*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Apakah ada penutur bahasa Indonesia di Belanda? Ada, malah banyak. Mereka itu adalah orang-orang Indonesia dan orang-orang Belanda yang pernah di Indonesia pada era Hindia Belanda. Generasi berikutnya di Belanda (terutama yang tergolong Indo) juga banyak yang bisa berbahasa Indonesia terutama warga Belanda keturunan Indonesia seperti dari Ambon.Maluku, Manado/Minhasa dan Timor. Mereka ini sebenarnya sangat mencintai Indonesia, hanya karena politik yang memisahkan.
Lantas bagaimana sejarah bahasa Indonesia di Belanda? Seperti disebut di atas, sejarah hubungan Belanda dan Indonesia (baca: sejak Hindia Timur) sudah sejak lama dan banyak orang Belanda bisa berbahasa Melayu/Indonesia. Dalam konteks inilah bahasa Indonesia ada di Belanda. Warga Belanda keturunan Indonesia kini banyak yang dwibahasa (bahasa Belanda dan bahasa Indonesia, seperti halnya kita bahasa Indonesia dan bahasa daerah). Lalu bagaimana sejarah bahasa Indonesia di Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pengajaran Bahasa Indonesia di Belanda
Apakah ada orang yang bisa berbahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia) zaman dulu di Belanda? Ada. Mereka belajar dari penduduk di Hindia sejak era VOC dan kembali ke Belanda. Jumlahnya semakin banyak pada era Hindia Belanda. Lantas sejak kapan bahasa Indonesia diajarkan di Belanda? Nah, itu dia. Itu belum lama diadakan. Pengajaran bahasa Indonesia di Belanda baru dilakukan pada tahun 1908. Orang Indonesia (baca: pribumi) pertama yang mengajar bahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia) adalah Soetan Casajangan. Mantan guru yang menjadi mahasiswa di Belanda ini, Soetan Casajangan mengajar bahasa Indonesia dalam rangka membantu Prof CA van Ophuijsen dalam mata kuliah bahasa Melayu di Universitas Leiden. Dalam hal ini Soetan Casajangan adalah asisten pengajar di Universitas Leiden.
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan lulus sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean pada tahun 1887. Saat itu yang menjadi direktur sekolah adalah Charles Adriaan van Ophuijsen, yang memulai karir guru di sekolah itu sejak 1881. Di kota pedalaman di wilayah Tapanoeli ini, CA van Ophuijsen mempelajari bahasa Melayu bersama siswa-siswanya termasuk Soetan Casajangan. Sebelumnya CA van Ophuijsen telah menerbitkan tulisan berjudul Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak) dan tulisan berjudul Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu) Pada tahun 1891 CA van Ophuijsen dipromosikan menjadi direktur pendidikan Pantai Barat Sumatra. Meski demikian, hasil pengajaran bahasa Melayu di sekolah guru Padang Sidempoean terus dikembangkan dan kemudian CA van Ophuijsen menerbitkan buku berjudul Kitab Logat Melajoe pada tahun 1901. Dengan pengetahuan bahasa Melayu ini mengantarkan CA van Ophuijsen diangkat menjadi guru besar bahasa Melayu di Universitas Leiden pada tahun 1904. Pada tahun 1905, Soetan Casajangan pensiun menjadi guru di Padang Sidempoean dan kemudian melanjutkan studi (keguruan) ke Belanda. Pada saat inilah murid dan guru di Padang Sidempoean kembali bertemu di Belanda. Soetan Casajangan diminta CA van Ophuijsen menjadi asistenya di Universitas Leiden. Untuk sekadar menambahkan ketika jumlah mahasiswa pribumi sekitar 20 orang pada tahun 1908, Soetan Casajangan menginisiasi pembentukan organisasi mahasiswa Indonesia yang disebut Indische Vereeniging (kelak dikenal sebagai Perhimpoenan Indonesia).
Sejak CA van Ophuijsen dan Soetan Casajangan di Universitas Leiden, pengajaran bahasa Melayu dilakukan secara berkesinambungan. Pada tahun 1911 Soetan Casajangan lulus dan mendapat gelar sarjana pendidikan. Pada tahun 1911 Soetan Casajangan diangkat menjadi guru di sekolah perdagangan (Handelschool) di Amsterdam. Ini berarti pengajaran bahasa Indonesia tidak hanya di Universitas (CA van Ophuijsen) juga di tingkat sekolah menengah (Soetan Casajangan). Pada tahun 1913 Soetan Casajangan kembali ke tanah air dan CA van Ophuijsen tahun 1914 pensiun (meninggal 1917).
Setelah CA van Ophuijsen, pengajaran bahasa Melayu kembali diajarkan di Universitas Leiden pada tahun 1918. Tidak hanya bahasa Melayu, juga bahasa Jawa juga diajarkan. Dua pribumi yang diangkat sebagai asisten pengajaran bahasa Melayu adalah Dahlan Abdoellah dan bahasa Jawa adalah Sjamsi Widagda. Mereka berdua adalah lulusan sekolah guru di Fort de Kock dan di Bandoeng. Yang menggantikan mereka kemudian adalah Pamoentjak (bahasa Melayu) dan Poerbatjaraka (bahasa Jawa).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Indonesia di Belanda; Indo, Ambon, Manado, Minahasa, Timor, Papua dan Sebagainya
Meski sudah sejak era VOC ada orang Belanda bisa berbahasa Indonesia dan sudah sejak lama bahasa Indonesia diajarkan di Belanda (sejak 1905), namun bahasa Indonesia tetap dipandang orang Belanda sebagai bahasa yang tidak penting dan terus mempromosikan bahasa Belanda kepada orang pribumi baik melalui pendidikan maupun dalam pergaulan di kalangan atas (pejabat Belanda dan para pemimpin lokal Indonesia). Orang-orang Belanda (pemerintah atau swasta) tidak ada yang membicarakan kesetaraan antara bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Ketika pendidikan tinggi dimulai di Indonesia (baca: Hindia Belanda) pada tahun 1920 dengan pendidirian THS di Bandoeng, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda (tetapi untuk pendidikan pribumi pada tingkat sekolah dasar tetap menggunakan bahasa Melayu dan bahasa daerah). Bahasa Belanda diutamakan di tingkat sekolah menengah seperti kweekschool, SYOVIA, OSVIA, Veeartsenschool dan sebagainya. Posisi bahasa Indonesia tetap dinomorduakan hingga muncul deklarasi para pemuda dalam Kongres Pemuda tahun 1928 yang menyatakan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa: Indonesia.
Hingga terjadinya pendudukan Jepang(1942), tetap tidak ada orang Belanda yang berbicara tentang kesetaraan bahasa. Bahasa Indonesia. baru mendapat perhatian dan diposisikan sebagai bahasa utama justru terjadi pada era pendudukan Jepang. Bahasa Indonesia dan bahasa Jepang digunakan masing-masing pengguna. Negeri Belanda yang diduduki Jerman dan orang Belanda di Indonesia diinterneir dan berada di kamp-kamp konsentrasi. Bahasa Belanda di Indonesia tamat (tidak ada yang memikirkan lagi; setiap orang Indonesia sudah berbahasa Indonesia). Namun situasi cepat berubah. Di Eropa, Jerman sedang terdesak )oleh Sekutu) dan di Asia termasuk Indonesia posisi Jepang sedang ditekan, maka orang-orang di Belanda mulai lagi membicarakan Indonesia (saat mulai terbebas Belanda dari fasis Jerman dan juga terbebas Belanda dari fasil Jepang di Indonesia). Ada kerinduan orang Belanda terhadap Indonesia, tentu saja bukan pada orang Indonesianya tetapi bumi Indonesianya. Diskusi-diskusi masa depan di Indonesia mulai mengerujut. Oleh karena situasi dan kondisi sudah berubah jika dibandingkan sebelum perang dengan era pendudukan, orang-orang Belanda mulai sadar bahwa orang Indonesia menjadi dipertimbangkan untuk semua aspek. Salah satu diskusi itu adalah jika Belanda kembali ke Indonesia, maka bahasa Indonesia dan bahasa Belanda dijadikan sebagai bahasa resmi (lihat antara lain Toekomst, 18-04-1945). Tampanya orang-orang Belanda mulai menyadari, tetapi segala sesuatunya tampaknya sudah terlambat. Sebab orang Indonesia juga telah berubah.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar