Sabtu, 21 April 2018

Sejarah Kota Medan (68): Bika Bukan Asli Medan, Nama Kue Bika Ambon Sudah Ada Sejak Dulu di Semarang; Bika Asli Sunda?


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Bika Ambon, pada masa ini sangat dikenal di seluruh Indonesia. Nama bika Ambon akan selalu dikaitkan dengan kota Medan. Sebab, sudah sejak lama kue bika Ambon diakui sebagai oleh-oleh khas dari Kota Medan. Di Kota Ambon sendiri tidak dikenal produk makanan tersebut. Lantas mengapa nama kue bika dari Kota Medan disebut bika Ambon. Rumah produksi kue bika Ambon di Medan ini banyak ditemukan di Jalan Majapahit. Bika Ambon rasanya manis.

Kue bika Ambon (wikipedia)
Jika ditanyakan, tidak seorangpun pembuat kue bika Ambon di Medan mengetahui asal-usul munculnya produksi kue bika di Medan. Mereka juga tidak mengetahui mangapa nama penganan (kue) ini disebut bika Ambon. Peluang ini kemudian dimanfaatkan oleh para pembuat cerita. Ada yang menyebut bahwa kue bika Ambon terilhami dari kue khas Melayu. Lalu nama Ambon muncul karena kali pertama dijual dan popular di Jalan Ambon Kota Medan (lihat Wikipedia). Namun cerita itu hanyalah cerita. Faktanya tidak ada.

Nama bika Ambon kadung sudah terkenal. Tidak hanya terkenal di Medan, juga dikenal luas hingga ke Padang, Jakarta, Depok, Bandung, Semarang dan bahkan Ambon. Oleh karena itu, tentu saja akan banyak orang yang terus bertanya-tanya bagaimana asal usul kue yang rasanya legit ini diproduksi di Medan, namanya pula Ambon. Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita telusuri. Kasus serupa juga pernah dalam hal asal usul lemang.

Bika Ambon Sudah Ada Sejak Dulu di Semarang

Bagaimana cara kue bika sebagai suatu penganan (kue) dibuat (diproduksi) ditemukan pada tahun 1938 (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1938, No 31, 30-07-1938). Disebutkan bahwa kue bika  adalah makanan yang dipanggang dalam panci yang penutupnya dipanasi (kira-kira semacam oven pada masa ini). Nama kue bika disebut bika Ambon sudah diketahui sejak tahun 1896. Catatan tertua tentang keberadaan bika Ambon ini yang ditulis sebagai ‘bika’ persis seperti yang ditulis sekatang ditemukan pada tahun 1896 di Kwitang, Batavia (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-02-1896).

Kue bika pada masa itu (di Sumatra Barat) dijadikan perumpamaan yang artinya bagaikan seorang pejabat yang dibenci oleh rakyatnya tetapi juga sangat tidak disenangi oleh atasannya. Dalam hal ini alat pemasak kue bika semacam menggunakan prinsip hukum termodinamika dimana panas dari segala arah diserap oleh bahan kue di dalam panci.  

De locomotief, 27-03-1953
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 24-05-1952 memuat iklan sebuah kursus bernama Bak Les (an. Nj. Ong Gwat Liong). Kursus ini meliputi pembuatan roti keju, roti ketjik, bakpao, bikang Ambon dan kue-kue lainnya. Pada saat itu tampaknya ‘bika’ ditulis dan diucapkan dengan ‘bikang’. Ini hanya soal pelafalan sipembuat iklan. Jika mangacu pada nama kue bika (1938) yang ditulis dengan ‘bika’, maka iklan yang dimuat di surat kabar di Semarang yang ditulis ‘bikang’ sudah jelas maksudnya ‘bika’.

Beberapa bulan kemudian di Semarang muncul iklan (kedai/toko) Tan Goei yang menawarkan berbagai macam makanan seperti ayam-risolles, lemper, bikang Ambon, kue klepon, pai nanas, dan kue-kue lainya (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-03-1953). Pada tahun 1954 kursus Bak Les mengiklankan kembali kursus pembuatan kue-kue. Yang ditawarkan semakin bervariasi, tidak hanya bakpao, bikang Ambon dan lainnya juga roti tawar, roti sobek dan lainnya (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-05-1954).

Darimana asal usul bika (bikang) tentu saja belum jelas. Apalagi namanya bika Ambon bahkan sudah dikenal di Semarang. Namun yang jelas pemilik kursus kue bika Ambon dan kedai/toko penjual bika Ambon di Semarang adalah sama-sama orang Tionghoa. Kursus yang terkait dengan bika (bikang) Ambon tidak ditemukan di kota-kota lain, kecuali di Kota Semarang. Untuk kedai/toko kue bika Ambon tidak hanya ditemukan di Semarang tetapi juga di Batavia, Soerabaja dan Bandoeng. Di Kota Medan, yang kini terkenal produk bika Ambon, pada tempo doeloe tidak ditemukan. Lantas bagaimana bika Ambon yang sudah ditemukan di Semarang dan kota-kota lain di Jawa juga muncul (kelak) di Kota Medan? Tentu saja tidak perlu penyelidikan sejarah, bukan?

Bika Bermula di Tanah Sunda?

Bika atau bikang. Dua kata yang mengindikasikan jenis penganan (kue). Kue bikang ditemukan secara luas di Jawa. Di Tanah Sunda, kue bikang dibuat berwana warni dengan berbagai bentuk yang cantik. Kue bikang ini mirip bahan pembuatan kue, prosesnya juga mirip yakni dipanaskan. Tentu saja kini kue bikang di Jawa dan kue bika di Medan berbeda. Perbedaan diduga karena terjadi pengembangan dalam prosesnya.

De locomotief, 10-02-1896
Di Tanah Sunda, kata ‘bikang’ diartikan sebagai ‘perempuan’ atau betina. Kue-kue bikang cenderung bentuknya tampak cantik-cantik (sesuai cetakan yang dibuat). Dalam hubungan ini, soal bahasa sudah barang tentu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Kata yang digunakan pada kue bikang di Tanah Sunda sama dengan yang digunakan untuk kue bikang Ambon di Semarang. Lalu kemudian, kata ‘bikang’ mereduksi menjadi ‘bika’. Itu adalah peristiwa lingustik. Kenyataannya dalam surat kabar berbahasa Belanda ditulis dengan ‘bika’. Dala, catatan tertua tentang penulisan bika Ambon sudah ditulis sebagai ‘bika’ persis seperti yang ditulis sekatang. Lalu bika Ambon  pertama kali ditemukan tahun 1896 di Kwitang, Batavia. Bukankah Batavia adalah (begitu dekat dengan) Tanah Sunda. Sementara untuk kata ‘kue’ sendiri diduga berasal (diserap) dari bahasa Belanda yakni ‘koekje’. Proses linguistik kerap terjadi dalam bahasa seiring dengan bejalannya waktu.  

Kembali ke persoalan awal: mengapa nama bikang atau bika disebut Ambon. Apakah orang-orang Ambon di perantauan yang mengembangkan teknik memasak kue bika/bikang sehingga berbeda dengan teknik kue bikang di Jawa? Itu yang tetap menjadi pertanyaan. Namun demikian, satu pertanyaan sudah bisa dijawab bahwa kue bika Ambon bukan asli Medan. Kue bika Ambon sudah lebih awal dikenal di Semarang dan Batavia. Hanya saja pada masa ini produksi bika/bikang Ambon tidak pernah didengar di Semarang maupun di Jakarta.

Idem dito: kue wingko babat Semarang bukan asli Semarang tetapi wingko yang jauh sebelumnya telah dicatat sebagai penganan yang dikenal di (kampong) Babat di Lamongan. Hal ini juga terjadi pada lemang. Lemang sangat terkenal di Tebing Tinggi, tetapi diklaim rekod tertua Inggris di Malaysia, tetapi faktanya catatan yang lebih tua lagi justru ditemukan di Angkola, Residentie Tapanoeli (kini Padang Sidempoean).

Iklan produksi bika Ambon di Batavia sangat gencar dilakukan tahun 1930 dan 1931 (produksi Hoen Kwe di Patjenongan). Apakah dari sini nama tepung hoenkwe muncul? Boleh jadi. Singkat kata: kue bika Ambon populer awalnya di Jakarta (1930), lalu kemudian di Soerabaja (1935); kemudian menyusul Semarang (1952) dan Bandoeng (1953). Dan, baru kemudian di Medan (hingga kini).

Akan tetapi pada masa ini, soal bika dan bika Ambon, semua orang mengklaim itu khas (asli) Medan. Uniknya, tidak ada pula kota lain yang mengklaim bika apalagi bika Ambon. Orang-orang di Kota Ambon sendiri boleh jadi sangat bingung soal bika Ambon. Padahal pemilik nama adalah kota Ambon (satu-satunya di Indonesia bernama Ambon).  

Algemeen Handelsblad edisi 09-05-1853
Soal asal usul haruslah ditulis secara cermat. Jika tidak teliti akan muncul saling mengklaim dengan ceritanya sendiri-sendiri. Asal-usul seharusnya merujuk ke masa yang tertua (origin). Ini terjadi dengan penganan (kue) lemang. Beberapa daerah di Indonesia mengklaim lemang sebagai heritage (asal-usul lemang). Namun sejauh ini daerah-daerah tersebut tidak bisa memberikan bukti (data otentik). Negara tetantangga juga mengklaim bahwa data (rekod) tertua tentang lemang berada di Malaysia. Dalam catatan-catatan Inggris sudah tersekod lemang di Malaysia tahun 1864. Namun dalam perkembangannya, catatan tertua tentag lemang justri ditemukan di Tanah Batak di Angkola (Padang Sidempoean). Catatan lemang di Angkola ini dipublikasikan dalam surat kabar berbahasa Belanda tahun 1853 (lihat Algemeen Handelsblad edisi 09-05-1853) [lihat Asal Usul Sejarah Lemang: Apakah Bermula di Tanah Batak?].

Lain halnya dengan (gulai) rendang. Catatan tertua (yang ditemukan) tentang rendang bukan di West Sumatra, tetapi di tempat lain pada suatu jamuan makan malam (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-11-1911). Sang tuan rumah yang dibantu oleh dua pelayan (orang) Madura dalam makan malam tersebut menyajikan berbagai lauk pauk termasuk ‘rendang ayam’. Kata ‘rendang’ sendiri kala itu merujuk pada nama sebuah kampung Tjirendang di Preanger (Bataviaasch handelsblad, 02-01-1873); nama distrik Rendang di Bali (Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1895); nama sungai Rendang di Palembang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-11-1900). Di West Sumatra tidak ditemukan kata rendang. Yang ada adalah kata ‘randang’ yang artinya panggang (dirandang-dipanggang). Dalam suatu  pertemuan yang diadakan di Batavia tahun 1920 sebuah bazaar makanan menyediakan lauk pauk diantaranya ‘kari Jawa’ dan ‘rendang daging Padang’. Sejak itu rendang daging Padang semakin sering muncul dan lambat laun hanya ditulis ‘randang Padang’ saja. Tentu saja ‘rendang Padang’ mengindikasikan bahan daging, bahan yang berbeda dengan yang dilaporkan tahun 1911 (bahan ayam). Dalam hal ini, boleh jadi olahan makanan rendang bersifat umum (generik), dan juga rendang berbahan daging juga bersifat umum (tidak hanya ayam). Lantas mengapa diberi label Padang. Besar dugaan rendang daging tersebut dibuat oleh Orang Padang atau diolah sesuai dengan bumbu ala Orang Padang. Namun ada sedikit pertanyaan yang tersisa dan agak membingungkan: Mengapa disebut rendang (Padang), sementara di Sumatra Barat disebut randang. Sedangkan kata ‘randang’ sendiri diartikan dengan panggang. Idem dito dalam soal lemang: di Tapanuli disebut ‘lomang’, di Malaysia disebut ‘lemang’ dan di Sumatra Barat disebut ‘lamang’. Sudah tentu itu semua bukan semata-mata persoalan linguistik saja.

Demikian untuk sementara. Selamat makan bika Ambon. Tapi jangan lupa, untuk membeli kue bika Ambon yang lezat harus ke  Kota Medan, bukan di Kota Ambon. Untuk membeli lemang yang asli (origin) pergilah ke Kota Padang Sidempuan. Last but not least: Di Sumatra Barat, meski tidak disebut 'rendang Padang', tetapi untuk mendapatkan rendang (daging) yang paling enak pergilah ke Bukittingi (garansi: saya sudah merasakannya).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

2 komentar:

  1. Eak hoax nya keluar,sama seperti penganut bumi datar wkwk

    BalasHapus
  2. menarik

    coba kasih box daftar redaksi dan alamatnya, sehingga artikel ini bisa dijadikan referensi.

    BalasHapus