Sabtu, 21 Desember 2019

Sejarah Jakarta (64): Sejarah Sawah Besar, Kampung Ridwan Saidi; Baheula di Pinggir Kali Ciliwung, Kini Lintasan Kereta Api


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Sawah Besar, dari namanya, tidak hanya soal sawah yang sangat luas, tetapi juga tergolong area yang terbilang relatif masih baru (sawah luas terbentuk karena dibangunnya irigasi). Menurut Ridwan Saidi di area inilah beliau dilahirkan. Dalam bahasa sekarang: ‘Anak Sawah Besar’. Kini, area sawah yang luas itu berada di tengah kota yang sangat sibuk dan padat penduduknya, Begitu padatnya wilayah area Sawah Besar, lintasan rel kereta api harus diangkat ke atas (menjadi jalur layang kereta) dan mulai dioperasikan pada pertengahan tahun 1992.

Area Sawah Besar (Peta 1682)
Pada era kolonial Belanda nama area Sawah Besar ditabalkan menjadi nama onderdistrict. Pada era Republik Indonesia, onderdistrict Sawah Besar ditabalkan sebagai nama kecamatan di wilayah Jakarta Pusat. Salah satu nama kelurahan di kecamatan Sawah Besar adalah Karang Anyar dimana saya pernah memimpin survei rumahtangga pada tahun 1997 dan 1999 (dalam rangka mengumpulkan data untuk analisis pengukuran dampak krisis ekonomi). Saya sendiri ketika itu masih tinggal di Sawo Kecik. Begitu cintanya Ridwan Saidi terhadap kampong halamannya di Sawah Besar, dengan sepenuh hati beliau telah menulis sejarah Sawah Besar tahun 2011 dengan judul: ‘Riwayat Sawah Besar’. Sayang saya tidak bisa mengakses buku tersebut ketika menulis artikel ini.

Satu hal yang paling menarik dari warisan sejarah masa lalu adalah bahwa tempo doeloe (baheula) di tengah area yang menjadi sawah luas itu (terbentuknya kampong Sawah Besar) mengalir kali Ciluwung, air yang tenang tetapi menhanyutkan. Untuk mewujudkan perluasan kota, mengedalikan banjir dan mengoptimalkan pengaturan ketinggian air di pelabuhan (yang berpusat di Kali Besar) lalu ruas sungai Tjiliwong antara benteng Noordwijk (kini stasion Juanda) dan Manggadoea (kini stasion Mangga Dua) ‘dilikuidasi’. Lalu pada tahun 1869 di bekas kali Tjiliwong itu dibangnn rel kereta api (ruas stasion Juanda dan stasion Mangga Dua). Bagaimana itu semua terjadi dan terhubung? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Jalan Akses Pakwan-Padjadjaran ke Soenda Kalapa di Sisi Barat Sungai Tjiliwong

Jakarta tidak terbentuk dalam semalam, tetapi ratusan tahun. Satu yang sudah terbentuk sejak lampau, tidak pernah berubah adalah sungai Tjiliwong. Oleh karena itu dalam sejarah Jakarta, sungai Tjiliwong harus ditempatkan sebagai batang (pokok) sejarah atau kepala sejarah. Di sisi timur sungai Tjiliwong inilah berada awal mula Jakarta (sekitar Mangga Dua sekarang).

Nama Jakarta sudah muncul sejak lama. Paling tidak sudah muncul dalam laporan Portugis. Seorang Portugis, Joao de Barros di dalam laporannya (1527) di pantai utara Jawa terdapat tujuh pelabuhan penting, yakni: Chiamo, Xacatara, Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang dan Bantam. Penulis-penulis geografi Belanda mengidentifikasi Chiamo sebagai Tjimanoek (Indramajoe), Xacatara sebagai Jacatra, Caravam sebagai Karawang, Tangaram sebagai Tangerang, Cheguide (Tjikande), Pondang (Pontang) dan Bantam (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1906, 01-01-1906). Dari keterangan ini, dapat diinterpretasi, sudah tentu nama Jakarta sudah ada jauh sebelum tahun 1527.

Nama Jakarta (baca: Xacatara) paling tidak sudah diberitakan/dilaporkan pada tahun 1527. Pada tahun yang sama Demak menduduki (pelabuhan) Banten dan menduduki pelabuhan Kalapa. Oleh karena nama Jakarta sudah ada jauh sebelum 1527, dapat diinterpretasi, Demak pada tahun 1527 (juga) menaklukkan (kerajaan?) Jakarta.

Penaklukkan Jakarta mengakibatkan (pusat) kerajaan Jakarta berganti rezim, dari rezim lama menjadi rezim (asal) Demak. Kerajaan Jakarta sebelum dan sesudah berganti rezim, pelabuhannya adalah Kalapa. Oleh karena itu, pelabuhan Kalapa adalah pelabuhan Jakarta (sesuai Joao de Barros: Xacatara).

Pelabuhan Kalapa tidak hanya digunakan oleh (kerajaan) Jakarta, tetapi juga oleh kerajaan di Tanah Soenda, Pakwan-Padjadjaran. Dalam hal ini, pelabuhan Kalapa adalah pelabuhan internasional yang mana Jakarta dan Pakwan-Padjadjaran memiliki akses. Kerajaan Jakarta melalui akses air (sungai) Tjiliwong (sisi timur sungai Tjiliwong). Sedangkan Kerajaan Pakwan-Padjadjaran melalui akses darat (sisi barat sungai Tjiliwong).

Pakwan-Padjadjaran, sebagai kerajaan besar yang berpusat di Bogor sekarang, memiliki banyak akses menuju laut (pelabuhan): ke pantai selatan melalui Tjimandiri ke Pelabuhan Ratu sekarang; ke pantai utara, yakni Chiamo (Cimanuk/Indramayu), Xacatara (Kalapa Jakarta melalui sungai Ciliwung), Caravam (Karawang melalui sungai Cibeet), Tangaram (Tangerang melalui sungai Cisadane), Cheguide (Cikande melalui sungai Tjikande atau sungai Tjidoerian), Pondang (Pontang) dan Bantam (Banten). Kerajaan Jakarta diduga adalah kerajaan kecil yang menjadi vassal dari Kerajaan Pakwan-Padjadjaran (yang menjadi sebab pelabuhan Kalapa dipandang sebagai pelabuhan bersama).

Penulis-penulis Portugis selanjutnya, pelabuhan Kalapa adakalanya ditulis sebagai pelabuhan Sonda Calapa (Soenda Kalapa). Penyebutan Kalapa menjadi Soenda Kalapa menjadi lebih intens setelah pendudukan Demak hingga menjelang kehadiran pelaut-pelaut Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597).

Nama Kalapa (Xalapa) juga ditemukan di Mexico sebagai pelabuhan penting. Tidak jelas mana yang lebih dulu Kalapa di timur atau Xalapa di barat. Dua pelabuhan ini berada di wilayah (dekat) tropis. Faktor Portugis (sebelum kedatangan Spanyol) sangat pnting di dua pelabuhan yang berjauhan.

Akses kerajaan Pakwan-Padjadjaran ke laut/pelabuhan melalui sisi barat sungai Tjiliwong. Jalan akses ini merupakan jalan kuno yang kini dikenal melalui Kedong Badang, Tjileboet, Bodjongmanggis/Bodjong Gede, Pondokterong/Tjitajam, Depok, Pondok Tjina, Sringsing/Lenteng-agoeng, Tandjoeng/Pasar Minggu, Menteng, Tjikini, terus ke Soenda Kalapa. Jalan akses ini tidak pernah memotong sungai, jalan ini berada diantara sungai Tjiliwong dengan sungai Kroekoet (bermuara di setu Tjitajam di Pondokterong).

Jalan akses Pakwan-Padjadjaran ini pada permulaan Pemerintahan Hindia Belanda masih terdeteksi mulai dari Tjikini hingga Soenda Kalapa yakni melalui Prapatan terus ke jalan Merdeka Timur ke arah Istana lalu ke Harmoni dan seterusnya melalui jalan Gadjah Mada/Hayam Wuruk ke  Sonda Kalapa.

Dalam literatur Portugis, satu sumber yang cukup detail menggambarkan situasi dan kondisi umum di Jawa sebelum kedatangan Belanda adalah buku Tome Pires (1512-1515). Tome Pires menyebut nama pelabuhan (port) Calapa. Penyebutan nama Cunda Calapa baru ditemukan dalam laporan Duarte Barbosa (1518). Nama Jacatra baru muncul dalam laporan Joao de Barros (1527). Untuk sekadar informasi, buku-buku Tome Pires, Duarte Barbosa, Joao de Barros dan Fernao Mendes Pinto pada masa kini dapat diakses di internet.

Demikian juga dengan jurnal perjalanan ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) pada masa ini dapat diakses di internet. Dalam laporan ekspedisi yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597) nama tempat di muara sungai Tjiliwong adalah Cunda Calapa, Laporan ini berjudul Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent (yang diterbitkan tahun 1598). Ekspedisi Cornelis de Houtman ini berada di Cunda Calapa pada bulan November 1596.

Dalam ekspedisi kedua Belanda tiba di pulau Sumatra pada tanggal 13 Desember 1604 Lalu pada tanggal 17 Januari 1605 kapal-(kapal) Belanda menyingkir dari Banten dan bergerak ke ke kepulauan Maluku. Sebelum ke Maluku mereka singgah di Jacatra dan tanggal 15 Februari tiba di Bima. Ini mengindikasikan nama Jacatra sudah dicatat Belanda. Pada ekspedisi pertama Belanda hanya mencatat nama pelabuhannya saja (Cunda Calapa). Ini mengindikasikan pemahaman mereka di seputar muara sungai Tjiliwong semakin meningkat. Pelabuhan Cunda Calapa berada di sisi barat muara sungai Tjiliwong, sedangkan (pusat kerajaan) Jacatra berada agak ke pedalaman (di sekitar Mangga Dua sekarang).

Perluasan Kota (Stad Batavia): Fort Jacatra, Fort Noordwijk, Fort Risjwijk dan Fort Angke

Sejak VOC/Belanda memindahkan basis perdagangannya dari Amboina ke (pelabuhan) Soenda Kalapa, mulai muncul untuk menguasai (kerajaan Jacatra). Hubungan VOC/Belanda dengan kerajaan Jacatra bersifat mutualisme. Kerajaan Jacatra ingin bebas dari (pengaruh) Banten lalu menjalin kerjasama dengan VOC/Belanda. Untuk itu hak monopoli perdagangan diberikan kepada VOC/Belanda sementara untuk melindungi kerajaan Jacatra, VOC/Belanda membangun pertahanan di (pulau) Ontong Djawa yang mana pulau Ontong Djawa dan sungai Tjisadane sebagai batas antara kesultanan Banten dengan kerajaan Jacatra. Dalam perkembangannya, khawatir dengan serangan dari Banten, VOC/Belanda lalu menyerang/melumpuhkan kerajaan Jacatra dan menawan rajanya. Sejak ini, JP Coen memperkuat Kasteel Batavia dan mulai membangun kota (1619).

Kasteel Batavia, 1618
Dalam terminologi yang digunakan dalam penaklukan Jacatra dan bukan penaklukan Soenda Kalapa, itu berarti nama Jacatra saat penaklukan adalah Jacatra. Seperti disebutkan di atas, nama Jacatra pada tahun 1619 sudah eksis (bahkan jauh sebelum tahun 1527 di era Portugis). Tampak dalam sebuah lukisan yang dibuat pada tahun 1618 benteng Belanda tidak jauh dari pantai. Di dalam benteng ini terdapat sejumlah bangunan yang diduga sebagai bangunan tempat para pedagang, gudang komoditi, barak tenaga kerja dan lainnya. Sementara itu sebuah sketsa yang dibuat Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619 yang menggambarkan benteng lama di muara sisi timur sungai Tjiliwong (a) dengan rencana pengembangan benteng yang lebih luas yang mana sisi utara lebih dekat ke laut (b). Rencana benteng baru ini duhubungkan dengan pembangunan kota baru Jacatra.

Sketsa Srad Batavia, 1619
Satu hal yang menjadi penting dalam sketsa ini, nama benteng baru (nieuwe kasteel) disebut Fort Jacatra dan kota (stad) Jacatra. Ini mengindikasikan nama Batavia sendiri belum muncul. Seperti umumnya nama benteng Belanda/VOC mengikuti nama tempat atau situs terdekat dengan benteng. Segera setelah realisasi pengembangan benteng baru dan pembangunan kota baru ini menjadi sebab munculnya nama Batavia. Beberapa tahun kemudian wujud kota baru (Batavia) ini sudah terlihat sebagaimana tampak pada Peta 1624.

Sketsa Stad Batavia, 1624
Nama Batavia paling tidak baru muncul pada tahun 1627 (lihat Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. 31-07-1627). Dalam hal ini nama Batavia muncul setelah tahun 1619 dan sebelum tahun 1627. Dengan mengacu pada sketsa kastil baru dan kota Jacatra serta nama baru benteng (fort) maka VOC/Belanda sudah sangat dalam menancapkan kukunya di area koloni baru itu dan tidak ingin diusik oleh siapapun (termasuk Banten). Seperti tampak pada Peta 1624 sungai Tjiliwong masih terlihat seperti aslinya (masih berbelok-belok, belum dirancang sebagaimana nanti terbentuk wujud yang luru yang disebut Kali Besar).

Kesultanan Banten tentu saja tidak berdaya lagi untuk menyerang Jacatra yang telah berubah menjadi Batavia. Akan tetapi tidak dengan Kerajaan/Kesultanan Mataram. Lalu muncullah apa yang kita kenal dengan serangan Mataram ke Batavia tahun 1628. Setelah serangan Mataram, VOC/Belanda mulai membentuk pertahanan ganda dengan membangun benteng-benteng di luar Kasteel Batavia.

Kali Besar Stad Batavia
Dalam menghadapi serangan Mataram, Stad Batavia (VOC/Belanda) belum teruji. Dari sisi dalam masih ada kelemahan, tetapi dari sisi luar (pantai) masih sangat kuat. Pertahanan VOC/Belanda di Ontong Djawa dan (pulau) Onrust juga masih sangat kuat (terutama) untuk menekan Banten. Dalam situasi inilah VOC/Belanda terus melakukan pembangunan kota Batavia. Desain kota juga sudah mencakup sisi barat sungai Tjiliwong. Diantara dua sisi sungai ini di dalam kota sungai Tjiliwong direvitalisasi dengan membangun kanal utama yang menjadi pelabuhan yang kemudian disebut Kali Baroe.

Benteng yang pertama dibangun, di luar Kasteel Batavia adalah benteng (fort) Jacatra. Benteng ini dibangun sejatinya hanya untuk menjaga pusat kerajaan Jacatra dari gangguan luar. Hal ini karena kerjasama VOC/Belanda dengan raja Jacatra telah memancing berbagai pihak tidak senang dengan boneka VOC/Belanda tersebut. Raja Jacatra sendiri sudah berumah di dalam kota (stad0 Batavia.

Fort Jacatra dan fort lainnya
Posisi benteng (fort) Jacatra ini tidak lazim bagi VOC/Belanda. Namun karena posisi Jacatra berada di sisi timur sungai Tjiliwong dan dalam hubungannya untuk melindungi properti kerajaan Jacatra maka letak benteng dengan sendirinya berada di sebelah luar (sisi timur sungai Tjiliwong).

Dalam perkembangannya pembangunan benteng-benteng di luar Kasteel Batavia ditambah. Hal ini sehubungan dengan dimulainya era baru dalam eksploitasi perkebunan tebu dan pabrik gula di seputar Batavia. Benteng-benteng baru tersebut adalah benteng Noordwijk, benteng Riswijk dan benteng Angke serta benteng Vijfhoek.

Wilayah eksploitasi perkebunan dan pabrik semakin meluas sehingga pada akhirnya kemudian dibangun benteng-benteng di Tangerang, di Antjol, di Buitenzorg, di Bekasi dan di Tandjoeng Poera (Karawang). Dalam perkembangan selanjutnya dibangun lagi benteng di Serpong, Tandjong, Tjirebon, Tegal dan Goenoeng Parang (Soekaboemi). Setelah benteng Missier di Tegal, benteng baru dibangun di Semarang dan di Soeranaja.

Kanalisasi: Sawah Besar

Pada tahun 1663 VOC/Belanda mengubah kebijakannya dari perdagangan yang longgar di pantai menjadi kebijakan yang mana penduduk dijadikan sebagai subjek. Penduduk dilibatkan untuk peningkatan produksi domestik seperti beras dan produksi seperti gula. Penduduk juga dijadikan sebagai agen perdaganag di pedalaman.

Peta 1682
Boleh jadi ini karena kekuatan militer VOC/Belanda sudah semakin kuat dengan merekrut pribumi di berbagai tempat. Dalam fase inilah teridentifikasi nama-nama seperti Kapitein Jonker, Aroe Palaka dan Kapitein Soeta Wangsa. Kebijakan invasi dimulai untuk meratakan jalan untuk mermperluas koloni. Korban pertama adalah Kesultanan Gowa.

Langkah yang pertama dilakukan adalah membuka dan eksploitasi pertanian di seputar kota Batavai. Lahan-lahan rawa dan lahan kerap terkena banjir diubah dengan mulai membangunan kanal irigasi, Kanal yang dibangun juga berfungsi sebagai drainase. Teknologi kanal yang selama ini fokus dan terbatas di dalam pengembangan kanal dalam kota diperluas ke luar kota dengan membangun kanal drainase dan irigasi.

Peta 1740
Kanal yang pertama dibangun adalah menyodet sungai Tjiliwong di benteng Noordwijk dan dialirkan ke barat menuju benteng Risjwik dan sungai Krokot. Kanal ini adalah jarak terdekat antara sungai sungai Tjiliwong dan sungai Krokot di hilir. Di hulu jaraj terdekat di Pondok Terong/Tjiatajam dimana berada hulu sungai Krokot (di setu Tjitajam). Kanal ini memilik banyak fungsi: moda transportasi air antara dua benteng terjauh tersebut; sumber air irigasi untuk pengembangan perkebunan tebu dan pencetakan sawah baru anatara stad kota Batavia dan benteng; kanal ini juga menjadi sistem drainase di area antara dua benteng dan kanal sendiri menjadi semacam barier pertahanan. Dalam hubungan ini VOC/Belanda selain merektur pribumi untuk mendukung militer, VOC/Belanda juga mendatangkan tenaga kerja dari berbagai tempat (sebagai budak) dan mendatangkan tenaga kerja dari Tiongkok untuk mengelola pabrik-pabrik gula,

Seperti tampak pada Peta 1682 sudah teridentifikasi lahan-lahan perkebunan tebu dan lahan-lahan persawahan. Pada persil lahan kedua dan ketiga dari kanal adalah persawahan (Rijst velder). Persawahan yang luas ini diduga kelak menjadi timbulnya nama area Sawah Besar (kini kecamatan Sawah Besar). Pada peta 1740, persil pertama dari kanal adalah perkebunan kelapa untuk tujuan produksi minyak goreng. Perkebunan kelapa yang luas ini diduga menjadi asal mula munculnya kampong Kebon Kalapa (kini kelurahan Kebon Kelapa).

Lukisan 1750
Kita bisa ringkas situs penting, situs tua yang menjadi bagian sejarah Sawah Besar adalah jalan kuno sejak era Pakwan-Padjadjaran yang kini menjadi jalan Hayam Wuruk/jalan Gajah Mada (di era Hindia Belanda disebut jalan Molenvliet). Situs kedua adalah kanal antara benteng Noordwijk (sungai Tjiliwong) dan benteng Riswijk (sungai Kroekoet). Situs ketiga kita adalah sawah yang sangat luas yang dikenal kemudian sebagai Sawah Besar (lihat Lukisan 1750). Siapa pemilik sawah luas ini tidak diketahui secara jelas. Sawah luas ini pada lukisan berada antara benteng Jacatra dan benteng Noordwijk.

Kali Mati: Gang Patjenongan

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pembangunan Jalur Kereta Api: Halte Sawah Besar

Tunggu deskripsi lengkapnya

Onderdistrict Menjadi Kecamatan: Chinese Kerkweg Menjadi Jalan Lautze

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar