Jumat, 24 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (672): Bahasa Indonesia vs Bahasa Melayu; Silat Lidah Persepsi Indonesia Ala Mahathir Mohamad

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam artikel sebelumnya, tentang ilusi Mahathir Mohamad yang harus dianggap serius. Soalannya terus berlanjut, seperti yang diduga. Mahathir Mohamad memberi klarifikasi. Ibarat seorang ayah menasehati anaknya yang di dengar sediri oleh para tetangga mereka: ‘Nak, jangan mencuri, jangan tiru tetangga kita yang sebelah rumah’. Dalam pernyatan itu sang anak tidak terinformasikan apakah sudah pernah mencuri, demikian juga tetangga sebelah rumah juga tidak terinformasikan apakah pernah mencuri. Namun nasehat tetaplah nasehat, tetapi nasehat yang membuat orang lain bereaksi. Ketika semua tetangga protes, sang ayah tersebut hanya menjawab ‘ngeles’ enteng: ‘saya hanya menasehati anak saya jangan sampai mencuri, saya tidak katakan tetangga telah mencuri’. Dalam hal ini cara berbahasa dapat menimbulkan masalah. Itulah yang disebut bersilat lidah.

 

Anggota DPR Tanggapi Pernyataan Mahathir Mohamad Soal Kepri: Nostalgia, Tak Perlu Dianggap Serius! (KOMPASTV); Begini Tanggapan Tegas Kemenlu RI soal Klaim Mahathir: Sampai Kapan Pun Kepri Milik Indonesia (Tribunnews); Klaim 'Tanah Melayu', Eks PM Malaysia Diprotes Warganya Sendiri (VIVACOID); Tanggapi Mahathir, KSP: Kepri Wilayah Indonesia! (BeritaSatu); Tanggapi Mahathir, PDIP: Hormati Kedaulatan Setiap Negara! (detikcom); Kepulauan Riau Diklaim Mahathir Milik Malaysia, Ormas di Yogyakarta Gelar Demo (iNews id); Warganet Indonesia Geruduk Akun Instagram Mahathir (aceh.tribunnews.com); Netizen Indonesia dan Singapura Kompak Gempur Instagram Mahathir Mohamad (mediakepri.co.id); Kedubes Malaysia: Komentar Mahathir Soal Kepri Bukan Sikap Pemerintah Malaysia (kumparan.com); Saya tak minta Malaysia tuntut Singapura, Kepulauan Riau - Dr M (KiniTV).

Lantas bagaimana sejarah persepsi Bahasa Indonesia versus bahasa Melayu di Malaysia? Seperti disebut di atas, silat lidah ala Mahathir Mohamad di Malaysia diperersepsikan berbeda di Indonesia. Tentulah tidak hanya itu, soal kosa kata bahasa Melayu di Malaysia yang berbeda dengan kosa kata Bahasa Indonesia bisa salah persepsi. Lalu bagaimana sejarah Bahasa Indonesia versus bahasa Melayu di Malaysia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Indonesia versus Bahasa Melayu: Silat Lidah Persepsi di Indonesia Ala Mahathir Mohamad

Soal perbedaan bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia sudah mengkrital pada tahun 1954 saat mana di Medan diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia. Para pegiatan bahasa dan sastra Melayu asal Semenanjung Malaya turut hadir. Saat itu Inggris masih tahap menjandikan kemerdekaan kepada Federasi Malaya (Semenanjung Malaya). Jelas adalam hal ini jelang kemerdekaan Federasi Malaya, semuanya berjalan baik-baik saja antara pegiat bahasa dan sastra Melayu di Semenanjung Malaya dengan pegiatan bahasa dan sastra Bahasa Indonesia di Indonesia.

Selain pegiat bahasa dan sastra Melayu datang ke Medan, juga _Perdana Menteri Federasi Malaya Abdoel Rachman berkunjung ke Indonesia termasuk membicarakan kerjasama Federasi Malaysia dengan Pemerintah Republik Indonesia untuk bekerja sama dalam pengembangan Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu (lihat Algemeen Handelsblad, 14-11-1955). Salah satu tindak lanjutnya adalah pembentukan "Jawatan Kuasa Menyamakan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia" yang diketuai Abdul Aziz yang mana subbagian panitia sibuk mencari cara untuk "menyamakan atau mendekatkan Melayu Semenanjung dan Indonesia" (Malaya (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1956). Besar dugaan Che’ Za’ba dari University Malaya terlibat di dalam komite tersebut sebagai satu-satunya orang Melayu yang ahli dalam urusan bahasa Melayu. Lalu kemudian Abdul Aziz dan Zainal Abidin telah berada di Jogjakarta untuk mencari guru dan dosen Bahasa Indonesia untuk ditempatkan di Malaya dan Universitas Malaya (lihat De nieuwsgier, 28-06-1956). Kehadiran mereka di Jogjakarta saat sedang dan turut menghadiri seminar sains dan budaya di Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta. Zainal Abidin adalah nama kecil dari Che’ Za’ba. Lalu kemudian mahasiswa Malaysia ke Indonesia yang mana rombongan 35 mahasiswa asal Malaya. Para mahasiswa yang tergabung dalam “Persatuan Bahasa Malayu University Malaya” ini akan mempelajari bahasa, budaya dan seni Indonesia di negeri ini. Selain itu, mereka juga akan mengenal sistem pendidikan dasar, menengah dan tinggi, administrasi negara, kondisi ekonomi dan sosial umum dan struktur desa. Para mahasiswa yang akan berkunjung ke Djakarta, Bogor, Bandoeug, Jogjakarta, Soerabaya, Bali dan Medan selama tiga minggu ini telah diundang oleh Kemendikbud dan akan didampingi dalam perjalanannya oleh anggota Senat Universitas Indonesia’. (Indische courant voor Nederland, 23-05-1957).

Upaya pengembangan bahasa Melayu dan upaya menyamakan bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia adalah suatu rintisan yang baik.Oraang Melayu di Malaysia menyadari bahwa pengembangan Bahasa Indonesia di Indonesia telah berjalan dengan baik, karena itu datang ke Indonesia untuk mempelajarinya. Dalam hal ini bahasa Melayu di Federasi Malaya dan Bahasa Indonesia di Indonesia adalah dua hal yang berbeda dan telah dibedakan. Lalu apa yang terjadi kemudian, oleh karena karakteristik masing-masing negara dengan pengalaman sejarah yang berbeda-beda upaya menyamakan bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia berjalan sendiri-sendiri seperti hasilnya dapat dirasakan sekarang ini.

Banyak kosa kata yang dikembangkang sebagai bahasa Melayu di Malaysia terkesan janggal dan kurang dipahami artinya di Indonesia. Demikian sebaliknya banyak kosa kata Indonesia dikembangkan, terutama dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia kurang dimengerti di Malaysia. Sebenarnya, tidak ada lagi alasan, secara lingustik, bahwa Bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai bahas Melayu sebagaimana yang dipahami hingga ini hari di Malaysia.

Dalam hubungannya dengan berbahasa hingga masa ini, apakah menggunakan bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, kerap muncul permasalahan. Bentuk-benetuk perumpamaan dalam berbahasa masih kerap muncul, yang adakalanya maksud perumpamaan itu sulit ditebak maksudnya kemana. Dalam komunikasi berbicara dengan perumpamaan haruslah dijadikan sebagai pemanis bahasa dalam perkataan yang sebenarnya baik sebelum dan sesudahnya.

Kebiasaan berbicara dengan perumpamaan ini sangat lzaim pada era Hindia Belanda, dimana orang-orang Belanda berbicara sesuatu dengan kalimat atau frase perumpamaan. Sebagai contoh, seorang panelis Belanda dalam suatu rampat umum (seminar) mengatakan bahwa orang Indonesia masih sangat hijau untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Ir Soekarno membalas dengan kata-kata perumpamaan, bahwa kami bukan hijau lagi tetapi sudah menguning. Kami terbiasa memanen hasil pada saat menguning sebelum menjadi merah (membusuk). Apapun yang dimakdus Belanda dan Ir Soekarno dapat diketahui maknanya. Oleh karena itu sendi berbicara dalam berkomunikasi harus dianggap sebagai pemanis, pelembut dan pengalus perkataan.

Berbahasa dalam konteks jurnalis dan pendidikan, adakalnya berbeda dengan konteks politik. Belum lama ini Perdana Menteri Malaysia mengusulkan kepada Presiden Indonesia agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi ASEAN. Bagi orang Indonesia bahasa Melayu yang dimaksud PM Malaysia adalah bahasa resmi di negara Malaysia, sementara bahasa resmi di Indonesia adalah Bahasa Indonesia. Ketika Menteri Indonesia melontarkan jawaban penolakan bahasa Melayu, justru dengan tegas menyatakan Bahasa Indonesia lebih layak untuk diusulkan. Sontak muncul klarifikasi dari Malaysia yang menyatakan bahwa bahasa Melayu yang diusulkan oleh PM Malaysia bukan bahasa resmi Malaysia, tetap bahasa Melayu yang umum digunakan di nusantara yang jumlahhnya 300an juta penutur termasuk di Indonesia.

Tentu saja pegiat bahasa di Indonesia semakin geram, karena bahasa Melayu yang diklarifikasi, meski orang Indonesia sudah mengetahui maksud sebelumnya, jelas menolak karena nama Bahasa Indonesia adalah nama resmi di Indonesia. Sebagaimana disebutkan yang dimaksud Malysia penutur bahasa Melayu berjunmlah 300an juta, yang notabene lebih dari 200 juta berada di Indonesia, sudah barang tentu itu bukan lagi penutur bahasa Melayu tetapi penutur Bahasa Indonesia. So, lalu apakah silat lidah orang Malaysia berikutnya. Untuk uriusan bahasa deadlock sendiri karena orang Indonesia bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Indonesioa adalah Bahasa Indonesia (bukan bahasa Melayu yang dimaksudkan Malaysia). Pertanyaannya: apakah sebodoh itu orang Malaysia tidak mengetahui apa yang dimaksdu Bahasa Indonesia di Indonesia? Tentu saja tidak. Inilah soal silat lidah dalam pertarungan politik melalui cara berbicara dengan menggunakan bahasa,

Masih hangat dibicarakan, dalam lupa tentang gerakan bahasa berbicara ala PM Malaysia, tiba-tiba muncul lagi dari Malaysia dimana mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berbicara tentang posisi wilayah administrasi Riau dalam bernegara. Apakah dalam hal ini Mahathir memainkan silat lidah gaya berbicara bahasa Melayu di Malaysia?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Silat Lidah dan Berbeda Kosa Kata: Bahasa Indonesia versus Bahasa Melayu

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar