*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Penyebaran
populasi manusia adakalanya terkesan misteri, lebih-lebih jika persebaran itu
terjadi di masa lampau. Catatan sejarah orang Jawa di Suriname cukup tersedia
yang berasal dari sumber era Hindia Belanda. Bagaimana dengan era sebelum
kehadiran orang Eropa. Semakin jauh ke masa lampau semakin samar. Namun apakah
data masa kini dapat dijadikan untuk proksi memahami masa lalu? Dalam hal ini
apakah ada relasi sejarah antara etnik Igorot di Luzon, Filipina dan etnik
Batak di Sumatra, Indonesia? MO Parlindingan (1964) menyatakan ada kemiripan
ernik Batak dengan Igorot dan Toraja.
The indigenous peoples of the Cordillera Mountain Range of northern Luzon, Philippines are often referred to using the exonym Igorot people, or more recently, as the Cordilleran peoples. There are nine main ethnolinguistic groups whose domains are in the Cordillera Mountain Range, altogether numbering about 1.5 million people in the early 21st century. Their languages belong to the northern Luzon subgroup of Philippine languages, which in turn belongs to the Austronesian (Malayo-Polynesian) family. These ethnic groups keep or have kept until recently their traditional religion and way of life. Some live in the tropical forests of the foothills, but most live in rugged grassland and pine forest zones higher up. From the root word golot, which means "mountain," Igolot means "people from the mountains", a reference to any of various ethnic groups in the mountains of northern Luzon. During the Spanish colonial era, the term was variously recorded as Igolot, Ygolot, and Igorrote, compliant to Spanish orthography. The endonyms Ifugao or Ipugaw (also meaning "mountain people") are used more frequently by the Igorots themselves, as igorot is viewed by some as slightly pejorative, except by the Ibaloys. The Spanish borrowed the term Ifugao from the lowland Gaddang and Ibanag groups. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah kemiripan warna budaya tanda hubungan budaya? Apakah ada hubungan sejarah etnik Igorot di Filipina dan etnik Batak di Sumatra? Seperti disebut di atas, hubungan bangsa (etnik) antara satu tempat dengan tempat lain ada data yang tersedia. Akan tetapi ada juga yang sulit diperoleh, dalam hal ini digunakan data masa kini. Lalu bagaimana sejarah kemiripan warna budaya tanda hubungan budaya dan apakah ada hubungan sejarah etnik Igorot di Filipina dan etnik Batak di Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.\
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kemiripan Warna Budaya Tanda Hubungan Budaya? Igorot di Filipina, Batak di Sumatra
Pulau Luzon di Filipina dimana terdapat etnik Igorot dan pulau Sumatra di Indonesia dimana terdapat etnik Batak, dua wilayah etnik yang sangat berjauhan. Catatan sejarah kedua etnik berbeda-beda. Catatan sejarah etnik Igorot paling tidak telah dideskripsikan pada tahun 1907 (lihat Mededeelingen op geographiseh gebied: De Philippijnen di dalam Tijdschrift voor geschiedenis, land- en volkenkunde, 1907).
Wilayah Sumatra
bagian utara dimana kemudian disebut terdapat etnik Batak sudah dilaporkan
dalam catatan geografi Ptolomeus pada abad ke-2. Wilayah ini disebut sentra
produksi kamper yang dalam catatan Eropa pada abad ke-5 kamper tersebut di
eskpor dari pelabuhan yang disebut Barousai (Barus). Di Baroes ditemukan
kuburan dan nisan yang berasal dari abad ke-8. Dalam prasasti Kedoekan Boekit (682
M) disebutkan nama Minanga (yang menurut penelitian pada era Hindia Belanda
diduga kuat Minanga adalah kota Binanga di daerah aliran sungai Baroemoen,
Padang Lawas, Tapanoeli, pantai timur Sumatra. Di dekat Padang Lawas ditemukan
candi yang berasal dari abad ke-8 dan pusat percandian di dekat Binanga yang
berasal dari abad ke-11 hingga abad ke-14, termasuk prasasti-prasasti).
Tanda-tanda zaman lampau di pulau Luzon hanya ditemukan prasasti Laguna yang
berasal dari awal abad ke-10).
Dalam laporan 1907 disebutkan pulau-pulau Filipina dihuni oleh orang Negroid berkulit gelap yang kemudian didesak orang pendatang ke pedalaman. Pada abad ke-13 orang pendatang pertama tersebut didesak oleh orang pendatang ke pedalaman. Elemen ketiga sejarah ini, yang dapat direduksi menjadi dua elemen etnologis, adalah satu-satunya yang memainkan peran penting dalam pembentukan penduduk Filipina.
Disebutkan pada
awal abad kesembilan belas, diantara 277.000 keluarga Kristen ada 14.000 dengan
campuran darah Spanyol-Filipina; pada tahun 1903 hanya ada 3.888 orang Spanyol
murni di Filipina, 2165 di antaranya tinggal di Manila. Populasi Filipina,
termasuk pendatang Spanyol telah membentuk sejumlah etnisitas yang tersebar
dari pantai hingga pedalaman pulau-pulau (yakni 18 etnografik) termasuk
diantara Igorot. Dari
26 pulau utama, empat memiliki populasi yang diuni pendatang pertama yang melebihi jumlah pendatang berikutnya
(Basilan, Palawan, Jolo, Mindanao); Mindoro dan Luzon masih memiliki populasi pendatang
pertama yang signifikan; di Negros tinggal 1 komunitas pendatang lama melawan
24 pendatang baru, di Panay 1 pendatang lama melawan 34 pendatang baru, di
Samar kurang dari 1 komunitas pendatang lama melawan 30 komunitas lainnya.
Jumlah populasi
pendatang lama di Bohol, Cebu, dan Leyte hanya beberapa orang saja.
Cara bermukim penduduk di Filipina merupakan konsekuensi dari cara hidup penduduk masing-masing. Cara hidup orang pendatang pertama tidak sama di mana-mana. di bagian timur dari Luzon orang menemukan Ilocanos yang sudah maju di pantai nw, berturut-turut etnik Igorot, Ilongot dan Negritos. Yang pertama hanya semi maju, yang membersihkan ruang terbuka lebar di hutan dan barter dengan penduduk pesisir; yang paling timur dari mereka dan Ilongat terutama adalah pemburu, hidup sebagai semi-nomaden dan pemburu kepala yang ganas. Orang Negrito hidup saebagai pemburu nomaden yang melarikan diri dari semua peradaban.
Orang Igorot memiliki tarian dan musik tradisional sendiri yang berbeda dari masyarakat Filipina umumnya, yang belum terpengaruh oleh peradaban Barat. Orang ttinik Igorot juga memiliki cori khas pakaian sendiri.
Orang Igorot sejak berabad-abad hidup di pedalaman Luzon utara yang tidak tersentuh pengaruh Melayu (Islam) dan Spanyol (Katolik). Orang pertama Eropa yang memasuki Tanah Igorot di Pegunungan Gordillera adalah seorang misionaris muda Padre Juan, dia baru beberapa tahun bertugas di wilayah Buanca (lihat Nieuwe Venlosche courant, 26-05-1920). Peta Wilayah Administratif Cordillera Rehiyong Pampangasiwaan ng Cordillera Filipina.
Orang Igorot di
pegunungan mengakui keberadaan makhluk tertinggi memuja leluhur dan melakukan
pengorbanan. dimana
kerbau, babi, anjing, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya disembelih
dimakan. Dalam persembahan penduduk Igorot melakukan tarian dan menyanyi yang
diiringi music sendiri. Orang tua yang meninggal ditempatkan dalam posisi duduk
di bawah gubuk yang biasanya dibangun dua meter di atas tanah. kepalanya
ditopang oleh sebatang kayu yang bertumpu pada lutut. Kain bergaris dililitkan
di pinggang dan; dahi dan tengkorak dibalut dengan kain. Pesta kematian
dilakukan enam sampai tujuh hari (lihat Nieuwsblad van het Zuiden, 21-04-1928).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Igorot di Filipina, Batak di Sumatra: Apakah Ada Relasi Sejarah?
Ada sejumlah elemen budaya yang mirip etnik Igorot dengan etnik Batak di (pulau) Sumatra bagian utara, seperti penghormatan kepada leluhur, persembahan yang diiringi tarian dan music. Dari segi linguistic bahasa Igorot dan bahasa Batak memiliki kesamaan untuk kosa kata elementer seperti ayah (ama) dan ibu (ina). Warna khas budaya etnik Igorot adalah tricolor merah, putih dan hitam (tiga warna khas etnik Batak di Sumatra Utara). Kota besar di Luzon bagian utara bernama kota Batac (Batac City) suatu kota yang kini masuk provinsi Ilocos Norte (tempat dimana lahir mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos). Wilayah Cordillera Administrative Region terdiri dari enam provinsi: Abra, Apayao, Benguet, Kalinga, Ifugao, dan Mountain Province (termasuk Baguio City). Selain nama kota, di Filipina juga ada etnik yang menamakan diri sebagai etnik Batak (disebelah timur pulau Paragoa atau Palawan).
Ada Suku Batak
di Filipina, Satu Nenek Moyang dengan Batak Sumatera? oleh: Taufiqur Rohman. Tidak
banyak yang tahu, Suku Batak juga ditemukan di tanah kepulauan Filipina.
Sama-sama memiliki nama Batak, tinggal di bagian timur laut Pulau Palawan. Saat
ini hanya tersisa 500 populasi Suku Batak Filipina. Mereka dijuluki sebagai
Tinitianes oleh para antropolog. Suku Batak di Filipina memiliki ciri fisik
yang hampir sama dengan Suku Batak di Sumatera Utara, yaitu bertubuh pendek,
kulit gelap dan rambut hitam. Selama berabad-abad lamanya, mereka hidup nomaden
dengan berburu dan meramu segala jenis tumbuhan di hutan. Sistem kepercayaan
Suku Batak Filipina masih menganut sistem animinsme dan dinamisme. Hingga saat
ini belum ada kajian ilmiah yang mencoba membuktikan Suku Batak di Sumatera
Utara dan di Filipina memiliki keterkaitan satu sama lain. Namun diantara
keduanya dapat dilihat beberapa kesamaan, seperti dalam adat perkawinan. Orang
tua mempelai pria harus datang meminang mempelai perempuan dengan membawa mahar
yang disebut boli bandi atau kapangsawa di Batak Filipina. Melihat catatan
arkeologi, ada kemungkinan antara Batak Sumatera dan Batak Filipina memiliki
satu nenek moyang yang sama. Sekitar tahun 2500 tahun lalu, penutur Austronesia
bermigrasi dari daratan Taiwan menuju wilayah Indonesia dan Filipina. Batak
Sumatera mungkin lebih terbuka kepada perkembangan zaman sehingga mengalami
banyak evolusi budaya dibandingkan Batak Filipina yang primitif. Ada beberapa
kosa kata yang mirip di Batak Sumatera dan Batak Filipina. Diantaranya mangan
(makan), inong (ibu), among (ayah), iboto (saudara), sangsang (daging babi),
dan banyak lagi lainnya. Desa-desa Batak di Filipina memiliki bentuk bangunan,
cara berpakaian, bahkan logat bicaranya yang keras dan ceplas-ceplos. Batak
Filipina juga menganut sistem marga. Berdasarkan hal ini, bisa jadi antara
Batak Sumatera dan Batak Filipina masih satu rumpun yang kemudian mengalami
perpecahan pada suatu zaman tertentu yang tidak jelas kapan. Pertanyaan
berikutnya, siapa yang meninggalkan siapa? Apakah Batak Filipina mengembara
hingga ke Pulau Sumatera, atau Batak Sumatera yang menjelajah ke negeri
Filipina saat terjadi suatu krisis di masa lampau? Dibutuhkan kajian mendalam. Seiring
dengan perjalanan, keberadaan Batak di Filipina semakin terancam karena akses
hutan yang dibatasi dan invasi para imigran. Secara perlahan, hal ini terus
menghancurkan kelompok budaya Batak. Masyarakat Filipina menganggap Suku Batak
sebagai orang gunung karena masih primitif. Mereka dikasifikasikan dalam
kelompok Aeta Filipina karena karakteristik fisiknya. Dahulu Batak hidup di
lembah dan daerah pegunungan, saat ini lebih dekat dengan wilayah pesisir di
Pulau Palawan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Batak atau Binatak
Satu catatan tertulis terawal yang menyatakan hubungan antara Sumatra Utara dengan pulau Luzon di Filipina adalah Mendes Pinto (1537). Disebutkan Kerajaan Aru Batak Kingdom memiliki kekuatan 15.000 tentara dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Indragiri, Jambi, Brunai dan Luzon. Saat itu Kerajaan Aroe Batak Kingdom telah berselisih dengan Kerajaan Atjeh.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar