Selasa, 18 Februari 2020

Sejarah Jakarta (89): Kelapa Gading, Tidak Hanya Sekadar Nama Tempat; Geografis Berada Antara Poelo Ketjil - Poelo Gadong


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada sejarah Kelapa Gading? Yang jelas area Kelapa Gading masa kini cukup terkenal. Bagaimana pun, sejarah Kelapa Gading tentu saja perlu didokumentasikan, bukan karena ia kini terkenal tetapi karena nama Kelapa Gading mengambil nama kelapa berwarna gading. Tentu saja bukan pula karena warnanya gading tetapi karena jenis kelapa gading sudah sangat dikenal sejak tempo doeloe. Penggunaan kalapa dalam penamaan suatu tempat paling tidak sudah dikenal sejak era Pakwan-Padjadjaran: Coenda Calapa (Soenda Kalapa), nama pelabuhan terkenal di muara sungai Tjiliwong.

Peta 1903 dan Now
Penggunaan nama kelapa dalam menamai suatu tempat diduga karena alasan navigasi pada tempo doeloe, bukan karena alasan geografis. Pohon kelapa, tidak hanya banyak manfaatnya mulai dari batang, daun, buah dan airnya, tetapi juga vigour pohon kelapa dapat menjulang tinggi di antara pohon-pohon besar. Pohon kelapa secara fisiologis tidak tumbuh di rawa, tetapi di tanah yang kuat karena akarnya yang pendek (monokotil). Pohon kelapa diduga salah satu jenis pohon purba yang tersisa (daunnya yang tahan panas dan tahan angin badai). Selain itu, pohon kelapa bisa tumbuh terpisah dari daratan seperti di Poeloe Kalapa. Pohon kelapa juga kerap digunakan sebagai menara pengintai. Satu batang pohon kelapa tentu saja tidak ekonomis, karena itu tanaman kelapa harus ditanam banyak dalam suatu budidaya (untuk menghasilkan minyak goreng). Karena itu muncul nama-nama Kebon Kalapa (dekat Istana Presiden yang sekarang), Pondok Kalapa (di Jakarta timur yang sekarang) dan Kalapa Dua di wilayah selatan dan wilayah barat Jakarta. Itulah kisah heroik tanaman kalapa, Rayuan Pulau Kelapa membuat kita tergoda untuk menulis sejarah Kalapa Gading. Seperti halanya nama Kelapa, nama Rawa juga banyak ditemukan nama tempat di Jakarta.

Kalapa Gading [kini, Kelapa Gading] suatu nama kampong tempo doeloe pada masa ini menjadi suatu area yang ditabalkan menjadi nama sebuah kecamatan di wilayah Jakarta Utara. Kecamatan ini terdiri dari tiga kelurahan: Kelapa Gading Barat, Kelapa Gading Timur dan kelurahan Pegangsaan Dalam hubungan ini ada pertanyaan kecil keluruhan mana yang lebih dulu ada (barat atau timur?), Pertanyaan lainnya adalah apakah ada nama kelurahan Pegangsaan Satu? Pertanyaan-pertanyaan kecil ini memnjadi password kita untuk menjawab pertanyaan besar tentang sejarah Kelapa Gading. Untuk itu, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kecamatan Kelapa Gading, Provinsi DKI Jakarta
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kalapa Gading: Antara Poeloe Ketjil dan Poeloe Gadong

Tidak ada alasan orang tempo doeloe bertempat tinggal di suatu area yang kini dikenal sebagai Kelapa Gading. Area tersebut tempo doeloe sangat marjinal, tempat ular dan buaya bersarang. Ada kalanya radja hoetan melintas di area tersebut menuju Papanggo untuk mencari mangsa. Ular dan buaya bukanlah mangsa Si Matjan Meong, tetapi pesaing berat dapat memangsa dirinya. Jika Radja Hoetan ingin melintas, ia tidak memberi salam, tetapi membuat sinyal auman besar yang tidak hanya membuat para petani tunggang langgang pulang ke rumah, tetapi membuat buaya menyingkir. Tapi ular tidak tahu auman, karena ular tidak mendengar dan juga tidak bisa melihat, maka ular selalu batu sandungan bagi harimau. Itulah karakteristik ekosistem area Kalapa Gading tempo doeloe. Di area Kalapa Gading sudah pasti tidak ditemukan gajah. Hanya ular dan harimau yang disebut penguasa area di wilayah marjinal tersebut. Hanya orang-orang pemberani dan yang tidak punya pilihan tinggal di area marjinal tersebut pada era VOC/Belanda.

Area Kalapa Gading baru dibuka pada era VOC/Belanda. Selama terjadi ketegangan antara VOC/Belanda dengan (kesultanan) Banten, pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda (dari Ambon, Bali, Banda, Makassar dan Boegis Tambora, Timor dan Melajoe serta Djawa) ditempatkan di seputar Batavia. Mereka yang sudah pensiun yang tidak (bisa) ke kampong halaman membuka lahan di tempat mereka ditempatkan. Inilah asal-usul munculnya nama-nama kampong seperti kampong Bandan, kampong Makassar, kampong Melajoe dan kampong Djawa. Mereka menikah dengan perempuan-perempuan dari (wilayah) pedalaman dan kemdian beranak pinak. Orang-orang Melajoe ditempatkan antara lain di Poeoloe Ketjil dan Poeloe Gadong.     

Pada era awal pembukaan lahan (pemukiman dan pertanian) bagi pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda, nama Kalapa Gading diduga belum ada. Nama-nama yang muncul antara lain adalah kampong Sawah, kampong Tanah Tinggi, kampong Poeloe Ketjil dan kampong Poeloe Gadoeng. Lalu kemudian muncul nama yang mengatasnamakan asal seperti kampong Malajoe di Pooloe Ketjil dan Poeloe Gadoeng, kampong Bandan (berasal dari Banda), dan kampong Ambon, kampong Makassae dan kampong Djawa. Kapan munculnya nama kampong Kalapa Gading diduga setelah adanya kanal Soenter.

Peta 1740
Kanal Soenter dibangun garis lurus dari Kasteel Batavia ke Poeloe Gadoeng melalu benteng (fort) Jacatra. Pembangunan kanal yang menyodet sungai Soenter di Poeloe Gadoeng dan mengalirkan airnya ke kota (stad) Batavia dimaksudkan untuk banyak hal. Sungai Soenter di hilir diduga kerap membanjiri (kala hujan dan banjir kiriman) perkampongan repatriasi eks pasukan Portugis dari Malaka di Batoe Toemboeh (kelak disebut Toegoe) dan perkampongan pasukan Jonker di sekitar Tjilintjing dan Tandjoeng Priok. Maksud lainnya pembangunan kanal ini untuk membuat jalan tol air dari Batavia ke Poeloe Gadoeng. Kampong Poeloe Gadoeng telah menjadi pusat perdagangan sekunder di pedalaman (pusat perdagangan utama di muara Antjol dan muara Tjilintjing). Dampak dari pembangunan kanal Soenter ini kemudian berfungsi sebagai drainase yang pada gilirannya lahan-lahan basah dan berawa dangkal mengering yang kemudian dikembangkan menjadi persawahan dan kebun-kebun, seperti kebon kalapa. Kanal Soenter juga adakalanya digunakan (terutama pada musim kemarau) untuk menambah suplai air di pelabuhan Kali Besar agar pergerakan kapal-kapal tidak terganggu. Peta 1740

Letak kampong Kalapa Gading berada di antara kampong Poeloe Ketjil dan kampong Poeloe Gadoeng. Nama kampong Kalapa Gading diduga muncul setelah pembangunan kanal Soenter. Kanal ini sudah terpetakan pada Peta 1724. Kanal ini garis lurus antara Kasteel Batavia dan Poeloe Gadoeng melalui fort Jacatra dan kampong Poeloe Ketjil. Oleh karena di area tersebut ditanam kelapa gading (kelapa berwarna gading) lalu disebut Kelapa Gading.

Peta 1624
Sebelum era VOC/Belanda dimulai, diduga dua jenis budidaya yang diusahakan secara luas di sekitar (pelabuhan) Soenda Kalapa adalah padi sawah (rijsvelden) dan pohon kelapa (klappertuin). Budidaya ini diduga sudah ada sejak era Kerajaan Jacatra (lihat Peta 1624). Dua komoditi ini dapat dapat dikatakan sebagai komoditi untuk kebutuhan pokok (beras dan minyak goreng). Tentu saja ikan-ikanan sangat melimpah. Sejak mengeringnya lahan basah di sepanjang Kanal Soenter muncul perkebunan-perkebunan baru, yang dalam hal ini perkebunan kelapa, yang menjadi sebab munculnya nama kampong baru Kelapa Gading.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

4 komentar:

  1. Apakah sudah ada kelanjutan artikelnya? Kok rasanya artikelnya terasa putus begitu saja ya? Apalagi ada pesan tunggu deskripsi lengkapnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak semua narasi artikel diupload. Semua serial artikel dalam blog ini diplot jadi buku. Deskripsi lengkapnya disajikan dalam buku tersebut. Demikian untuk dimaklumi.

      Hapus
    2. Bisa beli bukunya di mana pak? Apakah sudah dirilis?

      Hapus
    3. Riset sejarah yang saya lakukan belum selesai, tetapi sudah mulai mengerjakan bukunya. Yang sudah terbit Sejarah Pers di Indonesia, Sejarah Mahasiswa di Indonesia baru naik cetak. Besi dibeli seperti di tokopedia. Dua buku sudah siap diajukan ke penerbit yakni Sejarah Catur di Indonesia dan Sejarah Sepak Bola di Indonesia. Untuk sejarah kota-kota akan dimulai pada paruh kedua tahun ini yakni prioritas pertama Sejarah Jakarta. Demikian untuk dimaklumi

      Hapus