*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Mungkin Anda tidak percaya bahasa melayu diturunkan dari Bahasa Batak?. Itu wajar. Sebab semua hasil peneliti-peneliti Eropa/Belanda tidak ada yang mengaitkan bahasa Melayu dengan bahasa Batak. Terus terang saya tidak suka menulis tema ini dan yang saya sangat berharap orang lain yang menulisnya (agar dipersepsikan netral). Lalu siapa? Tampaknya tidak ada yang lain bersedia menulis tema ini (bahkan peneliti-peneliti Belanda, kecuali ada rintisan dari orang Jerman). Okelah, anggap saja saya terpaksa menulis tema ini, biar tidak hilang dari ingatan. Saya menambahkan tanda tanya dalam tema ini sebagai wujud kerendahan hati. Saya berharap hipotesis saya ini ditolak, agar saya bebas dari hanya pendapat sendiri.
Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu diturunkan dari Bahasa Batak? Seperti disebut di atas, bahasa Sanskerta pernah menjadi lingua franca di Nusantara dimana pada era Ptolomeus sudah dibicarakan tentang keberadaan penduduk Batak. Bukti adanya Kerajaan Kuno di Sumatra bagian utara di Tanah Batak adalah candi Simangambat (abad ke-7). Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu diturunkan dari Bahasa Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Bahasa Melayu Diturunkan dari Bahasa Batak? Bahasa Sanskerta dan Kerajaan Kuno di Sumatra
Dalam memahami sejarah kuno, khususnya soal bahasa, pada dasarnya tidak cukup dari masalah lingustiknya saja, tetapi juga harus memahami domain dari bahasanya. Dalam hal ini domain bahasa adalah populasi penutur bahasanya ditempat dimana berada populasi tersebut bertempat tinggal. Sehubungan dengan sejarah bahasa Melayu (kuno), sumber sejarah sangatlah minim, tetapi dapat dipelajari dari sumber tidak langsung (proxy. Dalam hal ini sumber bahasa Melayu kuno hanya terbatas pada dua data sejarah yakni prasasti-prasasti dan peta-peta geografi kuno.
Peta-peta Ptolomeus yang berasal dari abad ke-2 mengindikasikan sudah ada peradaban di Sunatra, semenanjung Malaya dan Kalimantan. Ini ditunjukkan dengan keberadaan kota-kota di pesisir pantai (pelabuhan). Sangatlah masuk akal bukti peradaban tua di Kalimantan ditunjukkan prasasti tertua (awal abad ke-5) nusantara di Muara Kaman (Koetai). Dalam hal ini pemetaan (pembuatan peta) dan adanya peradaban (kota-kota dan prasasti) terkait dengan navigasi pelayaran (perdagangan) yang tercatat (data yang tersedia) yang merujuk pada peradaban di barat (India,. Arab dan Eropa) dan di Tiongkok. Pada era Ptolomeus (abad ke-2) data yang bersumber dari Tiongkok mengindikasikan raja dari laut selatan (Yeh-tiao) mengirim utusan ke Kaisar Tiongkok untuk membuka pos perdagangan.
Utusan Raja Yeh-tiao (sejumlah peneliti menyebut dari Sumatra) mengindikasikan perdagangan Sumatra telah mencapai pantai timur Tiongkok. Produk apa yang diperdagangkan ke Tiongkok, diduga produk industri dari Tiongkok dipertukarkan produk alami dari Sumatra seperti kamper, kemenyan dan emas (mungkin juga gading). Selain catatan Tiongkok abad ke-2. Bukti lain ditemukan di Vietnam adalah prasasti Vo Cahn (prasasti tertua di Asia Tenggara abad ke-2) yang ditulis dalam akasara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Nama tempat di kawasan ini dalam catatan geografi Ptolomeus adalah Kattigara (para peneliti menyebut Kamboja). Dengan demikian pada awal sejarah tertulis (abad ke-2) semua merujuk (dan terbatas) berada di sebelah utara garis ekuator (lihat peta Aurea Chersonesus dan peta Pulau Taprobana).
Kerajaan apa dan dimana yang eksis di sebalah utara garis ekuator pada era Ptolomeus (abad ke-2), haruslah dihungkan dengan kerajaan besar yang kaya yang memiliki kemampuan navigasi pelayaran perdagangan. Dua bentuk kekayaan saat itu adalah kamper dan emas yang peta Ptolomeus disebut semenanjung emas (Aurea Chersonesus) dan produk kamper dalam catatan geografi Ptolomeus. Banyak bukti terkait saat itu dihubungkan dengan Sumatra bagian utara yang dalam perkembangannya disebut pada abad ke-5 di Sumatra bagian utara terdapat nama (pelabuhan) Barousai (Barus) dan penduduk yang disebut di Eropa bersifat kanibal (Batak). Tentulah orang India tidak menyebut seperti itu, karena orang India telah membentuk koloni-koloni di wilayah itu dalam hubungan kerjasama dengan penduduk (kerajaan) setempat. Hal itulah mengapa bahasa yang digunakan sebagai lingua franca berasal dari India (selatan) bahasa Sanskerta dan penggunaan akasara Pallawa (prasasti Vo Cahn). Prasasti Vo Cahn mengindikasikan kerajaan baru terbentuk dimana sang putri berasal dari Raja yang mashur dengan hadiah emas, perak dan gading. Besar dugaan prasasti Vo Cahn di Vietnam adalah cabang kerajaan di Sumatra sebagai wujud dari pembukaan pos perdagangan dengan Tiongkok.
Lantas bagaimana hubungan sejarah awal tersebut dengan terbentuknya bahasa Melayu? Yang jelas bahwa yang sudah lama eksis adalah bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa. Prasasti Dong Yen Chau di Vietnam (abad ke-4) berbahasa Sanskerta tetapi ditulis dengan aksara Brahmi yang juga berasal dari India (berbeda dengan aksara Pallawa). Dalam hal ini lingua franca (didominasi) bahasa Sanskerta, tetapi selain aksara Pallawa juga ada aksara Brahmi. Seperti kita lihat nanti aksara Batak lebih cenderung dikonstruksi atas dasar kombinasi aksara Brahmi dari aksara Pallawa.
Lalu apakah bahasa Melayu sudah terbentuk? Sejauh ini belum. Di berbagai tempat di nusantara terutama penduduk asli (bukan pendatang dari India atau Tiongkok) telah eksis bahasa masing-masing (kini disebut bahasa etnik atau bahasa daerah), misalnya bahasa Jawa dan bahasa Batak. Pada fase ini penduduk asli di Nusantara seperti di Sumatra (Batak) dalam banyak hal telah menggunakan dwibahasa (bahasa asli Batak dan bahasa lingua franca Sanskerta). Dalam teks prasasti Dong Yen Chau unsur bahasa India (Sanskerta) cukup menonjol, tetapi juga ditemukan elemen bahasa-bahasa yang diduga berasal dari bahasa asli (nusantara). Satu elemen bahasa yang unik yang jarang ditemukan dalam bahasa-bahasa lain dalam teks tersebut adalah awal ‘ni’ dan ‘di’ (khusus) yang dibedakan dengan awal ‘di’ umum. Awalan ‘ni’ dan ‘di’ khusus pada masa kini hanya ditemukan dalam bahasa Batak.
Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-7, pola (terbentuknya) bahasa Melayu mulai terlihat. Prasasti-prasasti ini ditemukan di pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa. Prasasti-prasasti tersebut tampkanya terkait satu sama lain yang mengindikasikan ada hubungan terkait antara pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa (bagian tengah). Besar dugaan prasasti-prasasti (berbahasa mirip Melayu) ini terhubung dengan pengaruh Boedha. Tampaknya pengaruh Boedha di Nusantara mulai menonjol (bersaing dengan Hindoe). Hindoe dan Boedha sama-sama berasal dari India.
Prasasti Muara Kaman (Koetai, Kalimantan) dan prasasti-prasasti tertua di Jawa yang berasal dari abad ke-5 umumnya berbahasa Sanskerta dan aksara Pallawa yang dipenharuhi oleh Hindoe. Prasasti di Jawa bagian barat yang terbilang lengkap adalah prasasti Tugu (Jakarta), prasasti Cidangiang. Prasasti berbahasa mirip Jawa kuno baru muncul kemudian (setelah prasasti-prasasti berbahasa mirip Melayu). Meski demikian prasasti berbahasa Sanskerta masih umum ditemukan (plus bahasa-bahasa lainnya seperti Tamil, Khmer dan Batak).
Seperti halnya dalam teks prasasti Dong Yen Chau (di Viernam abad ke-4), dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682 M) yang ditemukan di Palembang (pantai timur Sumatra), penggunaan kosa kata bahasa Sanskerta masih dominan namun unsur bahasa asli tampak lebih banyak daripada teks prasasti Dong Yen Chau.
Dalam teks prasasti Kedoekan Boekit awalan ‘ni’ dan ‘di’ khusus masih eksis seperti nityakāla, ‘di samvau’ dan ‘di saptani’. Awalan lain yang terdapat dalam teks prasasti Kedoekan Boekit ini adalah awalan ‘ma’ dan ‘mar’ seperti ‘mangalap’, ‘mamawa’. ‘marlapas’, ‘marvuat’. Awalan ‘ma’ dan ‘mar’ pada masa ini ditemukan dalam bahasa Batak yang merupakan padanan awalan ‘me’ dan ‘ber’ dalam bahasa Melayu/Indonesia. Dalam sebutan (sistem) bilangan dalam teks disebut ‘sapulu dua’ yang kurang lebih sama dalam sistem bilangan bahasa Batak untuk menyatakan angka dua belas. Satu yang penting lainnya dalam teks prasasti Kedoekan Boekit ini disebut nama tempat ‘minanga’, suatu nama tempat yang masih eksis di wilayah Batak di daerah aliran sungai Baroemoen pantai timur Sumatra yakni Binanga (ibukota kecamatan Barumun). Dalam prasati ini juga disebut nama (kerajaan) Sriwijaya.
Lalu bagaimana menunjukkan hubungan antara bahasa Batak di satu sisi dengan keberadaan (kerajaan) Sriwijaya di sisi lain yang ditemukan dalam prasasti-prasasti tersebut? Dalam hal ini bahasa asing sebagai lingua franca (Sanskerta) bercampur dengan bahasa asli (Batak). Isi teks prasasti Kedoekan Boekit dapat dikatakan campuran bahasa Sanskerta dan bahasa Batak. Lantas bagaimana kemudian terbentuk bahasa Melayu sebagai bahasa yang lebih baru (dari bahasa Sanskerta dan bahasa Batak)?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Melayu Diturunkan dari Bahasa Batak? Prasasti-Prasasti Zaman Kuno dan Jejak Bahasa Batak di Filipinan dan Sulawesi hingga Nusa Tenggara
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar