*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Surat kabar berbahasa asing sudah sejak lama ada di
Asia Tenggara (bahasa Belanda, Inggris dan Spanyol). Pers berbahasa Melayu juga
dimulai oleh orang-orang asing (terutama Belanda dan Jerman). Pers berbahasa Melayu
ini kemudian diikuti orang-orang pribumi baik di Indonesia maupun di Singapoera
(koloni Inggris). Dalam perkembangannya orang pribumi merambah ke pers
berbahasa asing (berbahasa Belanda dan bahasa Inggris). Anehnya, pers berbahasa
asing justru dimulai oleh orang Batak. Mengapa?
Sejarah pers bagi orang pribumi di Asia Tenggara terbilang baru. Namun untuk urusan tulis menulis, tentu saja sudah lama ada. Orang Jawa di Jawa menulis dengan aksara Jawa dalam bahasa Jawa, demikian juga di Sumatra orang Batak menulis dengan aksara Batak berbahasa Batak. Di Semenanjung Malaya, orang Melayu menulis dengan aksara Jawi (Arab gundul) dengan bahasa Melayu. William Marsden yang pernah mengunjungi Tanah Batak di Angkola (lihat W Marsden 1781) merasa kaget karena lebih dari separuh penduduk bisa menulis (tentu saja dalam aksara Batak). Mereka menulis di kulit kayu yang tipis dengan tinta terbuat dari jelaga damar. dicampur air kamper dan pena dari lidi aren. Marsden dalam bukunya, tanpa malu-malu, menyatakan bahwa: ‘angka literasi orang Batak melampaui angka literasi bangsa-bangsa di Eropa’. Sebagaimana dilaporkan di Jawa pada zaman itu atau sebelumnya, para mpu yang menulis, di Gowa para penulis kerajaan yang menulis dan di Semenanjung Malaya para pujangga yang menulis. Akibatnya, penduduk biasa di Jawa dan Semenanjung memiliki angka literasi tinggi belum lama. Pada tahun 1863 di Jawa dari 23 residentie, baru di 15 residentie terdapat sekolah pemerintah (plus satu sekolah guru). Di Afdeeling Angkola Mandailing, residentie Tapanoeli, di dua distrik (onderafdeeling) sudah terdapat enam sekolah pemerintah (plus satu sekolah guru). Di Semenanjung Malaya pada tahun yang sama belum ditemukan sekolah modern (aksara latin). Orang-orang Angkola Mandailing inilah yang terawal merintis pers, baik berbahasa Melayu maupun bahasa asing.
Lantas bagaimana sejarah pers pribumi berbahasa asing (Belanda dan Inggris)? Seperti disebut di atas, pers pribumi di Asia Tenggara justru dimulai oleh orang-orang Batak. Mengapa? Lalu bagaimana sejarah pers pribumi berbahasa asing (Belanda dan Inggris)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pers Pribumi Berbahasa Asing (Belanda dan Inggris) Diinisiasi Orang Batak; Pers Internasional
Pada saat surat kabar berbahasa Belanda terbit di Batavia pada tahun 1810, besar kemungkinan tidak ada orang pribumi yang mengerti bahasa Belanda. Oleh karena itu surat kabar Bataviasche Koloniale Courant yang terbit pertama 1810, meski hanya empat lembar tidak ada orang pribumi yang membacanya. Hingga saat itu, sejak era VOC, orang-orang Belanda yang belajar bahasa Melayu. Jika orang Belanda berbicara dengan orang Jawa dalam bahasa Jawa, maka dicari penerjemah penerjemah orang Belanda yang bisa berbahasa Melayu dan orang pribumi yang bisa berbahasa Jawa maupun bahasa Melayu. Dalam situasi dan kondisi itulah pers pertama terjadi di Indonesia (baca: Hindia Belanda).
Idem dito dengan masa ini, jarang sekali orang Indonesia, bahkan
mahasiswa sejarah yang tidak bisa berbahasa Belanda, Banyak ahli sejarah yang
tidak bisa membaca teks berbasa Belanda. Ok, itu memang tidak masalah, karena
banyak orang Indonesia yang bisa berbahasa Inggris. Namun menjadi masalah, jika
para ahli sejarah yang meneliti sejarah Indonesia, tetapi data sejarah justru
banyak data dan informasi dalam bahasa Belanda, termasuk data dari surat kabar
(surat kabar sejak 1810). Saya sendiri tidak bisa berbicara dengan bahasa Belanda,
tetapi hanya sekadar bisa membaca teks berbahasa Belanda. Itu sudah cukup untuk
memahami sejarah dengan sumber-sumber berbahasa Belanda.
Pers berbahasa Belanda di Hindia Belanda cukup lama eksis, tetapi tidak ada orang pribumi yang bisa membaca surat kabar. Namun lambat-laun mulai ada orang pribumi yang bisa berbahasa Belanda karena awalnya pergaulan yang akrab dengan orang-orang Belanda. Namun itu jumlahnya tidak banyak. Tiga pribumi yang dapat dibilang mahir berbahasa Belanda adalah mereka yang belajar di sekolah Belanda, ketiganya di bawah majikan masing-masing ke Belanda yakni Raden Salen (sejak 1839), Sati Nasoetion alias Willem Iskander (sejak 1857) dan berikutnya adalah Raden Ismangoen Danoe Winoto (sejak 1864).
Semua siswa sekolah dasar Eropa (ELS) yang berbahasa Belanda hanya
diikuti oleh anak-anak Eropa/Belanda. Sekolah pribumi disesuaikan dengan bahasa
daerah dengan tambahan pelajaran bahasa Melayu (di wilayah non Melayu). Di
sekolah kedokteran pribumi di Batavia dan sekolah guru di Soeracarta (yang
keduanya dibuka tahun 1851) bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu. Anak-anak
pribumi diberi kesempatan memasuki sekolah dasar Eropa (ELS) baru tahun 1880an.
Oleh karena sudah ada beberapa sekolah guru di Hindia Belanda seperti di Padang
Sidempoean, Fort de Kock, Bandoeng, Megelang dan Probolinggi, maka pada tahun
1887 terbit majalah Pendidikan di Probolinggo yang diberi nama Soeloeh Pengadjar.
Salah satu editornya adalah Dja Endar Moeda seorang guru alumni sekolah guru
Padang Sidempoean.
Kota besar seperti Batavia, Soerabaja dan Semarang serta Padang umumnya sudah banyak yang bisa berbahasa Melayu. Oleh karena itu, pada tahun 1853 muncul surat kabar berbahasa Melayu pertama di Soerabaja. Orang-orang timur asing seperti Cina dan Arab di kota-kota umumnya berbahasa Melayu. Setelah Soerabaja, surat kabar berbahasa Melayu muncul di Padang dan Batavia. Dalam situasi dan kondisi inilah pers berbahasa Belanda diantara orang Eropa/Belanda dan pers berbahasa Melayu oleh orang Eropa/Belanda diantara orang-orang pribumi sebagai (sasaran) pembaca.
Sejauh ini investor surat kabar berbahasa Melayu masih orang-orang
Eropa/Belanda. Pada tahun 1895 di Padang, keluarga Jerman penerbit surat kabar
berbahasa Belanda di Padang memperluas usaha dengan menerbitkan surat kabar
berbahasa Melayu yang diberinama Pertja Barat. Editor yang direkrut adalah
seorang mantan guru pribumi yakni Dja Endar Moeda. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa Dja Endar Moeda adalah orang pribumi pertama yang menjadi
editor surat kabat (berbahasa Melayu). Era baru pers berbahasa Melayu dimulai.
Pada tahun 1900, Dja Endar Moeda di Padang mengakuisi surat kabar Pertja Barat
dan percetakannnya. Pada tahun ini juga Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar
baru berbahasa Melayu yang diberi nama Tapian Na Oeli dan majalah pembangunan
yang diberinama Insulinde. Orang-orang Cina juga mulai ada yang onvestasi dalam
persuratkabaran berbahasa Melayu. Pada tahun 1902 surat kabar berbahasa Belanda
di Medan, De Sumatra Post memperluas bisnis denagn menerbitkanh surat kabar
berbahasa Melayu dengan nama Pertja Timor. Editor yang direkrut adalah Hasan
Nasution gelar Mangaradja Salamboewe, mantan seorang jaksa di Natal. Seperti
halnya Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, Mangaradja Salamboewe juga adalah alumni
sekolah guru di Padang Sidempioean. Pada tahun 1903 Dr AA Fokker di Belanda menerbitkan
majalah dwimingguan yang diberi nama Bintang Hindia. Untuk mengelolanya sebagai
editor, Dr AA Fokker mantan guru bahasa Melayu di Belanda datang ke Hindia merekrut
tiga ediotor yakni Abdoel Rivai, Djamaloedin dan Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan. Abdoel Rivai adalah alumni sekolah kedokteran Docter Djawa School
di Batavia, Djamaloedin adalah alumni sekolah guru di Fort de Kock yang saat
itu menjadi asisten editor majalah Insulinde yang dipimpin oleh Dja Endar
Moeda. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru
Padang Sidempoean, Pada tahun 1903 ini juga di Batavia, Karel Wijbrant pemimpin
dan editor surat kabar berbahasa Melayu (mantan editor surat kabar De Sumatra
Post) di Batavia merekrekrut editor pribumi yakni Tirto Adhi Soerjo (siswa yang
belum lama drop out di Docter Djawa School). Mereka yang disebut tersebut
adalah orang-orang pribumi pertama yang terjun dalam dunia pers (berbahasa
Melayu).
Pada tahun 1905 orang-orang pribumi sudah cukup banyak yang menjadi jurnalis surat kabar/majalah berbahasa Melayu, namun yang duduk sebagai editor baru beberapa orang saja. Sejauh itu baru satu pribumi yang menjadi investor dalam pers berbahasa Melayu. Surat kabar/majalah dalam bahasa daerah seperti Jawa sudah mulai ada dan bertambah. Pada tahun 1905 di Padang, Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar berbahasa Belanda yakni Sumatra Nieuwsblad dimana Dja Endar Moeda sendiri yang menjadi editor. Di Padang sendiri sudah ada surat kabar berbahasa Belanda yang sudah eksis sejak lama yakni Sumatra Courant.
Tujuan Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda diduga kuat untuk menyasara para elit pribumi yang semakin banyak yang bisa berbahasa Belanda. Oleh karena Dja Endar Moeda selama mengelola surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat kerap melakukan koreksi dan kritik kepada pejabat dan pemerintah di Batavia, boleh jadi dimaksudkan untuk menyuarakan misinya melalaui surat kabar berbahasa Belanda, semakin mudah dan lebih cepat diketahui oleh pemerintah dan orang-orang Belanda. Untuk sekadar tambahan pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mendirikan organisasi kebangsaan di Padang yang diberi nama Medan Perdamaian (organisasi kebangsaan Indonesia pertama). Pada tahun 1905 Dja Endar Moeda masih menjadi Presiden Medan Perdamaian.
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda dapat dikatakan adalah orang pribumi pertama yang menjadi bagian dari pers berbahasa asing (bahasa Belanda) di Indonesia (baca: Hindia Belanda). Dja Endar sendiri sudah sejak lama aktif menulis di surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Padang (Sumatra Courant). Bahkan beberapa kali Dja Endar Moeda berpolemik di surat kabar berbahasa Belanda. Dalam situasi dan kondisi inilah, Dja Endar Moeda dengan kapasitas dan misi tertentu memasuki dunia pers asing di Hindia Belanda.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tokoh Pers Internasional: Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Daftar
Surat Kabar di Hindia Belanda (Indonesia) |
|||||
No |
Nama
Surat Kabar |
Kota |
Penerbit |
Masa
Terbit |
Tersedia
digital |
1 |
Bataviasche Koloniale Courant |
Batavia |
1810-1811 |
1810-1811 |
|
|
Java government gazette (bahasa
Inggris) |
Batavia |
A.H. Hubbard |
1812-1816 |
1812-1816 |
3 |
Bataviasche courant |
Batavia |
's Lands Drukkery |
1816-1828 |
1816-1828 |
4 |
Javasche courant |
Batavia |
Landsdrukkerij |
1828-1849 |
1828-1849 |
5 |
Samarangsch advertentie-blad
(sejak Januari 1950) |
Semarang |
de Groot |
1850-1863 |
1850-1863 |
6 |
Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie |
Batavia |
Bruining |
1852-1957 |
1852-1897 / 1949-1957 |
7 |
Padangsch nieuws- en
advertentie-blad |
Padang |
Van Wijk |
1860-1862 |
1860-1862 |
8 |
Sumatra-courant : nieuws- en
advertentieblad |
Padang |
Zadelhoff & Fabritius |
1862-1900 |
1862-1900 |
9 |
De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad |
Semarang |
De Groot, Kolff & Co |
1863-1956 |
1863-1903 / 1947-1956 |
10 |
Soerabaijasch handelsblad |
Soerabaja |
Kolff & Co |
1865-1942 |
1865-1908 / 1929-1942 |
11 |
Bataviaasch nieuwsblad |
Batavia |
Kolff & Co. |
1885-1950 |
1885-1942 |
12 |
De Sumatra post |
Medan |
J. Hallermann |
1889-1942 |
1898-1942 |
13 |
De Preanger-bode (edisi sore) |
Bandoeng |
J.R. de Vries & Co |
1896-1923 |
- |
14 |
Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie (edisi sore) |
Batavia |
NV Mij tot Expl. van Dagbladen |
1900-1950 |
1900-1942 |
15 |
De Indische courant |
Soerabaja |
- |
1921- |
1921-1942 |
16 |
De nieuwsgier |
Batavia |
- |
1945-1957 |
1945-1957 |
17 |
Nieuwe courant |
Batavia |
- |
1946-1951 |
19-01 1946-17-11-1951 |
18 |
Het nieuwsblad voor Sumatra |
Medan |
Deli Courant en De Sumatra post |
1948- |
1948-1957 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar