menyertai perjalanan ekspedisi
Gubernur Michiels bersama Jenderal von Gagern dari Kota Padang ke Kota Padang
Sidempuan (selanjutnya ke Sibolga).
Sebelumnya, saya juga temukan lukisan-lukisan JHW. le
Clercq di Preanger ketika menulis Sejarah Bandoeng. Namun yang ingin saya
katakana, suatu rangkain lukisan juga dapat menjelaskan sutua peristiwa
(sejarah) antara satu tempat dengan tempat lainnya di dalam urutan waktu yang
sesuai (akurat).
Dengan menelusuri lukisan-lukisan dalam hal
ini sesungguhnya telah menjelaskan (sedikit) kaitan antara Kota Padang dan Kota
Padang Sidempuan. Lukisan-lukisan dengan artikel di surat kabar dalam hal ini
telah menjadi suatu kombinasi data (sejarah) yang kompak yang dari itu telah
menghasilkan informasi yang akurat dan lengkap. Demikianlah kontribusi lukisan
telah melangkapi informasi surat kabar dan sebaliknya informasi surat kabar
dapat melengkapi data dari lukisan-lukisan.
Foto Kota Padang (1867) |
Hal yang sama juga saya temukan lukisan-lukisan Junghuhn
dan Rosenberg yang pada tahun 1840 melakukan ekspedisi geologi/botani ke Tanah
Batak (termasuk Angkola/Padang Sidempuan) melalui Sibolga. Ketika saya menulis
Sejarah Bandoeng, saya juga menemukan lukisan-lukisan Junghuhn di Preanger yang
bertugas dalam eksplorasi geologi dan botani. Dengan memperhatikan relasi
lukisan-lukisan dan artikel di surat kabar mengenai Junghuhn di Tanah Batak
menjadi mudah dapat dipahami relasi-relasi tugas Junghunh dalam bidang geologi
dan botanis di Tanah Pasoendan.
Sementara itu, foto tertua Kota Padang yang
saya temukan adalah foto yang dibuat oleh Woodbury & Page. Foto pertama
Kota Padang adalah seputar muara sungai Batang Arau yakni Moearo tahun 1867.
Teknologi foto yang digunakan untuk merekam fakta (sejarah) di Hindia Belanda
(baca: Indonesia) baru terjadi pada 1850an. Woodbury & Page melakukan
aktivitas fotografi di Batavia 1860. Junghuhn sendiri di Preanger pada tahun 1858
sudah menggunakan teknologi foto (demikian juga JHW. le Clercq di kurun waktu
yang sama di Preanger).
Foto tertua Kota Padang Sidempuan (1870) |
Peta Pertama Kota Padang
Peta Kota Padang, 1879, 1889 dan 1903 |
Peta Residentie Tapanoeli, 1852 |
Sebelum adanya peta kota di Sumatra, sudah ada peta Pulau
Sumatra yang dipublikasikan dan Peta Sumatra’s Westkust pada tahun 1830. Peta
Sumatra;s Westkust diperbaiki dengan tingkat presisi yang lebih baik
dipublikasikan pada 1846. Peta ini diduga menjadi pedoman perjalanan ekspedisi
yang dilakukan Gubernur Michiels dari Padang ke Padang Sidempuan pada tahun
1846. Lalu kemudian pada tahun 1852 diterbitkan secara khusus peta Residentie
Tapanoeli (suatu peta yang paling diteail dan presisi yang lebih baik jika
dibandingkan peta-peta lain yang ada di Pulau Sumatra. Peta ini pada tahun terbit
telah digunakan seorang wisatawan Ida Pfeiffer ketika melakukan ekspedisi ke
Tanah Batak dari Kota Padang ke Kota Padang Sidempuan.
Peta Kota Padang Sidempuan (1880) |
Sementara itu, peta pertama Kota Padang
Sidempuan terbit pada tahun 1880. Tidak begitu jelas alasannya, mengapa peta
Kota Padang Sidempuan lebih dahulu dibuat oleh Topographisch Bureau di Batavia jika dibandingkan dengan peta Kota
Padang. Namun demikian, dugaan kuat karena di
Sumatra’s Westkust saat itu terdapat dua kota yang memiliki sekolah guru
(kweekschool) yakni di Kota Fort de Kock (Bukittinggi) dan di Kota Padang
Sidempuan.Alasan lainnya adalah Kota Padang Sidempuan akan menjadi ibukota Residentie Tapanoeli. Dan realisasi pemindahan ibukota Residentie Tapanoeli dari Sibolga ke Padang Sidempuan terjadi pada tahun 1885 (namun tidak lama, dipindahkan kembali ke Sibolga). Saat itu Sibolga baru terlihat sebagai ibukota pemerintahan, belum menjadi kota besar (pusat pemerintahan dan pusat perdagangan). Di Province Sumatra's Westkust pada saat itu, tiga kota besar adalah Padang, Fort de Kock dan Padang Sidempuan.
Peta Fort de Kock (1892) |
Pelukis dan Fotografer
Para pelukis dan fotografer secara tidak
langsung telah member kontribusi dalam pengetahuan. Para pelukis tentu saja
sudah ada sejak lama dan telah menjadi profesi. Para pelukis ini banyak yang
datang dengan sengaja ke Hindia Belanda (baca: Nusantara) untuk mengabadikan
setiap momen yang dianggap penting baginya untuk dijual. Karena hasil penjualan
itulah yang menutupi biaya-biaya yang mereka keluarkan selama melakukan
ekspedisi (petualangan) terutama ke wilayah-wilayah baru. Disamping itu juga,
terdapat pelukis-pelukis karena hobi yang dilakukan di luar kesibukan mereka
sebagai pejabat, pegawai atau pengusaha.
Para pelukis professional (yang kerap melakukan petualangan)
bahkan ke wilayah-wilayah terpencil (yang belum dimasuki oleh orang-orang
Eropa), hasil-hasil karya mereka banyak yang dibeli oleh pemerintah atau
ilmuwan (yang umumnya bekerja untuk pemerintah), untuk mengenal lebih awal
wilayah baru sebelum pemerintah dan militer Belanda melakukan invasi. Juga
pemerintah memafaatkan jasa mereka untuk mengabadikan setiap figur maupun
setiap peristiwa yang penting. Para pelukis ini umumnya membuat galeri di
tempat tinggalnya berada.
Para pelukis-pelukis yang datang ke Sumatra
umumnya telah melakukan kegiatan ekspedisi di Jawa. Interaksi mereka dengan
berbagai pihak di Jawa (utamanya di Batavia) memungkinkan mereka mendapat order
untuk melakukan tugas bersama dengan pemerintah (maupun ilmuwan) ke wilayah
baru. Junghuhn ketika memasuki wilayah Tapanoeli pada tahun 1840 ia didampingi
oleh pelukis professional Carl Benjamin Hermann von Rosenberg. Demikian, juga
ketika Gubernur Michiels melakukan ekspedisi pada tahun 1846 ke Padangsche
Bovenlanden dan Tapanoeli juga didampingi oleh pelukis professional JHW le
Clerq yang sejak 1845 melakukan petualangan di Lima Poeloh Kota.
Pelukis-pelukis lainnya adalah dari perusahaan Wilsen, F.C., Tresling & Co.
Dalam perkembangannya, setelah ditemukan
teknologi fotografi (alat perekam), kegiatan ekspedisi yang dulunya hanya
‘direkam’ oleh para pelukis, lalu bertambah lagi profesi baru yakni fotografer.
Mereka ini juga melakukan tugas-tugas yang sama dengan para pelukis. Para
fotografer ini memiliki pasar yang lebih luas karena alat yang mereka gunakan
lebih mungkin memproduksi lebih banyak dan menjualnya dengan lebih murah. Para fotografer tidak hanya bekerja untuk
situasi khusus tetapi juga untuk situasi sehari-hari untuk melakukan kegiatan
pengambilan foto bagi individu maupun keluarga. Usaha fotografi juga semakin
popular dan adakalanya mereka mendirikan studio foto di kota-kota tertentu.
Woodbury & Page adalah perusahaan fotografi yang berkantor
pusat di Batavia. Petugas jasa fotografi Woodbury & Page inilah yang
pertama kali mengabadikan view Moeara, origin dari Kota Padang. Woodbury &
Page juga mengabadikan hotel pertama di Kota Padang (Hotel Sumatra) pada tahun
1867. Fotografer lainnya yang datang ke Sumatra adalah JA Meessen. Beberapa
situs penting yang diabadikan Meessen adalah Lembah Anai (1867) dan juga Hotel
Sumatra. Fotografer lainnya adalah Haase & Co., WJ Olland. CD Veth, Arend
Ludolf van Hasselt, Lowenstam & Co dan AH Tuinenburg. Dari nama ini
tampaknya orang-orang Jerman cukup banyak yang melakukan kegiatan fotografi.
Peta Penemuan
Sumatra
Peta 1560 |
Peta
adalah pedoman navigasi. Belanda datang ke Nusantara berdasarkan peta sudah
sudah dikembangkan sebelumnya. Peta tahun-tahun terakhir adalah hasil kumulatif
kegiatan geografi dan kartografi yang dilakukan oleh para ahli berdasarkan
hasil ekspedisi atau hasil-hasil laporan individu yang dipertukarkan di Eropa
(Purtugis, Spanyol, Belanda, Inggris). Tim Cornelis de Houtman termasuk yang
memanfaatkan peta-peta itu.
Peta 1560 (zoom) |
Peta Sumatra
pertama masih disebut Taprobana. Peta tertua Sumatra (sebuat saja: Taprobana) tersebut
bisa ditelusuri yang dibuat dalam bahasa Portugis yang terbit tahun 1560. Meski
nama Taprobana masih diperdebatkan antara pulau Sumatra atau pulau Kalimantan,
tetapi nama-nama tempat yang disebut dalam peta Taprobana yang dipublikasi
tahun 1560 sudah sesuai dengan nama tempat yang sekarang. Dalam peta ini
teridentifikasi dari arah Pantai Timur Sumatra, Terra Daru (Terra d’Aru) atau
Kerajaan Aru (Pertibie?), danau besar (danau Toba?) dan penunggang kuda (orang
Batak). Sedangkan dari arah Pantai Barat Sumatra teridentifikasi nama-nama tempat
seperti Ticoe (Tiku?), Priama (Pariaman?) dan Indapoera (Indrapura). Di
pedalaman teridentifikasi bangunan kraton (istana Pagaruyung?). Nama-nama
tempat di Sumatra dalam peta ini kurang lebih sama sebagaimana yang dapat
dibaca dalam buku Pires, Pinto dan Barbosa.
Peta 1598 (Peta de Houtman) |
Ketika
ekspedisi Cornelis de Houtman (1595), peta lama yang telah digunakan lalu
direvisi kembali sesuai hasil-hasil ekspedisi mereka. Peta pulau Sumatra pasca
ekspedisi Houtman yang berupa sketsa (sebut saja: Peta de Houtmen) telah dipublikasi
dalam jurnal ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost
Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent
zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal yang
diterbitkan tahun 1598 ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang
ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2
April 1595 di Texel.
Peta 1598. Peta de Houtman (zoom) |
Dalam jurnal ini
(catatan hari demi hari dengan menyebut tanggalnya), semua keahlian (di luar
teknis dan navigasi) terlibat di dalam ekspedisi ini antara lain penulis,
pelukis dan pembuat peta (sketsa) tentu saja ada ahli bahasa. Secara khusus di
Peta de Houtman sudah lebih banyak nama-nama tempat baik di pantai barat maupun
pantai timur jika dibandingkan Peta Taprobana. Dalam Peta de Houtman sudah
teridentifikasi nama Minangkabau (Manacabo), Batak (Bata), Batahan (Bathan) dan
Batang Arau (Araorivier). Nama Padang belum teridentifikasi, sebagai kita
ketahuai Kota Padang berada di muara sungai Batang Arau.
Peta-peta
penemuan ini lambat laun semakin lengkap dengan semakin luas dan semakin jauhnya
ruang ekspedisi (oleh pera pelaut-pelaut). Dalam Peta 1619 Papua Nuigini belum
teridentifikasi dengan baik (baru sekitar kepala burung dekat Maluku),
Peta-peta yang diterbitkan selanjutnya semakin mendekati keadaan yang sekarang
dengan semakin intensnya perhatian para geographer dan kartografer dalam
menyusun Peta Sumatra dan Peta Indonesia sebagai bagian dari penyusunan Peta
Dunia. Peta 1687 jaub lebih baik dari Peta 1619. Lalu kemudian Peta
Peta 1619 |
Dalam Peta 1619
di Sumatra, khususnya di Pantai Barat Sumatra sudah semakin banyak nama-nama
tempat yang teridentifikasi. Nama-nama tempat utama pada Peta 1619 adalah
Baroes (Barus?), Bathan (Batahan?), Groot Pasgeman (Air Bangis), Paraiaman
(Pariaman) dan Ghebroekenhoek (Padang?). Dalam Peta 1687 Barus dan Pariaman
tetap eksis, Batahan dan Air Bangis menghilang tetapi muncul nama Tiku (nama
yang sudah pernah muncul pada tahun 1560). Yang paling kita tinggu: Nama Padang
(Padangan) muncul menggantikan nama di posisi Ghebroekenhoek (muara sungai
Batang Arau). Nama Indrapoera tetap eksis, sebagaimana Pariaman sejak doeloe
(Peta 1560).
Demikian
seterusnya, peta-peta terus diperbaiki, tidak hanya bentuk (luas dan topografi),
tetapi juga nama-nama tempat utama (tingkat kepentingannya). Seperti dalam Peta
1752 nama-nama yang selama ini belum pernah muncul sudah mulai teridentifikasi
satu per satu. Pada Peta 1752 sudah teridentifikasi Singkel, Tappanoeli, Masang
dan Salide. Sejauh ini nama Natal belum teridentifikasi, tetapi dalam peta-peta
berikutnya nama Natal telah menggantikan keutamaan Batahan dan Air Bangis
menggantikan Tikoe.
Peta 1730 |
Itulah
kronologis adanya peta modern yang berkembang sejak jaman kuno (sejak para ahli
menganggap dunia ini masih datar). Pemetaan (pembuatan peta) ini sudah ada
sekitar 300 SM. Yang menarik dalam sejarah pembuatan peta kuno, sejak Plato
atau Ptolemy, pulau Sumatra paling dicari (karena menghasilkan emas dan
rempah-rempah unggul) yang disebut kala itu Pulau Taprobana. Konon, orang-orang
Eropa sangat penasaran untuk menemukan pulau ini, karena orang-orang Mesir,
Persia dan Arab terus merahasikan dimana keberadaan pulau ini. Kerahasian itu
baru mulai terbuka ketika musafir Italia sudah sampai ke Pantai Barat Sumatra.
Ini berarti Sumatra adalah kunci penemuan dunia bagian timur.
Kota
utama di jaman kuno di pantai Barat adalah Baroes. Kota ini merupakan simpul
perdagangan utama dari kamper atau kapur barus dan kemenyan dari Angkola), emas
dari Mandailing dan Pasaman. Tempat dimana kapur barus (benzoin) diduga nama
kafura melalui bahasa Persia masuk dalam kita suci Alquran. Demikian jiga nama
Ophir sebagai penghasil emas dalam kita suci (Taurat dan Injil) di era Portugis
telah memberi nama pegunungan di Pasaman dengan nama pegunungan Ophir.
Peta 1818 |
Untuk
sekadar tambahan: Kedudukan Baroes di Pantai Barat Sumatra sangat penting di
jaman kuno. Tempat yang diduga peradaban baru dimulai di Hindia Timur (baca:
Nusantara). Dari Baros pedagang-pedagang India memasuki Angkola, untuk memotong
rantai tataniaga emas dan kemudian mendirikan koloni di Angkola dengan situs
peninggalan India tertua di Sumatra yakni Candi Simangambat di Angkola (yang
relatif seumur dengan candi Brobodoer di Jawa). Lalu kemudian terbentuk pusat
perdagangan (emas, kamper dan kemenyan) di Pantai Timur Sumatra (sebagai kontra
Baroes di Pantai Barat Sumatra yang Islam) di hulu sungai Baroemoen (masih
termasuk Angkola). Area ‘megapolitan’ perdagangan ini dikenal sebagai situs
peninggalan Hindu, percandian di Padang Lawas. Dalam perkembangannya, Sriwijaya
(Budha) menguasai perdagangan Padang Lawas yang mengakibatkan Kerajaan Cola di
India (abad ke-11) untuk memulihkan kedudukan Hindu dan menghancurkan Budha di
Sriwijaya. Untuk menguasai jalur perdagangan selat Malaka, Cola yang Hindu
(asal mula Angkola?) lebih memilih di Padang Lawas daripada Palembang sebagai
pusat Cola di Sumatra. Posisi ini dengan sendiri memutus jalur perdagangan
Tiongkok dari Timur ke Barat.
Sejauh yang
diketemukan, peta paling tua yang disusun pelaut-pelaut Portugis diterbitkan
pada tahun 1619. Dalam peta ini empat tempat yang teridentifikasi adalah: di
pantai barat Sumatra adalah Baros (baca: Barus) dan Bathan (baca: Batahan); di
pantai timur Sumatra adalah Daru (baca: Ara atau Aru) dan Ambuara (kemudian
menjadi Jamboe Ajer/Perlak). Empat tempat ini terhubung dengan jalur
perdagangan komoditi kuno ke daerah pedalaman dimana penduduk Batak berada.
Baros adalah bandar komoditi kemenyan, benzoin dan kamper (kapor barus) dari
penduduk Batak di Silindoeng dan Toba; Batahan adalah bandar komoditi emas
(tampaknya Batahan lebih terkenal dari Natal) dari penduduk Batak di
Mandailing. Aru (Daru) di sepanjang DAS Baroemoen adalah jalur komoditi emas.
kemenyan, kamper dan benzoin dari penduduk Batak di Angkola. Ambuara atau
Jamboe Ajer/di Perlak adalah bandar komoditi kemenyan, kamper dan benzoin dari
penduduk Batak di Alas dan Gajo (Bandar sisi barat adalah Singkel). Dalam peta
1619, Deli belum terindentifikasi. Oleh karenanya bandar terpenting di pantai
timur Sumatra hanya Aru (di sungai Baroemoen) dan Ambuaru atau Jamboe Ajer/di
Perlak atau Tamiang.
Peta 1619 |
Sementara
itu, Baros yang sudah sejak lama didominasi pengaruh Islam, orang-orang Moor
menggeser pusat perdagangannya dari Baros ke ujung utara Sumatra (kini Atjeh)
yang kemudian muncul pusat-pusat kekuatan perdagangan. Kekuatan Islam di ujung utara Sumatra ini lalu menggantikan
posisi kekuatan Hindu di Padang Lawas; Kerajaan Hindu menghilang dan muncul Kesultan
Islam (kesultanan Islam pertama di Nusantara: Kesultanan Aru?). Kesultanan di
pedalaman ini lalu bergeser posisinya ke ujung utara Sumatra (mirip dari Baros
ke ujung utara Sumatra di pantai barat). Peninggalan Kesultanan Aru ini
kemudian menjadi Kerajaan Aru (local) yang menurut Pinto dan Barbosa sebagai
Battak Kingdom (Inggrsi) atau Terra Daroe atau Terra d’Aroe )Prtugis) di
pengaliran sungai Baroemoen (aroe adalah terminology sungai di basis Baudha di Sri
Lanka (Budha adalah koloni pertama asing di Padang Lawas). Keradjaan yang
menjadi partner Kesultanan di ujung utara Sumatra ini sempat menjalin hubungan
dagang dengan Tiongkok (era sebelum muncul nama Cheng Ho?), dalam
perkembangannya dihancurkan oleh Madjapahit (ekspedisi Sumatra) tetapi tidak
mampu mengalahkan Kesultanan Islam di Atjeh. Kesultanan-kesultanan di ujung
utara Sumatra ini dalam perkembangan lebih lanjut bertransformasi menjadi
Kesultanan/Kerajaan Atjeh (termasuk dinasti Iskandar Moeda). Kerajaan Atjeh
kemudian mulai dapat gangguan dengan kehadiran Portugis. Akhirnya Atjeh,
Portugis, Belanda, Perancis dan Inggris) saling memperkuat pengaruh di Pantai
Barat Sumatra. Perseteruan Atjeh dan Belanda di Padang (muara sungai Batang
Arau) termasuk bagian dari perseteruan tersebut.
Peta-peta buatan Portugis itu (yang menjadi rujukan pembuatan peta-peta selanjutnya) besar kemungkinan didasarkan pada laporan Tome Pires (1512-1515) yang pernah mengunjungi Malacca. Pires mendeskripsikan Sumatra berdasarkan informasi yang dikumpulkan di Malacca, dimana di dalam laporannya Barros ditulisnya saling tertukar antara Barros dengan Bata, Bara dan juga ditulis sebagai Terra de Aeilabu dan Terra de Tuncoll. Semua nama-nama yang tertukar itu berada di daerah teritori penduduk Batak (Baros). Lalu kemudian Daru tertukar dengan Barros atau de Aru (Daru adalah ucapan untuk 'de Aru'). Ini juga mengindikasikan nama-nama itu berada di daerah teritori penduduk Batak. Intinya, beberapa bandar penting yang didaftar Tome Pires adalah Pedir, Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee. Dari tiga pelabuhan penting ini hanya Aeilabu (Aek Labu atau Lobu Toea? nama lain Baros) yang sangat dekat dengan teritori penduduk Batak, Meski disebut nama Aru, tetapi di dalam laporan Pires tidak menonjol. Nama Aru baru menonjol dalam laporan Barbosa. Ekspedisi Barbosa dilakukan setelah Tome Pires. Barbosa menyebut hanya tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Barbosa melakukan ekspedisi pada tahun 1518 Barbosa tampaknya mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires.
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan
lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta.
Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap
buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah
disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan
atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di
artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar