*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Nama-nama kota tempo doeloe yang berawal Ma umumnya tiga
suku kata seperti Malaka, Manila, Manado, Maluku, Mamuju dan sebagainya.
Sementara awal Ma lainnya bersifat random dalam satu kata atau dua suku kata
seperti Mandar dan Maros. Nama yang mirip dengan nama Maros adalah Muar, Moro
dan sebagainya. Di wilatah Maros terdapat nama tempat Marang atau Morang. Nama
Moro sendiri muncul sebagai nama tempat seperti Morowali. [Fort] Moresby (Mores
bay) dan sebagainya.
Nama Maros
adalah nama unik hanya satu-satunya sebagai nama geografis. Nama Maros kini
menjadi nama kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan dengan ibu kota di Kota
Maros (kini di Kota Turikale). Kabupaten Maros terdiri dari 14 kecamatan,
yaitu: Turikale, Maros Baros, Lau, Bontoa, Mandai, Marusu, Tanralili, Moncongloe,
Tompobulu, Bantimurung, Simbang, Cenrana, Camba dan Mallawa.
Lantas
bagaimana sejarah Maros di pantai barat Sulawesi? Seperti disebut di atas nama
Maros yang berawalan Ma berbeda dengan nama-nama tempat yang lain yang cenderung
memiliki tiga suku kata. Apakah nama Maros merujuk pada Moro atau Baros
(Barus). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Nama Maros: Kota Tempat Dekat
Makassar
Di wilayah pedalaman terdapat nama tempat yang
disebut Mario. Wilayah Mario ini mengalir sungai Walanae yang berhulu di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dan bermuara ke danau Tempe (Wajo dan
Sidenreng). Bulusaraung adalah nama gunung, sementara, seperti disebut diatas,
Batimurung adalah nama kecamatan di kabupaten Maros. Dalam hal ini apakah ada
kaitan nama Mario dengan nama Maros?
Di wilayah (kabupaten) Pangkajene ada nama kecamatan bernama Marang. Lalu
apakah juga ada kaitan antara nama Marang
dengan nama Batimurung. Juga apakah ada kaitan antara nama Mario dengan nama
(gunung) Bulusaraung. Nun jauh di sana, di Angkola Mandailing ada nama kampong
tua yang disebut Bulumario. Tidak jauh dari kampong tua ini juga ada nama
kampong tua bernama Morang. Tidak jauh dari kampong Morang ini juga ada nama
kampong tua yang lain bernama Baruas. Nama Bulumario, Morang dan Baroes boleh
jadi seraba kebetulan mirip. Di wilayah Angkola Mandailing sendiri, suatu
kampong asal (kampong pertama) biasanya disebut Bona Bulu. Bona diartikan
sebagai pohon (tempat cabang dan ranting tumbuh berkembang), sedangkan Bulu diartikan
sebagai bambu yang memiliki arti kiasan, Bulu sebagai kampong (karena begitu
pentingnya arti bulu atau bambu dalam membangun hunian di suatu kampong yang
baru dibuka, asal pada zaman kuno). Catatan: kosa kata bulu dengan lafal
bervariasi digunakan dalam berbagai bahasa di nusantara. Berdasarkan hal itu, menurut
Laboratorium Kebhinekaan Bahasa dan Sastra, Pusat Pengembangan dan Perlindungan
Bahasa dan Sastra, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kata ‘bulu’ berkerabat
82.7 persen di Indonesia. Di dalam peta kekerabatan bahasa kata ‘bulu’ ditemukan
sebesar 82.7 persen dari seluruh bahasa-bahasa nusantara.
Nun jauh di masa lampau, nama-nama tempat yang
diidentifikasi di (pulau) Sulawesi dapat dibaca pada teks Negarakertagama (era
Majapahit) yang ditulis 1365. Dalam teks ini disebut nama Selayar, Bontaeng, Makassar,
Boeton, Banggai dan Luwuk (identifikasi ini terkesan dari sudut padang dari
Jawa/Majapahit). Nama-nama tersebut mengindikasikan pelabuhan penting sebagai
pusat transaksi perdagangan. Di pantai barat Sulawesi hanya diidentifikasi nama
Makassar (nama-nama tempat yang berada lebih jauh ke utara kurang
teridentifikasi, mungkin saat itu belum begitu penting).
Nama-nama yang
diidentifikasi di kepulauan Maluku di dalam teks Negarakertagama, selain nama
Maluku adalah nama Ceram (Seram), Muar, Ambwan (Ambon), Wanda (Banda) dan
sebagainya. Nama Muar juga diidenrtifikasi di pantai barat Semenanjung, di arah
tenggara Malaka (nama Manado belum diidentifikasi, nama Manado baru penting
pada era VOC/Belanda, 1657). Nama Muar dalam hal ini ada di bagian barat dan
juga ada di bagian timur nusantara. Besar dugaan nama di dua tempat itu ada
kaitannya. Malaka saat itu dodominasi oleh pedagang-pedagang India, sedangkan
Muar menjadi komunitas pedagang-pedagang Moor. Muar (Moear) diduga kuat merujuk
pada nama Moor. Orang Moor adalah pedagang beragama Islam yang berasal dari
Afrika Utara seperti Marokko dan Tunisia. Pasca Perang Saling di Eropa selatan
mereka tersebear ke berbagai penjuru hingga mencapai nusantara di selat Malaka.
Pedagang-pedagang Moor memiliki kedekatan yang kuat dengan Kerajaan Aru (di muara
sungai Barumun di pantai timur Sumatra). Salah satu utusan orang Moor adalah
Ibnu Batutah yang berkunjung ke selat Malaka pada tahun 1345 (suatu indikasi
orang Moor sudah sangat banyak). Pedagang-pedagang Moor mengikuti rute navigasi
pelayaran pedagang-pedagang Kerajaan Aru hingga ke Maluku. Maluku (Ternate),
Ambwan dan Wanda diduga kuat pos perdagangan pedagang-pedagang Kerajaan Aru dan
Muar sebagai pos perdagangan pedagang-pedagang Moor. Kota-kota pelabuhan inilah
yang kemudian dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Majapahit (yang ditulis
dalam teks Negarakertagama. 1365). Kerjasama antara Kerajaan Aru dan
pedagang-pedagang Moor masih sangat kuat hingga kehadiran pelaut-pelaut
Portugis di Malaka pada tahun 1511. Dalam laporan Mendes Pinto (1537) menyebut
bahwa militer Kerajaan Aru diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor.
Pedagang-pedagang Moor adalah pendahulu (predecessor) pelaut-pelaut Portugis.
Dalam konteks inilah diduga kuat pedagang-pedagng
Moor membuka pos perdagangan di muara sungai di utara kota pelabuhan Makassar
yang kelak disebut Maros. Sebagaimana disebut di atas, pelabuhan Makassar juga
diduga dirintis oleh pedagang-pedagang Kerajaan Aru (sebelum didatangi oleh
pedagang-pedagang Majapahit dari Jawa). Di Wilayah Maluku pedagang-pedagang
Moor membuka pos perdagangan berawal di pulau Halmahera (sementara
pedagang-pedagang Kerajaan Aru pos perdagangannya di pulau-pulau kecil seperti
pulau Maluku (Ternate), Tidore dan Makian. Pada peta-peta kuno era Portugis
pulau Halmahera ditandai sebagai Batachini del Moro dimana terdapat kerajaan yang
dicatat pelaut-pelaut Portugis sebagai Gilolo (Djalolo atai Djailolo).
Pada zaman kuno,
sebelum berkembangnya pelabuha-pelabuhan di wilayah pantai di pulau Sulawesi,
diduga kuat pedagang-pedagang Kerajaan Aru banyak yang menetap dan kemudian
lebih memilih untul melakukan produksi dengan penduduk asli di pedalaman. Pada
fase inilah diduga kuat terbentuk peradaban baru di wilayah pedalaman sebagai
dapat diperhatikan pada prasasti-perasasti di Minahasa (Watu Rerumeran) dan
prasasti-prasasti di Napu, Besoa, Bada, Seko dan Rampi. Prasasti-prasasti di
wilayah pedalaman (jantung) pulau Sulawesi ini mirip dengan prasasti-prasasti
di wilayah daerah aliran sungai Barumun (Kerajaan Aru). Ketika peradaban baru
di pedalaman sudah berkembang pesat, kota-kota pelabuhan di pantai tumbuh dengan
cepat seiring dengan semakin banyaknya pedagang-pedagang Moor yang berdatangan
dari selat Malaka. Dalam hal ini interaksi perdagangan dari pefdalaman dengan
pantai menyebabkan dinamika navigasi pelayaran perdagangan di pulau Sulawesi
semakin intens dari waktu ke waktu yang pada gilirannya terbentuk
kerajaan-kerajaan pantai seperti Kerajaan Luwu, Kerajaan Boeton, Kerajaan
Banggai dan Kerajaan Makassar (Gowa dan Tallo).
Di wilayah pantai barat Sulawesi pedagang-pedagang Moor
diduga kuat membuka pos perdagangan di muara sungai Maros, mengingat pelabuhan
Makassar sudah sangat ramai (bahkan pedagang-pedagang yang berasal dari Jawa).
Pos perdagangan orang Moor di muara sungai Maros terhubung dengan pos
perdagangan Moor lainnya seperti di Amurang (Minahasa), Batachini del Moro
(Halmahera) yang terhubung dengan pelabuhan-pelabuah di Filipina selatan
(seperti di pulau Mindanao). Semua pelabuhan ini terkonekasi dengan pelabuhan
Muar di pantai barat Semenanjung Malaka.
Nama-nama tempat di
daerah aliran sungai Maros dalam perkembanganya semakin banyak dengan kehadiran
berbagai pedagang. Sungai Maros ini salah satu cabangnya berhulu di gunung
Bulusaraung (dekat ke pantai) dan gunung Bantimurung (di pedalaman dekat Mario).
Berdasarkan Peta 1752 pos-pos perdagangan di sungai Maros berada tepat di pusat
kota Maros yang sekarang. Dengan kata lain, ke arah hilir belum terbentuk
nama-nama tempat yang baru karrena rawa-rawa. Ini mengindikasikan bahwa pos
perdagangan Maros di masa lampau berada di pantai, namun karena adanya proses
sedimentasi jangka panjang sehingga perairan (teluk) menjadi daratan dan
kemudian Maros seakan jauh berada di pedalaman. Di dekat pos pedagangan Maros
ini terbentuk pos perdagangan atau kampong-kampong (maranpasso) yang baru sebagaimana
diidentifikasi pada Peta 1752 seperti Soeroedjierang, Bontodjolong, Manoengi,
Assikabo, Panaykan, Manrimis, Kassi, Boetatoa, Maros (sendiri), Banta Bantain,
Datu Ratte, Datu Tanga, Datu Toeala dan Boeloa. Pada Peta 1752 ini Maros tidak
diidentifikasi sebagai kerajaan. Kerajaan yang dioidentifikasi adalah
Pangkajene dan Labakkang di arah utara dan Goa di arah selatan. Di dekat Goa
ini sudah terbentuk benteng VOC (yang diduga sejak penaklukkan Kerajaan Gowa
oleh VOC pada tahun 1669). Sejak itu, pedagang-pedagang VOC membina hubungan
dagang dengan (kerajaan) Goa, kerajaan Pangkajene, kerajaan Labakkang dan
sebagainya hiingga ke wilayah bagian utara sehingga terhubung dengan pos VOC
yang besar di Manado.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Maros
dari Masa ke Masa
Tunggu deskripsi
lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar