Minggu, 27 Desember 2020

Sejarah Aceh (26): Kepulauan Andaman Nikobar di Utara Aceh; Mengapa Disebut Laut Andaman, Mangapa Tidak Laut Atjeh?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini 

Bagaimana sejarah (kepulauan) Andaman? Siapa yang peduli. Okelah. Karena tidak ada yang peduli disitulah perlu juga dipelajari sejarahnya, paling tidak dari sudut pandang Aceh. Sebab dengan mempelajari sejarah Andaman, langsung atau tidak langsung tentu akan dapat memperkaya pemahaman kita tentang sejarah Aceh sendiri. Pendekatan ini dapat dikatakan sebagai metodologi sejarah yang tidak lazim, Namun dalam permainan voli adakalanya diperlukan seorang tosser (pengumpan).

Laut Andaman adalah laut yang terletak di tenggara teluk Benggala, utara Aceh, barat Myanmar dan Thailand. Laut Andaman merupakan bagian dari Samudra Hindia dengan panjang 1200 Km (utara-selatan) dan lebar 650 Km (timur-barat) dengan luas 800.000 kilometer persegi. Kedalaman rata-ratanya adalah 870 meter dan laut terdalam 3.777 meter. Dalam peta-peta lama nama kepulauan adakalnya disebut Kepulauan Andaman dan Nicobar. Kepulauan Andaman ke arah utara dan kepulauan Nicobar ke arah selatan, Namun nama laut hanya menggunakan nama Andaman. Wilayah Kepulauan Andaman dan Nicobar ini menjadi bagian dari (teritorial) India yang dibagi ke dalam tiga wilayah (distrik), yakni: Distrik Andaman Utara dan Tengah, Distrik Andaman Selatan dan Distrik Nikobar. Wilayah kepulauan di Laut Andaman ini dalam sejarahnya tidak pernah terhubung dengan Belanda, tetapi hanya dengan Austria, Denmark dan Inggris plus Jepang. Kepulauan Andaman dan kepulauan Nicobar pada masa ini memiliki penduduk sekitar 350.000 jiwa.

Lantas apa pentingnya sejarah (kepulauan) Andaman bagi Aceh? Tentu saja karena sangat dekat dengan Aceh. Namun yang lebih penting dari itu adalah mengapa laut di sekitar disebut Laut Andaman dan mangapa tidak diberi nama Laut Atjeh? Dalam hal ini bagaimana hubungan Atjeh dan Andaman (dan sebaliknya). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Andaman: Atjeh vs Aroe

Sebelum kehadiran orang Eropa (Portugis di Malaka, 1511), kerajaan Atjeh bersaing dengan kerajaan Aroe (lihat Mendes Pinto, 1539). Kerajaan Aroe menguasai selat Malaka dan kerajaan Atjeh menguasai perairan laut utara Sumatra. Dua kerajaan ini di atas perjanjian damai, kerajaan Atjeh melanggarnya yang menyebabkan jatuhnya Pacem (Pasai) dan terjadinya perang di Iacur dan Lingua.

Kerajaan Malaka pernah diserang kerajaan Aroe (namun tidak diduduki), mengindikasikan kerajaan Malaka lemah. Faktor ini diduga menjadi pangkal perkara Malaka dapat diserang Portugis dan kemudian Portugis mendudukinya (untuk endapatkan tempat untuk dijadikan pusat perdaganganya). Kerajaan Aroe sendiri berada di pantai timur Sumatra di daerah aliran sungai Baroemoen (Padang Lawas, Tapanulu). Tiga putra Radja Aroe terbunuh oleh kerajaan Atjeh di Iacur dan Lingua. Kerajaan Atjeh dengan tentara Turki menyerang Pacem (Pasai) sebelum terjadi pertempuran di Iacur dan Lingua. Atas kehilangan tiga putra ini, Radja Aroe, Batak Kingdom membuat aliansi di Semenanjung Malaya (Malaka) dengan Portugis. Catatatn: Pacem berada di Lhoksukon atau Lhoknibung yang sekarang (antara sungai Pase dan sungai Ambuara atau Jambu Air). Sungai Ambuara adalah sungai terbesar kedua di bagian utara pulau Sumatra (setelah sungai Baroemoen). Sungai Ambuara ini bermuara di Gayo (sekitar danau Laut Tawar). Dimana posisi GPS Iacur dan Lingua? Iacur diduga Nagur di Simalungun; Lingua diduga Lingga di Tanah Gayo.

Setelah jatuhnya Pasai, dan terbunuhnya putra-putra Radja Aroe di Iacur dan Lingua, kerajaan Atjeh semakin kuat dengan tentara Turki dan semakin meluas wilayahnya. Dalam situasi inilah memuncak persaingan antara kerajaan Atjeh (Persia dan Turki) dan kerajaan Aroe (Moor dan Portugis). Dua kekuatan inilah yang menjadi polarisasi navigasi pelayaran. Kerajaan Aroe di selat Malaka bagian tengah dan selatan; kerajaan Atjeh di selat Malaka bagian utara dan perairan kepulauan Nicobar dan Andaman.

Sejarah spasial (pulau) Sumatra dapat dihubungkan pada tiga era: Penduduk asli Sumatra awalnya berada di belakang pantai tempat dimana terdapat danau: danau Tangse dan danau Takengon (Gayo); danau Toba dan danau Siais (Batak), danau Maninjau, danau Singkarak dan danau Kerinci (Minangkabau pra Pagaroejoeng) dan danai Ranau (Komering dan Lampong). Pada saat itu pulau Sumatra masih sangat ramping (belum terbentuk daratan Manggala, Palembang, Djambi, Indragiri, Siak, Rokan, Laboehan Batoe, Tandjoeng Balai, Pulau Sicanang, Lhokseuawe, Pedir dan Atjeh. Pada era ini masuknya orang-orang India-Ceylon beragama Boedha-Hindoe. Hal itulah mengapa penduduk di sekitar danau dari Ranau hingga Tangse memiliki aksara yang mirip satu sama lain. Beberapa flora dan fauna didatangkan ke Sumatra. Pinus ke Kerinci, ke Siais dan Takengon; gajah, harimau dan orang utan (Siais dan Takengon). Agama Boedha-Hindoe tidak berkembang lebih lanjut di Sumatra (tetapi tidak demikian di Jawa). Oleh karena itu penduduk-penduduk asli Sumatra kebali pagan. Beberapa situs peradaban Boedha-Hindoe yang tersisa di Sumatra antara lain prasisti Kedukan Bukit, candi Simangambat (Siais). Candi Padang Lawas dan candi Muara Takus. Dengan semakin berkembangnya penduduk asli di pedalaman, melalui perantara pedagang-pedagang India muncul kota-kota perdagangan seperti Martapura (Lampong), Loeboek Linggau-Palembang, Muara Tebo-Telainapura-Djabi, Rengat-Indtragiri, Bangkinang-Siak, Pasir Pangaraian (Rokan), Panai (Baroemoen), Oedjoeng Gading (Pasaman), Lingga Bajoe (Batang Natal), Loemoet, Baroes, Bandar Kalifah, Kampei (Hamparan Perak), Lhoknibong dan Loksoekon (Pasai), Singkil, Daja, Pedir dan Atjeh. Pada kota-kota pelabuhan inilah pedagang-pedagang Islam datang yang kemudian membentuk koloni (kerajaan dan kesultanan). Pada era Islam ini (Persia) kerajaan-kerajaan pagan di masih eksis di pedalaman (termasuk Kerajaan Mianangcabo dan Kerajaan Aroe). Semakin menguatnya kerajaan-kerajaan pantai (kesultanan), kerajaan-kerajaan di pedalaman mulai memudar. Pada saat mulainya memudar kerajaan-kerajaan di pedalaman, muncul orang-orang Eropa (Portugis) yang didahului oleh orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara (Mauretania, Morocco dan Tunisia) yang malenggangkan tradisi Islami. Bersamaan dengan kehadiran Eropa-Portugis, Kerajaan Atjeh menguat yang lalu menaklukkan Pasai yang kemudian memuncak persaingan kerajaan Atjeh (Islam) yang diperkuat Turki dengan kerajaan Aroe (pagan) yang diperkuat orang Moor (dan membuat aliansi dengan Portugis di Malaka). Catatan: Kota Malaya lebih dulu eksis dari Kota Atjeh. Kota Malaya sendiri terbentuk pada abad ke-13 oleh orang-orang Islam, suatu tempat yang sebelumnya dihuni oleh pedagang-pedagang India. Nama Malaya merujuk pada nama Himalaya. Pedagang-pedagang Moor menyebut Malaya sebagai Malaka. Orang-orang Moor sendiri bermukim di Muar (tanggara Malaka). Nama Muar merujuk pada nama Moor kemudian Moar, Moear dan kini Muar. Orang Moor adalah pedahulu (predecessor) orang Portugis. Orang Portugis kemudian mencatat Malaka sebagai Malacca. Sebelum terbentuk pemukiman di Malaya jauh sebelumnya di daerah aliran sungai Baroemoen sudah membentuk koloni di sungai Angkola (Danau Siais) dan percandian Padang Lawas dibangun pada abad ke-11. Orang-orang India di Angkola dan Padang Lawas tidak masuk dari pantai timur Sumatra melainkan dari pantai barat Sumatra di dekat Danau Siais (kini Tapanuli Selatan). Koloni India di daerah aliran sungai Angkola dan sungai Baroemoen ini menyeberang ke semenanjung di Malaya (kemudian muncul nama Muar di tenggara Malaya).

Perluasan kekuatan kerajaan Atjeh tidak hanya di Pedir (Pidie) dan Pasai (Pacem), juga Daja. Dalam perkembangan lebih lanjut di pantai barat Sumatra mencapai Labo (Meulaboh) dan Singkil, sementara di pantai timur menacapai Tamiang hingga Deli (berhadapan dengan Siak-Djohor). Dalam perkembangan lebih lanjut di pantai barat Sumatra semakin meluas ke Baros, (teluk) Tapanoeli, Natal, Airbangis, Pasaman, Ticoe, Pariaman dan Padang (berhadapan dengan Indrapoera-Djohor).

Kerajaan (kesultanan) Atjeh memiliki aliansi dengan Perak-Kedah yang berhadapan dengan Portugis di Malaka dan Djohor. Lantas bagaimana kesultanan Atjeh dengan pantai barat Siam dan Pegu, Arakan? Dalam situasi dan kondisi inilah kepulauan Nicobar dan kepulauan Andaman penting bagi kesulatan Atjeh (sebagai area transit perdagangan) seperti halnya kesultanan Ternate ke Mindanao (Filipina) melalui wilayah transit (kepulauan Sangir dan kepulauan Talaut) dan kerajaan Djohor ke Borneo dan Mindanao  melalui kepulauan Natoena dan kepualaun Soeloe. Sementara Belanda (VOC) di Jawa, Bali dan Amboina, semakin menguat Spanyol di Luzon (Filipina) membuat ruang jelajah perdagangan Djohor terbatasi. Demikian juga Inggris yang semakin menguat dai di India dan Bengalen membuat ruang jelajah perdagangan Atjeh terbatasi.

Nama Andaman dan Nikobar (Nikubar) sudah diidentifikasi pada peta-peta Portugis. Tidak hanya dua pulau besar tersebut, tetapi juga pulau-pulau di sekitar dua pulau tersebut serta pulau-pulau karang sudah diidentifikasi dalam peta Portugis tersebut. Ini menandakan bahwa dua kepulauan di utara Aceh tersebut sudah dikenal lama. Pulau Rondo salah satu pulau yang terjauh dari pantai utara Aceh menjadi pulau penghubung dengan pulau Nikubar di arah utara. Pulau Rondo kini menjadi pulau terluar (Indonesia) di wilayah Aceh.

Pulau Rondo adalah pulau di utara Aceh (dekat pulau Weh) pada era Portugis adalah penanda navigasi yang penting dengan Nikubar (barat) dan pulau Sambilang (timur).. Pulau Sambilang adalah check point dalam pelayaran yang merupakan pintu masuk ke selat Malaka melalui pantai barat Myanmar yang sekarang. Sedangkan pulau Nicobar adalah check point yang lain dari gugus pulau di tengah lautan dari Atjeh melalui pulau Nikubar dan pulau Andaman terus ke Pegu (pantai barat Myanmar yang sekarang di Rakhine yang kini lebih dikenal sebagai mukim orang-orang Rohingya) dan Bengale (Bangladesh). Catatan: Satu tempat check point navigasi pada era Portugis di Gomet Poles, suatu pengkolan di ujung pulau Sumatra, sebelah barat kota pelabuhan Atjeh. The American Universal Geography, 1812

Kawasan kepulauan Andaman dan kepulauan Nikubar ini sudah dipetakan dengan baik. Hal ini dapat diperhatikan detail peta kepulauan Andaman dan kepulauan Nikubar yang diuat pada buku atlas dunia General Collection of Nautical Publications yang diterbitkan pada tahun 1783. Peta-peta inilah yang masuk ke dalam buku georafi Amerika Serikat (The American Universal Geography, 1812).

Kepulauan Andaman boleh jadi telah meiliki daya tarik sendiri. Belanda (VOC), Inggris dan Prancis sangat berinat. Pada tahun 1785 seorang Inggris, Tuan Busfy memiliki pos perdagangan di Andaman (lihat Amsterdamse courant, 10-03-1785).  Di dalam berita ini disebut bahwa telah diterima surat melalui kapal Inggris, seorang Inggris Busfy menolak kawasan itu kepada Belanda, tetapi kemudian diambilalih oleh Prancis untuk dijadikan pelabuhan di Andaman. Bagaimana Belanda (VOC) berminat untuk kepulauan ini karena VOC sudah mendirikan pos perdagangan di Singkil dan Baros. Tampaknya VOC ingin mengurung seterunya Atjeh, dimana VOC juga telah menugasai Malaka sejak lama. Dengan pos perdagangan VOC di Baros, Singkil, Malaka dan Andaman maka pedagang-pedagang Atjeh akan terisolasi. Penolakan Tuan Busfy terhadap VOC boleh jadi melegakan Atjeh tetapi menjadi masalah ketika Prancis mengabilalihnya. Sebagaimana diketahui Prancis juga telah ikut bermain di kawasan yang pertama menduduki Air Bangis (eks VOC). Catatan: Inggris berada di Natal dan Tapanoeli.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hubungan Atjeh dengan Andaman: Pedir dan Daja

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar