*Untuk melihat semua artikel
Sejarah Australia dalam blog ini Klik Disini
Seberapa banyak orang Indonesia, dalam arti asal-usul, seberapa banyak kini orang Indonesia (WNI) yang dijadikan warga negara Australia. Itu satu hal. Hal yang lain yang lebih penting dalam hal ini adalah bagaimana sejarah orang Indonesia di Australia. Tentu saja hal ini tidak pernah ditulis, apalagi ditulis oleh orang Australia. Lantas apa pentingnya sejarah orang Indonesia di Australia? Yang jelas, jauh sebelum orang Inggris membentuk koloni di Australia dan sebelum para migran Inggris berdatangan ke Australia, sudah eksis orang-orang Indonesia (baca: Hindia Timur) di Australia, bahkan jauh sebelum era Portugis. Jumlah orang Indonesia (Hindia Timur) sangat meningkat pesat pada era VOC (1619-1799).
Lantas bagaimana sejarah orang-orang Indonesia di Australia? Seperti disebut di atas, orang-orang Indonesia (Hindia Timur atau Hindia Belanda) adalah sejarah yang panjang, sejarah yang sudah terbentuk jauh sebelum kehadiran orang-orang Eropa. Dalam konteks ini orang Indonesia adalah penduduk yang memiliki riwayat asal usul (origin) dari berbagai pulau-pulau diantara benua Asia dan benua Australia yang umumnya berkulit coklat (sawo matang). Namun dengan terbentuknya sekat-sekat negara maka dalam hal ini dibedakan anatara Indonesia dan Australia. Lalu pertanyaannya, bagaimana sejarah orang-orang Indonesia di Australia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Awal Penduduk Indonesia di Australia
Pengaruh awal, orang asing di Indonesia (baca: Hindia Timur) yang kasat mata yang dapat dilihat hingga masa kini adalah kehadiran pedagang-pedagang India yang kemudian membentuk koloni seperti di Sumatra dan Jawa. Pengaruhnya yang besar adalah kebudayaan seperti religi, bahasa dan aksara, seni termasuk candi, nama-nama geografis dan sebagainya yang keseluruhan era itu disebut era Hindoe Boedha. Era awal pengaruh asing itu kemudian digantikan era Islam (yang menyebabkan kini penduduk Indonesia sebagian besar beragama Islam).
Sebaran pengaruh Hindoe-Boedha (India) di Hindia Timur hanya intens di Sumatra, Jawa, Semenanjung dan Borneo. Pengaruh itu seperti disebut di atas, yang paling mencolok dikenal adalah candi di Sumatra dan Jawa. Tentu saja tidak hanya itu, juga bahasa, religi dan sebagainya. Namun yang kurang diperhatikan adalah nama-nama geografis (nama tempat, nama pulau, sungai, gunung dan danau) banyak yang berasal dari India (ada juga nama itu ditemukan di India). Nama Sumatra dan Jawa sendiri merujuk pada nama India. Untuk nama tanjung dan teluk umumnya merujuk pada kehadiran orang-orang Eropa sejak Portugis tahun 1511.
Pengaruh India (era Hindoe Boedha) secara geografis hanya intens di Sumatra dan Jawa. Pengaruhnya di Borneo cukup intens tetapi tidak menyeluruh pulau. Pengaruh Hindoe-Boedha di kepulauan Soenda Ketjil (Nusa Tenggara) dan Sulawesi hanya terdeteksi pada titik-titik tertentu saja. Khusus di Nusa Tenggara, pengaruh Hindoe-Boedha, berada di akhir era Hindoe-Boedha dan lebih dipengaruhi Jawa daripada India. Pengaruh India (era Hindoe-Boedha) tampaknya tidak meluas mencapai kepulauan Maluku, timur Kepulauan Sunda Ketjil dan Papoea. Pengaruh India (era Hindoe-Boedha) tidak ada tanda-tanda, meski sekecil apapun, mencapai Laut Selatan (benua Australia) dan Laut Timur (Pasifik). Pasifik dan Australia (termasuk Selandia Baru) baru ada indikasi pengaruh asing pada era Islam.
Ada satu fase antara era Hindoe-Boedha dan era Islam yakni era transisi yang berada diantara dua era tersebut. Era transisi ini pengaruh India masih eksis tetapi sudah overlap dengan pengaruh orang-orang Moor (beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara seperti Tunisia, Mauritania dan Marokko). Orang-orang Moor ini, yang sekian abad berada di Eropa (Spanyol dan Portugal) dengan kota-kotanya yang terkenal seperti Cordoba, setelah orang-orang Islam tergeser di Eropa, orang-orang Moor ini bergeser kembali ke Afrika Utara dan sebagian yang lain menyebar ke selatan Afrika, Madagaskar dan hingga mencapai pantai-pantai India (selatan). Penyebaran orang-orang Moor inilah yang kemudian terbentuk komunitas Moor seperti di Surate, Gujarat dan Goa. Orang-orang Arab, Persia plus orang Moor inilah yang menyebabkan penduduk India beragama Islam (Pakistan dan Bangladesh). Orang Moor sebagai bangsa yang sudah maju (di Eropa) dan juga pelaut-pelaut yang handal, dari wilayah pantai-pantai India, orang-orang Moor mengikuti rute pelayaran orang-orang India hingga mencapai pantai barat Sumatra, pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya. Pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang Islam Arab, Mesir, Persia dan Turki mengikuti rute para pionir Moor ke Hindia Timur di Sumatra dan Semenanjung. Sejak kehadiran kapilah besar dari Timur Tengah inilah kemudian secara masif menggantikan era Hindoe-Boedha menjadi era Islam (yang dirintis oleh orang-orang Moor). Fase antara era Hindoe-Boedha dan era Islam peran orang-orang Moor sangat signifikan. Sebagaimana diketahu pada tahun 1345 seorang cendekiawan Moor berasal dari Tunisia mengunjungi kerajaan Pasay di pantai timur Sumatra dan mengunjungi Malaka hingga ke pantai selatan Tiongkok (saat itu Jawa masih intens pengaruh Hindoe pada era Majapahit).
Sejak hadirnya orang-orang Islam di Hindia Timur, pengaruh asing secara masif terjadi di Borneo Utara, Filipina, Sulawesi, Maluku dan Papua. Pengaruh Islam mencapai kepulauan Soenda Kecil melalui dua jalur: Jalur barat dari Jawa hingga pulau Sumbawa (di Bima) pada era Kerajaan Demak (mengikuti peta pada era Hindoe-Boedha). Jalur kedua dari utara melalui Sulawesi dan Maluku oleh orang-orang Moor yang telah merintis jalan dari Sumatra dan Malaka ke Maluku melalui Borneo Utara, Mindanao-pantai utara Sulawesi hingga (kepulauan) Maluku.
Awal era Islam ini berawal di Sumatra, Semenanjung, Borneo Utara dan Mindanao. Pada saat yang sama pengaruh Hindoe-Boedha masih sangat kuat di Jawa dan bagian selatan Sumatra. Ekspedisi Majapahit ke Sumatra dan Semenanjung yang dipimpin oleh Gajah Mada, sejatinya bukan untuk menaklukkan Boedha di Sumatra (bagian selatan), tetapi untuk misi menahan pengaruh Islam yang mana kerajaan-kerajaan Hindoe-Boedha (di Sumatra bagian utara dan Semenanjung) telah diperkaya dan diperkuat oleh orang-orang Moor. Sebagaimana diketahui sejak wafatnya Radja Hayam Wuruk 1389, Majapahit secara perlahan melemah. Wafatnya Hayam Wuruk dan kehadiran Ibnu Batutah berjarak waktu empat dekade. Semakin melemahnya Majapahit (di Jawa), pedagang-pedagang Islam (Mesir, Arab dan Persia) di pantai barat Sumatra yang semakin menguat menemukan jalan ke kota-kota pantai utara Jawa melalui Selat Sunda. Sementara orang-orang Moor tetap berada di jalur awal (jalur lama) yang terbentang dari pantai barat India, pantai timur India, Sumatra (bagian utara) dan Semenanjung dan Laut Cina, Mindanao-Sulawesi dan Maluku.
Pada jalur perdagangan orang-orang Moor di bagian utara Hindia Timur terbentuk kerajaan-kerajaan Islam seperti Pasay, Aroe, Malaka, Brunai, Sulu, Manila, Mindanao, Gowa (Sulawesi) dan Ternate. Sementara itu, pengaruh Islam yang muncul dari Tiongkok di utara saling bersinergi dengan orang-orang Moor, namun pengaruh Tiongkok lebih terasa di Jawa (era Cheng Ho). Kolaborasi antara Islam dari Tiongkok dan Islam dari Jazirah Arab yang memperkaya dan memperkuat kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa (lahirnya kerajaan Demak, kemudian Chirebon dan Banten).
Seperti disebut di atas, era Hindoe-Boedha yang mencapai kepulauan Soenda Ketjil dari Jawa digantikan oleh era Islam juga dari Jawa. Sedangkan titik-titik era Hindoe-Boedha di Sulawesi kemudian menjadi pengaruh Islam (Moor) dan kehadiran orang Moor di Maluku menjadi berlanjut ke bagian timur kepulauan Soenda Ketjil (Timor Laut, Key dan Aroe), ke bagian timur Maluku (pulau Papoea) dan ke pantai selatan pulau Papoea (Merauke dan Selat Torres).
Orang-orang Moor yang sebagian tidak memiliki kampung halaman lagi (terutama di Eropa Selatan), selama berabad-abad hidup, tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah dari India hingga Hindia Timur mengikuti pepatah ‘dimana bumi dipijak, dsitu langit dijunjung’. Hal itulah mengapa koloni-koloni orang Moor tersebar di India dan Hindia Timur (Sumatra, Semenanjung, Borneo, Mangindanao, Sulawesi dan Maluku). Jelajah rute pelayaran orang-orang Moor telah mencapai bagian timur kepulauan Soenda Ketjil, timur Papua dan selatan Papoea.
Rute perdagangan orang-orang Moor yang berbasis di Ternate (Maluku) dan Gowa (Celebes) tidak meluas ke timur Papua di Pasifik, tetapi lebih meluas ke selatan dari Selat Torres ke pantai utara dan pantai timur Australia hingga ke pulau-pulau di Selandia Baru yang sekarang dan pulau Tasmania. Sementara dari pulau-pulau di bagian timur kepulauan Soenda Ketjil (seperti Timor Laut) pedagang-pedagang Moor memperluas rute perdagangan ke pantai utara Australia dan pantai barat Australia. Pada fase inilah orang-orang Hindia Timur disertakan dalam pelayaran orang-orang Moor ke benua baru di selatan (Australia) plus pulau Tasman dan pulau Maori (Selandia Baru). Hal itulah mengapa pada masa kini diketahui bahwa bahasa Maori memiliki banyak kosa kata yang mirip dengan bahasa-bahasa di Hindia Timur (bahasa Batak, bahasa Melayu, bahasa Makassar dan lainnya). Jangan lupa bahasa Melayu di Mindanao, Manado, Ternate dan Amboina terbilang bahasa Melayu (bahasa lingua franca pada masa lampau pada era ermas orang-orang Moor). Bahasa Melayu ini berasal dari pengaruh orang-orang dari Sumatra dan Semenanjung yang mana koloni pertama orang Moor berada di pantai timur Sumatra (pulau Aroe) dan pantai barat Semenanjung (di selatan Malaka di Muar atau Moor).
Kehadiran dan keberadaan orang-orang Moor berabad-abad di Hindia Timur menjadi salah satu faktor penting penyerbaran penduduk dari barat (bagian utara Sumatra dan Semenanjung) ke timur (Borneo Utara, Filipina, Sulawesi, Maluku, Papua, Australia dan Selandia Baru. Dalam hubungan inilah penduduk dari bagian timur Hindia Timur (Sulawesi dan Maluku) juga menyebar ke Australia, Selandia Baru dan Tasman. Penduduk Hindia Timur (baca: Indonesia) yang pada fase awal sebagai migran (orang asing) pertama di Australia.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang Indonesia di Australia: Relokasi Tahanan Politik dan WNI
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar