*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Selatan di blog ini Klik Disini
Nama Kandangan adakalanya dihubungkan dengan nama Lambung Mangkurat, suatu nama universitas di Kalimantan Selatan. Kandangan pada masa ini adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan di provinsi Kalimantan Selatan, Posisi GPS kota ini berada di sisi sungai Amandit sekitar 135 km di arah utara Kota Banjarmasin. Sungai Amandit bermuara ke sungai Nagara. Pada masa lampau nama tempat Kandangan juga ditemukan di pulau Jawa.
Lantas apa hebatnya kota Kandangan? Kota terbesar di wilayah hulu sungai Barito. Sehubungan dengan perkembangan ekonomi yang pesat di afdeeling Kandangan ditugaskan seorang dokter hewan Dr Tarip ke Kandangan (1912). Lalu bagaimana sejarah Kandangan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Kandangan dan Dr Tarip
Sejak awal pembentukan cabang pemerintahan di Zuid en Oostkust van Borneo pada tahun 1826 di wilayah hulu sungai Barito dibentuk satu afdeeling yang disebut Afdeeling Amoentai (sesuai nama kampong-kota) terbesar di wilayah hulu. Namun ketika Perang Bandjar meletus pada tahun 1859 (yang dipimpin) Pangeran Antasari, wilayah hulu menjadi menjadi pusat pertahanan para pengikut Pangeran Antasari. Situasi dan kondisi yang sulit dicapai, setelah Kandangan dapat direbut lalu dijadikan salah satu garnisun militer. Sejak inilah nama Kandangan mencuat,
Pada tahun 1898 dilakukan reorganisasi pemerintahan di Zuid en Oostkust van Borneo yang mana di dalamnya dibentuk adfdeeling baru yakni Afdeeling Kandangan dimana ibu kota berada di Kandangan (Staatblaad tahun 1898 No. 178), Afdeeling Kandangan terdiri dari tiga onderafdeeeling dengan enam district: Amandit, Nagara, Banoea Ampat, Margasari Batang Alei dan Laboean Amas. Di Onderafdeeling Amandit en Negara yang beribukota di Kandangan tempat kedudukan Asisten Residen dan juga Controleur. Controleur juga ditempatkan di Rantau (Onderafdeeling Benoea Ampat en Margasari) dan di Barabai (Onderafdeeling Batang Alei en Laboean Amas).
Dengan penempatan Asisten Residen di Kandangan, maka babak baru pengembangan wilayah dan pembangunan kota Kandangan dimulai. Oleh karena fasilitas yang menyertai fungsi Asisten Residen maka dengan sendirinya rencana desain kota dimulai di mana ditempatkan kantor-gedung pemerintah, bisnis, pemukiman penduduk dan sebagai. Ssehubungan dengan itu dikembangkan jalan yang ada dan membangun jalan baru yang diperlukan termasuk sistem drainase dan sebagainya. Seperti biasanya, di berbagai tempat, pola ini bersifat umum, yang menjadi cikal bakal kota-kota yang sekarang.
Setelah diberlakukannya wilayah administrasi pemerintahan yang baru di Zuid Oostkust van Borneo, berbagai pembangunan dilaksanakan seperti pengadilan (landraad), pengembangan kesehatan masyarakat, pengembangan pendidikan penduduk tiba gilirannya untuk pengembangan pertanian dan peternakan. Sehubungan dengan bidang pengembangan yang terakhir, pada tahun 1924 seorang dokter hewan ditempatkan di Afdeeling Oeloe Soengai di Kandangan sebagai kepala dinas peternakan dan kesehatan ternak Dr Tarip.
Dr Tarip Siregar adalah lulusan sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (kini Bogor) pada tahun 1814 (lihat De Preanger-bode. 08-08-1914). Dr Tarip ditempatkan di Padang. Setahun kemudian Dr Tarip dipindahkan ke Painan (lihat d Sumatra-bode, 25-05-1915). Pada tahun 1918 dipindahkan lagi ke Padang (lihat De Preanger-bode, 16-07-1918). Setahun kemudian tugas Dr Tarip diperluas hingga ke Fort de Kock (lihat De Preanger-bode, 13-08-1919). Pada tahun 1920 Dr Tarip dipindahkan dari Padang dan Fort de Kock ke Padang Sidempoean (lihat De Preanger-bode, 18-11-1920). Afdeeling Padang Sidempoean adalah kampong halaman Dr Tarip. Setelah dua tahun di kampong halaman, Dr Tarip dari Padang Sidempoean akan dipindahkan ke Medan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-07-1922). Dua tahun di Medan, Dr Tarip diperbantukan ke Kandangan sebagai kepala dinas yang pertama (dinas peternakan dan kesehatan ternak yang baru).
Setelah satu tahun di Kandangan, Dr Tarip diperbantukan ke Lhok Soemawe (Atjeh). Dr Tarip dengan kapal Marchior Treub berangkat dari Batavia ke Medan (lihat De Sumatra post, 14-08-1925). Di dalam manifest kapal Dr Tarip bersama istri dan tiga orang anak. Pada tahun 1927 terjadi wabah penyakit kelenjar hewan di Medan. Untuk menangani didatangkan dua dokter yang kompeten yakni Dr CJ Schroots di Soerakarta yang harus berdiskusi lebih dahulu dengan pusat di Buitenzorg dan Dr Tarip dari Lhok Soeawe (lihat Deli courant, 04-05-1927). Dalam tempo singkat dua dokter khusus kelenjar ini berhasil menangani wabah di Medan. Atas prestasi Dr Tarip selama ini, termasuk mendesain program kerja dinas di Kandangan dan penanganan wabah di Medan baru-baru ini, Dr Tarip mendapat apresisasi dari pemerintah. Dr Tarip diberikan beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-07-1927). Disebutkan Dr Tarip untuk mengikuti pendidik di Rijks Universiteit te Utrecht paling tidak sudah harus berangkat pada bulan September 1927.
Sangat jarang dokter hewan pribumi mendapat kesempatan dengan beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda. Yang pertama adalah Dr Sorip Tagor, asisten dosen di Veeartsenschool di Buitenzorg pada tahun 1913 (sebelum Dr Tarip lulus). Dr Sorip Tagor menyelesaikan pendidikannya di Utrecht pada tahun 1920 dengan mendapat gelar dokter hewan penuh (setara dokter Eropa). Seperti halnya Dr Tarip, Dr Sorip Tagor juga kelahiran Padang Sidempoean. Dr Sorip Tagor, pendiri dan ketua Sumatranen Bond di Belanda 1917, kembali ke tanah air pada tahun 1921 dan ditempatkan di Istana Gubernur Jenderal. Dr Sorip Tagor Harahap adalah dokterr hewan pribumi pertama studi ke Belanda dan mendapat gelar dokter setara Eropa. Dr Sorip Tagor adalah kakek buyut dari Inez/Risty Tagor. Pada tahun 1920 menyusul Dr JA Kaligis melanjutkan studi ke Belanda. Dr JA Kaligis sendiri adalah lulusan pertama Veeartsenschool te Buitenzorg (1911).
Dr Tarip tidak menemui kesulitan studi di Belanda. Oleh karena dokter hewan berpengalaman (sudah banyak melakukan studi lapangan), Dr Tarip tidak mengikuti program pendidikan di Belanda dari bawah (seperti yang harus ditempuh Dr Sorip Tagor). Dr Tarip lulus ujian akhir dokter hewan tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht (lihat De Sumatra post, 07-10-1930).
Dr. Tarip kembali ke tanah air dan atas permintaannya sendiri untuk ditempatkan di tanah kelahirannya di Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Dr Tarip Siregar diangkat menjadi kepala dinas di Residentie Tapanoeli yang berkedudukan di Padang Sidempoean. Untuk menjabat kepala dinas di Residentie persyaratannya adalah harus lulusan Eropa. Pada tahun dimana Dr Tarip sebagai kepala dinas di Residentie Tapanoeli, Dr Sorip Tagor menjadi kepala dinas di Provinice West Java di Bandoeng. Sementara itu teman sekampongnya Dr Alimoesa Harahap yang sama-sama lulus dari Veeartsenschool di Buitenzorg tahun 1914 sebagai kepala dinas di Siantar (Afdeeling Simanloengoen en Karo). Pada tahun 1927 Dr Alimoesa terpilih menjadi anggota Volksraad dari dapil Residentie Tapanoeli (hanya satu wakil per provinsi/residentie. Yang terpilih dari dapil province Oostkust Sumatra adalah Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon (juga kelahiran afdeeling Padang Sidempoean). Mangaradja Soeangkoepon studi ke Belanda tahun 1910.
Program pertama Dr Tarip adalah merintis cabang di Taroetong (Residentie Tapanoeli). Tugas ini mirip yang dilakukan oleh Dr Tarip pada tahun 1924 di Kandangan (afdeeeling Oeloe Soengei, Residentie Zuid en Oostkust van Borneo). Ruang lingkup tugas Dr Tarip juga hingga ke (pulau) Nias (Residentie Tapanoeli).
Dr. Tarip adalah peneliti terbaik di bidang kesehatan hewan. Ini bermula pada saat Dr Tarip dipindahkan ke Padang Sidempoean pada tahun 1920. Dr Tarip dalam melakukan tugasnya ke Padang Lawas, melakukan penelitian dan hasilnya dipublikasikan. Hasil penemuannya adalah metode membasmi cacing pita pada kerbau. Sejak inilah nama Dr Tarip harum manis di pusat yang menyebabkan dirinya ditunjuk untuk merintis cabang-cabang baru seperti di Kandangan dan Lhok Soemawe hingga mendapat beasiswa studi lebih lanjut ke Belanda. Kini, Dr Tarip di Padang Sidempoean tengah merinstis cabang baru di Taroetoeng. Dr Tarip adalah kakek (pihak ibu) dari Prof Dr Sangkot Marzuki, Ph,D, Direktur Lembaga Eijkman di Jakarta, Dr Sangkot Marzuki adalah peneliti terbaik Indonesia. Like (grand)father, like son. Nenek Dr Sangkot Marzuki (Batubara) adalah kakak perempuan tertua sastrawan besar Sanusi Pane dan Armijn Pane serta Prof. Lafran Pane (Pendiri HMI di Jogjakarta 1947).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Mengapa Universitas di Banjarmasin Disebut Lambung Mangkurat?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar