*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah dua raja yang cukup mendapat perhatian, yakni Soeltan Pontianak (Sultan Hamid II) pantai barat Borneo dan Radja Boeloengan di pantai timur Borneo. Keduanya memiliki pandangan politik yang berbeda. Sultan Hamid II, seorang KNIL pro Belanda (NICA), sebaliknya Radja Boeloengan menolak kehadiran Belanda/NICA. Kerajaan Koetai awalnya sependapat dengan Radja Boeloengan, tetapi kemudian sependapat dengan Soeltan Pontianak. Radja Beoloengan yang terakhir Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958).
Lantas bagaimana sejarah pahlawan Indonesia Radja Boeloengan yang terakhir Maulana Muhammad Jalaluddin? Seperti disebut di atas, Radja Maulana Muhammad Jalaluddin berbeda haluan politik dengan Sultan Hamid II dari Pontianak. Lalu bagaimana sejarah pahlawan Indonesia Radja Boeloengan yang terakhir Maulana Muhammad Jalaluddin? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Radja Boeloengan Terakhir: Maulana Muhammad Jalaluddin
Radja Boeloengan di Kesultanan Bulungan di pantai timur Borneo. Disebutkan raja pertama dari kerajaan ini bermula tahun 1731. Kerajaan di bawah supremasi kerajaan Broenai (yang juga meliputi Beroe/Beraw, Tidoeng, Boeloengan, Sambiloeng/(Sambalioeng dan Goenoeng Tebur) kemudian beralih di bawah kerajaan Soeloe. Pada tahun 1763 kerajaan Soeloe menyerahkan kepada Dalrymple (Inggris). Sebaliknya wilayah ini jug adiklaim oleh Pangeran Bandjarmasin yang pada tahun 1787 menyerahkan kepada VOC (Belanda) dan pada tahun 1812 dikuasai oleh Inggris. Pada tahun 1834 suatu ekspedisi dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan sebuah kapal memasuki wilayah Berou en Boeloengan, di bawah pimpinan Kapitein ter-zee Anemaet (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1865).
Kecuali Kotawaringin yang tetap independen, kerajaan Pandjarmasin telah menjadi pengikut (berada di bawah otoritas) Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena Bandjarmasin mengklaim kerajaan-kerajaan di pantai timur Borneo maka kerajaan-kerajaan yang lebih kecil itu dengan sendirinya berada di bawah otoritas pemerintah. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah tiga kerajaan kecil di Koesanlanden, lima kerajaan di wilayah Tanah Bumbu, dua kerajaan yang lebih besar Pasir dan Koetai, di sebelah utaranya negeri-negeri yang berada di bawah tiga radja (Berau, Boeloengan dan Tidoeng). Oleh karena Radja Brooke (orang Inggris) di Serawak, maka wilayah batas antara Inggris dan Belanda dibuat secara tepat pada tahun 1849 (lihat, Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1866). Sejak Residen Zuider en Oosterafdeeling van Borneo berkunjung ke Koetai pada tahun 1851 maka itu menandai awal pembentukan cabang pemerintahan di pantai timur Borneo. Sebelumnya, satu kapal perang dikirim ke wilayah itu pada awal Juli 1851 dari Banjarmasin untuk menyisir pantai untuk mencari jika ditemukan bajak laut (lihat Javasche courant, 17-09-1851). Sebagaimana perairan di Teluk Tomini, perairan selatan Riaouw, kawasan pantai timur Borneo juga menjadi sasaran (penduduk kerap terancam) atau tempat mangkal para bajak laut. Batas-batas antara Inggris dan Belanda itu kemudian semakin diperjelas yang bahkan harus membagi dua pulau Sebatik. Sejak pembagian wilayah itu (antara Inggris dan Belanda) secara definitif wilayah kerakjaan Boeloengan masuk wilayah Hindia Belanda (baca: Indonesia). Tidak lama setelah kunjungan residen di Koetai, seorang asisten residen ditempatkan di Samarinda (dimana terdapat pemukiman orang Bugis sejak lama).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bulungan dari Masa ke Masa: Raja Bulungan yang Terlupakan
Wilayah Bulungan dan sekitar yang terus berkembang, lebih-lebih dengan adanya pertambangan dan kilang minyak di Tarakan, maka posisi Radja Boeloengan menjadi oenting jika dibandingkan pada masa-masa yang lampau. Seperti halnya Radja Koetai di daerah aliran sungai Mahakam, radja Boeloengan di daerah pantai di utara sungai Mahakam menjadi radja di radja (kerajaan Tidoeng juga berada di bawah supremasi radja Boeloengan).
Wilayah yang sangat luas (yang kemudian dikenal sebagai wilayah Ooost Borneo) terdapat empat tokoh utama pada saat kehadiran kembali Belanda (NICA), Salah satu tokoh utama itu adalah Radja Boeloengan. Karena itu pemerintah Belanda (NICA) menganggap posisi Radja Boeloengan penting mewakil komunita spenduduk di utara muara sungai Mahakam yang kemudian ditetapkan sebagai salah satu peserta pada konferensi Malino 1946..
Sebagai tokoh penting di wilayah utara muara sungai Mahakam, Radja Boeloengan memiliki kekuatan sendiri. Menjelang konferensi Malino 1946, Radja Boelloengan dengan tegas mengatakan dengan menghimbau (termasuk Kesultanan Koetai) berada di dalam barisan di belakang Pemerintah Republik Indonesia (Perdana Menteri Soetan Sjahrir). Perwakilan Koetai ke konferensi mendukung himbauan Radja Boeloangan dan meminta Radja Koetai juga mengambil sikap yang sama.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar