*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini
Entah kapan Bahasa Inggris menjadi lingua franca dalam dunia internasional, demikian juga entah kapan lingua franca yang disebut kemudian Bahasa Melayu menjadi bahasa antar pulau (nusantara). Namun lingua franca Bahasa Melayu di Kepulauan Timor atau Timor Grorp (kini provinsi Nusa Tenggara Timur) masih dapat ditelusuri. Bagaimana bisa? Itulah pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelusuran sumber-sumber tempo doeloe.
Bagaimana sejarah Bahasa Melayu di Kupang di Pulau Timor? Seperti disebut di atas, bahasa Melayu di Kupang (Bahasa Kupang) penuturnya di sebagian besar Pulau Timor. Bagaimana semua itu bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Lingua Franca Bahasa Melayu di Nusantara: Portugis dan Belanda Agen Penyebaran Bahasa Melayu
Keutamaan Kupang sejak masa lampau adalah teluknya yang tenang, itu mudah dipahami karena terhalang oleh pulau Rote dari gelombang laut selatan. Pelabuhan Kupang terus eksis sepanjang masa yang diduga sudah dikenal sejak masa lampau sebagai pusat perdagangan dengan komoditi kayu gaharu terutama yang berasal dari pulau Sumba, Dalam navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno dengan sendirinya Kupang menjadi salah satu tempat tujuan.
Suatu pelabuhan tumbuh dan eksis dalam waktu yang lama karena secara geografi wilayahnya terbuka (keamanan) tetapi dengan tempat yang ideal bagi kapal-kapal untuk berlindung ketika terjadi badai yang besar (keselamatan). Pelabuhan itu stabil dan cenderung pelabuhan alam yang tidak dipengaruhi oleh perubahan sedimen di sepanjang pantai. Pelabuhan semacam ini tidak banyak, antara lain di Semenanjung Malaya di Malaka, Borneo di Broenai, di pantai barat Sumatra di Tapanoeli, Maluku di Amboina dan Sulawesi di Makassar serta di Jawa di Banten. Pelabuhan itu strategis dari navigasi perdagangan yang didukung oleh komoditi utama perdagangan dan populasi penduduk yang besar. Hal itulah mengapa dalam navigasi perdagangan (kerajaan( Madjapahit sudah diidentifikasi nama Solor, Soemba dan Timor (lihat Negarakertagama 1365). Pada masa lampau terdapat kecenderungan penamaan nama pulau berdasarkan nama tempat (pelabuhan(. Tiga nama yang disebut awalnya nama pelabuhan kemudian menjadi nama pulau. Nama Kupang kemudian menggantikan nama Timor yang menjadi nama pulau. Nama Timor sebagai arah mata angin diduga merujuk pada arah dari barat (pulau Jawa) yang dimaksudkan tempat paling timur dalam (navigasi) pelayaran perdagangan.. .
Sebagai kota pelabuhan, Kupang menjadi simpul pertemuan perdagangan domestik dan perdagangan internasional. Solor dan Timor diduga kuat kota utama. Dua nama tempat ini telah dikunjungi pelaut-pelaut pertama Portugis pada tahun 1513 yang pada saat itu produksi diusahakan oleh pedagang-pedagang asal Makassar yang bekerjasama dengan penduduk asli (dei pedalaman). Solor sebagai salah satu tempat terpenting di guguu pulau menyebabkan seorang misionaris Portugis membuka stasion di Solor tahun 1547.
Pelabuhan Kupang menjadi tumbuh lebih cepat dari Solor karena faktor strategisnys sebagai pusat perdagangan kayu gaharu. Orang-orang Portugis yang membuka perdagangan di pantai timur Tiongkok di muara sungai Canton diduga kuat telah menemukan koneksi jalur perdagangan kayu gaharu dari Solor dan Timor. Oleh karena volume perdagangan kayu gaharu di Kupang yang sumber utamanya dari Sumba dan didukung dengan pelabuhan yang lebih baik (dari Solor) maka era baru kota Kupang dimulai (tukar tempat dengan Solor). Pedagang-pedagang Portugis yang berpusat di Malaka dari waktu ke waktu menambah pekerja yang dari waktu ke waktu semakin banyak. Dalam hal ini Portugis memiliki kepentingan sendiri untuk bisa mengimbangi pedagang dan para pekerja asal Makassar. Orang Melayu dan Makasar diduga menjadi dua populasi asing di kawasan yang jumlahnya dominan.
Perkembangan pelabuhan Kupang dari masa ke masa tidak hanya pusat perdagangan yang penting di kawasan tetapi penduduknya dapat dikatakan sudah melting pot sejak awal. Bahasa Melayu sebagai lingua franca sejak zaman kuno, menjadi satu-satunya bahasa utama di pelabuhan Kupang. Keutamaan bahasa Melayu ini di kawasan karena penduduk asli di berbagai pulau juga secara historis terdiri dari beragam asal usul dan bahasa yang dalam hal ini bahasa Melayu menjadi pemersatu di kawasan.
Pelabuhan Solor dan Kupang menjadi sasaran pelaut-pelaut Belanda yang telah meratakan jalan dari selat Soenda (pintu masuk) menuju Maluku. Ini bermula ketika pos perdagangan Belanda di (pantai timur) Bali pada tahun 1605 menyerang Portugis di Amboina. Benteng Victoria diduduki dan kemudian dijadikan ibu kota baru pelaut-pelaut Belanda. Oleh karena kekuatan Portugis masih sangat kuat di Solor dan Koepang yang dapat mengganggu kenyamanan navigasi pelayaran Belanda, lalu pada tahun 1612 pelaut-pelaut Belanda menyerang Portugis di Solor dan mendudukinya. Tidak cukup disitu, Portugis yang mengumpul di Koepang juga dikejar dan diserang dan kemudian Belanda menduduki Koepang. Dua pelabuhan penting sudah dkuasai, Orang-orang Portugis sejak serangan Koepang bergeser ke arah timur pulau yang kemudian terbentuk pelabuhan Dilli. Dalam hal ini penaklukan Solor untuk jalur navigasi dan penaklukan Koepang untuk pusat perdagangan. Tentu saja orang-orang Belanda tidak kesulitan di Koepang karena orang-orang Belanda sudah terbiasa dengan bahhasa Melayu di Amboina dan Bali.
Pendudukan Belanda terhadap kota pelabuhan Koepang menjadi era baru kota Koepang, Ibu kota Belanda di gugus pulau Nusa Tenggara dipindahkan dari Bali ke Koepang sehingga hubungan yang ada menjadi Amboina dan Koepang yang kemudian merintis pos baru di pantai utara. Satu-satunya bagi Belanda, adalah lebih memilih dekat Banten daripada dekat Jepara (suksesi Demak).Korbannya adalah kerajaan Jacarta dimana kemudian pada tahun 1619 Belanda dengan nama bendera VOC membangun benteng utama (Kasteel Batavia) yang menjadi ibukota baru Belanda (menggantikan Amboina).
Seperti halnya di Amboina dan Koepang, Belanda dapat dikatakan juga ikut memperluas penyebaran lingua freanca bahasa Melayu di Batavia. Selain pelabuhan Malaka dan Broenai, pelabuhan Amboina, Koepang dan Batavia/Jacarta menjadi populasi besar pengguna bahasa Melayu. Hal itulah kemudian dialek di tiga kota ini muncul dialek Ambon, dialek Kupang dan dialek Batavia (kemudian bergeser menjadi Betawi). Semua kota-kota tersebut awalnya basis Portugis yang telah digantikan penguasa baru Belanda. Sebagai catatan sebelum terbentuk Jacarta agak di hulu, kota pelabuhan sejak awal era Portugis adalah Zunda Kelapa (yang letaknya di sisi barat muara sungaI), kota pelabuhan terpenting di sebelah barat pantai utara Jawa (sebelum Banten berkembang)..
Tunggu deskripsi lengkapnya
Lingua Franca di Nusantara Bahasa Melayu (Suksesi Bahasa Sanskerta): Asal Usul dan Pertumbuhannya
Jauh sebelum kehadiran pelaut-pelaut Eropa terutama Portugis yang kemudian disusul Belanda, lingua franca bahasa Melayu sudah sejak lama terbentuk (sebagai suksesi lingua franca bahasa Sanskerta). Dimana awal terbentuknya bahasa Melayu ini sulit diketahui. Akan tetapi bagaimana awal mulanya dapat ditelusuri pada berbagai prasasti yang ada. Penggunaan bahasa Melayu terawal yang tercatat dan lestari ditemukan pada prasasti Kedukan Bukit (682 M). Dimana letak awal prasasti ini sulit dipastikan apakah di Palembang, di Bangka atau di tempat lain. Lantas bagaimana asal usul bahasa Melayu di wilayah Timor Group diduga bermula jauh sebelum hadirnya pedagang-pedagang kerajaan Madjapahit (pantai timur Jawa).
Prasasti-prasasti tertua yang ditemukan berada di Vocahn (pantai timur Indochina di Champa, Vietnam) pada abad ke-3; prasasti Koetai (pantai timur Borneo) dan prasasti Bogor (pedalaman Banten) abad ke-4 serta prasasti Jacarta (pantai utara Jawa) abad ke-5. Semua prasasti menggunakan aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta. Prasasti berbahasa Melayu baru muncul pada abad ke ke-7 di pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa yakni prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talangtuo (684 M), prasasti Kotakapur (686 M) dan prasasti Sojomerto (akhir abad ke-7). Prasasti-prasasti ini ditulis dengan akasara Pallawa dalam bahasa Melayu. Antara dua masa inilah diduga terbentuk bahasa Melayu sebagai suksesi bahasa Sanskerta. Sebagaimana diketahui sebagian besar bahasa Sanskerta terserap dalam bahasa Melayu plus bahasa-bahasa daerah. Aksara Pallawa ini mengalami adaptasi dalam dua bentuk yakni aksara Jawa (Mataram kuno) dan aksara Sumatra (Batak). Jika diperhatikan dengan teliti empat prasasti berbahasa Melayu ini isinya terhubung satu sama lain dalam gambarab geografis. Pada prasasti tertua (pertama 682 M) Kedukan Bukit disebut radja Dapunya Hyang Nayk berangkat dari Minanga ke hulu Upang dengan membawa bala tentara 20.000 orang. Pada prasasti Talangtuo (684 M) disebut nama radja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang Srinagajaya. Prasasti Kotakapur (686 M) bala tentara berangkat untuk menaklukkan Jawa. Lalu pada prasasti Sojomerto disebutkan nama Dapunta Seilendra. Dapunta Hyang diduga gelar raja tertinggi (Nayk dan Srinagajaya) yang dibawahnya hanya disebut Dapunta saja (Seilendra). Dalam hal ini bisa ditafsirkan radja Dapunta Hyang Nayk (dari Minanga di muara sungai Baroemoen) menabalkan gelar kepada radja Srinagaya di (pulau) Bangka dan kemudian memberi gelar raja Seilndra dengan gelar Dapunta di Jawa. Kerajaan di Jawa yang ditaklukkan itu adalah kerajaan dimana ditemukan prasasti Jacarta (Tarumanagara, merujuk pada nama sungai Tjitaroem) yang dibantu oleh raja Jawa (Kalingga) yang membentuk dinasti baru Seilendra. Dalam hal (kerajaan) Sriwijaya berkembang di Jawa dan (kerajaan) Aroe di muara sungai B-aroe-moen terus eksis. Sejak inilah aksara Pallawa mengalami perkembangan ke arah dua kutub (Jawa dan Batak). Kerajaan Aroe wilayah navigasi pelayaran perdagangan di utara ekuator, sementara Sriwijaya di selatan ekuator. Jika diperhatikan lagi, isi prasasti Vocahn terhubung dengan Minanga (Kerajaan Aroe) dan prasasti Koetai terhubung dengan pantai utara Jawa (Taroemanagara). Hubungan Kerajaan Aroe di pantai timur Sumatra (wilayah Padang Lawas yang sekarang) dalam hubungannya dengan prasasti Vocahn dipertegas dengan penemuan prasasti Laguna (Manila, Luzon, Filipina) bertarih 900 M. Adanya hubungan yang lestari antara Jawa (Sriwijaya/Seilendra) dengan Sumatra (Aroe/Vocahn) dapat dibaca pada praasti Canggal di Jawa (732 M) dan prasasti Ligor di pantai timur Semenanjung (775 M).
Penyebaran bahasa Melayu hingga ke Timor Group (kepulauan Timor) diduga kuat mengikuti jalur navigasi pelayaran perdagangan dari arah utara (bukan dari arah barat di Jawa). Hal ini dapat dilihat dalam berbagai dimensi (aspek). Jalur navigasi pelayaran perdagangan kerajaan Aroe di utara ekuator telah melewati pantai timur Semenanjung (Pahang) dan Indonchina (Vocahn), pantai utara Borneo (B-aroe-nai) dan pulau-pulau di Filipina (Bataan dan Manila, serta Panai dan Mangindanao) hingga pantai timur Borneo (Koetai) dan pantai utara Sulawesi (Amoerang dan pulau Manado). Hal inilah mengapa aksara di kawasan ini mirip satu sama lain yang merujuk pada Kerajaan Aroe (pantai timur Sumatra). Lalu dalam perkembangannya dari pantai utara Sulawesi membentuk dua arah navigasi pelayaran yakni ke tenggara dan ke selatan.
Prasasti-prasasti yang ditemukan di Minahasa (Tondan), di Seko (Sulawesi Tengah) dan pulau Mangarai (nama awal sebelum Portugis memberi nama Flores) mirip satu sama lain. Prasasti yang mirip asal Jawa hanya sampai di Bima (Soembawa). Karakteristik prasasti di pulau Mangarai berbentuk garis dan lingkaran, Bentuk aksara Mangarai dan Minahasa memiliki kemiripan dengan aksara-aksara yang berkembang di Sulawesi, Filina dan Sumatra. Hal yang penting juga dari sisi linguistik pada kosa kata kunci ditemukan persamaan dengan bahasa-bahasa yang berkembang di Filipina, Sulawesi, Maluku dan Mangarai yang dapat ditrace dengan bahasa-bahasa di pantai timur Sumatra (terutama bahasa Angkola Mandailing) seperti ama/amang, ina/inang//inde, opu/ompung/empung, somba/sumba dan mate. Dalam pembentukan struktur sosialnya juga mirip (bersifat genealogis) dan pembentukan pemerintahan yang bersifat federatif/teritorial (yang berbeda dengan di Jawa yang besifat monarki). Nama tempat Minanga ditemukan di beberapa wilayah di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah dan Maluku. Nama pulau Aroe di timur Timor Group dan tenggara Maluku menandai jalur navigasi pelayaran sudah mencapai selat Torres hingga Maori Dalam konteks inilah penyebaran bahasa Melayu yang awalnya berkembang di pantai timur Sumatra dan selatan Laut China menyebar ke Sulawesi (Manado dan Makassar serta Luwu), Maluku (Amboina) dan Timor Groep (Mangarai).
Jalur navigasi pelayaran Kerajaan Aroe dari pantai utara Sulawesi mengarah ke selatan (Makassa) hingga ke Mangarai dan Timor. Dalam hal ini penyebaran bahasa Melayu dari utara, selain faktor geografis yang berdekatan, telah didahului navigasi pelayaran perdagangan yang intens antara Makassar dan Timor Groep, Kedekatan wilayah Sulawesi dan Timor Grorp melalui navigasi pelayaran perdagangan semakin diperkuat pada era Portugis dari Malaka dengan jalur navigasi pelayaran perdagangan sejak Kerajaan Aroe.
Hubungan Kerajaan Aroe di pantai timur Sumatra dan kerajaan-kerajaan di Jawa (pasca berahhirnya pengaruh Sriwijaya di Jawa) berlangsung sejak tebentuknya Kerajaan Singhasari yang berorientasi maritim (suksesi kerajaan Kediri yang berasal dari Mataram kuno (Seilendra/Sriwijaya). Hubungan ini diperkuat dengan pertukaran pengetahuan dan budaya. Pasca berakhirnya invasi Cola di selat Malaka, di Kerajaan Aroe terbentuk sekte baru agama Boedha yang disebut sekte Bhirawa. Radja terakhir Singhasari Kertangera adalah pendukung fanatik sekte Bhirawa (agama Boedha Batak). Hal itulah mengapa ada candi Kertanegara yang berkarakteristik Boedha/Bhirawa di wilayah Singhasari yang dominan Hindoe. Terbunuhnya raja Kertanegara di Singhasari terbentuknya kerajaan Madjapahit. Pada era Madjapahit inilah kekuatan maritim dari Jawa semakin kuat yang dapat melakukan navigasi pelayaran perdagangan ke segala arah. Ke arah timur mencapai Timor, Saparoea, Amboina, Maluku dan Onim (Papua) serta ke Makassar dan Luwu. Pengaruh budaya Jawa (era Madjapahit) hanya terbatas sampai di Lombok dan Sumbawa (Bima). Budaya yang berkembang di wilayah Timor Groep lebih mengarah ke originnya di utara (Sulawesi) dan timur/laut (Maluku). Besar dugaan nama Timor dan Solor semakin populer dari arah navigasi pelayaran perdagangan dari barat (Jawa/Madjapahit), sedangkan nama Mangarai (sebelum muncul Flores era Portugis) semakin populer dari arah utara. Nama tempat awalan Ma jarang di Jawa (kecuali beberapa seperti Madura), tetapi lebih banyak pada jalur navigasi utara seperti Makassar, Mamuju, Maluku, Manado, Manila, Mangindanao dan Malaka, tentu saja Mangarai/Manggarai. Juga searah dengan jalur ini nama-nama Aroe, Soemba/Soembawa, Somba-opu, Ja-ilolo, Ambo-ina, Ternata/Ternate, Sap-aroe-a, H-aroe-koe.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perkembangan Bahasa Melayu di Kupang dan Sekitar: Era Pemerintah Hindia Belanda
Gambaran awal koya Kupang pada era Pemerintah Hindia Belanda dilaporkan oleh seorang kapten kapal Louis de Freytinet dengan korvet Sr. Ms. I'Uranie yang juga seorang ahli fisika atau ilmu alam yang melakukan ekspedisi keliling dunia (1817-1820) yang singgah di Coupang, Timor Oktober 1818. Laporan ekspedisi ini sudah dibukukan dalam bahasa Inggris oleh Jacques Arago dengan judul Narrative of a Voyage Round the World, in the Uranie and Physicienne Corvettes, Commanded by Captain Freycinet, During the Years 1817, 1818, 1819, and 1820. Treuttel & Wurtz, Treuttal, jun. & Richter, 1823, Beberapa materi buku telah dikutip surat kabar Nederlandsche staatscourant, 07-08-1824. Dalam laporannya kota Kupang terbagi dua yang mana satu bagian dihuni orang orang-orang Cina dan yang lain oleh orang-orang Melayu. Diantaranya juga terdapat orang-orang Moor dan Prancis dan tentu saja ada orang-orang Belanda. Kota dilindungi oleh sebuah benteng, Concordia yang dijaga oleh 10 orang. Orang Melayu di Coepang memiliki raja, sementara raja yang lain terdapat di Dao dan Rote.
Berdasarkan keterangan sekretaris Residen M Thilmann, junmlah penduduk seluruh pulau sekitar 5.000 jiwa dimana 1,500 berada di Coepang yang mana sekitar 1.000 orang budak (mungkin maksudnya rakyat biasa). Sekitar 300 jiwa adalah Cina. Hanya orang Cina yang mengerti bahasa Inggris, mereka berbahasa sendiri dan sedikit yang bisa berbahasa Melayu. Radja Coeupang pernah bentrok dengan Inggris tahun 1912 dan 1916 saat Inggris menduduki Jawa yang kemudian Inggris mengembalikan Jawa dan juga Coupang kepada (Pemerintah Hindia) Belanda.
Kapten Louis de Freytinet, di dalam laporan, mengutip bebera kosa kata dari penduduk Coepang seperti kaillou mera (kayu merah), rajah (raja), kaen slimut (kain selimut), kaybaya (kebaya), kaen sahory (kain sarong), amar (buah pohon tertentu), kissao (buaya liar) daan rouma pamali (rumah suci), gelar raja yang diberikan Belanda toumoukoun (tumenggung?) dan bacanassi (minuman dari pohon palm).
Bagaimana asal-usul terbentuknya populasi di Coepang sulit diketahui secara pasti. Orang-orang Eropa adalah orang asing-pendatang yang silih berganti terutama setelah orang Portugis terusir dari Coupang digantikan Belanda sejak era VOC. Orang-orang Cina adalah pendatang yang menetap sebagai pedagang. Orang pribumi yang kini memiliki raja sendiri juga diduga awalnya pendatang yang bercampur dengan penduduk asli yang membentuk kelompok populasi sendiri dengan penduduk asli di pedalaman. Sejak kapan pendatang ini ada juga sulit diketahui secara pasti. Yang jelas bahwa kota Coupang dengan nama asal Timor diduga sudah ada sejak era Kerajaan Aroe, Kerajaan Majapahit hingg kehadiran pelaut/pedagang Portugis sebelum digantikan orang-orang Belanda. Boleh jadi kota ini sudah eksis sejak 1.000 tahun yang lalu. Dengan karakteristik kota yang bersifat melting bahasa Melayu sudah eksis selama periode itu juga.
Bagaimana perkembangan bahasa Melayu selanjutnya di kota Coupang dapat diperhatikan dari sisi introduksi pendidikan (aksara Latin) dimana Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun sekolah-sekolah bagi penduduk.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar