Selasa, 29 Juni 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (68): Era China Kolonial; Antara Era Tiongkok Zaman Kuno dan Era Tionghoa Zaman Now (Indonesia)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Dalam konteks Sejarah Menjadi Indonesia, ada satu periode tentang Tiongkok dan China yang overlap dengan sejarah Nusantara atau Hindia Timur (Indonesia). Periode ini dapat dikatakan fase transisi era dinasti di Tiongkok dengan era China modern (Sun Jat Sen, sejak 1912). Era China modern ini di Hindia Belanda overlap dengan awal era Tionghoa di Indonesia (sejak 1936). Untuk mudahnya sebut saja ke dalam tiga periode: Tiongkok (Zaman Kuno), China (Zaman Kolonial) dan Tionghoa (Zaman RI). Era zaman kuno Tiongkok sudah dideskripsikan pada artikel sebelumnya. Kini, deskripsinya difokuskan pada era kolonial. Era Tionghoa juga sudah dideskripsikan pada artikel sebelumnya

Sebelum kehadiran Eropa di Hindia Timur (Nusantara), sudah eksis pengaruh India (era Hindoe Boedha) yang kemudian diikuti pengaruh Tiongkok (era perdagangan). Era Hindoe Boedha ini telah mewarnai terbentuknya kerajaan-kerajaan di Nusantara. Namun pengaruh (pedagang-pedagang) India semakin memudar sejak menguatnya kerajaan-kerajaan Nusantara yang telah menggantikan peran  para pedagang-pedagang India. Ini seiring dengan semakin menguatnya pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan yang ada. Diantara dua era ini (Hindoe Boedha dan Islam), masuk pengaruh Tiongkok di nusantara. Pengaruh Tiongkok ini overlap dengan kehadiran Eropa yang mana muncul introduksi baru nama Tiongkok yang mengacu pada nama Sino (Portugis) dan nama China (Inggris).

Lantas apa pentingnya era China zaman kolonial ini? Seperti disebut di atas, era Tiongkok adalah era yang mana sejak awal orang-orang Tiongkok terkait nusantara tetapi belum hadir pengaruh Eropa. Pada fase kehadiran Eropa ini berbeda dengan era Tiongkok. Lalu bagaimana sejarah China pada era kolonial ini yang dapat dihubungkan dengan Hindia Timur dan Huidia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Nama Tiongkok Zaman Kuno: Kerajaan Aru di Sumatra dan Pedagang-Pedagang Arab

Tiongkok pada awalnya tidak mengenal navigasi pelayaran perdagangan. Awalnya pantai timur Tiongkok adalah wilayah terpencil Tiongkok dan sebagian bahkan belum dimiliki Tiongkok. Satu pusat perdagangan yang penting di pantai timur adalah pelabuhan yang kemudian disebut Annam. Pelabuhan Annam adalah vassal dari Kerajaan Aru.

Sebelum muncul nama Annam, pelabuhan awal di pantai timur adalah Kattigara, suatu nama kuno. Nama Kattigara sudah dicatat oleh Ptolomeus (150 M) sebagai ‘portus Sinarura’ yang boleh jadi dalam bahasa Batak Sinarura ini dapat diartikan Cina (Sina) dan lembah (rura) atau juga dapat diasosiasikan dengan (kerajaan) Simamora. Dari catatan sejarah dinasti Tiongkok Hou Han-Shu (yang disusun pada abad ke-5) diketahu bahwa pada tahun 132 M. pesisir wilayah di timur laut Annam [nama Tiongkok adalah Jih-nan] sudah menjadi titik terminal untuk navigasi dari Laut Selatan. Pada tahun itu di dalam catatan itu disebut raja Yeh-tiao dari luar perbatasan Jih-nan sebuah kedutaan untuk memberikan upeti. Kaisar memberikan Tiao Pien kepada raja Yeh-tiao segel emas dan ungu. Yeh-tiao diduga kuat adalah Sumatra, sebab nama Jawa saat itu adalah Yawadwipa. Kerajaan Yeh-tiao diduga kuat adalah Kerajaan Aru (bandingkan dengan prasasti Vo Cahn abad ke-3). Sebab berdasarkan catatan Ptolomeus (150 M) disebutkan bahwa bagian utara pulau Sumatra adalah sentra produksi kamper (komoditi utama Kerajaan Aru di daerah aliran sungai Barumun di pantai timur Sumatra). Sejak terjadinya invasi Tiongkok ke Annam, pengaruh Kerajaan Aru bergeser Kattigara.

Dengan semakin berkembangnya pelabuhan Tiongkok di Canton, wilayah Tiongkok yang kaya jalur navigasi pelayaran perdagangan mulai didatangi oleh pedagang-pedagang asing seperti Arab, Dalam hal ini sebelum Tiongkok mengenal navigasi pelayaran, pedagang-pedagang Arab adalah yang paling aktif mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Tiongkok di pantai timur. Pada saat awal kehadiran pedagang Arab ada dua pelabuhan yang bersaing di pantai timur yakni pelabuhan Canton (kini Guangzhou) dan pelabuhan Annam. Kehadiran pedagang-pedagang Arab di Tiongkok bahkan selagi umat Islam masih dipimpin oleh (nabi) Muhammad di Madinah (tahun Hijrah dimulai tahun 622 M). Boleh jadi dari sejarah inilah diketahui adanya hadis yang menyatakan ‘tuntutlah ilmu itu walau jauh ke negeri Tiongkok’.

Kelak nama Annam berganti dengan nama Champa (kini Vietnam). Sedangkan nama Kattigara kelak disebut Cochinchina (kini Kamboja). Dari perubahan-perubahan nama inilah kemudian terbentuk etnik Champa di Annam dan etnik Khmer di Kattinagara (Cochinchina). Nama Champa dan nama Khmer diduga merujuk pada nama kamper (champer=champa; champer=khmer). Seperti disebut di atas, kamper adalah komoditi utama berasal dari Kerajaan Aru. Pedagang-pedagang Arab di Canton juga mendapat mata dagangan kamper, mata dagangan yang berasal dari Kerajaan Aru yang ditransfer ke Kattigara dan Annam dan kemudian diteruskan ke Canton,

Dalam catatan Tiongkok disebutkan bahwa antara 618 dan 626 empat murid Muhammad membawa Islamisme ke Tiongkok, satu mengajar di Canton, satu di Yang-chow, dan dua lainnya di Ch'üan-chow. P'an-yü-hsien-chih  bab 53 halaman 1 berkata: ‘Ketika perdagangan laut dibuka pada dinasti T'ang, Muhammad, raja Muslim Medina mengunjungi koloni Muslim di Canton, yang mereka sebut Khanfu. Juga disebutkan mengirim paman dari pihak ibu, pendeta Su-ha-pai-sai ke Tiongkok untuk berdagang. Dia membangun menara Kuangfe dan masjid Huai-shêng. Dia meninggal segera setelah menara dan masjid selesai dibangun. Dabry de Thiersant, paman dari pihak ibu Muhammad, Wahb-Abu-Kabcha, datang ke Tiongkok pada tahun 628 atau 629.  Pada tahun-tahun ini pula diketahui peziarah Tiongkok mulai berkunjung ke India.

Pada tahun 629, seorang yang terkenal peziarah Hsüan-tsang memulai perjalanannya melalui Asia Tengah dan India. Para peziarah yang pergi ke India setelah dia mengambil pada awalnya rute darat melalui Balkh, Peshawar, Tibet dan Nepal, tetapi di paruh kedua abad ketujuh rute laut menjadi lebih sering digunakan. Canton adalah pelabuhan embarkasi. Sangat sering peziarah yang mampir di Jawa atau di Sumatera, tinggal disana untuk beberapa waktu sebelum mereka melangkah lebih jauh, karena tempat-tempat ini adalah juga pusat studi agama Buddha. Kemudian mereka melanjutkan lagi perjalanan melewati Kepulauan Nicobar dan menuju Ceylon. Buddhis Tiongkok yang terkenal, Guru Hui-ning pergi ke Java sengaja pada tahun 664-665, dan tetap disana tiga tahun untuk bekerja dengan pendeta dari negara itu Jnanabhadra yang dengan cendekiawan ini, dia menerjemahkan Nirvana. Sumatera juga disebut sebagai pusat besar untuk studi agama Buddha. Di antara orang Tiongkok yang pergi untuk belajar disana adalah I-tsing. Dia meninggalkan Canton pada tahun 671 dan menuju ke Sumatera Sriwijaya dimana ia menghabiskan enam bulan studi tentang tata bahasa Sansekerta. Kemudian dia pergi ke Malayu dimana dia tinggal selama dua bulan lainnya. Setelah kembali dari India dimana dia menghabiskan sepuluh tahun di universitas Buddhis Nalanda yang terkenal, dia kembali menetap di Sriwijaya selama kurang lebih 10 tahun dan bergerak di bidang penulisan dan penerjemahan. Dalam biografi I-tsing disebutkan enam puluh peziarah yang melakukan perjalanan ke India, tiga puluh tujuh di antaranya menempuh jalur laut.

Dari berbagai keterangan yang berasal dari catatan Tiongkok mengindikasikasikan bahwa di Tiongkok, sudah ada orang-orang Islam di Canton, sebelum orang-orang Tiongkok melakukan kali pertama ziarah agama Boedha ke India. Tentu yang paling menarik dari keterangan itu bahwa Nabi Muhammad pernah berkunjung ke Canton dan juga kemudian oleh pamannya. Ketika pedagang-pedagang Arab sudah melalui laut ke Tiongkok, peziarah Tiongkok ke India masih melalui darat. Baru pada pertengahan abad ke-7 orang Tiongkok mulai menggunakan jalur navigasi pelayaran, seperti Guru Hui-ning ke Java (664-665 M) dan I’tsing ke Sumatra (671 M).

Dalam perkembangannya sehubungan dengan semakin pentingnya pelabuhan Canton, pedagang-pedagang Arab di pelabuhan diizinkan Kaisar Tiongkok untuk membentuk koloni (tidak hanya sekadar berdagang tetapi juga untuk menetap). Berdasarkan catatan dinasti Tiongkok karena orang-orang Arab berperilaku baik dan telah memiliki tertib hukum sendiri yang bisa menjalankan pengadilan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Navigasi Pelayaran Perdagangan Tiongkok: Sino Era Portugis dan China Era VOC (Belanda)

Dalam sejarah (dinasti) Sung, selama periode (dinasti) Sung Selatan (1127-1279) mulai dimunculkan gagasan menjemput bola dalam perdagangan, tidak lagi hanya sekadar menunggu pedagang-pedagang asing datang seperti Arab tetapi kaisar Tiongkok mendorong pedagang-pedagang Tiongkok untuk mengarungi laut (selatan). Program ini dipromosikan antara tahun 984 dan tahun 987. Ini ditindaklanjuti dengan delapan pejabat dikirim oleh Kaisar T'ai-tsung dengan kredensial di bawah segel Kekaisaran ke luar negeri. Hasilnya segera tampak, gudang-gudang perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Tiongkok penuh dan mendapat keuntungan yang lebih besar yang juga pada gilirannya meningkatkan porsi penerimaan pemerintah. Selain ekspor produk Tiongkok, juga mendatangkan produk dari luar seperti gading, cula badak, mutiara, giok, kayu wangi (gaharu), obat-obatan dan barang berharga.

Tampaknya kebijakan baru Tiongkok ini telah mempengaruhi pola perdagangan Kerajaan Aru di sekitar Laut China Selatan. Kawasan ini dari selat Malaka hingga Filipina adalah kawasan tradisional navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru sejak zaman kuno. Untuk memahaminya dapat diperhatikan lagi isi prasasti Vo Cahn abad ke-3, prasasti Kedukan Bukit 682, prasasti Ligor 775 M dan yang terakhir prasasti Laguna Luzon 900 M.

Di bagian akhir abad kesepuluh, Tiongkok berdagang dengan Semenanjung [Malaya], Jawa, Champa, Kalimantan, beberapa pulau du kepulauan Filipina, Sumatra dan lain-lain. Juga dengan orang Arab. Meskipun daftar ini dalam Sejarah Sung tidak menyebutkan secara khusus negara-negara di pantai India, tidak terbayangkan bahwa tidak satupun dari mereka diperdagangkan dengan Tiongkok. Ke dalam negara-negara ini harus menambahkan Jepang dan Kepulauan Liu Kiu.

Mengapa tidak ada perdagangan Tiongkok hingga pantai timur India, sebenarnya, meski tidak dijelaskan dalam sejarah Sung, tetapi berdasarkan sumber lain dapat saja itu terjadi telah terjadi ketegangan antara Tiongkok dengan negara-negara di India. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1022 Kerajaan Chola di India selatan melakukan invasi ke ke pantai utara bahkan hingga ke selat Malaka. Berdasarkan prasasti Tanjore 1030 nama-nama yang diserang pasukan Chola di Sumatra antara lain Lamuri, Kadaram, Malayu dan Panai (Kerajaan Aru).

Boleh jadi mulai melautnya pedagang-pedagang dari daratan Tiongkok ke wilayah selatan dan dilakukannya invasi India (Chola) ke Hindia Timur menjadi tonggal penting, yang dapat menjadi awal dari Tiongkok di Hindia Timur dan akhir dari India di Hindia Timur.

Tunggu deskripsi lengkanya

Era China Kolonial: China (Hindia Belanda) dan Tionghoa (Indonesia)

Kehadiran Eropa, dalam hal ini Portugis, di Tiongkok baru terjadi pada tahun 1514 yang dipimpin oleh Fernao Peres. Ini setelah sebelumnya pelaut-pelaut Portugis menaklukkan dan menduduki (kerajaan) Malaka.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar