Kamis, 29 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (45): Sejarah Murung Raya di Jantung Pulau Kalimantan; Dayak Ot Danum, Siang Murung dan Orang Ot

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Tengah di blog ini Klik Disini

Pada masa ini Kabupaten Murung Raya (provinsi Kalimantan Tengah) termasuk salah satu kabupaten di pedalaman jantung pulau Kalimantan. Kekhususan kabupaten Murung Raya karena sumber air terjauh dari tiga sungai besar di pulau Borneo (Kapuas, Barito dan Mahakam). Di wilayah jantung ini sejak jaman kuno telah berdiam penduduk asli Borneo yang terbilang masih relatif murni (bahkan ini hari).

Pada peta-peta lebih awal, beberapa wilayah di pulau Borneo diidentifikasi sebagai wilayah (penduduk) Dayak seperti Poenan, Katingan, Ot Danum, Siang Moerong dan sebagainya, Namun nama-nama itu lambat laun dihapus dengan nama baru. Di satu sisi wilayah pedalaman Borneo masih dominan penduduk Dayak, namun seiring dengan semaraknya perdagangan dari pantai ke pedalaman nama-nama Dayak dihilangkan. Demikian juga nama-nama sungai sebagai penanda jalur navigasi diubah seperti sungai Laue atau Melawi menjadi sungai Kapuas, sungai Poenan menjadi sungai Koetai lalu sungai Mahakam; dan sungai Doesoen menjadi sungai Bandjarmasin kemudian menjadi sungai Barito. Namun bargaining position penduduk Dayak (penduduk asli) yang lemah di era Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia Belanda) nama-nama yang sudah eksis dari jaman kuno harus terkubur. Hal ini berbeda dengan di Jawa seperti sungai Tjisadane vs sungai Tangerang, sungai Tkiliwong ve sungai Jacatra, sungai Tjilengsi vs sungai Bekasi dan sungai Tjitaroem vs sungai Karawang.

Lantas apa pentingnya sejarah kabupaten Murung Raya? Itu tadi, wilayah ini di jaman kuno tempat dimana berada penduduk asli, seperti halnya penduduk asli Borneo di kabupaten Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) dan di kabupaten Mahakam Ulu (Kalimantan Timur). Lalu bagaimana sejarah kabupaten Murung Raya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Dayak Ot Danum, Siang Murung dan Orang Ot

Dengan memperhatikan peta satelit, kabupaten Murung Raya tidak hanya bisa diakses melalui sungai Barito dari Banjarmasing (ibu kota provinsi Kalimantan Selatan) tetapi juga bisa diakses melalui jalan darat dari Samarinda di muara sungai Mahakam (ibu kota provinsi Kalimantan Timur). Akan tetapi kabupaten Murung Raya yang masuk wilayah provinsi Kalimantan Tengah tidak bisa diakses dari Palangkaraya (ibu kota provinsi). Apakah karena itu penduduk menyebut nama kabupaten mereka sebagai Murung Raya, murung melihat Palangka Raya? Tentu saja tidak. Nama Murung sudah ada sejak jaan kuno, jauh sebelum Palangkaraya didirikan tahun 1957. Sekarang orang di kabupaten Murung Raya tidak perlu murung lagi: Lihatlah ibu kota Republik Indonesia (Jakarta Baru).

Pada awal Republik Indonesia jalur darat dirintis untuk menghubungkan empat kota ibu kota provinsi di pulau Kalimantan: Samarinda, Banjarmasin, Palangkaraya dan Pontianak. Namun jalan Trans-Kalimantan ini dibangun seakan menjadi simpul kota-kota yang dekat pantai. Jauh di masa lampau pada era Pemerintah Hindia Belanda sudah terbentuk jalur darat dari Samarinda hingga ke Muara Teweh. Jalur darat ini terbentuk tidak sengaja. Awalnya adalah jalur militer dari Koetai-Samarinda hingga ke Moeara Teweh untuk menjepit pengikut Pangeran Antasari yang bergerak (bergeser dari Bandjarmasin) ke pedalaman Borneo dalam Perang Banjar (1859-1864). Dari Muara Teweh pada masa kini jalur darat diperluas hingga ke Puruk Cahu (ibu kota kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah). Jalan darat inilah kelak yang menjadi terangkat sebagai jalur trans-Kalimantan yang baru menuju ibu kota Republik Indonesia (Jakarta Baru).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dari Doesoenlanden Hingga Murung Raya

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar