Sabtu, 14 Agustus 2021

Sejarah Makassar (25): Rampi dan Seko Antara Gunung Gandangdewata dan Balease di Luwu; Sentra Kemenyan, Damar, Emas

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini  

Nama Rampi dan Seko bukanlah wilayah tak bertuan dan tidak penting. Boleh jadi itu masa kini, tetapi di masa lampau zaman kuno Seko dan Rampi adalah dua nama tempat di Hindia Timur yang mungkin popularitasnya sampai di Sumatra. Seko dan Rampi tidak hanya secara geografis adalah jantung yang sebenarnya pulau Sulawesi, tetapi Rampi dan Seko adalah sentra produksi emas, kemenyan dan damar yang menjadi pusat peradaban tertua di Sulawesi. Rampi berada di lereng barat gunung Balease dan Seko di berada di lereng bagian timur gunung Godangdewata di Luwu.

Konon, orang Angkola Mandailing sejak zaman kuno sudah mengenal pulau Sulawesi, seperti Sumatra sebagai penghasil emas. Pelaut-pelaut Angkola Mandailing dengan para penambang bermigrasi ke pulau Sulawesi untuk memperdagangan dan menambang emas yang sudah diusahakan oleh penduduk asli (negritos). Para pendatang dari daerah aliran sungai Barumun dari pelabuhan Binanga membina hubungan produksi dan perdagangan ke pulau Sulawesi. Awalnya bermula di wilayah Minahasa yang sekarang di dekat gunung Ompung (kini Empung) dan danau Tordano (kini Tondano). Dari pusat awal peradaban baru Minahasa inilah kemudian para migran terus merangsek melalui darat hingga Seko dan melalui lalut (teluk Tomini) menyusuri sungai hingga danau Poso di Rampi. Sejak inilah terbetuk bahasa-bahasa: Bahasa Minahasa menjadi bahasa Tao (Kaili, Palu) dan bahasa Baree (Poso) di wilayah Toaraja dan Luwu. Konon, perpaduan bahasa Tao dan Baree ini yang membentuk bahasa Makassar yang kemudian menurunkan bahasa Walio (Buton). Dalam perkembangannya bahasa Buton (pantai) ini melahirkan bahasa Bugis dan bahasa Mandar.

Lantas bagaimana sejarah Rompi dan Seko di jantung pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas, konon bahasa di kawasan sentra produksi kemenyan, damar dan emas ini bermula dari bahasa Tao dan bahasa Baree di utara. Kata ‘konon’ ini haruslah dipandang sebagai hipotesis. Lalu bagaimana sejarah Rompi dan Seko di jantung pulau Sulawesi yang sebenarnya? Berangkat dari hipotesis, seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Seko dan Rampi Zaman Kuno

Pada masa ini nama Rampi dan Seko adalah dua nama kecamatan di kabupaten Luwu (utara) provinsi Sulawesi Selatan (yang berbatasan langsung dengan provinsi Sulawesi Tengah). Secara khusus (kecamatan) Rampi adalah jantung pulau Sulawesi yang mana posisi GPS Rampi memiliki jalur (perdagangan) tempo doeloe ke utara (teluk Tomini di Poso), ke timur (teluk Mori di Kolonodale), ke selatan (teluk Bone di Masamba) dan ke barat (teluk Benggaulu di Pasangkayu).

Pada zaman kuno, wilayah (kecamatan) Rampi diduga awalnya diakses dari pantai barat (teluk Benggaulu) dan dari pantai selatan (Masamba teluk Luwu atau teluk Bone). Dari arah pantai barat Benggaulu melalui (kecamatan) Seko. Benggaulu zaman kuno berada di muara sungai Benggaulu (yang kini masuk wilayah kecamatan/kabupaten Pasangkayu). Di wilayah kabupaten Pasangkayu ini secara toponimi mirip dengan nama Sibatangkayu di Angkola. Nama-nama lainnya di kabupaten Pasangkayu adalah nama kecamatan Baras (Barus), Bulu Taba (Toba), Lariang (Gariang), Sarudu (Sarudfik) dan Tikke Raya (Tukka). Di kecamatan Lariang terdapat nama desa Batu Matoru (Batangtoru), di kecamatan Sarudu terdapat desa Bulu Mario (Bulu Mario). Dari arah selatan di teluk Luwu melalui sungai Masamba sisi barat gunung Balease langsung ke Rampi. Di teluk Luwu dekat sungai Masamba juga bermuara sungai Angkona (Angkola). Seperti disebut di atas Seko dan Rampi berada diantara gunung Gandangdewata di barat dan gunung Balease di timur. Di Angkola (Tapanuli Selatan) terdapat dua nama gunung yakni gunung Loeboe Raja di utara dan gunung Malea di selatan. Di lereng gunung Loeboe Raja terdapat sabana yang disebut Padang Gondang. Nama-nama Malea, Loeboe Raja dan Padang Gondang di Angkola apakah memiliki asosiasi dengan nama Balease, Luwu dan Gandangdewata serta sungai Angkona?

Nama Seko dan Rampi di pantai barat Sumatra di Angkola (kini wilayah kabupaten Tapnuli Selatan dan kabupaten Tapanuli Tengah). Nama Rampi di Angkola adalah nama kampung Batu Rambi di hulu sungai Angkola, nama kampung kuno tidak jauh dari danau Siais. Selain itu, seko sendiri dalam bahasa Angkola adalah kemenyan, suatu produk zaman kuno yang nilainya tinggi dalam perdagangan.

Sebagaimana diketahui pada zaman kuno terdapat beberapa komodisi perdagangan bernilai tinggi seperti emas, kamper, kemenyan, damar, emas dan gading dari wilayah Angkola yang mana pelabuhan terkenalnya di Barus (sudah diidentifikasi sejak abad ke-5). Wilayah sekitar Barus ini sudah dikenal sebagai sentra produksi kamper (lihat Prolomeus abad ke-2). Dalam hal ini wilayah Seko dan wilayah Rampi di kabupaten Luwu Utara bahkan hingga ini hari adalah sentra produksi damar dan (pertambangan) emas seperti halnya masa kini di wilayah Batangtoru, Angkola. Lantas apakah sejak zaman kuno orang-orang Angkola sudah mencapai navigasi pelayaran perdagangan hingga jantung pulau Sulawesi? Bukankah kosa kata elementer sangat mirip antara bahasa Angkola dan bahasa-bahasa di jantung pulau Sulawesi seperti ina. inang (ibu), ama, amang (ayah), empung, mpu (kakek), matua (leluhur), ate (hati) mate (mati), roha (jiwa) dan secara religi memuja para leluhur yang mana sangat diutamakan gunung sebagai awal penciptaan. Tor di Angkola adalah gunung/bukit sedangkan di jantung Sulawesi To adalah orang, seperti Tor [Loeboe] Raja menjadi To Raja [Toraja].

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pembentukan Bahasa Bahasa di Sulawesi

Bahasa Seko dan bahasa Rampi adalah bahasa yang unik (tunggal) di Sulawesi. Jumlah penuturnya tidak banyak. Bahasa Seko danm bahasa Rampi umumnya digunakan di pedalaman di wilayah kecamatan Seko dan wilayah kecamatan Rampi, kabupaten Luwu Utara. Uniknya meski dua kecamatan ini bertetangga, antara bahasa Seko dan bahasa Rampi sangat berbeda.

Berdasarkan Laboratorium Kebhinekaan Bahasa dan Sastra, Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahasa Seko dituturkan oleh masyarakat yang berada di Seko Padang (bagian timur Seko), kecamatan Limbong, kabupaten Luwu Utara, provinsi Sulawesi Selatan. Menurut pengakuan penduduk, bahasa Seko di Desa seko Padang berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Rampi di sebelah timur desa tersebut; wilayah tutur bahasa Toraja di sebelah barat dan Selatan, dan dengan wilayah tutur bahasa Kaili di sebelah utara. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Seko merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara 81%—100% jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan, seperti dengan bahasa Wotu memiliki persentase perbedaan sebesar 88%; dengan bahasa Bugis De memiliki persentase perbedaan sebesar 91%; dan dengan bahasa Rampi memiliki persentase perbedaan sebesar 90%. Penutur bahasa Seko juga berada di desa Watukilo, kecamatan Kulawi Selatan, kabupaten Sigi, provinsi Sulawesi Tengah. Menurut pengakuan penduduk bahasa Seko di desa Watukilo berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Pipikoro di sebelah utara dan berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Besoa di sebelah selatan. Adapun di sebelah timur desa Watukilo merupakan wilayah persawahan. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Seko merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara 81%—100% jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah, seperti bahasa Kaili dan bahasa Kulawi. Pada tahun 2016, desa Watukilo memiliki penduduk sebanyak 783 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 62 jiwa/Km². Bahasa Rampi dituturkan oleh masyarakat yang berada di desa Baebunta, kecamatan Baebunta, kabupaten Luwu Utara, provinsi Sulawesi Selatan. Menurut pengakuan penduduk wilayah tutur bahasa Rampi di desa Baebunta berbatasan dengan (i) wilayah tutur bahasa Tae di sebelah timur desa tersebut; (ii) wilayah tutur bahasa Toala di sebelah barat dan selatan; serta (iii) wilayah tutur bahasa Lemolang di sebelah utara. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Rampi merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara 81%—100% jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan. Misalnya, dengan bahasa Tae memiliki persentase perbedaan sebesar 92,5%; dengan bahasa Toala memiliki persentase perbedaan sebesar 86,5%; dan dengan bahasa Lemolang memiliki persentase perbedaan sebesar 81,5%.

Wilayah Rampi berada di kecamatan Rampi. Kecamatan ini dimekarkan dengan membentuk kecamatan Limbong. Kecamatan Rampi terdiri dari desa Onondowa, desa Sulaku, desa Leboni, desa Tedeboe, desa Dodolo dan desa Rampi. Kecamatan Limbong terdiri dari desa-desa: Kanandede, Komba, Limbong, Marampa, Minanga, Pengkendekan dan Rinding Allo. Beberapa nama desa yang mirip dengan nama-nama tempat di wilayah Angkola Mandailing adalah Rampi (Baturambi), Dodolo (Pangkaldolok), Minanga (Binanga) dan Rinding Allo (Ronding dan Taluk). Nama Limbong adalah nama marga Batak, onon dalam bahasa Batak adalah pasar. Wilayah Seko berada di kecamatan Seko. Kecamatan Seko terdiri dari desa-desa Beroppa, Embonatana, Hono, Hoyane, Lodang, Malimongan, Marante, Padang Balua, Padang Raya, Taloto, Tanamakaleang dan Tirobali. Nama-nama desa ini yang mirip di Angkola Mandailing adalah Lodang (Mangaledang), Marante (Marancar), Malimongan (Halongonan), Padang Balua (Padanhg Lawas atau Padang Bolak) dan Hoyane (Hasona).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar