*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
Beberapa hari terakhir ini gunung Sinabung kembali menunjukan aktivitas untuk kesekian kali dalam satu dekade terakhir ini. Bahkan hari ini dilaporkan aktivitas gunung Sinabung mengalami erupsi seperti yang dilaporkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Hari ini gunung Sinabung menyemburkan abu vulkanik setinggi 2.000 meter. Yang diperlukan saat ini adalah agar penduduk di sekitar gunung Sinabung tetap waspada, lebih-lebih situasi dan kondisi yang dihadapi masik pandemik.
Bagaimana sejarah gunung Sinabung di Tanah Karo? Seperti disebut di atas, muncul pertanyaan apakah gunung Sinabung baru aktif sejak 2010 setelah lama tidak aktif? Lantas bagaimana pula sejarah gunung Sibayak? Yang jelas gunung Sinabung dan gunung Sibayak terkait satu sama lain karena berada di rantai gunung yang sama dan paling dekat satu sama lain. Lalu bagaimana sejarah yang sebenarnya dari dua gunung tersebut? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak
Sebelum dikenal nama gunung Sinabung yang sekarang (di Tanah Karo), nama gunung Sinabung merujuk pada nama gunung Leuser yang sekarang (di Aceh Tenggara). Gunung Sinaboeng di Gajolanden ini cukup jelas terlihat dari pantai barat Sumatra (lihat Peta 1883). Nama gunung Sinaboeng ini diduga kuat nama kuno (yang kemudian gunung ini diidentifikasi dengan nama gunung Leuser).
Nama Sinaboeng juga kemudian diindetifikasi sebagai nama kampong di pulau Sinabang (nama pulau yang merujuk pada nama kampong Sinaboeng). Dalam perkembangannya nama kampong ini menjadi tempat utama di pulau tersebut (yang namanya disebut pulau Simeulue. Nama gunung Sinaboeng kemudian diidentifikasi dengan nama Leuser. Nama Sinabung merujuk pada sebutan orang di pantai dan Leuser menrujuk pada sebutan orang di pedalaman (Atjeh). Nama pulau Simeulue juga merujuk pada nama lain di wilayah pantai..
Nama Sinobong atau Sinaboeng tampaknya tidak unik, karena di Bataklanden juga ada nama gunung Sinaboeng (tetangga gunung Sibajak). Nama-nama Simeulue, Sinabang. Si-Nobong, Si Naboeng, Si-Nabang dan Si-Bajak sama-sama menggunakan awalan Si (yang umum digunakan di Tanah Batak).
Seperti disebut di atas pada peta-peta awal diidentifikasi nama gunung Sinobong. Identifikasi itu sebenarnya tidak salah, dalam laporan ekspedisi (1937), ternyata ada puncak lain dari kawasan Leuser yang disebut gunung Sinobong dengan ketinggian 2.500 M. Sedangkan puncak gunung Leuser dalam ekspedisi ini dicatat setinggi 3.314 M. Puncak gunung lainnya adalah Goh Lemboek (3.014 M). Danau kawah yang terdapat di ketinggian dikelilingi oleh tebing dengan tiga puncak (Leuser, Lemboek dan Sinobong) yang diberi nama Laut Tiga Sagi. Nama gunung Leuser (orang Gajoe mengejanya dengan Losir). Nama Losir atau Leuser merujuk pada nama kuno (era Hindoe).
Setelah semakin banyak orang Eropa di Deli (Labiehan dan Medan), nama gunung Sinabung dan gunung Sibayak mulai banyak dibicarakan. Pada ekspedisi awal, sebelum pemerintah Hindia Belanda membentuk koloni di Laboehan (Deli) 1863, hanya nama gunung Sibajak yang dilaporkan oleh para penjelajah sebelumnya. Seperti halnya nama Leuser (tetangga gunung Sinobong di Gajolanden), besar dugaan serupa itu dengan pengenalan nama Sibajak dan nama Sinaboeng di Karolanden.
Pada era VOC, tidak teridentifikasi nama gunung Sibajak maupun nama gunung Sinaboeng. Yang diidentifikasi adalah nama kampong terkenal yang disebut Batoe Hompit, suatu kampong yang menghailkan banyak belerang yang dijadikan sebagai bahan pembuat mesiu. Batu Hompit ini disebut masuk wilayah (kerajaan) Boetar.
Ekspedisi pertama ke wilayah Karolanden dilakukan pada tahun 1865, suatu ekspedisi yang dipimpin oleh Controleur Afdeeeling Deli (di Laboehan). Ekspedisi ini hanya sampai pada kota Kabanjahe yang sekarang. Baru pada ekspedisi berikutnya yang dipimpin de Haan dari Karolanden berhasil mencapai danau (meer) Toba. Nama danau Toba sendiri sudah dilaporkan oleh FW Jung Huhn (1843).
Dalam laporan-laporan terdahulu tidak ditemukan nama gunung Sinabung dan nama gunung Sibayak. Akan tetapi hanya diidentifikasi wilayah Sibayak dimana terdapat radja (Raja Sibayak). Dalam laporan-laporan terdahulu ini juga tidak ditemukan tentang aktvitas suatu gunung (berapi). Bahkan laporan Netscher (Risident Riouw) yang terbilang paling lengkap yang dipublikasikan pada tahun 1872 nama gunung dan aktivitas gunung (misalnya dalam bentuk kejadian gempa) tidak ditemukan. Baru pada laporan de Haan ditemukan nama gunung Sinabong, yang menghasilkan banyak sulfur (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 06-11-1875).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Daftar Aktivitas Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak
Setelah ibu kota Afdeeling Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan pada tahun 1879, berbagai keterangan mulai bermunculan tentang Karolanden (Tanah Karo). Pada fase ini terjadi pemberontakan dari orang-orang Karo karena lahan-lahan ulayat mereka dijual Soeltan Deli kepada para planter dalam bentuk konsesi. Salah satu pemimpin pemberontakan ini adalah Radja Soenggal. Sehubungan dengan semakin intensnya ekspedisi militer ke pedalaman (dari Medan), mulai banyak laporan-laporan tentang keberadaan di Karolanden.
Dalam laporan tahun 1884 nama Sibayak dan nama Lingga yang sering disebutkan (Sibayak van Lingga). Perselisihan antara pemimpin di daratan rendah (Langkat) dan dataran tinggi seperti Sibayak kerap disebutkan. Demikian juga antara Deli dengan Senembah. Perselisihan antara Radja Sibayak dan pemerintah Hindia Belanda terus berlangsung hingga tahun 1886 (lihat Deli courant, 17-04-1886). Perselisihan ini disebutkan oleh dua faktor. Pertama karena pemerintah Hindia Belanda ingin memperluas pengarih ke pedalaman (Karolanden) lebih-lebih sehubungan dengan menetapkan Medan sebagai ibu kota Residentie (menggantikan Bengalis) dan yang kedua karena penduduk dari dataran tingg dianggap kerap melakukan gangguan kepada para planter yang terus memperluas perkebunannya ke arah pedalaman.
Nama Sinabung kembali muncul pada tahun 1890 dari suatu artikel yang ditulis CJ. Van Westenberg yang dimuat pada majalah yang terbit di Batavia (lihat Deli courant, 19-11-1890). Di dalam artikel ini disebut gunung Sinaboen[g] adalah gunung berapi yang aktif sedangkan gunun Sibayak masih samar-samar. Penduduk wilayah Karolanden ini dipimpin oleh Radja Ampat yang bersaudara (Lingga, Baroe Djahe, Soeka. dan Sanembah).
Dalam laporan tersebut dicatat bahwa populasi gabungan dapat diperkirakan 50.000 hingga 150.000 jiwa. Kampung terpenting adalah Sebraja, Lingga, Serbakti, Senabun, Guru Kinajang dan Kebon Djabe masing-masing berpenduduk 2000-3000 jiwa. Seperti halnya pada laporan-laporan terdahulu, dalam laporan ini juga tetap disebut bahwa kawah gunung berapi menyediakan belerang yang dikumpulkan oleh orang Batak dengan maksud untuk pembuatan bubuk mesiu. Dalam laporan ini juga disebut bahwa penduduk pecinta game sabung ayam yang penuh gairah. Apakah dari kata ‘sabung’ ini asal-usul nama Sinaboeng?
Pada tahun 1895 diberitakan bahwa gunung Sinaboeng akan didaki (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 04-02-1897). Disebutkan bahwa upaya baru akan segera dilakukan untuk mendaki pegunungan Si-Nabong, Si-Bajak dan Long-Suatan; Belum ada yang berhasil melakukannya, sebagai akibat dari keengganan orang Batak di sekitarnya, yang keengganan terutama didasarkan pada takhayul. Tuan J. Röliri didampingi oleh Glas dan de la Croix berharap dapat menguji pendakian di hari-hari pertama bulan Februari, alat-alat yang diperlukan untuk topo dan fotografi akan dibawa bersama dan kali ini kerjasama para penghoeloesterlibat memprediksi hasil memuaskan.
Sebagai gunung berapi aktif, gunung Sinaboeng kali pertama disebutkan meletus pada tahun 1904 (lihat Deli courant, 27-07-1904). Ini seakan menyatakan peringatan bagi Sisingapangaraja yang telah merelokasi pertahanannya ke wilayah Fakfak-Dairi (tetangga Karolanden). Disebutkan terjadi semburan di gunung Sinabong yang dianggap aksi vilkanik pertama yang menyebabkan gemuruh. Namun tidak disebutkan seberapa besar semburan dan gemuruh itu dan seberapa luas dampak yang ditimbulkan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar